Powered By Blogger

Sabtu, 11 Desember 2010

renungan

http://i.ytimg.com/vi/Dk9RvVuj7wc/0.jpg




MUKODIMAH ILMU HADIST

AHLAN WA SAHLAN
Ulumul Hadis Hadis (Ar. : 'ulum al-hadls)
Secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis Kata 'uliim adalah bentuk jamak dari kata 'ilm (ilmu)
Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk 'ulum al-1:hadis, seperti IbnuSalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya 'Ulum al-hadis, dan ada juga yang menggunakan bentuk 'ilm al-hadis, seperti Jalaluddin as-*Suyuti dalam mukadimah kitab hadisnya T adrio ar -Rawiy. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW yang banyak macam dan cabangnya. Hakim an-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014M), misalnya,dalam kitabnya Ma'rifah 'Ulum al-hadis mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa juimlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.
*Hasbi ash-Shiddieqy, tokoh hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi SAW. Pemyataannya ini selain bertolak dari makna lugawi- (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut- paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya.
Kajian llmu Hadis. Secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( 'ilm al-QadIs riwayah) dan ilmu hadis dirayah ( 'ilm al-QadIs dirayah).
Ilmu Hadis Riwayah. Ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi:
1) cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;
2) cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak mem-bicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu "
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M-102 H /720 M).
Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu mereka pahami denQan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau *tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepadatabiin lain atau tabi' at- tabi'In (generasi sesudah tabiin).
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh az-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-*Bukhari, Imam *Muslim, Imam *Abu Dawud, Imam at-*Tirmizi, dan ulama- ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga musta1ahuh al-hadis (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
Ilmu Hadis Djrayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstem. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut.
( 1) Ittisal as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya ( wahm) atau samar .
(2) Siqah as-sanad, yakni sifat 'adl (adil), dabit (cermat dan kuat), dan siqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
(3) S.yaii, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang siqah tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwavatkan oleh periwayat-periwayat siqah lainnva.
(4) 'Illah, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syazz dan 'illah adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.

Kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW. Pokok pembahasannyameliputi:
(1)rakakah al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi
(2) fasad aJ-ma 'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan dengan al-hiss (indera) dan akal, bertentangan dengan nas Al-Qur' an, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan
(3) kata-kata garib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul(diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam perkembangannya, hadis Nabi SAW telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SAW, sahih, daif, dan palsu.
Secara praktis, ilmu hadis dirayah juga sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode Rasuullah SAW, paling tidak dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit.
Pada periode Rasulullah SAW, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal baka1 ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, maka ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengkonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar as-Siddiq (573-634; khalifah pertama dari al-Khulafa' ar- Rasyidun [Empat Khalifah Besar]), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Demikian pula yang dilakukan oleh Umar bin al-Khattab (581-644; khalifah kedua dari al-Khulafa ' ar-Rasyidun) . Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Talib (603-661; khalifah terakhir dari al-Khulafa' ar-RasyjdQn) menetapkan persyaratan tersendiri. la tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar as-Siddiq.
Semua yang dilakukan mereka bertujuan untuk memelihara kemumian hadis-hadis Rasulullah SAW. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w. 95 H), Abdullah bin Abbas (*Ibnu Abbas), dan Ubadah bin as-Samit.
Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H), al-Hasan al-Basri (21-110 H), Amir bin Syurahbil asy-Sya'bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110H).
Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. * Aisyah binti Abu Bakar RA, misalnya, pemah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan matan berbunyi: " Innal-mayyita yu 'azzabu bi buka 'i ahlihi 'alaihi" (sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya) .Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah bersalah dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya.
Melihat hal tersebut Rasulullah SAW bersabda: " Innahum yabkQna 'alaiha wa innaha latu 'aiiabu fi qabriha " (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah Al-Qur'an bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah karena maknanya bertentangan dengan AI-Qur'an." la mengutip surah al-An'am (6) ayat 164yang artinya: "...dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ..."
Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Mas'ud (*Ibnu Mas'ud), dan Abdullah bin Abbas. Pada periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang mereka hadapi. Demikian pula di kalangan ulama- ulama hadis selanjutnya.
Pada penghujung abad ke-2 H barulah penelitian/ kritik hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoretis di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Imam asy-*Syafi'i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya ar-Risalah (kitab usul fikih) dan al- Umm (kitab fikih). Hanya saja teori ilmu hadisnya tersebut tidak terhimpun dalam satu kitab khusus melainkan tersebar dalam pembahasan-pembahasannya dalam dua kitab tersebut.
Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa 'iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma'rifah 'U1um al-Hadis (Makrifat Ilmu Hadis).
Meskipun demikian, kitab ini masih memiliki kekurangan. Kemudian Abu Nu'aim al-lsfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddis (ahli hadis) dari Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, al-Mustakhraj 'Ala al-hakim. Setelah itu muncul Abu Bakr Ahmad al-Khatib al-Bagdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni al-Kifayah fI 'Ilm ar-Riwayah dan al-Jami' li Adab ar-Rawi wa as- Sami'. Selain itu, al-Bagdadi juga menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut al-Hafiz Abu Bakar bin Nuqtah, ulama hadis kontemporer dari Mesir, ulama yang menulis ilmu hadis setelah al-Bagdadi pada dasamya berutang budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya.
Kitab-kitab ulumul hadis yang terkenal pada periode berikutnya antara lain 'U1Qm al-lfadIs karya AbuAmar Usman bjn Salah atau Ibnu Salah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M). Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis svarah (ulasan)-nya. Misalnya, *Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-lfsah bi Takmi1 an- Nakt 'ala Ibn Sallah, Imam an-*Nawawi dalam kitabnya al-Irsyad dan at- Taqrib, dan Ibnu Kasir (700 H/1300 M-774 H/1373 M) dalam kitabnya lkhtisar 'Ulum al-hadis.
Kitab lainnya yang cukup terkenal di antaranya ialah Tadrib ar-Rawi oleh Jalaluddin as-*Suyuti, taudih al-Afkar oleh Muhammad bin Isma'il al-Kahlani as-San'ani (1099 H/1688 M-1182 H/1772 M) dan Qawa 'id at- Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa'id bin Qasim al-Qasimi (1283-1332 H).
Di samping kitab ulumul hadis yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Ilmu hadis dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
1) 'Ilm rijal al-hadis, yakni ilmu yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun tabi' at- tabi'fn, dan generasi sesudahnya. Bagian dari 'ilm rijal al-hadis ini adalah 'ilm tarikh rijal al-hadis Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya.
Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti'ab fi Ma'rifah al- Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), al-Isab fi Tamyiz as-Sahab dan Tahzib at- Tahzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, serta Tahzib al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusufbin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H).

2) 'Ilm al-jarh wa at-ta'dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Muhammad Ajaj al-Khatib, ahli hadis kontemporer dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu.
Untuk sifat-sifat terpuji digunakan istilah ausaq an-nas (orang yang paling dipercaya, baik kepribadian maupun hafalannya), la yus'al 'anh (tidak perlu dipertanyakan lagi), siqah-siqah (tepercaya kuat), sabat (kokoh), la ba'sa bih (tidak masalah) dan laisa bi ba'id min as- sawwab (tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifat-sifat tercela digunakan istilah akzab an-nas (manusia paling pendusta), muttaham kazib (suka berdusta), muttaham bl al-kai[b (dituduh berdusta).
la yuktab hadisuh (tidak perlu ditulis hadisnya), la yuhtajj bih (tidak dapat dijadikan hujah), dan fIhi maqal (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya dapat diterima dengan peringkat kehujahan sesuai dengan peringkat sifat terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek yang dimilikinya.
Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain al-Jarh wa at- Ta dill karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan al-Jar~ wa at-Ta'di1 karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa 'id bin Qasim al-Qasimi.

3) 'Ilm 'ilal al-hadis, yakni ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak sahih. Misalnya, hadis yang tampak muttasil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi SAW atau sahabat) setelah diteliti lebih jauh temyata munqati' (hadis yang salah seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada periwayat yang di tengah atau di akhir) .Untuk dapat mempelajari cacat tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu 'ilm 'ilal al-hadis secara mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit.
Kitab-kitab terkenal di cabang ini di antaranya '1lal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi, al- 'I1al oleh Imam at-*Tirmizi, dan al- 'I1al al-Mutananiyah fI al-Ahadis al-Wahiyah oleh Ibnu al-Jauzi (510-97 H). 4) 'I1m garib al-hadis, yakni ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. 'I1m garib al-hadis ini mempunyai arti penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal (makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Mussana at- Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang garib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fa' iq fiGarib al-hadis karya Abu Kasim Mahmud bin Umar az-*Zamakhsyari dan an-Nihayah ff Gario al-ljadls karya Majduddin Abu as-Sa 'adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Asir (544-606H). 5) 'IIm asbab al-wurud al-hadis, yakni ilmu yang membahas sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah SAW memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah SAW bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya.
Hadis-hadis yang mempunyai * asbab al- wurud ini harus dipahami sesuai dengan keter- ikatannya dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya.
Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458 H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta 'rif fi Asbab Wurud al-hadis asy-Syarlf karya Syarib lbrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi ad-Dimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah ( 1054 -1112 H).
6) 'IIm mukhtalif al-hadis, yakni ilmu yang mem- bahas hadis-hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah SAW benar-benar bertentangan satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju.
Ulama perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi 'i dengan karyanya Mukhtalif al-hadis. Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta'wi1 Mukhtalif al-Hadis dan Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad at- Tahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykil al-ljadls.
7) 'IIm nasikh wa mansukh al-hadis, yakni ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang ber - tentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaidah an-nasikh, yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan ha- dis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujah dan diamalkan,sedangkan hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain NasiKh al-hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-NasiKh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).
8) 'I1m takhrij al-Qadis, yakni ilmu yang membahas kualitas hadis. Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut.
Yang dimaksud dengan kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-sittah (kitab hadis yang enam, yaitu sahih al-Bukhari -sahih -mus lim, Sunan Abi Dawud, sunan at- Tarmizi Sunan an- Nasa'i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwatta' oleh Imam *Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi 'I1m takhrij al-Hadis bertujuan mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya.
Kitab-kitab penting di bidang ini di antaranya Turuq Takhrij hadis Rasulillah karya Abu Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Usul at- Takhrij wa at- Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud at- Tahhan





PENGERTIAN SANAD DAN MATAN HADIS

Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu:

(Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis). Contoh :

Artinya:
"Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. " (Al-Hadis)

Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:

(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:...)

Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu:

(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .

Artinya:
" Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis)

Adapun yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:

B. KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADIS

Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis .

Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.

Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.

Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.

Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:

Artinya:
"Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka," Abdullah lbnu Mubarak berkata:

Artinya:
"Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga."

Asy-Syafii berkata.

Artinya:
"Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. "

Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula imam- imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad 'aali

Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.

Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan umat Islam.







PENULISAN HADIS

Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.

Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.

Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.

Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)

Dan mereka berkata kepadanya, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".

Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.

B. PENGHAPALAN HADIS

Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.

Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:

1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.

C. PENGHIMPUNAN HADIS

Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.

Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:

Artinya:
"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. "

Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.

Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.

Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.

Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ' oleh imam Malik, AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi'l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain

Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak sedikit pada "masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.

D. TIMBULNYA PEMALSUAN HADIS DAN UPAYA PENYELAMATANNYA

Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.

Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.

Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:

1. Orang yang kurang akal.
2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.

Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.

Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut







KEUTAMAAN BACAAN TAHLIL
SEPULUH KALI
SEUSAI SUBUH DAN ASHAR

Oleh : Syaikh Nashiruddin Al-Albani

١١٣ - مَنْ قَالَ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْغَدَاتِ عَشْرَ مَرَّاتٍ كَتَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمُحِا عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ وَكُنَّ لَهُ بِعَدْلِ عِتْقِ رَقَبَتَيْنِ مِنْ وَلَدِ اِسْمَاعِيْلَ فَإِنْ قَالَهَا حِيْنَ يَمْسِي كَانَ لَهُ مِثْلَ ذٰلِكَ وَكُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ الشَّيْطَانِ حَتىّٰ يُصْبِحَ
[/size] .

“Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah, Esa Dia Tiada sekutu bagi-Nya bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji-pujian dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu) setelah shalat subuh sepuluh kali, maka Allah Azza wa Jalla menulis untukmu sepuluh kebaikan, menghapuskan sepuluh keburukan darinya mengangkat sepuluh derajat. Dan kalimat-kalimat itu baginya sebandning memerdekakan dua orang hamba sayaha dari anak Ismail. Jika dia mengucapkannya ketika sore, maka untuknya pula (balasan) seperti itu, dan kalimat-kalimat itu baginya menjadi penghalang dari syethan hingga pagi.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Arafah dalam Juz-nya (5/1): “Telah bercerita kepadaku Qiran bin Taman Al-Asasi, dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abi Hurairah secara marfu’.

Juga dari jalur Ibnu Arafah, dimana Al-Khathib meriwayatkannya dalam Tarikh-nya (12/389-472).

Saya berpendapat: Hadits ini shahih sanadnya, para perawinya tsiqah dan merupakan perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Muslim, kecuali Qiran, akan tetapi ia pun tsiqah.

Hadits ini juga mempunyai syahid (hadits pendukung) dari hadits Abi Ayub Al-Anshari dengan lafazh “مَنْ قَالَ إِِذَا أَصْبحَ... “

“Barangsiapa membaca manakala telah shalat subuh”, kemudian dia menyebutkan haditsnya secara sempurna.”

Hanya saja ia berkata ( أَربَعُ رِقَابٍ ) yang berarti “empat hamba sahaya” dan berkata, “Dan manakal dia membaca kalimat seperti itu setelah magrib”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5/415), dari jalur Muhammad bin Ishak dari Yazid bin Yazid Ibnu Jabir, dari Al-Qasim bin Mukhairmirah dari Abdullah bin Ya’isy dari Abi Hurairah.

Saya berpendapat: Para perawinya adalah tsiqah, keculi Ibnu Ya’isy. Tidak ada yang menganggapnya tisqah kecuali Ibnu Hibban, disamping itu juga tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Al-Qasim tersebut. Al-Hasani menilainya majhul (tidak dikenal).

Akan tetapi Al-Mundziri dalam At-Targhib (1/167) menyandarkan hadits itu kepada Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hal ini menunjukkan bahwa hadits itu, menurut An-Nasa’i tidak melalui jalan Ibnu Ya’isy, karena ia perawi (yang dipakai) oleh An-Nasa’i.

Dan Sungguh Abu Rahm As-Sam’i menguatkannya dengan hadits dari Abu Ayub dengan lafazh:


١١٤
- مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ عَشْرَ مَرَّاتٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلَّ وَاحِدَةٍ قَالَهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَحَطَّ اللهُ عَنْهُ عَشْرَ سَيَّئَاتٍ وَرَفَعَهُ اللهُ بِهَا عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَكُنَّ لَهُ كَعَشْرِ ِرقَابٍ وَكُنَّ لَهُ مَسْلَحَةً مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ إِلَى آخِرِهِ وَلَمْ يَعْمَلْ يَوْمَئِذٍ عَمَلاً يَقْهَرُهُنَّ فَإِنَّ قَالَ حِيْنَ يَمْسِي فَمِثْلُ ذٰلِكَ . ( صحيح ) _
[/size]

“Barang siapa membaca ketika pagi Laa ilaha illa Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumiytu wahuwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah Dia Esa tidak ada sekgutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji-pujian. Dia menghidupkan dan mematikan dan dan berkuasa atas segala sesuatu), sepuluh kali, maka Allah mencatat untuknya, setiap satu kali ia membacanya, sepuluh kebaikan, Allah menghapuskan darinya sepuluh keburukan, Allah mengangkatnya dengan bacaan itu sepuluh derajat. Kalimat itu baginya seperti (memerdekakan) sepuluh hamba sahaya dan ia merupakan senjata baginya dari dini hari sampai akhir menjelang sore. Lalu jika dia membaca ketika sore, maka seperti itu juga keadannya.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/420): “Telah bercerita kepadaku Abu Al-Yaman: “Telah bercerita kepadaku Ismail bin Iyasy dari Shafwan bin Amr, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abi Rahm.

Saya berpendapat: Sanad ini shahih. Semua perwainya tsiqah. Sedangkan Ibnu Iyasy hanya lemah riwayatnya bila datang dari selain orang-orang Syam (Siria). Adapun jika dari orang-orang Syam maka shahih, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bukhari dan lainnya, sedang hadits ini juga termasuk dari orang-orang Syam tersebut. Adapun Shafwan adalah termasuk dari mereka yang tsiqah.

Dalam riwayat ini ada faedah yang bagus. Yakni berupa tambahan ( يُحْيِى وَيُمِيْتُ ) “Dia menghidupkan dan mematikan”. Kalimat ini tidak terdapat dalam hadits lain. Dan saya telah meriwayatkannya dari hadits Abi Dzar. Dan Imarah bin Syahib, yang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi. Sedangkan sanad keduanya adalah lemah, seperti yang telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqur Raghib Alat-Targhib Wat-Tarhib. Dalam hadits pertama dari keduanya terdapat:

Yang artinya: “Barangsiapa membaca pada seusai shalat fajar, diamana dia melipat kedua kakinya, sebelum ia menuturkan laa ilaaha ialla Allah (tidak ada Tuhan selain Allah)”, maka qayyid ini ( وهو ثان ) “Dimana dia melipat” tidak sah dalam hadits ini. Karena hanya Syahr bin Hausyab sendiri yang menggunakan qayyid ini. Dan sesungguhnya dalam sanad hadits ini serta matannya mengalami kegoyahan (perubahan) yang sangat, seperti yang telah saya jelaskan pada permulaan.


***Disalin kembali dari Silsilah Hadits Ash-Shahihah







PENGUKUHAN SHALAT WITIR
oleh: Syaikh Nashiruddin Al-Albani


١٠٨ – اِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً ، وَهِيَ الْوِتْرً ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ اِلٰى صَلاَةِ الْفَجْرِ .
“Sesungguhnya Allah menambahkan shalat padamu yaitu witir, maka kerjakan ia diantara shalat isya’ hingga fajar.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6/7) dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (1/100/1) dari dua jalur. Yaitu dari Ibnul Mubarak: “Saya, Sa’id bin Yazid, kepada saya Ibnu Hubairah bercerita dari Abin Tamim Al-Jaisyani, bahwa Amr bin Ash berkhutbah di hadapan jamaah pada hari Jum’ah, dia menuturkan: “Sesungguhnya Abu Bashrah bercerita kepadaku, bahwa Nabi sallallahu alaihi wasallam: (kemudian ia menyebutkan hadits itu). Abu Tamim mengatakan: “Abu Dzar menggamit tanganku lalu naik di masjid menuju Abu Bashrah dan bertanya kepadanya, “Apakah kamu mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyabdakan apa yang dikatakan Amr?” Abu Bashrah menjawab, “Aku memang mendengarnya dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam”

Saya berkata: “Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya adalah tsiqah dan juga dipakai oleh Imam Muslim.”

Adapun Sa’id bin Yazid adalah Sujak Al-Iskandari.

Abdullah bin Lubai’ah memperkuat hadits tersebut dengan versinya yang lain, yaitu: “Saya, Abdullah bin Hubarian Bih (bukan Sa’id bin Yazid).

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad (juz 6/379), Ath-Thahawi dalam Syarah Al-Mu’ani (1/250), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1/04/2) dan Ad-Daulabi dalam Al-Kunni (1/13) dari tiga jalur yang berasal dari Lubai’ah Bih.

Menurut Ath-Thahawi, sanad hadits itu adalah shahih, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa-ul Ghalil (nomor 416).

Hadits itu juga mempunyai jalur lain dari Nabi sallallahu alaihi wasallam dimana sebagian dikeluarkan di sana. Adapun jalur ini adalah yang terkuat. Oleh karena itu saya hanya mencukupkannya di sini. Syaikh Al-Kuttani dan temannya Ustadz Az-Zuhaili dalam takhrij-nya Tuhfatul Fuqaha (1/1/355) menyebutkan sejumlah besar jalur-jalur itu yang berasal dari sepuluh sahabat. Di antaranya ada satu jalur dari Amr bin Al-Ash tetapi lemah, sehingga mereka kehilangan jalur yang shahih dari Amr bin Al-Ash.

Hukum-hukum yang Terkandung dalam Hadits

Melihat dari segi lahirnya perintah dalam sabda Nabi sallallahu alaihi wasallam: “Kerjakanlah shalat itu, adalah menunjukkan kewajiban shalat witir. Demikian pendapat Al-Hanafiah, berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Kalau saja tidak ada dalil yang membatasi bahwa shalat fardhu dalam sehari semalam adalah lima kali1) tentu pendapat Hanafiyah ini lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu jelas disini bahwa perintah itu bukan menunjukkan “wajib”. Tetapi hanya untuk mengukuhkan sunnah. Banyak perintah untuk sesuatu yang mulia, dengan kepastian dalil-dalil qath’i, sehingga dengan melihat itu diletakkan di bawah perintah wajib. Bahkan para ulama Hanafi juga telah menjelaskan pendapat mereka, bahwa sesungguhnya mereka tidak mengatakan wajib sebagaimana kewajiban shalat lima waktu, tetapi posisinya di tengah-tengah antara shalat fardhu lima waktu dengan sunnah-sunnah lainnya. Jadi di bawah kewajiban shalat fardhu dan di atas shalat-shalat sunnat lainnya.

Perlu diketahui bahwa pendapat ulama Hanafi didasarkan pada istilah yang mereka sebut hadits khusus yang tidak dikenal oleh para sahabat maupun salafush-shaleh, yakni mereka membedakan antara fardhu dan wajib, baik dalam segi ketetapan maupun balasan, seperti yang telah diterangkan secara terperinci dalam kitab-kitab mereka.

Pendapat mereka ini seolah bermakna bahwa orang yang meninggalkan witir, pada hari Kiamat juga akan disiksa di bawah siksaan orang yang meninggalkan shalat fardhu. Jika demikian, maka ditanyakan kepada mereka: “Bagaimana bisa begitu, padahal Nabi mengatakan terhadap orang yang berniat tidak akan mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu sebagai orang yang beruntung? Dan bagaimana bisa dikompromikan antara keberuntungan dengan siksa? Maka tidak diragukan lagi bahwa sabda Nabi itu sendiri telah cukup untuk menjelaskan bahwa shalat witir itu memang tidak wajib. Oleh karena itu Jumhurul Ulama sepakat bahwa witir itu sunnah, tidak wajib. Dan inilah yang benar. Hanya saja semua itu sebagai peringatan agar supaya memperhatikan shalat witir dan tidak meremehkannya karena adanya hadits ini dan lainnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar