Powered By Blogger

Kamis, 31 Maret 2011

TAZKIYATUN NAFS

Gambar  taman sejuk dan ramah lingkungan

MEMBANGUN VISI HIDUP YANG LEBIH BERNAS


SESUNGGUHNYA tujuan puncak seorang Muslim dalam kehidupannya di dunia adalah menggapai ridha Allah SWT. Dengan ridha-Nya semua kebutuhan manusia secara jasmani dan ruhani terpenuhi. Bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

Secara individu semua orang ingin merasakan kehidupan yang berbobot (hayatan thayyiban), keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, perkampungan yang diberkahi, negeri yang adil dan makmur, beberapa negara yang sejahtera dan penuh ampunan-Nya.

Kualitas kehidupan kita baik secara infiradi dan jama'i, baik dalam aspek ideologi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaaan, pertahanan keamanan berbanding lurus dengan bobot moralitas kita. Nilai-nilai ketuhanan searah dengan nilai-nilai produktifitas (ekonomi berkah).

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al Araf (7) : 96).

Sasaran keimanan pada ayat di atas adalah person (ahlun) dan diperagakan dalam sebuah lingkungan sosial tersendiri (al Qura). Kawasan yang tidak terkontaminasi oleh hukmul jahiliyah, dhannul jahilyyah, hamiyyatul jahiliyyah dan tabarrujul jahiliyah.

Karena Islam adalah agama dakwah dan dinul intisyar (agama yang harus disebar). Seorang mukmin itu akan terpelihara idealismenya jika didukung oleh orang-orang terdekatnya. Minimal anak dan istri dan tetangga.

Jadi, keridhaan Allah SWT akan menjamin kehidupan seorang Muslim secara utuh dan seimbang. Potensi manusia akan digali secara optimal dan maksimal. Tidak ada sisi-sisi tertentu yang ditonjolkan, sementara mengabaikan aspek yang lain. Tidak ada dikotomi dalam ajaran Islam. Islam mewadahi potensi ijtihad, mujahadah dan jihad secara sinergis.

"Ingatlah para kekasih Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung." (QS. Yunus (10) : 62-64).

Pada ayat tersebut menggunakan redaksi fiil madhi ‘aamanuu’ (mereka yang telah beriman). Dan memakai redaksi fiil mudhari ‘wa kaanuu yattaqun’ (dan mereka selalu bertakwa). Jadi keimanan yang selalu dipelihara dengan taqwa secara berkesinambungan.

Karena di antara makna fiil mudhari’ adalah lil istimror (secara terus menerus). Yakni dilakukan dengan istiqomah (konsisten). Di antara ciri amal seorang Muslim adalah susul menyusul bagaikan rintik-rintik hujan. Karena amal yang dicintai oleh Allah SWT adalah yang dilakukan secara ajeg (berantai), sekalipun sedikit. Sedikit demi sedikit tetapi ada kenaikan grafik.

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata : Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat akan turun mereka (dengan berkata) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surge yang telah dijanjikan kepadamu." (QS. Fussilat (41) : 30).

Membangun Komitmen

Syarat utama dalam membangun komitmen keislaman adalah keyakinan seorang Muslim harus steril dari berbagai kontaminasi kekafiran, kemunafikan, kezaliman dll. Dan mengimani apa-apa yang diyakini oleh pendahulu yang shalih dan para imam yang teruji otoritas keilmuan dan kebersihan hatinya, keshalihan, ketakwaannya serta pemahamannya yang bersih, benar dan lurus terhadap Allah SWT.

Banyak wasilah (perantara) menuju surga dan ridha-Nya. Tetapi, secara global (mujmal) disimpulkan ada tiga amalan.

Pertama, ridho kepada Allah SWT melebihi dari mahabbah (kecintaan). Sebab kecintaan hanya berukuran sesuai dengan wadah hati (tempat tumbuhnya benih cinta), sedangkan ridha meluap (luber. bahasa Jawa).

Ketika kita ingat kalimat Rabb. Tergambar dalam doa yang kita panjatkan untuk sosok kedua orangtua.

"Ya Rabbku ampunilah dosa-dosaku dan kedua orangtuaku dan rahmatilah keduanya sebagaimana mereka merawatku di waktu kecil." (QS. Al Isra (17) : 23).

Bukankah kita selalu berhutang budi kepada mereka, selalu ingin membalas jasa-jasanya dan ingin bertemu dan dekat dengannya. Dan tidak ingin meninggalkannya untuk selama-lamanya. Karena kita meyakini, mustahil kita memiliki keturunan yang shalih/shalihah jika kita tidak shalih kepada mereka. Dengan menjadikan Allah sebagai Rabb, aqidah kita steril dari berbagai penyimpangan pola piker dan perilaku.

Kedua, ridha bahwa Islam Sebagai Jalan Kehidupan (minhajul hayah)

Islam adalah celupan Allah SWT (wadh’un ilahi) bagi yang tercerahkan (lidzawil ‘uqulis salimah) untuk menjamin kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat (lishalahi ma’asyihim wa ma’adihim).

Syariat Islam adalah perpaduan antara keyakinan dan amal shalih (iman dan islam). Jika islam dan iman terpisah, pertama bermakna kepasrahan secara utuh kepada Allah SWT dan kedua keyakinan secara penuh terhadap keputusan-Nya. Jika iman dan islam menyatu, berimakna islam secara kaffah. Jadi jika iman dan islam terpisah cenderung menyatu dan jika menyatu condong untuk terpisah. Karena kedua-duanya seiring, tidak bisa dipisah-pisahkan.

Amal yang tidak berlandaskan iman sama jeleknya dengan iman yang tidak melahirkan amal. Celakalah orang yang pandai dalam berislam tetapi miskin aplikasi. Karena islam tidak sebatas serimonial tetapi serangkaian amal shalih. Dakwah yang paling efektif adalah melalui muslim yang menjadikan dirinya mushaf berjalan.

Islam sebagai fikrah dan minhajul hayah, setidaknya mengandung arti turunan (derivat). Arti tersebut menggambarkan tentang sistem kehidupan yang utuh dan seimbang. Pertama, salima minal mustaqdzirat (steril dari kontaminasi kekeruhan niat). Setting sosial menggambarkan penghuni yang mudah salam, sapa, supel, senyum dalam pergaulan. Kedua, at-Taslim (patuh pada Allah dan Rasul-Nya). Ajaran sendika dhawuh (taat) tampak dalam perilaku penduduknya yang qanaah dalam menerima rezki.

Mereka dengan keluguannya memandang patuh kepada sesepuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ketaatan kepada Allah SWT. Ketiga, as Silmu (damai).

Sebagaimana pada umumnya penduduk desa, kehidupan yang penuh kedamaian sangat menonjol. Saling berbagi, saling membutuhkan, saling berempati, merupakan nilai-nilai curtural yang membuat saya dan teman-teman kerasan. Keempat, As Salam (kesejahteraan).

Nilai-nilai keislaman yang diwariskan tokoh pendahulu menjadikan arah kehidupan mereka lebih baik, utamanya dalam aspek ekonomi. Melihat kondisi social ekonomi yang kembang kempis dan motivasi para khatib untuk bekerja keras, banyak diantara mereka yang pergi merantau ke luar negeri (Malaysia). Disamping mendirikan warung di kota Gresik dan mengelola pertambakan. Kelima, As Salamatu (keselamatan). Nilai keislaman yang terakhir ini yang menjaga keutuhan kehidupan social di sebuah negara. Masing-masing individu menjadi penguat bagi yang lain.

Jika kita mengatur kehidupan manusia yang di dalam dirinya penuh rahasia, maka akan terjadi kesalahan fatal. Aturan manusia bersumber dari keterbatasan akal. Tentu hanya didasari syubhat (salah paham terhadap kebenaran) dan syahwat (hawa nafsu). Betapa celakanya jika manusia mengikuti aturan yang relative dan nisbi. Sungguh, yang memahami persis eksistensi manusia hanyalah Yang Maha Menciptakan.

Ketiga: Ridha, Muhammad Sebagai Rasul-Nya

Kecintaan kita kepada Allah SWT tidak akan terwujud tanpa disertai kecintaan yang murni kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan tokoh dunia, umumnya hanya unggul dalam satu bidang. Sedangkan Muhammad SAW adalah insan kamil (manusia sempurna), syakhshiyyatun jaami’ah (kepribadian yang utuh). Diakui oleh kawan dan lawan. Berbagai kelebihan tokoh terkumpul dalam kepribadiannya. Wajar, jika seorang mukmin menjadikan beliau sebagai uswah dan qudwah.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33) : 21).

Ayat tersebut kita bisa memahami, ada tiga pintu untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutan kehidupan kita. Yaitu, Petama : mengharap perjumpaan dengan Allah SWT dengan penuh kerinduan. Orang yang berjumpa dengan-Nya akan mendapatkan pelayanan khusus dari-Nya. Dekat dengan pertolongan-Nya, dekat dengan rahmatnya, dekat dengan maghfirah-Nya, dekat dengan ridha dan surge-Nya. Kedua : Mendambakan kehidupan akhirat. Akhirat adalah harapan terakhir untuk menyempurnakan balasan dari-Nya. Dan bekal untuk menuju kehidupan abadi, hanya bisa dilakukan di dunia. Maka, dunia harus dijadikan ladang untuk beramal sebanyak mungkin. Ketiga : Banyak berzikir kepada-Nya. Dengan selalu mengingat-Nya akan terlibat dalam mengelola dan mengurai kerumitan kehidupan yang kita hadapi. *







MENJADI MUKMIN YG BERPENDIRIAN



MUHAMMAD Qutub dalam salah karya spektakulernya “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyah wa Tathbiqan” mengatakan, tiga komponen yang amat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan. Yaitu input, proses dan out-put. Jika salah satu unsur dari ketiganya kurang ideal, maka mustahil melahirkan out-put yang diharapkan pula.

Karenanya, bagi seorang Muslim, iman harusnya menjadi input penting agar bisa melahirkan sikap dan kepribadian yang baik.

Iman adalah sumber energi jiwa yang senantiasa memberikan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya untuk bergerak memberi, menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam taman kehidupan, atau bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di permukaan bumi.

Iman juga merupakan gelora yang mengalirkan inspirasi kepada akal pikiran, yang kelak melahirkan bashirah (mata hati). Sebuah pandangan yang dilandasi oleh kesempurnaan ilmu dan keutuhan keyakinan.

Iman juga sebuah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, yang kelak melahirkan taqwa. Sikap mental tawadhu (rendah hati), wara’ (membatasi konsumsi dari yang halal), qona’ah (puas dengan karunia Allah), yaqin (kepercayaan yang penuh atas kehidupan abadi). Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah harakah. Sebuah gerakan yang terpimpin untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, keadilan atas kezaliman, kekauatan jiwa atas kelemahan. Iman menentramkan perasaan, mempertajam emosi, menguatkan tekat dan menggerakkan raga.

Intinya, iman mengubah individu menjadi baik. Ia mampu mengubah yang kaya menjadi dermawan, dan miskin menjadi ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri). Ia juga bisa membuat yang berkuasa menjadi adil, dan yang kuat menjadi penyayang, yang pintar menjadi rendah hati, dan yang bodoh menjadi pembelajar. Itulah iman.

Syeikh Muhammad al-Ghazali berkata dalam bukunya “Khuluqul Muslim” mengatakan, “Apabila iman telah menyatu jiwa, hanya Allah yang paling berkuasa, segala yang maujud ini hanya makhluq belaka (mumkinul wujud). Keyakinan yang kuat dan tumbuh berkembang dengan subur, laksana mata air yang tidak pernah kering sumbernya, yang memberikan dorongan kepada pemiliknya semangat pengabdian, ibadat secara terus-menerus, mampu memikul tanggngjawab dan menanggulangi kesulitan dan bahaya yang dihadapinya. Pengabdian itu dilakukan tak mengenal lelah sampai menemui ajal tanpa ada rasa takut dan cemas.”

Prinsip Hidup

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia mengambil jalan sendiri.

“Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian, ia berkata : Saya ikut bersama-sama orang, kalau orang-orang berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat jahat sayapun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu. Apabila orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat kebajikan, dan kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau menjauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Turmudzi).

Orang mukmin yang sejati mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas, perbuatannya itu ia sembunyikan dan tidak dipertontonkan di hadapan orang banyak. Ia masih memiliki rasa malu jika aibnya diketahui –apalagi-- ditiru orang banyak.

Karenanya sungguh aneh, saat ini seorang terdakwa kasus pornografi –di mana terbukti melakukan maksiat dan menvideokannya—masih bisa senyum dan tak merasa bersalah di depan publik.

Ada pula tipe orang Muslim yang sering buru-buru menghindari diri ketika orang lain dan musuh-musuh agama Islam menuduh sebagai “teroris” dengan cara menuding kelompok lain. Alih-alih mencari aman, kelompok seperti itu masih tega mengatakan, “kami moderat, mereka itu radikal.”

Seorang mukmin yang baik, ia berani menegakkan kebenaran sekalipun rasanya pahit. Untuk memenuhi perintah Allah, tidak untuk memperoleh maksud duniawi yang rendah dan untuk tujuan jangka pendek dan kenikmatan sesaat (mata’uddunya). Jika ia membiarkan kebatilan mendominasi kehidupan, maka imannya seolah terjangkiti virus kelemahan. Seorang mukmin teguh pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar dari amukan badai dan hempasan gelombang serta pasang surut lautan.

Kekuatan jiwa seorang muslim, terletak pada kuat dan tidaknya keyakinan yang dipeganginya. Jika akidahnya teguh, kuat pula jiwanya. Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah pula jiwanya. Ia tinggi karena menghubungkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw memberikan keputusan terhadap sebuah kasus antara dua orang laki-laki. Ketika kedua-duanya sudah pulang, yang kalah dalam sidangnya ia berkata : “Hasbiyallahu wa ni’mal wakil Hasbiyallahu wa ni’mal wakil.” (Allahlah yang mencukupkan daku, dan Dialah sebaik-baik tempat berlindung).

Mendengar perkataan orang yang kalah itu, yang mungkin seolah-olah mengeluh, Nabi Saw bersabda :

“Bahwasanya Allah mencela dan membenci kelemahan, karena itu hendaklah engkau berlaku bijaksana, agar engkau jangan mendapati kekalahan. Maka apabila sudah berkali-kali engkau bijaksana, dikalahkan juga engkau, barulah engkau berkata : Hasbiyallahu wani’mal wakil.” (HR. Ahmad).

Orang beriman dalam beramal dan mengabdi hanya mengharapkan ridha Allah semata. Ia merupakan manusia yang menakjubkan. Karena ia dianggap sebagai inti (jauhar) daripada unsur-unsur yang ada di alam semesta. Tak peduli julukan, stigma atau sebutan negatif oleh pihak lain.

Iman akan selalu memberikan ketegaran, keteguhan jiwa kepada pemiliknya, sekalipun berhadapan dengan kezaliman raja, bahkan melawannya.

"Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia Ini saja.” (QS. Thaha (20) : 72).

Iman-lah memberikan ketenangan jiwa Nabi Musa as. ketika dihadapkan dengan kenyataan pahit.

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa : Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. Musa menjawab : Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Lalu Kami wahyukan kepada Musa : Pukullah lautan itu dengan tongkatmu. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah bagaikan gunung yang besar.” (QS. 26 : 61-63).

Iman-jualah yang menjadikan Nabiyullah Muhammad Saw tertidur dengan pulas sekalipun nyawanya sedang terancam.

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. 9 : 40).

Karenanya, kedudukan, kekayaan, kepandaian yang tidak ditemani oleh iman, ia hanya akan membuat pemburunya kecewa. Seolah disangka berupa air yang bisa membasahi kerongkongan yang kering karena kehausan. Padahal setelah didatanginya hanya berupa fatamorgana.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya .” (QS. 24 : 39).

Karenanya, kata Allah, orang-orang kafir, karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan balasan dari Tuhan di akhirat, walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amalan mereka itu. *








GELORAKAN ISLAM DALAM DIRI DAN KELUARGA KITA

KETIKA para dai, muballigh Islam yang datang dari berbagai suku dan bangsa menyebarkan dinul Islam ke berbagai pelosok dunia, hingga di wilayah Nusantara, mereka yakin secara utuh (al yaqinu kulluhu) bahwa Islam jalan kebenaran (al Haq) dan keselamatan (as Salam). Seandainya kala itu mereka memandang semua agama benar –layaknya paham kaul liberal-- tentu tidak sampai pergi jauh melintasi pulau dan samudera hanya untuk berkorban waktu dan nyawa. Karena keyakinan akan kebenaran itulah, mereka melakukan ekpansi dakwah.

Namun, tiada ekspansi dakwah spektakuler melebihi masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Dalam masa 10 tahun (seputar 18 negara secara beruntun), dalam waktu kurang dari enam bulan terjadi ekspansi dakwah secara berkelanjutan (istimrar).

Ketika memimpin upacara penugasan dakwah, kala itu, khalifah Islam II ini berpesan: “Fii ayyi ardhin tatho’ anta masulun ‘an islamiha” (Di bumi manapun kakimu menginjak kalian bertanggungjawab untuk mengislamkan dan menjaga kebenaran Islam penduduk setempat). Sejak zaman beliau Islam akhirnya makin menyebar ke seluruh dunia hingga di kepulauan Nusantara. (Sejarah Ummat Islam V, Prof. Dr. Hamka).

Keyakinan yang mencerahkan

Kaum muslimin pantang menggunakan cara-cara kekerasan, intimidasi, agar orang lain mengikuti Islam. Tetapi Islam datang dengan jalan pencerahan dan penyadaran (iqra bismi rabbik).

“Menang tanpo ngasorake, nglurug tanpa bala,” demikian kata sebuah pepata Jawa. Maksudnya, “menang dengan tidak merendahkan musuh dan mendatangi tidak dengan membawa bala tentara,” itulah Islam. Kesadaran yang tumbuh pada pribadi obyek dakwah inilah yang paling mahal dan menjadi tujuan pendakwah.

Hanya yang memiliki keyakinan yang tidak terkontaminasi dengan keraguan sedikitpun, dengan ditambahi gelora dakwah, mereka berani mengarungi samudera, meninggalkan keluarga dan kampung halaman yang dicintainya. Mereka rela berbagi kebenaran untuk mengabarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.

Spirit dakwah itulah yang menjadi landasan berpikir dan patokan tokoh pergerakan modern, Syeikh Hasan Al Banna. Ia mengabdikan dirinya secara total untuk dakwah, dengan mendirikan jamaah Al Ikhwan al Muslimun, empat tahun pasca runtuhnya khilafah Islam Turki Utsmani (1928).

Begitulah para pendakwah sejati. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Kisah heroik perjuang dakwah para pendahulu kita perlu dijadikan ibrah (pelajaran) dan ‘ubur (jembatan menuju kesuksesan). Menafikan peran dan jasa mereka merupakan tindakan suul adab (tidak beradab). Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan dakwah mereka, mencontoh akhlaq dakwah mereka, mengawal kebenaran Islam dan memperbaiki sisi-sisi tertentu yang perlu disesuaikan dengan tantangan dakwah kontemporer.

Di Korea Selatan Islam masuk melalui pergaulan dan pengaruh kebiasaan baik yang menjadi kultur tentara muslim Turki. Di sana terdapat tentara-tentara muslim yang bertugas pada masa terjadi Perang Korea.

Pada waktu tertentu orang-orang Korea melihat tentara-tentara Turki itu pergi bersuci dengan membasuh muka, tangan dan kaki, lalu berbaris dengan khusyu’, tertib, dan teratur, lalu penduduk setempat terkesan, seraya berkata, “Siapakah kalian? Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Islam” Mereka bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Lalu Islam diperkenalkan kepada mereka sesuai dengan pengalaman beragama dan pengetahuan yang dimiliki oleh pasukan Turki itu. Maka masuklah ke dalam pelukan Islam beribu-ribu orang Korea karena adanya keteladanan yang bagus itu.

Dalam sejarah Nusantara, secara damai, Islam berhasil menyebar dan mendominasi wilayah Melayu-Indonesia. Selama ratusan tahun Islam kemudian mempribadi di person bangsa Indonesia. Para dai hanya melanjutkan tugas nubuwwah dan risalah yang disempurnakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas.

Padahal, semula penduduk Nusantara didominasi oleh Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Namun tiba-tiba, mereka beralih kepada agama Islam sebagai spirit dan jalan kehidupan yang baru. Tentu dakwah ini tidak sehari, melewati proses yang panjang (konstan), bukan secara kebetulan (konstan). Para muballigh tidak begitu saja merebut kekuasaan dari tangan penguasa Hindu/Budha. Kekuasaan adalah pilihan rakyat yang telah memeluk Islam, dan menjadikan Islam sebagai acuan tata kelola kehidupan (minhajul hayah).

Islam memperoleh kemenangan dan tersebar dengan baik berkat adanya keteladanan yang agung. Orang-orang melihat gambaran atau potret Islam yang menyatu dengan perilaku pemeluknya, tergambar dalam jasad dan tindakannya. Demikianlah Islam tersebar pada masa-masa awal perintisannya.

Sayang, dinding yang paling tebal yang membatasi dunia dari Islam hari ini adalah kaum muslimin sendiri. Islam itu sangat indah apabila dibaca dalam kitab-kitab, tetapi ketika orang melihat Islam ini pada diri pemeluknya. Mereka bertanya, “Mengapa para pemeluknya tidak mengamalkannya?”

Islam menyerukan sikap tolong-menolong, mengapa banyak orang yang hidup terhina di Negara-negara Islam? Islam menyerukan kekuatan, tetapi mengapa kondisi kaum muslimin begitu lemah? Islam menyerukan ilmu dan kemajuan, tetapi kita temukan Negara-negara Islam merupakan fenomena keterbelakangan dan kebodohan. Bahkan termasuk kita sendiri yang bodoh akan ilmu dan masalah-masalah Islam. Kita sudah mengenal Islam sejak bayi, namun sampai usia kita menjelang 50 tahun, kita tidak malu dan selalu menyebut orang awam. Kapan kita memiliki rasa bangga akan ilmu agama kita?

Islam menjunjung tinggi persatuan, mengapa dunia Islam belum memiliki alasan untuk bersinergi dan menyatukan potensi masing-masing, sehingga ketika Israel dengan pongah mengangkangi Palestina kita semua diam saja?

Mayoritas kaum muslimin (yang jumlahnya lebih dari 6,5 milyar) mereka masih lebih suka menonjolkan identitas geografis dari pada ikatan ideologisnya.

Orang Islam yang mengamalkan ajaran Islam yang dipahaminya secara konsisten, Allah akan mengajarinya ilmu baru yang tidak diketahui sebelumnya. Sekalipun yang diamalkan hanya itu-itu saja.

Lihatlah betapa indahnya berislam, alangkah bagusnya adab Islam, alangkah mulianya akhlaq Islam. Mereka menyaksikan ajaran-ajaran Islam dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan nyata.

Demikianlah Islam sebagai agama dakwah (dinul dakwah wal intisyar) tersebar ke seluruh dunia, tidak dengan kata-kata dan makalah-makalah, tetapi tersebar dengan amal, akhlaq dan perilaku keseharian.

Oleh karena itu merupakan tuntutan bagi kita menjadi contoh peragaan bagi Islam, menjadi organ kehidupan dalam tubuh ummat Islam, menjadi mushaf berjalan dengan dua kaki, dan menjadi mushaf yang telah ditafsirkan dalam bentuk perbuatan. Di berbagai medan kehidupan. Di pasar, masjid, parlemen, dunia perbankan, pabrik, sekolah, dan di tempat-tempat wisata dll. Perilaku yang lurus indikator pemahaman yang benar.

Jadi, tidaklah keliru jika ummat Islam meyakini kebenaran agamanya. Bahkan wajib. Keyakinan adalah modal dasar untuk menuju perubahan besar. Tanpa keyakinan dan dikawal dengan akhlak, suatu bangsa, umat, atau peradaban, akan musnah ditelan zaman dan akan menjadi budak bagi peradaban lain.

KH. Ahmad Dahlan pernah mengungkapkan sebuah syair arab :

وَ نَهْجُو سَبِيْلِي وَاضِحٌ لِمَن اِهْتَدى وَ لَكِنَّ الا هوَاءَ عَمَّت فأَعْمَتْ

“Jalan agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela kemudian membutakan (hati manusia).”

Pertanyaanya, kapan kita –termasuk anak-istri dan keluarga kita-- akan mempraktekkan peradaban Islam yang indah ini? *








JADILAH MUSLIM YANG BERPENDIRIAN


SYEIKH Muhammad al Ghazali pernah berkata dalam bukunya “Khuluqul Muslim” mengatakan; “Apabila iman telah menyatu jiwa, hanya Allah yang paling berkuasa, segala yang maujud ini hanya makhluq belaka (mumkinul wujud). Keyakinan yang kuat dan tumbuh berkembang dengan subur, laksana mata air yang tidak pernah kering sumbernya, yang memberikan dorongan kepada pemiliknya semangat pengabdian, ibadat secara terus-menerus, mampu memikul tanggngjawab dan menanggulangi kesulitan dan bahaya yang dihadapinya. Pengabdian itu dilakukan tak mengenal lelah sampai menemui ajal tanpa ada rasa takut dan cemas.”

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia mengambil jalan sendiri.

Di tengah dunia yang hanya mememtingkan egoisme, sedikit kita temukan orang-orang mukin yang bisa menjaga diri. Sebaliknya, justru kita banyak temukan kumpulan orang mukin yang tak memiliki harga diri.

Sekedar contoh saja. Di saat dunia Barat mengkampanyekan budaya dan nilai-nilai idiologinya, kaum Muslim tidak terasa juga ikut termakan dan mengikuti jejaknya. Semua hal dalam kehidupan selalu diukur dan dinilai berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena Barat begitu membenci poligami dan membenturkannya dengan HAM, lantas para Muslimah kita juga ikut tertular virusnya. Mereka lupa, al-Quran, membolehkannya (kata membolahkan, bukan berarti menganjurkan).

Bahkan penolak keras apa yang dibolehkan al-Quran ini bukan orang Yahudi atau orang Nasrani. Justru mereka adalah para aktivis, mahasiswa dan ibu-ibu berjilbab.

Ketika Barat membagi-bagi kelompok menjadi dua; Satu kelompok disebutnya "moderat" (yang berarti selalu menerima ide-ide Barat), Satunya disebut kelompok "fundamentalis" (yang selalu menolak ide Barat), umat Islam-pun ramai-ramai mengutinya.

Jangan heran, jika muncul tokoh-tokoh Islam di sekitar kita seolah berebut kata “moderat” dengan maksud agar tak dituduh Barat sebagai kelompok fundamentalis. “Oh, kalau kami ini moderat, tak seperti mereka.”

Ada semacam rasa bangga menyebut dirinya 'moderat', seolah ingin sekalian memojokkan saudara yang lain. Bahkan mereka yang suka berebut kata itu juga tak pernah menyadari. Atas hak dan atas dasar apa seseorang menyebut yang lain radikal atau fundamenlis? Bahkan seseorang ketika menuduh seenaknya pihak lain, pada dasarnya ia adalah ‘radikal’ dan 'fundamentalis'. Orang Muslim seperti ini ibarat dua orang bersaudara yang sedang menghadapi hewan buas di tengah hutan. Bukannya saling bekerjasama dengan saudaranya melawan binatang buas, ia justru mendorong punggung saudaranya di depan si hewan agar dia bisa lari dari terkaman. Itulah cerminan sebagaian dari wajah saudara-saudara kita.

Apalagi di tengah zaman penuh fitnah seperti ini. Orang berjibab, orang yang rajin ke masjid, rajin ta’lim, mengamalkan sunnah, berjenggot, menggunakan simbul-simbul Islam, maka akan mudah baginya mendapat gelar “radikal” atau bahkan cepat-cepat dituduh “teroris”. Jika tak punya pendirian teguh pada agama ini, mungkin banyak orang akan melepaskan kemuslimannya.

Seorang mukmin di zaman seperti ini, akan banyak godaan iman. Jika tidak istiqomah, mudah baginya 'menjual diri’. Tak sedikit para remaja putri atau para Muslimah melepaskan jilbab dan terpaksa membuka auratnya hanya karena membela pekerjaanya. Tak sedikit pula karyawan pria yang melupakan kewajiban sholat dan mengabaikan ibadahnya karena membela pekerjaan atau takut kehilangan jabatan.

Prinsip Hidup

Rasulullah Muhammad sering menasehati agar kita menjadi seorang yang memiliki pendirian teguh pada agama ini.

Orang mukmin yang sejati mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas. Muk,im yang punya harga diri, ia juga malu membuka aib saudaranya atau jika tau kekurangan saudaranya. Ia malu mempertontonkan di hadapan orang banyak jika aib itu diketaui orang lain.

Seorang mukmin yang memiliki harga dini, ia pasti berani menegakkan kebenaran sekalipun rasanya pahit. Ia rela mendapat cacian, hinaan atau stigma-stigma buru sekalipun. Karena ia tak memburu urusan jangka pendek dan kenikmatan sesaat (mata’uddunya). Seorang mukmin teguh pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar dari amukan badai dan hempasan gelombang serta pasang surut lautan.

Kekuatan jiwa seorang muslim, terletak pada kuat dan tidaknya keyakinan yang dipegangnya. Jika akidahnya teguh, kuat pula jiwanya. Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah pula jiwanya. Ia tinggi karena menghubungkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw memberikan keputusan terhadap sebuah kasus antara dua orang laki-laki. Ketika kedua-duanya sudah pulang, yang kalah dalam sidangnya ia berkata : "Hasbiyallahu wa ni’mal wakil" (Allahlah yang mencukupkan daku, dan Dialah sebaik-baik tempat berlindung).

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Namun jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia akan mengambil jarak bahkan akan “keluar” dari lingkungan itu. Bukan sebaliknya, ikut arus. Seorang mukmin sejati dia akan tetap istiqomah dan amanah, meski seluruh lingkungannya tercemah ‘korupsi’.

Rasulullah melarang orang Muslim tak tak memiliki pendirian. “Saya ikut bersama-sama orang, kalau orang-orang berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat jahat sayapun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu. Apabila orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat kebajikan, dan kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau menjauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Turmudzi).

Karenanya, agar hidup kita senantiasa terus dinaungi cahaya Allah dan terus teguh pendirian, maka iman adalah sumber energi yang senantiasa memberikan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya. Iman adalah gelora yang mengalirkan inspirasi kepada akal pikiran, maka lahirlah bashirah (mata hati). Sebuah pandangan yang dilandasi oleh kesempurnaan ilmu dan keutuhan keyakinan.

Sebab iman adalah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, dan melahirkam taqwa. Sikap mental tawadhu (rendah hati), wara‘ (membatasi konsumsi dari yang halal), qona’ah (puas dengan karunia Allah), yaqin (kepercayaan yang penuh atas kehidupan abadi). Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah harakah. Sebuah gerakan yang terpimpin untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, keadilan atas kezaliman, kekauatan jiwa atas kelemahan. Iman menentramkan perasaan, mempertajam emosi, menguatkan tekat dan menggerakkan raga.*







BERISLAM SECARA TOTALITAS


ALKISAH, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah SAW lantas beriman kepadanya dan mengikuti (ajaran Islam). Sang Badui bertanya (kepada Nabi), Apakah saya hijrah bersamamu? Maka Rasulullah SAW menitipkan orang Badui tersebut kepada sahabatnya untuk hijrah. Ketika terjadi perang Khaibar, Rasulullah memperoleh harta rampasan dan membagi-bagikannya. Nabi SAW memberi bagian buat orang Badui itu dan menitipkan bagiannya itu kepada sahabat. Saat pembagian, orang Baduai tidak ada, sedang menggembalakan unta mereka (para sahabat). Ketika datang, para sahabat menyerahkan bagian itu kepadanya, Ia lantas bertanya, “Apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah bagian yang telah ditetapkan oleh Rasulullah untukmu.” Orang Badui mengambil bagian tersebut dan membawanya kepada Nabi SAW. ”Tidak karena ini saya mengikutimu, akan tetapi saya mengikutimu agar leherku ini ditembus oleh anak panah, hingga saya mati lalu masuk surgea.” Rasulullah SAW berkata, “Bila kamu (jujur) pada Allah, maka Allah akan menepati (janji-Nya) kepadamu.”

Setelah itu para sahabat bangkit untuk memerangi musuh. Kemudian orang Badui dibawa ke (hadapan) Nabi SAW dalam keadaan syahid. Lantas Rasulullah SAW bersabda, “Diakah orang itu ?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Benar.” Rasulullah SAW bersabda, “Ia jujur kepada Allah, maka Allah membuktikan (janji-Nya).” (Sunnah An-Nasai 4/60. Kitabul Janaiz, bab Ash-Shalatu ‘Alasy-Syuhada).


***

Seorang ideolog membagi manusia menjadi enam kelompok; muslim-mujahid, muslim yang duduk-duduk (tidak mau berjuang), muslim-atsim (pendosa), dzimmi-mu’ahid (kafir yang telah dilindungi oleh Negara Islam karena telah mengadakan perjanjian damai dengannya dan siap membayar pajak sebagai gantinya), muhayid (orang kafir yang berpihak kepada Islam) atau muharib (orang kafir yang memerangi Islam).

Masing-masing kelompok diatas memiliki hukumnya tersendiri dalam pandangan Islam. Dengan batasan inilah individu maupun intitusi ditimbang, apakah ia berhak mendapatkan loyalitas atau berhak memperoleh permusuhan/pengingkaran.

Terhadap golongan muslim-mujahid, kita mencintai, memberikan loyalitas, mengunjungi, menjalin hubungan baik (al Mawaddata fil Qurba) dan memenuhi kebutuhan mereka. Terhadap muslim yang tidak berjuang, kita membangkitkan semangat, menasihati dan mencari ‘udzur buat mereka. Terhadap muslim yang suka berbuat dosa, kita memperingatkan mereka dan mengajak perjanjian terhadap mereka, tidak menampakkan permusuhan kepada mereka, bahkan kita dituntut unt uk bersikap toleran (tasamuh) dan adil terhadap mereka. Mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai warga Negara sebagaimana kita.

Islam mengenal istilah tajarrud (kemurnian dan totalitas), di mana membersihkan hati dan pikiran dari dominasi internal (syubhat, syahwat dan ghoflah/kelalaian) dan prinsip-prinsip dan pengaruh orang lain.

Secara lafdziyah, tajarrudu lil amri’ berartinya bersungguh-sungguh pada suatu urusan.

Tajarrud merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh barisan mukmin yang berjuang dalam menegakkan kalimat Allah, bahkan ia merupakan salah satu pilarnya. Tanpa tajarrud yang benar barisan kaum beriman tidak akan bangkit dan tidak akan menunaikan perannya.

Tegakknya Islam termasuk diserukan oleh tokoh-tokoh semisal mereka, yaitu orang-orang yang telah menghiasi diri dengan kejujuran, ‘iffah (menjaga diri), kejernihan batin, ketulusan dalam beramal, keteguhan dalam memegang prinsip, serta terbebas dari motif-motif dunia dan syahwat.

Abul Ala Al Maududi dalam kitabnya “Nadzariyyatul Islam wa Hadyuhu” (hal. 84) pernah mengatakan, dakwah inilah yang akan menyedot hati orang-orang yang di dalam diri mereka masih terdapat kebaikan dan keshalihan.

All out

Di antara indikator tajarrud yang benar adalah bahwa seseorang menakar orang lain, organisasi lain dan segala sesuatu dengan takaran (timbangan) dakwah. Ia menentukan sikapnya terhadap mereka semua sesuai dengan timbangan tersebut.

Di antara tanda-tanda adanya akhlak tajarrud adalah mempersembahkan jiwa dengan mudah (tanpa ada rasa keberatan) di jalan Allah SWT.

Orang yang bercita-cita menegakkan al haq di muka bumi ini harus berhasil mewujudkannya terlebih dahulu di dalam jiwa, nurani, dan kehidupan mereka, dalam bentuk aqidah (keyakinan), akhlak (perilaku), ibadah, dan perilaku sehari-hari.
Abu Bakar ra telah menginfakkan hartanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tertindas di Makkah, ia melindungi orang-orang asing yang telah menyatakan janji setia (baiat) kepada kepemimpinan Rasulullah SAW teguh dalam janji, totalitas (all out) dalam beramal dan memurnikan niat hanya kepada Allah SWT. Kemudian turunlah beberapa ayat al-Quran yang member khabar gembira kepada Abu Bakar ra atas amal mulia yang telah dilakukan dan dipersembahkan untuk Allah SWT semata.

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dia kelak benar-benar mendapat kepuasan.” (QS. Al Lail (92) : 17-21).

Sungguh sikap Abu Bakar ra tidak dapat ditakar ketika ia ditanya, Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu ? Ia menjawab, Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya (Nurul Yaqin- Perang Tabuk hal. 245).

Sikap yang diteladankan oleh Abu Bakar dalam masa paceklik, jaisyul ‘usrah (Perang Tabuk) tersebut menggambarkan kepribadian beliau, dalam tiga indikator.

Pertama, mempersembahkan harta secara total (all out) hanya kepada Allah SWT.

Kedua, tawakkal secara mutlak kepada Allah SWT.Hal ini tercermin dalam ucapannya, Saya tinggalkan untuk mereka Allah SWT dan Rasul-Nya.

Ketiga, penjelasan bahwa pada hakikatnya harta itu milik Allah, dan Abu Bakar hanyalah diserahi/dititipi untuk mengelola dengan sebaik mungkin. Jika sedikit saja dikeluarkan untuk kebatilan berarti mubadzir. Jika dibelanjakan untuk menegakkan kebenaran sampai minus (habis), bukan dikategorikan mubadzir. Ia pantang mengelola harta bertentangan dengan Sang Pemilik-Nya.

Orang yang meyakini keagungan dan kebesaran Islam yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, serta jiwanya memberi kesaksian bahwa (jalan) inilah yang haq, yang tiada setelahnya kecuali kebatilan dan kesesatan ia akan mempertaruhkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT dan Islam.

Ini bisa dilihat dari sikap Nabiullah Ibrahim alaihissalam, sekalipun di tengah-tengah mereka terdapat ayah, anak-anak dan keluarganya. Beliau bersama pengikutnya berlepas diri dari lingkungan sosialnya serta patung-patung yang mereka sembah. Ia mengingkari kebatilan, dan menjauhi kaum paganis untuk menegakkan Islam.

Sekarang marilah bertanya pada diri kita. Kita bersilam masih secara sampingan atau sudah totalitas?.

Perumpamaan totalitas berislam ibarat orang yang berjuang di Jalan Allah dengan orang yang duduk-duduk. Sesungguhnya Allah membedakan antara orang yang berjuang di Jalan Allah dan yang duduk-duduk saja.

Orang yang berjuang di Jalan Allah derajatnya lebih tinggi daripada orang yang duduk/diam saja.

“Yaitu kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Ash Shaff 11]

Dalam surat lain, Allah berfirman;

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” [An Nisaa' 95].*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar