Powered By Blogger

Sabtu, 12 Februari 2011

SEPATAH KATA MUGA BERMAKNA

[Mohamad-green.jpg]
RIZKI ALLAH


Dalam kitab al-Isti'adzah diceritakan Imam Ja'far ash-Shidiq didatangi
seseorang yang mengeluh kemiskinan dan kesulitan hidupnya. Imam Ja'far berkata
padanya, 'Bila engkau sudah kembali nanti sewalah sebuah tempat untuk berjualan
dan duduklah di dalamnya.' Imam Ja'far kemudian menyerahkan sedikit uang.
Laki-laki itu menjawabnya, 'Ya Imam Ja'far, aku tidak bisa berjualan.'

Imam Ja'far mengatakan,'Tenanglah dengan rizki Allah, Allah lebih menyayangi
hambaNya dan tidak akan melupakanNya.'

Kemudian laki-laki itu kembali ke Kufah. Menyewa sebuah tempat untuk berjualan
dan duduk didalamnya. Beberapa waktu kemudian datanglah seseorang yang berkata
kepadanya. 'aku punya barang dagangan yang baik, maukah kau membelinya?'
Laki-laki itu menjawab,'Kalo aku punya uang, aku akan membelinya.' 'Ambillah
barang dagangan ini dan pajanglah. Kapanpun laku ambillah keuntungan dan
bayarkan kepadaku sesuai harga barang dagangan ini.'

Laki-laki itu setuju dan memajang barang dagangannya. Dalam waktu singkat
datang beberapa orang tertarik untuk membelinya. Sampai barang itu habis
terjual. Beberapa hari kemudian Pemilik barang dagangan itu datang, laki-laki
itu membayar semua barang dagangan yang terjual. Laki-laki itu mendapatkan
rizki dari Allah untuk memenuhi kebutuhannya, Keadaannya semakin baik sesuai
harapannya. Menggantungkan harapan hanya kepada Allah untuk mendapatkan
limpahan rizki. Allah telah memberikannya rizki yang tidak terduga. Subhanallah.

'Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki.' (QS. Ar-Ruum :
40).







(1) Bekerja Adalah Menjaga Harga Diri

Seorang muslim tidak oleh bermalas-malasan dengan alasan sibuk beribadah.
Ia harus bekerja mencari nafkah hidup. Islam melarang umatnya menganggur.
Bekerja, mencari nafkah dianjurkan bagi setiap orang yang beriman.
Apapun jenis pekerjaannya asalkan halal lebih terpuji daripada menganggur.
Karena langit tidak akan mencurahkan hujan emas atau berlian.

Seorang muslim tidak boleh hanya menggantungkan dirinya kepada kemurahan
hati orang lain; padahal ia mempunyai kemampuan untuk berusaha -bekerja

Dengan bekerja maka kaum muslimin dapat bersedekah dan mengeluarkan zakat
dan melakukan amal-amal saleh sebanyak mungkin.
-Dan katakanlah (hai Muhammad), " Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang beriman akan melihat pekerjaanmu........" - [QS At Taubah; 9:105]

Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya bahwa bekerja harus
dilakukan untuk menjaga harga diri.
Pekerjaan apapun yang yang dilakukan dengan benar adalah jauh lebih baik
daripada seseorang yang menggantungkan dirinya pada bantuan orang lain
Itu adalah kehinaan dan kerendahan diri.


Rasulullah SAW bersabda- Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian
dia membawa seikat kayu di punggungnya dan menjualnya, sehingga dengan itu
Allah menjaga dirinya, maka yang demikian itu lebih baik daripada meminta-minta
kepada orang lain, yang terkadang memberinya dan terkadang menolaknya-
[Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim]

Suatu ketika para sahabat memuji seseorang dihadapan Rasulullah SAW.
Lantaran seseorang itu sepanjang waktu tiada henti-hentinya berdoa, berdzikir.
Mendengar kisah itu Rasulullah bertanya, -Bagaimanakah atau siapakah yang
memenuhi kebutuhan hidup orang itu dan keluarganya?-
Para sahabat menjawab, "Kami memenuhi kebutuhan orang itu dan keluarganya."
Maka Rasulullah bersabda, " Kalian lebih baik dari dia."

Kewajiban manusia untuk bekerja telah banyak dicontohkan dalam kisah kehidupan
para
Nabi Allah SWT. Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Nabi Adam as mencari nafkah
dengan
bercocok tanam. Nabi Daud as adalah tukang besi, Nabi Idris as adalah seorang
penjahit,
Nabi Musa as adalah penggembala, Nabi Nuh as seorang tukang kayu.

Dan Rasulullah SAW pada masa mudanya adalah juga penggembala. Bahkan ketika
telah
diangkat menjadi Rasul, Nabi SAW masih bekerja memberi makan untanya, menambal
sandal,
menjahit pakaian serta menggiling gandum ketika pembantunya sakit.
Bahkan Rasulullah juga pergi berbelanja ke pasar dan membawa belanjaannya
sendiri.
Sungguh agung dan mulia pribadi Rasulullah. Salam dan salawat bagi Nabi SAW.
[lm-17]









(2) Bekerja Adalah Ibadah

Setiap usaha, pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga; serta
dilakukan dengan jalan yang benar juga dapat memberi manfaat yang lain;
maka usaha-pekerjaan itu dapat dikategorikan sebagai amal saleh apabila
dilakukan dengan niat yang tulus.
Adalah kemuliaan bagi orang-orang yang mau bekerja dan berusaha bukan
bagi orang yang hidup mewah dengan tidak mau bekerja.

Islam bahkan juga menghormati pekerjaan yang oleh banyak orang dianggap
sebagai pekerjaan yang 'tidak bergengsi'. Pekerjaan menggembala misalnya.

Qur'an bahkan menceritakan kepada kita kisah Nabi Musa as ketika bekerja
sebagai orang upahan. Nabi Musa as bekerja pada orang tua selama delapan
tahun dengan upah akan dinikahkan kepada salah seorang puterinya.
Demikian Nabi Musa as dinilai sebagai pekerja yang baik. [QS Al Qashash; 28:26]

Oleh karenanya setiap muslim hendaknya siap bekerja tidak bergantung kepada
kemurahan hati orang lain. Bahwa tidak ada seorang nabi pun melainkan dia
bekerja.
Rasulullah SAW bersabda: - Tidak ada seorang pun yang memakan sesuatu yang
lebih baik daripada memakan hasil kerjanya sendiri; dan Nabi Daud makan dari
hasil
usahanya sendiri- [ Diriwayatkan oleh Bukhari] -[lm-24]





KETIKA HATI TERUSIK

Ada seorang teman dalam kehidupan yang mapan, pekerjaan, rumah, kendaraan
pribadi ada namun dalam kesendirian hatinya menjadi terusik, ketika orang tua
bertanya 'kapan hendak menikah?' Dalam kehidupan masyarakat di desa ataupun
dikota kehidupan berkeluarga mendapatkan tempat yang istimewa. Seseorang yang
dianggap sudah dewasa dan akan dianggap menjadi insan seutuhnya jika sudah
'mentas' . Mentas artinya 'sudah berkeluarga.' mendapatkan pasangan hidup,
menikah dan punya anak.

Orang tua yang mempunyai anak belum menikah meski sudah berpenghasilan sendiri
merasa belum hidup bahagia dan belum rela mati meninggalkan anak-anaknya yang
belum berkeluarga. Keluarga merasa malu jika ada anggota keluarga yang tidak
menikah. Begitu juga jika dalam perkawinan anak-anaknya terjadi perceraian
atau perpisahan mereka merasa malu dengan tetangga ataupun sanak famili.

Anggapan masyarakat pada umumnya bahwa setiap orang harus menjadi bagian dari
satu pasangan agar menjadi bahagia. Apabila ada salah seorang anak dalam
keluarga menikah dengan seseorang yang terpandang, kaya raya, terpelajar,
keturunan darah biru, dengan berbagai kelebihannya maka harga diri dan harkat
martabat keluarga menjadi terangkat namun sebaliknya jika anak dalam keluarga
menikah dengan orang yang dianggap rendah maka keluarga itu merasa dipermalukan
dan jatuh. Dengan segala upaya orang tua ataupun pihak keluarga akan
menghalangi atau menolak karena perkawinan itu dianggap tidak seimbang atau
sekelas.

Demikian pula banyak yang merasa belum menjadi insan seutuhnya tanpa adanya
partner ataupun pasangan hidup. Bahkan mereka menjadi insan yang gagal apabila
tidak mendapatkan jodoh atau perkawinan tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Pandangan ini tentu saja tidaklah sepenuhnya benar. Dalam masyarakat modern
dimana kesibukan begitu menyita waktu kita, bahkan seorang perempuan yang
bekerja dan berpenghasilan sendiri tanpa seorang partner merupakan pemandangan
yang biasa. Namun disisi lain pandangan umum masyarakat kita dari dulu hingga
sekarang, masih memandang dan mengharapkan perkawinan atau hidup berpasangan
sebagai kehidupan yang paling sempurna dan kegagalan ataupun kesendirian
dianggap 'aib' yang harus dijauhi.

Bila kita mengalami hal itu, masih dalam kesendirian atau mengalami kegagalan
dalam perkawinan tidak usah terlalu risau dan juga bukanlah aib yang harus
dijauhi. Yang paling penting dekatkanlah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
dan penyerahan hati secara total maka membuat hati anda menjadi lebih tenang,
Allah tidak akan membiarkan anda berjalan sendirian dalam kesepian.

'Apa yang disisimu akan lenyap dan apa yang disisi Allah adalah kekal. Dan
sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.' (QS. an Nahl : 96).









SEBELUM ALLAH SWT MENGAMBILNYA



Pagi ini terlampaui sudah batas maksimal keterlambatan hadir yang

telah ditetapkan kantorku tempat bekerja, berarti bulan depan aku harus
mau

menerima surat cinta yang diberikan oleh unit kerjaku. Ya, tentu karena
unit

kerjaku masih mencintaiku karena masih mau mengingatkanku agar
selanjutnya

aku bisa lebih disiplin lagi,



Namun bukan tanpa alasan keterlambatanku kali ini, pagi tadi, bulak

kapal bekasi, sebagai jalur yang harus kulalui, macet total. Lima belas

menit sudah angkot yang aku tumpangi tidak juga jalan, hatiku sangat
gelisah

karena keterlambatanku bulan ini sudah melampaui toleransi yang
diberikan.



Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki menyebrangi rel kereta

api yang memang selalu crowded. Mungkin ada kecelakaan pikirku, ternyata

dugaanku benar, Sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut sayur tertabrak

kereta dan terseret hingga lebih dari 100 meter. Mobil itu hancur
bagaikan

bengkokan bengkokan besi.



Disamping rel tampak sebuah mobil polisi yang telah diparkir di

Tempat Kejadian Perkara.

Sementara dua orang polisi berdiri di depan korban yang kepalanya

sudah ditutupi koran. Polisi itu mengharapkan pertolongan masyarakat
yang

melihatnya, namun tak seorangpun yang mau membantunya. Hampir semua
orang

hanya menonton, melihat sejenak kemudian langsung pergi meninggalkannya

mayat yang telah berlumuran darah..



Aku mencoba untuk mengajak seorang pemuda ganteng yang berbadan

tegab untuk membantu polisi, namun dia menolak dengan alasan tidak tega.

Kuajak lagi seorang anak muda yang bersragam kantoran, namun diapun
menjawab

saya udah kesiangan takut terlambat, ketika aku mengajak seseorang yang

cukup umur, merekapun hanya menggelengkan kepala dan melambaikan
tangannya

tanda menolak, ketika kuaja seorang bapak yang berumur 50 tahunan,
diapun

menjawab yang lain aja.



Akhirnya akupun mengajak polisi yang sejak tadi sudah berdiri di

depan janazah, Kita angkat bertiga aja yuk pak, polisipun
menyetujuinya.

Ternyata polisi itupun tidak berani mengangkat kepalanya, begitu pula
aku,

khawatir kalau-kalau isi kepala itu berantakan. Koran Republika yang
setia

menemanikupun kugunakan untuk menutup dan membungkus kepala yang penuh

darah. Akhirnya sambil menggigit jaket yang terbungkus amplop coklat
besar,

kedua tanganku mengangkat kepala dan bahu korban. Dengan iringan doa,
kami

letakkan jenazah itu ke dalam mobil kijang.



Di dalam bis aku sempat merenung> ...> ...> ...> Inikah Jakarta ?

Begitu padat penghuninya, namun disaat pertolongan diperlukan, kota

ini begitu sunyi, sepi seperti tak berpenghuni.



Allah SWT telah menciptakan kita dengan sempurna, lengkap dengan ;

Sebuah hati, namun sayang sering kali kita tidak mau membukanya,

Kedua tangan, namun sayang sering kali tidak kita gunakan untuk

menolong mahlukNYA>

Kedua kaki, namun sering kali tidak kita gunakan untuk melangkah ke

jalanNYA,



Mungkinkah ada sebutir makanan haram yang telah menutupi hatinya ?

Hingga memberatkan langkahnya ? memberatkan tangannya untuk membantu

sesama ?



Terbayangkah oleh kita,

Bagaimana jika Allah swt tidak lagi percaya kepada kita ? menutup

hati kita dan mengambil mata, telinga, tangan dan kaki kita ?

Haruskah kita merasakan nikmat yang Allah berikan setelah hilang

dari diri kita ?



Seandainya saja aku masih punya mata, tentu aku akan selalu membaca

Kitab suci Al qur'an

Seandainya saja aku masih mempunyai dua buah tangan, tentu aku akan

menolong sesama mahlukNYA

Seandainya saja telingaku masih bisa mendengar, tentu aku akan

selalu mendengarkan ceramah,

Seandainya saja aku masih punya kedua belah kaki tentu aku akan

selalu pergi ke Mushola,

Seandainya saja aku masih berkuasa, tentu aku akan mensejahterakan

rakyatku

Seandainya saja aku masih punya harta, tentu akan aku sedekahkan



Seperti sebuah pepatah yang pernah diucapkan oleh Imam Gozali ?



Kenikmatan itu baru terasa perlunya bila dia telah hilang dari diri

kita.



Semoga kita semua, dapat menggunakan apapun yang kita miliki untuk

menolong sesamanya, tanpa harus diminta, sebelum Allah swt yang

menitipkanNYA mengambil kembali milikNYA dari kita. Dan kemudian meminta

pertanggung jawabannya, amin.



Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu

bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (Adz Dzaariyaat QS.51;55)



Wallahu a'lam bish shawwab, selamat bertugas, semoga bermanfaat

mohon maaf apabila tidak berkenan. Tulisan ini tidak bermaksud
menggurui,

namun sekedar mengingatkan dan berbagi informasi, Insyaallah kebaikan
yang

kita tanam akan menjadi ladang amal yang akan diikuti oleh saudara kita
yang

lain, amin.







MENGAPAI DERAJAT MENTAL MALAIKAT

Ibadah puasa merupakan sarana latihan untuk pengembangan diri. Ulama
besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya Fiqh al-Shiyam,
memandang puasa Ramadhan sebagai lembaga pendidikan par-excellent
(madrasah mutamayyizah) yang dibuka oleh Allah SWT setiap tahun. Siapa
yang mendaftar dan mengikuti “perkuliahan” dengan baik sesuai petunjuk
Islam, ia akan lulus ujian dengan predikat “sukses besar”. Karena, tak
ada keuntungan yang lebih besar ketimbang meraih ampunan Tuhan dan
bebas dari siksa neraka.

Di antara hikmah paling penting ibadah puasa, bagi al-Qaradhawi,
adalah pencucian atau peningkatan kualitas diri (tazkiyyat al-nafs).
Puasa diharapkan dapat meninggikan kualitas jiwa dan mentalitas
manusia sehingga ia menjadi manusia yang benar-benar tunduk dan
menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Inilah potret manusia
bertakwa yang ingin dicapai melalui ibadah puasa.

Dalam pemikiran Islam, jiwa atau mental (al-nafs) memiliki empat
tingkatan mulai dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Pertama,
mental tumbuh-tumbuhan (nafs al-nabat). Wilayah kerja (domain) mental
tumbuh-tumbuhan adalah makan dan minum. Manusia dengan mental ini
tentu tidak dapat menjalankan ibadah puasa.

Kedua, jiwa binatang (nafs al-hayawan). Domain jiwa binatang adalah
gerak, harakah (motion), memangsa, dan seksualitas. Jiwa binatang
tidak mengenal rambu-rambu hukum. Yang kuat memangsa dan menerkam yang
lemah. Inilah yang dinamakan hukum rimba. Manusia dengan mental ini
juga tak dapat melaksanakan ibadah puasa.

Ketiga, jiwa manusia (nafs al-insan). Domain jiwa manusia adalah
berpikir dan berprestasi. Jiwa ini jauh lebih tinggi dari dua jiwa
terdahulu. Tapi, bukan tanpa kelemahan. Dalam berpikir dan mencapai
prestasi, jiwa manusia sering diliputi penyakit sombong (kibr),
serakah (al-thama`), serta dengki (al-hasad), dan iri hati (al-hiqd wa
al-hasad).

Keempat, jiwa atau mental malaikat (nafs al-malakut). Domain mental
ini adalah kebenaran dan kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT tanpa
reserve. “Penjaganya ialah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS Al-Tahrim
[66]: 6).

Mental malakut, seperti dipaparkan di atas, merupakan mental yang
paling tinggi. Ibadah puasa sesungguhnya dimaksudkan agar manusia
memiliki semangat dan jiwa malakut ini. Ini tidak bermakna bahwa
manusia harus bertransformasi (merubah bentuknya) menjadi malaikat.
Tidak. Tapi, transformasi dalam arti peningkatan kualitas diri dengan
semangat kebenaran (tahaqquq) dan pengabdian (ta`abbud) yang tinggi
kepada Allah SWT. Wallahu a`lam.







RENUNGAN

Sejak kecil, selain menganjurkan membaca surat alkahfi di setiap malam
jum'at, para orang tua juga menganjurkan agar anak anaknya membaca
surat alwaqi'ah setiap malam. Konon, barangsiapa membaca surat
alwaqi'ah setiap hari, ia tidak akan tertimpa kemelaratan selama
lamanya.

Kali ini, saya ingin menyampaikan benang merah yang tampak di mata
saya, mengenai hubungan surat alwaqi'ah dengan pengentasan
kemelaratan.

Surat ini dibuka dengan kisah hari kiamat dan diikuti dengan
kategorisasi manusia: Golongan Pelopor (Assaabiquunal awwaluun),
Golongan Kanan (Ash-haabul yamiin), dan Golongan Kiri
(Ash-haabus-syimaal). Masing masing golongan diceriterakan balasan
yang berbeda beda yang akan mereka dapatkan di hari akhir kelak sesuai
dengan amal mereka di dunia.

Setelah bercerita mengenai tiga golongan manusia tsb, Allah berturut
turut menyebut nyebut tentang penciptaan manusia (57-62), tanaman
pangan (63-67), sumber daya air (68-70) dan sumber daya energi/api
(kayu bakar, hidrokarbon) (71-73) .

Rupa rupanya inilah kunci pembebasan manusia dari kemelaratan. Barang
siapa mampu memahami dan menguasai sumber daya manusia, dan sumber
daya alam (tanaman pangan, air, dan energi), niscaya ia tidak akan
ditimpa kemelaratan sepanjang hidupnya di dunia. Bukan hanya di dunia
saja, jika pembangunan sumber daya manusia berorientasi memperbanyak
manusia dengan karakter Assaabiquunal awwalaun dan Ash-haabul yamin
seperti yang terinci di ayat sebelumnya, maka manusia akan senantiasa
terlepas dari kemelaratan selama lamanya hingga kelak di akhirat sana:
hidup bergelimang kemewahan dan kenikmatan di surga yang dijanjikan
Allah ta'ala.

Nah, mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya alam masih banyak
orang yang melarat?

Barangkali karena pembangunan sumber daya manusianya lebih banyak
menghasilkan orang orang dengan karakter golongan kiri dari pada orang
orang dengan karakter golongan kanan atau golongan Pelopor. Golongan
kiri ini senantiasa merasa lapar, dan terus berusaha mengumpulkan
kekayaan untuk dirinya di dunia ini. Mereka tidak percaya akan adanya
kehidupan sesudah kematian. Bagi mereka, hanya ada satu alam
kehidupan, yaitu kehidupan di dunia ini, sekarang ini. Tidak ada lagi
kehidupan sesudah kehidupan dunia ini, dan fokus mereka adalah
bernimat nikmat di dalam kehidupan saat ini.

Jika orang orang dengan karakter golongan kiri ini dibiarkan tumbuh
dan berkembang di sebuah negeri, menguasai negeri tersebut, maka
sebanyak apapun SDA yang dimiliki negeri itu tidak akan mampu membuat
kaum negeri itu terbebas dari kemelaratan. Sepandai apapun mereka
mampu mengolah SDA, manfaatnya tidak akan bisa dirasakan oleh orang
banyak, dan bahkan tidak pula bisa dirasakan oleh mereka yang
menguasainya sebab kemelaratan, perasaan tidak puas dan selalu
menginginkan yang lebih telah melekat di hati mereka.

Wawasan mereka sempit dan kurang memperhatikan sustainabilitas,
sehingga kurang bijak dalam pengelolaan sumber daya alam (tanaman
pangan, air dan energi).

Perhatikan karakter Golongan Kiri yang disebut di ayat 45 - 48 berikut ini:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُتْرَفِينَ ﴿٤٥﴾ وَكَانُوا يُصِرُّونَ
عَلَى الْحِنثِ الْعَظِيمِ ﴿٤٦﴾ وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا
وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ ﴿٤٧﴾
أَوَآبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ ﴿٤٨﴾

Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) hidup bermewah-mewah.(45)
Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa yang besar.(46) Dan mereka
selalu mengatakan: "Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan
tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan
dibangkitkan kembali?(47) Apakah (demikian pula) bapak-bapak kami yang
terdahulu (dibangkitkan pula)?"(48).

Adapun karakter golongan kanan antara lain adalah "mereka yang
menempuh jalan yang sukar dan mendaki" sewaktu hidup di dunia, seperti
yang tertulis di surat albalad ayat 12-18 berikut ini:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ ﴿١٢﴾ فَكُّ رَقَبَةٍ ﴿١٣﴾ أَوْ
إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ ﴿١٤﴾ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ ﴿١٥﴾
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ ﴿١٦﴾ ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ ﴿١٧﴾ أُولَـٰئِكَ
أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ ﴿١٨﴾
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (12) (yaitu)
melepaskan budak dari perbudakan, (13) atau memberi makan pada hari
kelaparan, (14) (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, (15)
atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (16) Dan dia (tidak pula)
termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar
dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (17) Mereka itulah para
golongan kanan. (18)

Kemauan mereka menempuh jalan sukar dan mendaki tersebut berakar dari
keyakinan mereka yang kuat akan adanya pembalasan di akhirat kelak
seperti tertulis di surat alhaaqqah berikut ini:

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ
اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ ﴿١٩﴾ إِنِّي ظَنَنتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ
﴿٢٠﴾

Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah
kanannya, maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)". (19)
Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab
terhadap diriku. (20)

Nah, orang orang yang visioner, yang berwawasan jauh ke depan inilah
yang seharusnya diperbanyak di suatu negeri, diserahi amanah mengelola
sumber daya alam, agar terjamin sustainabilitas, keberlanjutan
kesejahteraan negeri itu hingga beratus ratus atau beribu ribu tahun
ke depan.

Lihat saja negara negara makmur di dunia hari ini. Kebanyakan di
antara mereka adalah negara di mana rakyatnya cerdas bukan hanya dalam
penguasaan sumber daya alam, tetapi lebih utama dari itu adalah karena
mereka cerdas dan bijak dalam mengelola, memanfaatkan dan mengkonsumsi
sumber daya alam. Mereka tidak hanya memikirkan diri mereka saja,
tetapi juga memikirkan keberlanjutan kesejahteraan anak cucu mereka.

Akan tetapi sebanyak apapun manusia berkarakter golongan kanan ini di
sebuah negeri, tidak akan mampu berbuat apa apa jika tidak ada
segelintir diantara mereka yang bersedia menjadi pelopor terhadap
perubahan. Golongan pelopor "assaabiquunal awwaluun" inilah yang
seharusnya dicetak; bukan hanya kita tunggu kehadirannya seperti jatuh
dari langit, tetapi hendaknya kita usahakan kelahiran dan
kemunculannya, dengan doa dan usaha sekuat kuatnya.

Itulah benang merah surat alwaqi'ah dengan pengentasan kemelaratan.
Kunci kesejahteraan di dunia adalah penguasaan, pemahaman mereka yang
mendalam thd sumber daya alam (tanaman pangan, air dan energi), serta
kebijkasanaan mereka dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
tersebut. Dan semua itu hanya bisa dicapai apabila pembangunan sumber
daya manusianya berorientasi menghasilkan manusia berkarakter
ash-haabul yamin, dan bukan manusia berkarakter ash-haabus-syimaal.
Dan untuk itu diperlukan segelintir manusia pelopor berkarakter
assaabiquunal awwaluun yang harus diupayakan kehadirannya, bukan
ditunggu bak meteor jatuh dari langit.

Wallahu a'lam bis-shawab.

Saya mohon ampun kepada Allah atas kemungkinan kesalahan dalam tulisan
dan jalan fikiran saya, amiin.








SUARA HATI SEORANG BAYI

Jika seorang bayi dapat berbicara, di setiap tangisannya, mungkin ia akan
mengatakan pada ayah bunda tercinta..

Wahai ayah bunda tercinta..

Aku telah hadir di tengah-tengahmu..

Aku telah menjadi bukti cinta kasihmu..

Aku telah turun ke dunia demi memenuhi tugas dari Tuhanku..



Wahai ayah bunda tercinta..

Letakkanlah aku di atas perut dan dadamu begitu ku lahir..

Biarkanlah aku merangkak di atas perut dan dadamu..

Sesungguhnya aku ingin menyelamatkan ibuku dari perdarahan..

Sesungguhnya aku ingin membuat air susu dari Tuhanku keluar semakin banyak..



Wahai ayah bunda tercinta..

Biarkanlah aku tidur bersamamu segera setelah ku lahir didalam hari-harimu..

Biarkanlah aku menikmati suaramu, nafasmu, dan aroma tubuhmu..

Sesungguhnya bersama denganmu setiap hari pada awal kehidupanku memberikan
kenyamanan dan ketenangan bagiku..



Wahai ayah bunda tercinta..

Peluklah aku..

Biarkanlah aku merasakan kehangatan tubuhmu dan kasihmu..

Sesungguhnya aku kedinginan di dunia yang baru ini..



Wahai ayah bunda tercinta..

Dekaplah aku dengan penuh kasih..

Biarkanlah aku mendengar suara detak jantungmu..

Biarkanlah aku tetap berada dalam rengkuhanmu..

Sesungguhnya aku sangat ketakutan karena banyaknya suara-suarayang tidak aku
kenal..



Wahai ayah bunda tercinta..

Berikanlah hanya air susu ibu bagiku..

Biarkanlah aku menikmati setiap tegukan air susu ibuku..

Sesungguhnya Tuhanku mengatakan bahwa hanya air susu ibukulah yang akan
membuatku sehat, cerdas, dan tangguh..



Wahai ayah bundaku..

Bersabarlah akan diriku, tangisanku, dan segala perilakuku..

Bertawakallah pada Tuhanku..

Istiqomahlah akan apa yang engkau lakukan..

Sesungguhnya, Tuhanku amatlah dekat dan mintalah pertolonganNya..



Wahai ayah bundaku tercinta..

Terima kasih untuk kasih sayangmu..

Terima kasih untuk kesabaranmu..

Terima kasih untuk pelukanmu..

Terima kasih untuk bisikan kasih sayangmu..

Terima kasih untuk dekapan cintamu..

Terima kasih untuk doá - doá yang tiap waktu engkau panjatkan..

Terima kasih untuk keyakinanmu pada Tuhanmu..



Wahai Ayah bundaku tercinta..

Tiadalah cukup ucapan terima kasihku padamu..

Sungguh surga di telapak kakimu, sesuai dengan janji Tuhanku..



Wahai Ibuku Kekasih Hatiku..

Wahai Ayah Pelindungku..

Semoga Allah subhana wa taála melimpahkan segala rahmah dan rahimNya pada kedua
orangtuaku..



“Rabbi (i)ghfirlii wa li-waalidayya” (Ya Robb-ku, ampunilah aku dan/juga untuk
kedua orang tuaku).

“wa (ar)hamhu maa kamaa robbayanii soghiraa” (dan kasihilah mereka semua,
sebagaimana mereka telah mengasihi aku ketika kecil)"

QS. Al Baqarah (2) : 233, Allah subhana wa taála berfirman;

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ
أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِير

Artinya :

"Dan ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf..."

"Enjoy The Most Precious and Romantic Moments By Giving ASI to Your Baby"



Salam ASI,




Tidak ada komentar:

Posting Komentar