Powered By Blogger

Jumat, 10 Desember 2010

renungan

BAGAIMANA MEMAHAMI HADIS

(Studi Hadis Antara Tekstual dan Kontekstual)

  1. I. Pendahuluan

Sejauh perbincangan mengenai hal ihwal hadis atau sunnah, pertanyaan seputar “bagaimana memahami Hadis atau Sunnah” merupakan bagian yang paling rumit. Lantaran dari pertanyaan ini akan diturunkan jawaban-jawaban yang mencoba meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad s.a.w., baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam statusnya sebagai Utusan Allah. Oleh karenanya Imitatio Muhammadi merupakan standar etika dan tingkah laku, yang darinya setiap individu muslim menjadikan rule of live dalam bersikap dan menyikapi kehidupan mereka.

Adapun kesanggupan umat muslim meng-imitasi Muhammad adalah perwujudan konsensus agung. Karena mau tidak mau, bagi kaum muslimin sudah terlanjur menyepakati perjanjian dengan Allah SWT. Untuk mengimani dan taat kepada-Nya juga pada rasul-Nya, melalui sebuah pernyataan “Athî`ûllâha warrasûl…” (QS. Âli `Imrân, 3: 32), atau “Athî`ûllâha wa athî`ûrrasûl…” (QS. An-Nisâ’, 4: 59)[1].

Dalam upaya meneropong segala polah-tingkah Nabi Muhammad s.a.w., barangkali bagi generasi Islam awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka hidup sezaman dengan Beliau. Sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa segera merujuk kepada Rasulullah.[2] Ditambah tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana, sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana disbanding dengan zaman modern saat ini.

Hal yang relatif sama, terjadi pada generasi Tabi’in. Dimana mereka hidup tak jauh dari zaman Nabi, lagi pula masih banyak warisan sejarah yang hidup maupun warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah diciptakan oleh Nabi s.a.w. dan sahabatnya.

Tentu, hal demikian di atas tak segampang generasi muslim muta`akhirin yang hidup pada abad modern,[3] dimana gemerlap dunia melahirkan ‘seabrek’ pertanyaan yang pelik dan rumit. Tidak hanya untuk dicari jawabannya tetapi juga mengidentifikasinya. Karena kompleksitasnya, banyak hal yang tak tersentuh oleh wilayah agama yang dalam hal ini adalah Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayân ta`kîd (keterangan penguat), bayan tafsîr (keterangan penjelas) atau bayân murâd (keterangan yang dimaksud) al-Quran.

Kondisi ini benar-benar menantang kaum muslimin. Sehingga sederetan pakar yang tergabung dalam kelompok modernisme dan kontemporer berusaha memetakan. lebih tepatnya menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah tersebut melalui pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazimnya disebut aliran kontekstualisme sebagai perimbangan dan melengkapi nalar tekstualisme.

Kontekstualis diambil dari kata konteks yang berarti “suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”.[4] Dalam bahasa Arab digunakan istilah ‘alâqah, qarînah, syiyâq al-kalâm, dan qarâin al-ahwâl.[5] Sehingga kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika hadis itu ditampilkan”.[6]

Adapun pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.[7]

Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh yang terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah padangan Syahrur, salah satu icon kontekstualis di abad ini.[8]

  1. II. Latar Belakang Tekstualisasi dan Kontekstualisasi

Hadis atau Sunnah dengan sifatnya yang zanniy al-wurûd, seringkali mendapat sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen “operasi bedah” terhadap kesucian agama yang pada ujung-ujungnya pengingkaran atas outentisitas hadis atau Sunnah tersebut. Taruhlah misalnya Ignas Goldziher dan Yoseph Schacht, yang ‘getol’ menyoroti hadis atau sunnah dan menganggapnya negatif. Mengutip bahasa Suryadi[9], bahwa menurut mereka sunnah pada dasarnya merupakan kesinambungan dari adat istiadat pra-Islam ditambah dengan aktivitas pemikiran bebas para pakar hukum Islam awal. Sedangkan Hadis, hanyalah produk kreasi kaum muslimin belakangan, mengingat kondifikasi Hadis baru dilakukan beberapa abad sepeninggal Rasulullah s.a.w..[10]

Selain itu, umat Islam sendiri merasa tidak PD (percaya diri) dengan hadis atau sunnah. Alih-alih mereka berdalil pada alasan yang tak jauh beda. Mereka berpendapat bahwa al-Quran telah cukup meng-cover segala permasalahan umat, lagi pula secara eksistensi hadis maupun sunnah masih diragukan otentisitasnya. Di antara gembong yang mewakili mereka adalah Taufiq Sidqi, Ahmad Amin dan Ismail Adnan.[11]

Secara faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan menonjol antara hadis dan al-Quran. Dari segi redaksi dan penyampaiannya, diyakini bahwa al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril sekadar penyambung lidah agar sampai pada Muhammad. Kemudian Muhammad langsung menyampaikan kepada umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Sehingga sepanjang zaman tidak mengalami perubahan. Bahkan Allah sendiri telah menjamin akan keotentikannya. Atas dasar inilah, wahyu Allah digolongkankan sebagai Qath’iy ats-Tsubût.[12]

Sedangkan hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat dan catatan beberapa sahabat serta tabi’in. namun demikian profil sahabat dan tabi’in yang dapat dibuktikan kredibelitasnya dalam soal kejujuran, keteguhan, ketulusan dan upaya selektif untuk merawat serta meneruskan pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi sosio masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya patutlah hadis atau sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua. Dan bahkan menurut penulis, bahwa tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang kongkret dan hidup sebagai penerjemahan al-Quran.

Adapun masalah yang mengemuka dari sisi internal diri Muhammad sebagai figur Rasul akhiru az-zaman adalah bahwa secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku sepanjang zaman, sementara hadis itu sendiri turun dalam kisaran tempat dan sosio-kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w.. Disamping itu tidak semua hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang menjadikan status hadis apakah bersifat ‘am atau khash. Sehingga hadis dipahami secara tekstual maupun kontekstual.[13]

Tak kalah menariknya yang berkaitan dengan posisi Rasulullah s.a.w. dan fungsinya. Apakah dia sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima perang, suami, atau manusia biasa. Keberadaan Rasululullah s.a.w. ini — peran apa yang sedang beliau mainkan — menjadi acuan untuk memahami hadis secara tepat dan proporsional. Melaui pendekatan tekstualkah atau kontekstualkah agar hadis tetap shâlihun likulli zamânin wa makânin.[14]

Secara lebih kongkret, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstualusasi hadis atau sunnah sebagai berikut:[15]

  1. jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi hadis atau Sunnah yang lebih luas.
  2. banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab — dalam hal ini yang bertanggung jawab — untuk melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit bi Mina dan sa’i. selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.
  3. Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau Sunnah mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.
  4. kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada daulah islamiyah, maka konskuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap Negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas. Akibatnya konsepsi hadis atau Sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularime ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau Sunnah, misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.[16]
  5. dan faktor utama terbukanya kran kontekstualisasi hadis atau Sunnah diabad ini adalah serbuan “Modernisme” dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap Negara. Tak pelak berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Taruhlah – misalnya — kelahiran HAM, Demokrasi dan paradigma modern tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim melakukan kontekstualisasi hadis atau Sunnah.

Maka tepatlah jika Fazlur Rahman mengilustrasikan bahwa “ketika kekuatan-kekuatan masal baru di bidang sosio ekonomi, kultur, moral dan politik menyergap suatu masyarakat, maka nasib masyarakat tersebut secara alamiah akan bergantung pada sejauhmana ia bisa menemukan tantangan baru yang kreatif. Jika masyarakat tersebut dapat menghindari dua kutub ekstrem yang menggelikan, yaitu: mundur pada diri sendiri serta mencari perlindungan delusif pada masa lalu di satu sisi, dan menceburkan diri serta mengikuti idealnya untuk bereaksi terhadap kekuatan-kekuatan baru tersebut melalui asimilasi, penyerapan, penolakan dan kreativitas positif yang lain, maka ia akan mengembangkan sebuah dimensi baru bagi aspirasi-dalamnya, suatu makna dan muatan baru bagi idealnya”.[17]

  1. III. Dasar-Dasar Tekstualisasi dan Kontekstualisasi

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M. Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah[18]:

Pertama, masyarakat yang dihadapi Nabi s.a.w.. bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal. Misalnya pranata zihar أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّى (bagiku engkau bak punggung ibuku) yang ungkapan tersebut hanya berlaku bagi kontek budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya beda.

Kedua, dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula dilarang karena kekawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.

Ketiga, peran shabat sebagai pewaris Nabi — yang paling dekat sekaligus memahami dan menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya — telah mencontohkan kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar bin al-Khattab pernah menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi jatuh tiga talak.

Keempat, implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’etre kehadiran Islam itu sendiri.

Kelima, pemahan tekstualis secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justeru diintroduksi oleh nash itu sendiri.

Keenam, pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.

Ketujuh, penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual dibandingkan secara tekstual. Sebagaimana trade mark Islam الإسلام دين العقل والفكر (Islam itu agama rasional dan intelektual).

Kedelapan, Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang maslahat), yang terumuskan dalam kaidah العادة محكمة (tradisi itu dipandang legal).

Kesembilan, keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.

  1. IV. Batas-Batas Tekstualisasi dan Kontekstualisasi

Secara umum M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: Pertama, dalam bidang ibadah mahdhoh (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah. Kedua, bidang di luar ibadah murni. Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya.[19]

Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:[20]

  1. ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
  2. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
  3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
  4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terleak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada tataran praktisnya.

Adapun batasan-batasan kontekstual (historis) mencakup:[21]

  1. menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secara tekstual. Dalam hal ini tidak menuntut seseorang untuk mengikuti secara saklek (apa adanya). Sehingga bila ingin mengikuti Nabi tidak harus berbicara dengan bahasa Arab, memberi nama yang Arabisme, berpakaian Gamis ala Timur Tengah dan sebagainya. Karena semua ini produk budaya yang tentu secara zhahir antara setiap wilayah berbeda.
  2. Aturan yang menyangkut manusia sebagai mahluk individu dan biologis. Jika rasulullah makan hanya menggunakan tiga jari maka kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena kontek yang dimakan rasulullah adalah kurma atau roti. Sedangkan bila kita makan nasi dan sayur asem harus dengan tiga jari betapa malah tidak efektifnya. Ide dasar yang dapat kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini adalah bagaimana makan yang halal baik, tidak berlebihan dan dengan akhlak yang baik pula.
  3. Aturan yang menyangkut manusia sebagai mahluk sosial. Bagaimana manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar dan binatang adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana isyarat hadis antum a’lamu bi umûri dunyâkum. Ide dasar yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada Sang Pencipta.
  4. Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya yang sedemikian komplek. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak dapat dijadikan sebagai parameter sosial.
  1. V. Langkah-langkah Kontekstualisasi

Bertolak dari dasar-dasar dan batasan-batasan kontekstualisasi tersebut di atas maka langkah-langkah pemahaman kontekstualisasi dapat dilakukan sebagai berikut:[22]

Pertama, memahami teks-teks Hadis atau Sunnah untuk menemukan dan mengidentifikasi legal spesifik dan moral ideal dengan cara melihat konteks lingkungan awalnya yaitu; Makkah, Madinah dan sekitarnya.[23]

Kedua, memahami lingkungan baru dimana teks-teks akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya.

Ketiga, jika ternyata perbedaan-perbedaannya lebih esensial dari persamaan-persamaannya maka dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, maka nas-nas tersebut diaplikasikan dengan tanpa adanya penyesuaian.

  1. VI. Penutup

Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di dalamnya.

Upaya memahaminya dengan pendekatan tekstualis unsih tidaklah cukup agar senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu memahami hadis atau Sunnah dengan mengacu pada latar belangkang, situasi dan kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis atau Sunnah itu ditampilkan.

Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pemahaman. Perubahan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua hal. Pertama, perubahan dalam arti hadis tersebut ditawaqqufkan (diabaikan), karena ia hanya bersifat tipikal dan temporal. Kedua, perubahan dalam arti memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir teksnya.





ASY-SYIRKAH

(KEMITRAUSAHAAN)

Konsep Dasar

Asy-Syirkah (kemitrausahaan), adalah sesuatu yang lazim dilakukan oleh para pelaku bisnis, sebab mereka menyadari bahwa dalam semua bentuk perniagaan mengharuskan adanya kerjasama dengan pembagian peran yang adil. Esensinya semua pola kemitraan itu didasarkan pada keinginan untuk mencari keuntungan bersama, yang oleh karenanya selalu diwujudkan dengan akad (kontrak) yang disepakati dengan pertimbangan mashlahah dan mengantisipasi terjadinya zhulm (kezaliman).

Pendahuluan

Dalam modul kelima yang berjudul: asy-Syirkah (kemitrausahaan), para mahasiswa diajak untuk memahami permasalahan asy-Syirkah melalui pemahaman atas hadis-hadis Rasulullah saw.

Modul ini membahas tentang pengertian dasar: asy-Syirkah, baik dalam pengertian etimologis maupun terminologis.

Setelah anda mempelajari modul ini, secara garis besar anda dapat:

  1. mengemukakan pengertian dasar asy-Syirkah menjelaskan hukum-hukum berkaitan dengan masalah asy-Syirkah, berdasarkan hadis-hadis Nabi s.a.w.
  2. menjelaskan implikasi atas pemahaman hadis-hadis asy-Syirkah, dengan pendekatan hukum.

Teks Hadis

(Hadis Riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, Subûl al-Salâm, Hadis Nomor: 902)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا

Terjemah

Dari Abu Hurairah r.a.katanya: Rasulullah pernah bersabda Allah telah berfirman: “Aku menemani dua orang yang bermitrausaha selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati yang lain. Bila salah seorang berkhianat, maka Aku akan keluar dari kemitrausahaan mereka”.

Pengertian Lafal

أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ

: Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang bermitrausaha. Maksudnya: “Aku (Allah) akan selalu menyertai keduanya dengan memberikan pertolongan, bimbingan dan berkah terhadap perniagaan keduanya”

مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَه

: Selama salah seorang dari kedua pihak yang bermitrausaha itu tidak mengkhianati mitrausahanya, dengan berbagai bentuk pengkhianatan yang berpotensi merugikan atau berakibat pada kerugian mitra usahanya

فَإِذَا خَانَهُ

: Jika salah seorang dari keduanya berkhianat, dengan – misalnya — berbuat curang atau melakukan manipulasi yang berpotensi atau berakibat pada kerugian mitrausahanya

خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا

: Aku (Allah) pasti akan keluar (maksudnya membiarkan dengan tidak memberikan pertolongan, bimbingan dan berkah) kepada kemitrausahaan keduanya

Maksud Hadis

Apabila dua pihak melakukan akad (kontrak) kemitrausahaan dengan berbagai macam bentuknya, maka Allah akan memberikan dukungan penuh kepada kedua pihak tersebut selama keduanya memegang amanah masing-masing dan tidak mengkhianati janjinya. Bila salah seorang dari keduanya tidak memiliki komitmen lagi terhadap (isi) perjanian yang telah disepakati dalam akad (kontraknya), maka Allah akan berlepas diri dari kemitrausahaan keduanya, dengan mencabut kepedulian-Nya untuk mendukung usaha mereka. Sehingga usaha mereka selamanya tidak akan mendapatkan pertolongan, bimbingan dan barakah-Nya.

Penjelasan dan Istinbath Hukum

Pengertian

Secara bahasa syirkah atau musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam istilah fikih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk bermitrausaha modal dan bersekutu dalam keuntungan.

Jenis-jenis Syirkah/Musyarakah

Pada prinsipnya syirkah itu ada dua macam yaitu Syirkah Amlâk (kepemilikan) dan Syirkah ‘Uqûd (terjadi karena kontrak).

Syirkah Amlâk (kepemilikan) ini ada dua macam yaitu ikhtiyâri dan jabbâri. Ikhtiyâri terjadi karena karena kehendak dua orang atau lebih untuk bermitrausaha sedangkan jabbâri terjadi karena kedua orang atau lebih tidak dapat mengelak untuk bermitrausaha, misalnya dalam pewarisan.

Sedangkan Syirkah ‘Uqûd adalah kemitrausahaan yang terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih untuk bermitrausaha modal, kerja atau keahlian dan jika kemitrausahaannya itu menghasilkan untung, maka hal itu akan dibagi bersama menurut saham dan kesepakatan masing-masing. Syirkah ‘Uqûd ini memiliki banyak variasi yaitu Syirkah ‘Inân, Mufâwadhah, Abdân, Wujûh dan Mudhârabah.

Bagaimana mendirikan Syirkah ‘Uqûd

Rukun Syirkah

Menurut madzhab Hanafi hanya ada dua rukun dalam syirkah yaitu Ijâb dan Qabûl.

1. Syirkah ‘Inan

‘Inan artinya sama dalam menyetorkan atau menawarkan modal. Syirkah ‘Inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih bermitrausaha dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para faqih. Demikan juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktikkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk kemitrausahaan ini lebih mudah dan praktis karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari mitra dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntungan pun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari mitra memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masing-masing mitra.

2. Syirkah Mufawadhah

Mufawadhah artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhah karena modal yang disetor para mitra dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhah merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing mitra saling menaggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu mitra memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para mitra lainnya. Yang perlu diperhatian dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing mitra.

3. Syirkah Wujuh

Syirkah ini dibentuk tanpa modal dari para mitra. Mereka hanya bermodalkan nama baik yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit (tangguh) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.

4. Syirkah Abdan (A’mal)

Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shanâ’i atau taqâbul.

Syarat-syarat Umum Syirkah

1. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu mitra mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.

2. Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing mitra harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 %, misalnya.

3. Keuntungan harus disebar kepada semua mitra.

Syarat-syarat Khusus

  1. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupa utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para mitra itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal.
  2. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.

Persoalan Syirkah ‘Inan

  1. Persyaratan kerja fisik. Dalam Syirkah ‘Inan dibolehkan masing-masing mitra untuk menyepakati persyaratan bahwa masing-masing harus ikut kerja atau salah satu saja yang bekerja.
  2. Pembagian keuntungan. Keuntungan yang diraih bisa dibagi sama rata atau ada yang lebih tinggi. Sedangkan kerugian yang terjadi harus dibagi menurut kadar saham yang disetor oleh masing-masing mitra.
  3. Hilangnya modal syirkah. Jika modal syirkah ini hancur sebagian atau seluruhnya sebelum pembelian dan sebelum dicampur, maka syirkah ini menjadi batal.
  4. Menjalankan modal syirkah. Masing-masing mitra berhak untuk menjalankan modal perusahaan karena keduanya telah sepakat untuk bermitrausaha sehingga menimbulkan pengertian sudah ada izin dari masing-masing untuk menjalankan perusahaannya. Ini juga disebabkan karena syirkah pada hakikatnya mengandung pengertian perwakilan sehingga masing-masing pihak bisa saling mewakilkan dan/atau mewakili.

Pada dasarnya asy-Syirkah (kemitrausahaan) adalah perbuatan yang “mubâh”, selaras dengan kaedah yang disepakati oleh para ulama mengenai masalah mu’amalah. Tetapi, karena adanya anjuran dari Rasulullah s.a.w. dan juga artipentingnya dalam dunia bisnis dalam rangka memberikan kemanfaatan yang lebih besar bagi para pelaku bisnis dan masyarakat, maka para ulama memandang bahwa asy-Syirkah (kemitrausahaan) ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang benilai “sunnah”. Dan bahkan, dalam situasi dan kondisi tertentu, di mana asy-Syirkah (kemitrausahaan) ini menjadi sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang “wajib” atau menghilangkan sesuatu yang “haram” dalam dunia perniagaan, pada saat tertentu asy-Syirkah (kemitrausahaan) ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang benilai “wajib”.

Sementara itu, ketika terjadi pengkhianatan oleh salah satu dari pelaku asy-Syirkah (kemitrausahaan) yang berpotensi atau bahkan berakibat adanya zhulm (kezaliman), yang antara lain “terjadinya” kerugian pada salah satu pihak yang bermitra, maka hukum mubâhnya bisa berubah menjadi “makruh” atau bahkan “haram”.

Cara berpikir yang bertama yang mengandaikan hukum mubahnya asy-Syirkah (kemitrausahaan) berdasarkan teks hadis tersebut di atas disebut dengan “ijtihâd bayâni”, sedang cara berpikir yang kedua (yang pada akhirnya mengubah pandangan mengenai status mubahnya asy-Syirkah menjadi berstatus hukum berbeda) seperti inilah yang sering dikatakan oleh para ulama fikih dengan sebutan “ijtihâd ta’lîli”, yaitu berpikir dengan dengan mendasarkan pada ‘illah





HARGA SEBUAH KEJUJURAN

Mas Asro Kamal Rokan menulis di Koran Republika, pada Rubrik Resonansi, dengan judul “Kembalilah pada Suara Hati” (Republika, Rabu, 18 November 2009). Tidak ada yang luar biasa pada tulisannya kecuali satu hal: “mengingatkan kepada semua pembacanya (dan juga dirinya) untuk bersikap jujur pada diri sendiri.

Di antara isi tulisannya, seraya mengutip QS asy-Syams, 91: 9-10, ia katakan: “Langit Indonesia berjelaga. Jelaga yang berselaput dalam jiwa itu akan tersingkir ketika hujan turun. Hujan adalah hati kita yang bersih dalam melihat persoalan. Maka, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Tidak hanya mas Asro Kamal Rohan yang prihatin melihat akrobat para para pemimpin kita. Semua orang yang masih punya nurani akan geram menonton pertunjukan ‘kebohongan’ yang dikemas dengan kata-kata indah “retorika burung onta” itu. “Naif”, kata salah seorang teman saya yang kebetulan saja bersama menonton acara dialog antara teman-teman KOMPAK dengan Komisi III DPR RI. Di mana nurani mereka? Kata teman saya, ketika mengomentari retorika para wakil rakyat kita.

Memang di ketika sejumlah kepentingan menjadi “terlalu dipentingkan”, seperti ketika para wakil rakyat membeli kepentingan diri dan kelompoknya, nurani tiba-tiba bisa “mati’. Hati menjadi beku, seolah tak berdaya untuk menggapai nur Ilahi yang – antara lain – kemampuan untuk berkata “jujur”.

Lain halnya dengan mBah Minah, seorang perempuan renta yang tak berdaya melawan tirani hukum di bawah pengaduan penguasa “perkebunan kakao”, PT Rumpun Sari Antan IV, yang memiliki lahan sangat luas, tidak kurang dari 200 ha, yang mungkin saja dia kuasai lahan itu dengan cara ‘tertentu’, seperit biasanya dilakukan oleh orang-orang berduit: “mezalimi siapa pun yang bisa dizalimi. Semua bisa terjadi karena – utamanya — saya melihat mBah Minah ini adalah simbul manusia tidak berdaya, ketika menghadapi praktik peradilan yang lebih mendewakan “kepastian hukum”, dengan merujuk pasal-pasal KUHP, tanpa harus menengok nilai-nilai yang jauh melampaui teks-teks yang ada dari pasal perundang-undangan itu, yakni: “kemashlahatan utama yang dituju oleh semua ketentuan hukum, berupa “keadilan” untuk siapa pun. Semestinya, atas nama keadilan sang Hakim bisa saja membuat keputusan yang tak persis sama dengan bunyi teks perundang-undangan. Sebuah keputusan “bijak” untuk mBah Minah yang memang harus dibelaskasihani, tanpa harus mengakhianati amanat peraturan perundang-undangan.

Saya membayangkan, bagaimana nurani pak polisi ketika harus menangkap mBah Minah, orang tua renta yang tidak berdaya itu hanyalah sebuah simbol bahwa mereka telah memenuhi kewajibannya. Mereka telah menjalankan tugas dan fungsinya untuk melayani masyarakat. Masyarakat yang bisa memohon kepada pak Polisi untuk bertugas membawa oarng yanng diduga bersalah: “mBah Minah”, yang tak mungkin berani melawan dan membela diri.

MBah Minah merupakan simbul manusia yang tidak akan berdaya untuk melawan siapa pa pun, apalagi harus berhadapan dengan para pengusaha yang punya segalanya untuk memohon kesediaan siapa pun untuk berbuat bagi kepentingan diri mereka. MBah Minah yang tak berdaya, pada akhirnya harus berhadapan dengan para sarjana hukum di lembaga peradilan yang kadang-kadang juga tak (akan) berdaya ketika berhadapan kekuatan-kekuatan yang sulit disentuh oleh lembaga peradilan mana pun.

Ketidakberdayaan orang-orang miskin, seperti mBah Minah, dan juga rakyat yang lemah di negeri ini di ketika menghadapi kekuasaan-kekuasaan adidaya, telah ditunjukkan oleh mBah Minah, yang jujur pada diri sendiri dan orang-orang yang membuatnya tak berdaya. Dia tergolek dalam hukuman penjara 1,5 bulan, dengan masa percobaan 3 bulan, dengan tangisnya yang mewakili kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin, lemah tak berdaya dan terzalimi oleh sistem dan budaya “teks” yang mengalir menjadi keputusan hukum, minus wawasan “etis”.

Melihat kasus mBah Minah, saya berkesimpulan bahwa Mas Asro Kamal Rohan “benar”, bahwa kejujuran adalah sifat yang terpuji yang kini semakin langka kita dapati. Termasuk – di dalamnya — jujur kepada Tuhan, di samping kejujuran terhadap sesama dan diri sendiri. Karena jujur itu terkadang pahit. Seperti isyarat Nabi s.a.w. dalam salah satu sabdanya: qul al-haqqa wa lau kâna murran (katakanlah semua yang benar, meskipun terasa pahit).

Kejujuran itu ada pada ucapan dan tindakan. Seorang yang beribadah dengan sikap riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan. Seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang beriman, padahal tidak ada iman di dalam dirinya. Kejujuran adalah sifat seorang mukmin yang selalu bersedia menampakkan sesuatu yang harus ditampakkan, meskipun harus menghadapai sejumlah risiko. Sedangkan kebohongan adalah sifat orang yang munafik yang selalu menyembunyikan sesuatu agar terkesan benar. Dan fenomena kedua inilah yang lebih banyak kita saksikan di negeri kita tercinta. Terlalu banyak jumlahnya orang yang berada dalam jamaah “pembohong”, dan terlalu sedikit jumlahnya orang yang berani menjadi bagian dari jamaah “orang yang jujur”.

Merujuk pada ajaran Nabi kita (Muhammad s.a.w.), beliau selalu menganjurkan umatnya untuk bersikap “jujur” dalam segala hal, karena – dalam pandangannya — kejujuran merupakan modal bagi siapa pun untu membina diri menjadi manusia yang berakhlak mulia. Sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya kejujuran akan membawa kepada kebajikan.”

Ketika memilah kejujuran, para ulama menyatakan bahwa ragam kejujuran bisa kita pilah menjadi 5 (lima) macam: Pertama, “jujur dalam niat”, yang pada akhirnya memunculkan sikap ikhlas. Kedua, “jujur dalam ucapan”. Katakan yang benar adalah benarm dan yang salah adalah salah. Ketiga, “jujur dalam tekad”, yang berimplikasi pada adanya komitmen terhadap apa pun yang diyakini benar dan baik. Keempat, “jujur dalam perbuatan”. Apa yang dikerjakan secara lahiriah adalah apa yang ada dalam sikap batinnya, yang dengannya seseorang akan memiliki integritas tinggiKelima, “Jujur dalam keberagamaan. Artinya apa yang dilaksanakannya dalam dalam kegiatan ritualnya adalah apa yang menjadi pengetahuan dan keyakinannya, hingga seseorang benar-benar memiliki penghayatan yang tinggi atas seluruh amalannya di dalam beragama. Antara lain ditunjukkan dengan kesadarannya untuk beramal saleh dengan landasan imannya yang kokoh, yang pada akhirnya akan membentuk ketakwaan pada dirinya.

Implementasi dari gagasan “kejujuran” ini tidak serta merta akan dapat terwujud pada setiap pribadi. Dibutuhkan kerja keras, cerdas dan ikhlas. Karena, tidak mungkin seseorang menggapai sikap jujur ini dalam pengertian hakiki, kecuali setelah berproses dalam pergumulannya dengan realitas kehidupan. Nilai kejujuran akan selalu menang dalam setiap tantangan kehidupan di ketika seseorang sudah terlatih untuk “jujur” dalam setiap ragam kejujuran dalam satu kepaduan (niat, ucapan, tekad, perbuatan dan keberagamaan). Setiap ragam kejujuran memiliki proses dan hasil akhir sendiri-sendiri. Ada kalanya cepat, dan adakalanya lambat dalam berproses. Dan hasilnya pun kadang-kadang lemah dan kadangkala kuat untuk setiap pribadi, di mana pun dan kapan pun dia berada. Pada saat seseorang memiliki kekuatan untuk berproses dengan seluruh tantangan yang dihadapinya, maka dia pun akan menuai hasil yang kuat. Dia akan menjadi orang yang “jujur” dan menikmati kejujurannya. Tetapi faktanya tidak selalu ideal. Terkadang pada kondisi tertentu seseorang bisa berproses cepat untuk menjadi “jujur”, tetapi dalam kondisi yang lain justeru sebaliknya. Seeorang akan mengalami kesulitan yang berarti untuk bersikaop “jujur”, karena kendala internal dan eksternalnya yang sebegitu kuat menghambatnya.

MBah Minah hanyalah sebuah contoh kasus. Di ruang dan waktu yang berbeda masih terus diharapkan akan muncul mBah Minah-mBah Minah lain yang akan bisa mempermalukan para pemimpin kita yang — untuk sementara waktu – masih menyembunyikan nuraninya. Tak mampu bersikap jujur, karena takut terhadap risiko yang akan diterimanya.

MBah Minah mengajarkan hikmah kepada kita bahwa hakikat kejujuran dalam hal ini adalah suratan takdir yang telah terhubung dengan Sang Khaliq (Allah). Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah akan melihat dengan cermat setiap orang yang berbuat kebajikan dan – sebaliknya — juga melihat (dengan cermat) mereka yang telah berbuat zalim.

Belajar dari kasus mBah Minah, saya berkesimpulan bahwa kejujuran memang sangat mahal. Tetapi, semahal apa pun kejujuran itu, kita harus memperjualbelikannya dalam realitas kehidupan ini sampai batas tetes darah terakhir. Dan kata kuncinya adalah: “kembalilah pada suara hati kita”, kita pun akan berani menanggung risiko apa pun atas kejujuran yang telah kita pilih



AN-NAJASY

Dalam dunia bisnis komoditas tertentu, ada sebuah cara yang bisa dilakukan oleh pemilik barang untuk memperoleh keuntungan dengan menggunakan seseoranga atau sekelompok orang untuk berpura-pura menawar barang dagangannya dengan harga tinggi dengan maksud untuk memancing keinginan para calon pembeli barang tersebut untuk menawarnya dengan harga tinggi (atau bahkan lebih tinggi daripada nilai tawar barang tersebut), yang dalam istilah fikih dikenal dengan sebutan “najasy” (jual-beli najasy). Jual-beli dengan pola ini jelas dilarang oleh Islam, karena akan berakibat merugikan para pembeli. Inilah praktik jual-beli yang berujung pada “riba”.

Pendahuluan

Dalam modul yang berjudul: Bai’ al-Najasy, para mahasiswa diajak untuk memahami permasalahan Bai’ al-Najasy melalui pemahaman atas hadis-hadis Rasulullah saw.

Modul ini membahas tentang pengertian dasar Bai’ al-Najasy, baik dalam pengertian etimologis maupun terminologis.

Setelah anda mempelajari modul ini, secara garis besar para mahasiswa dapat:

  1. mengemukakan pengertian dasar Bai’ al-Najasy menjelaskan hukum-hukum berkaitan dengan masalah Bai’ al-Najasy, berdasarkan hadis-hadis Nabi s.a.w.
  2. menjelaskan implikasi atas pemahaman hadis-hadis Bai’ al-Najasy, dengan pendekatan hukum.

Teks Hadis

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ. وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ

Terjemah:

Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara najasy. (HR al-Bukhari)

Pengertian Lafal

النَّجْشُ

: An-Najasy – dalam pengertian etimologis – bermakna: al-Itsârah, yaitu menggerakkan. Yang diambil dari kata: najasytu ash-shaida idzâ atsartuhu (aku menghalau hewan buruan apabila aku menggerakkan/mengejutkannya). Sedang dalam pengertian terminologis adalah: (ketika) seseorang menambah harga pada suatu barang, namun ia tidak membutuhkan barang tersebut dan tidak ingin membelinya; ia hanya ingin harganya bertambah, dan akan menguntungkan pemilik barang.

Maksud Hadis

Rasulullah s.a.w. — pada prinsipnya – melarang bai’ an-najasy. An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.

Penjelasan dan Istinbath Hukum

  1. Haram hukumnya praktik najasy dalam jual beli. Dalam hal ini at-Tirmidzi berkata dalam Sunannya (III/597), “Hadis inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu, mereka memakruhkan praktik najasy dalam jual beli.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bâri (XII/336), “Makruh yang dimaksud adalah makruh tahrim (mendekati haram).”

  1. Bentuk praktik najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, (Sunan at-Tirmidzi [III/597-598]).

Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah [VTII/120-121], “Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi.

At-Tanâjusy adalah seseorang melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah akhlak orang Islam.”

  1. Orang yang melakukan praktik najasy dianggap sebagai orang yang berdosa dan durhaka. Ibnu Baththal telah menukil ijma’ ahli ilmu dalam masalah ini. (lihat Fathul Bâri (IV/355). Dalilnya adalah hadis ‘Abdullah bin Abi Aufa r.a, ia berkata, “Seorang menjajakan barang dagangannya sambil bersumpah dengan nama Allah bahwa ia menjualnya di bawah modal yang telah ia keluarkan. Lalu turunlah ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…’ (QS Ali ‘Imran, 3: 77)”

‘Abdullah bin Abi Aufa berkata, “Pelaku praktik najasy adalah pemakan riba dan pengkhianat,” (HR al-Bukhari [2675]).

Jika si penjual bekerja sama dengan pelaku najasy dan memberikan kepadanya persen bila barang laku terjual dengan harga tinggi, maka ia juga turut mendapatkan bagian dalam dosa, penipuan, dan pengkhianatan. Keduanya berada dalam Neraka.

  1. Apabila praktik najasy ini dilakukan atas kerja sama antara oknum pelaku dengan penjual atau atas rekayasa si penjual, maka jual beli tersebut tidak halal.

Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/121), “Para ulama sepakat bahwa bila seorang mengakui praktik najasy yang dilakukannya lalu si pembeli jadi membelinya, maka jual beli dianggap sah, tidak ada hak khiyar bagi si pembeli, jika oknum pelaku najasy tadi melakukan aksinya tanpa perintah dari si penjual. Namun, bila ia melakukannya atas perintah dari si penjual, maka sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa si pembeli memiliki hak khiyar.”




MENYEMBUHKAN LUKA DALAM KEBERSAMAAN KITA

Suatu hari, ba’da jamaah shalat zhuhur di sebuah mushalla kecil lantunan bacaan ayat al-Quran menggema di sela-sela kesibukan employees sebuah perusahaan multi-nasional di negeri kita. Tidak ada yang istimewa, karena mereka – sebuah komunitas muslim yang telah merekatkan hati mereka dengan cinta antarsesama — telah terbiasa membangun kebersamaan mereka di pojok ruang mushalla itu, selain mereka selalu mengingat salah satu firman Alllah yang tersimpul pada QS ash-Shaff, 61: 4, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” Kecintaan dan kebersamaan mereka akan selalu kita temui dalam rentang sejarah panjang dalam bangunan ukhuwah mereka. Tampaknya mereka beliau sehingga sampai kini masih mereka nimati sebagai bagian dari keseharian mereka. Betapa indahnya.

Kebersamaan — bagi setiap muslim – tidak boleh tidak pasti memiliki dua matra: hablun min Allâh dan hablun min an-Nâs. Kedua matra itulah yang benar-benar dipahami oleh mereka, para pekerja muslim di sebuah perusahan zonder (tanpa) label-Islam. Mereka wujudkan keberislaman mereka bukan saja pada pada dinding-dinding mushalla sempit atau juga pada simbol-simbol tanpa makna, tapi benar-benar mereka rekatkan pada lubuk hati mereka yang paling dalam.

Tindakan mereka –- ketika bertadarus al-Quran – adalah cermin keberagamaan mereka yang pernah bisa kita bayangkan adalah bagian integral dari perilaku mereka sehari-hari dalam berukhuwah, berpangkal pada keimanan mereka kepada Allah yang kemudian mereka jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepada-Nya melalui instrumen ukhuwah-Islamiyah, yang pada akhirnya bermuara pada kemaslahatan bagi mereka, dan tentu saja bagi perusahanan di mana mereka bekerja.

Sayang, keberagamaan yang indah yang selalu mereka pertontonkan tidak banyak bisa hadir, dan bahkan – di berbagai komunitas muslim yang lain — tiba-tiba berhenti pada upacara ritual peribadatan di masjid-masjid tanpa buah amal kebajikan kepada sesama. Sebuah keberagamaan yang terpotong, kosong-hampa, seperti yang terlukis dalam QS al-Mâ’ûn, 107: 1-7, di ketika komunitas muslim itu berjumpa dengan problem sosial yang beragam. Memang ironis! Tapi itulah yang terjadi.

Di sela-sela kesibukan penulis dalam melayani permintaan “pengajian” majelis-majelis taklim, penulis pun ingat sebuah kisah tentang kebersamaan Ibrahim-Ismail, di ketika bapak-anak yang saling mencintai itu berupaya ”menjalin kebersamaan dalam bingkai kepatuhan pada Sang Khaliq. Keduanya bersanding untuk sebuah pengabdian yang tulus “karena Alllah”. Dan, ternyata hasilnya pun indah: “keselamatan dan ridha”, selamat dari sikap syirik dan ridha dalam bertauhid. Bravo Ibrahim, Khalîlullâh (Kekasih Allah)! Dan tentu saja kita juga harus acungkan jempol kita untuk Ismail, asy-Syujâ’ (SangPemberani). Dua sejoli yang patut diteladani.

Penulis hingga kini masih sering merenung dan bertanya-tanya. Kenapa peristiwa di perusahaan multi-nasional di atas sebegitu mahal untuk terjadi di komunitas muslim kita di berbagai tempat, yang masih sarat dengan keengganan untuk berukhuwah? Dan – juga – kenapa etos ukhuwah Ibrahim-Ismail sebegitu sulit menular pada umat Muhammad s.aw.? Padahal Sang Idola kita (Muhammad s.a.w.) telah sebegitu konsisten meneladani kebersamaan Ibrahim-Ismail dalam kehidupannya! Apa yang yang sedang terjadi pada diri kita?

Barangkali, mungkin karena hati kita masih terlumuri oleh dosa-dosa kita, di ketika pertobatan kita masih sebatas pada komat-kamit doa lisan kita dalam beristighfar. Atau jangan-jangan karena luka kita yang masih menganga ketika persahabatan kita pernah terkoyak oleh sesuatu atau serangkaian peristiwa yang sebegitu membekas pada lubuk hati kita yang paling dalam?

Kalau begitu, saatnya kita buka lebar-lebar pintu maaf kita untuk siapa pun yang pernah melukai hati kita, dan tentu saja juga permohonan maaf untuk siapa pun yang pernah terluka oleh perilaku kita, Hingga kita menjadi Ibrahim-Ismail yang lain, yang pernah mengejawahtah dalam perilaku sahabat-sahabat muslim kita di sebuah perusahaan multi-nasional di negeri kita tercinta, Indonesia!

Kini, saatnya kita beraksi. Now or never!




MENCERMATI GERAKAN YANG MENGATASNAMAKAN ISLAM

Akhir-akhir ini umat Islam dikejutkan dengan munculnya gerakan yang mengatasnakan Islam, tetapi justeru mengotori kesucian Islam dengan cara memutarbalikkan pemahaman otentik atas Islam yang telah dikemas dengan baik dan tepat oleh para ulama yang kompeten dan bertanggung jawab. Mereka, dengan tanpa ragu, menegakan tengah menawarkan kebenaran yang lebih otentik daripada kebenaran-kebenaran yang telah ditawarkan oleh para ulama yang memiliki otoritas untuk menjelaskan kebenaran Islam dari beningnya hati, kokohnya iman, kedalaman pengetahuan dan kecerdasannya dalam mengemas penjelasan atas Islam terhadap umat.

Perhatikan firman Allah SWT berikut ini:

7. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

8. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justeru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya”. (QS ash-Shaff [61]: 7-8

Ayat ini berbicara tentang fakta otentik masa lalu, dan bahkan meprediksi akan munculnya fakta baru yang substansinya sama dengan bentuk yang berbeda-beda.

1. NII (Negara Islam Indonesia)

NII merupakan isu serius yang tak pernah pupus. Keberadaan NII pertama kali diproklamirkan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. Daerah Tasikmalaya, Jawa Barat menjadi basis pertama NII. Gerakan serupa kemudian meluas di Sulawesi Selatan dengan di pimpin Kahar Muzakar pada 20 Januari 1952. Kemudian disusul pembentukan NII di Aceh oleh Abu Daud Beureuh pada 21 September 1953. Namun, pembentukan negara dalam negara ini semuanya berhasil dipatahkan.

Meski begitu, upaya mendirikan Negara Islam Indonesia terus dilakukan. Menurut Al Chaidar, hingga kini terdapat 14 faksi yang setia memperjuangkan berdirinya kembali NII. Semisal Faksi Abdullah Sungkar, Faksi Abdul Fatah Wiranagapati, Faksi Mahfud Sidik, Faksi Aceh, Faksi Sulawesi Selatan, Faksi Madura, Faksi Kahwi 7, Faksi Kahwi 9, serta beberapa faksi lainnya.

Basis NII sendiri berada di tiga tempat. Untuk wilayah Jawa, basis NII berada di Garut. Wilayah Sumatera berbasis di Aceh, dan untuk bagian Indonesia Timur berbasis di Sulawesi. Jumlah penganut ajaran NII ini telah mencapai sekitar 18 juta orang. Berbagai kalangan terlibat dalam kelompok ini. Mulai dari rakyat bisa, petani, mahasiswa, militer, hingga pejabat. Kesemuanya tersebar di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara.

Di antara faksi atau kelompok yang ada tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Hanya saja, Al Chaidar menuding ada satu kelompok yang menyimpang jauh dari misi dan falsafah awal gerakan NII. Kelompok ini adalah kelompok Kahwi 9 pimpinan Abu Toto. “Kelompok ini memperbolehkan anggota tidak salat, serta melakukan hal yang dilarang agama,” katanya.

Tudingan Al Chaidar tentu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan lalu, kelompok NII Kahwi 9 ini sempat membikin geger kota Bandung dan sekitarnya. Sejumlah kampus di Bandung, seperti ITB berhasil di susupi kelompok ini. Mahasiswa menjadi ladang garapan yang mudah, karena di sinilah proses pencarian jati diri berlangsung.

Sayangnya, terjadi penyimpangan dalam ajaran yang diberikan. Mereka diperbolehkan melawan orang tua, mencuri, atau pun meninggalkan salat. Tak hanya itu, para anggotanya pun diwajibkan membayar iuran bulanan dalam jumlah ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Akibatnya, tak jarang para anggota yang kebanyakan mahasiswa, harus berhutang ke sana ke mari atau bahkan mencuri. “Ini jelas menyimpang dari NII asli,” timpal K.H. Miftah Faridl, Ketua MUI Kotamadya Bandung kepada ADIL.

Memang, tampaknya berkembangnya ajaran NII sukar untuk dibendung. Terlebih lagi begitu banyak kelompok sempalan yang timbul. Akankah gerakan ini menjadi ancaman bagi pemerintahan SBY? Sukar memberikan jawaban pasti. Namun, Al Chaidar mengaku kelompoknya tidak akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Sekalipun pemerintahan saat ini dinilainya masih merupakan pemerintahan yang zalim. (jar)

2. Al-Qiyadah Al-Islamiyah

Kelompok ini aliran baru yang muncul di Jakarta dan mulai pertengahan 2006 tercium menyebarkan keyakinannya di kota gudeg “Yogyakarta” dengan objek dakwah utama adalah para mahasiswa, yang secara umum mereka adalah intelektual dalam dunia ilmu pengetahuan, biasa menggunakan akalnya dalam mengambil simpulan-simpulan.

Dari penjelasan para saksi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Al-Qiyadah Al-Islamiyah memiliki ajaran-ajaran yang jauh menyimpang dari pokok-pokok Ajaran Islam, antara lain :

  1. Mereka menghilangkan Rukun Islam yang telah dipegangi oleh seluruh Kaum Muslimin dan jelas-jelas bersumber dari hadits-hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh para ulama ahli hadits yang diterima oleh seluruh kaum muslimin dari kalangan ahlussunnah (Suni)
  2. Mereka menganggap bahwa pimpinannya adalah Rasulullah yaitu bernama Al-Masih Al Maw’ud (Al-Masih yang dijanjikan /dilahirkan)
  3. Menghilangkan syariat shalat lima waktu dalam sehari semalam, dengan diganti shalat lail, mereka mengatakan bahwa dalam dunia yang kotor (belum menggunakan syariat Islam: penulis) seperti ini tidak layak kaum muslimin melakukan shalat lima waktu.
  4. Menganggap orang yang tidak masuk kepada kelompoknya dan mengakui bahwa pemimpin mereka adalah Rasul adalah orang musyrik. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh seorang saksi yang anak kandungnya sampai saat ini “setia” dan mengikuti kajian-kajian kelompok ini. Anak kesayangannya tersebut tidak mau pulang ke rumah bersama kedua orangtuanya karena menganggap kedua orangtuanya termasuk dalam kelompok musyrikin.
  5. Dalam dakwah, mereka menerapkan istilah sittati ayyâm (enam hari) yang mereka terjemahkan menjadi enam tahapan, yaitu :
  1. Sirran (Diam-diam / Sembunyi-sembunyi / Bergerilya – penulis)
  2. Jahran (Terang-terangan)
  3. Hijrah
  4. Qital
  5. Futuh (Meniru Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, membuka Mekah: Penulis)
  6. Khilafah

Aliran ini juga berusaha menyatukan ajaran trinitas yang ada pada agama Nasrani, jadi ditengarai bahwa aliran ini adalah pemurtadan atas nama Islam. Hal ini ditunjukkan oleh nama-nama mereka setelah masuk kelompok ini berubah semisal Emmanuel Fadhil atau semisalnya.

Mereka juga mengajarkan bahwa Tuhan Bapak adalah ar-Rabb, Yesus adalah al-Malik, Ruhul Quddus adalah al-Ilah. Sungguh ini bukan ajaran Islam.

Upaya mereka mempermainkan al-Quran guna kepentingan gerakan sesatnya. Sungguh, seandainya Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah — shallallahu ‘alihi wasallam — boleh ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang, tanpa mengindahkan kaedah-kaedah penafsiran sebagaiman dipahami salaful ummah, maka akan jadi apa Islam yang mulia itu ditengah pemeluknya? Al-Qiyadah Al-Islamiyyah hanya sebuah sample dari sekian banyak aliran/paham yang melecehkan Al-Quran dengan cara melakukan interpretasi atau tafsir yang tidak menggunakan ketentuan yang selaras dengan pemahaman yang benar.

Buku Tafsir wa Ta’wil ini berusaha menyeret pembaca kepada pola pikir sesat melalui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat menurut versi Al-Qiyadah Al-Islamiyyah sebagaimana diungkapkan pada hal. iii poin 4 : “Kegagalan orang-orang memahami Al-Quran adalah mengabaikan gaya bahasa Al-Quran yang menggunakan gaya bahasa alegoris. Bahasa simbol untuk menjelaskan suatu fenomena yang abstrak.”

Gerakan Lain Yang Bersubstansi Sama

Di samping NII dan Al-Qiyadah al-Islamiyah, ada beberapa gerakan yang semakna yang perlu diwaspadai. Antara lain LDII, Isa Bugis dan Al-Quran Suci.

Mereka memiliki hirarki kepemimpinan yang tidak transparan, tetapi bentuk ketaatan mereka kepada para imam atau pemimpin mereka benar-benar tidak dapat diragukan. Mereka menganggap pemimpin merekalah yang memilii hak untuk menjelaskan Islam, karena pemimpin merekalah yang mereka anggap mewakili kebenaran Tuhan (Allah).

Oleh karena itu, seperti apa yang dikatakan oleh Ustadz Didin Hafidhuddin, umat Islam perlu waspada.

Ustadz Didin Hafidhuddin, menyatakan: toleransi terhadap aliran-aliran yang jelas-jelas merusak tersebut tidak tepat untuk dikembangkan. Akibat merasa tidak terlindungi, umat sering mengambil tindakan menghancurkan langsung secara spontan pusat-pusat dari kegiatan aliran tersebut. Pertanyaannya, apabila sudah terjadi, adilkah jika umat selalu disalahkan dan dikambinghitamkan?

Sesungguhnya, munculnya berbagai aliran sesat tersebut mungkin salah satu makna dari pernyataan Rasulullah SAW, kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok, yaitu mereka yang mengikuti sunahku dan sunah-sunah sahabatku. Kelompok yang akan selamat itu adalah mereka yang antara lain meyakini keenam rukun iman dan kelima rukun Islam yang bersifat pasti dan tetap, yang syahadatnya terdiri dari dua kalimah syahadat, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah (aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).

Konsekuensi dari penentangan dan pelecehan terhadap hal-hal yang bersifat pasti tersebut adalah dosa besar, yang berhak mendapatkan siksaan dunia dan akhirat, serta kutukan dari Allah SWT, para malaikat-Nya, dan seluruh orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah: 156-163. Sungguh celaka kelompok orang-orang yang suka `nyeleneh’ itu.

Langkah-langkah Membendungnya

Kita berharap ada upaya bersama dari semua kalangan dan komponen umat untuk membendung dan menghentikan aliran-aliran tersebut, jangan sampai tumbuh dan berkembang, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang.

Pertama, para ulama, para ustadz, para khatib, dan para guru harus memiliki keberanian untuk menjelaskan kepada umat bahwa setiap aliran yang muncul dan memiliki pemikiran yang jelas-jelas berbeda dengan masalah yang bersifat qath’i tersebut, adalah sesat menyesatkan, berbahaya, merusak, dan menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.

Jangan sampai umat terpukau oleh retorika kosong, penuh dengan penipuan yang bersumber dari bisikan-bisikan Iblis la’natullah `alaihi, yang dalam bahasa Alquran disebut dengan zukhrufal qauli ghuruura (perkataan yang seolah-olah indah tapi penuh dengan penipuan), sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-An’âm [6]: 112-113. Menurut ayat ini, kelompok ini disebut sebagai musuh para Nabi, yang tentu saja menjadi musuh orang-orang yang beriman.

Kedua, ormas-ormas Islam dengan para ulama dan tokohnya harus bersikap aktif dan responsif dalam menjawab dan menetapkan keputusan terhadap sesatnya aliran tersebut, demi menjaga akidah, syariah, dan akhlak umat. Umat pun harus didorong jika mendengar dan membaca aliran-aliran yang aneh, untuk segera bertanya kepada para alim ulama dan para ahli yang dianggap memiliki pengetahuan keislaman yang luas dan komprehensif, yang disebut dengan ahlul `ilmi dan ahlu adz-dzikr (QS An-Nahl [16]: 43).

Umat harus didorong untuk bersikap kritis, tidak mudah terkecoh dan percaya kepada pemimpin aliran tersebut, bahkan jangan sampai mereka dianggap sebagai “orang-orang pintar”. Justeru mereka adalah orang yang jahil murakkab (jelas-jelas bodoh tapi tidak merasa bahwa dia bodoh).

Ketiga, pemerintah hendaknya bersikap tegas dan segera mengambil tindakan-tindakan hukum terhadap aliran-aliran tersebut. Tidak boleh terkesan sedikit pun pemerintah berada dalam keraguan untuk menghentikannya.

Insya Allah umat akan selalu mendukungnya.




BERSIAP MENJADI ULUL ALBAB

AHMAD TOHARI (Senin, 14 Maret 2005) menulis dalam “Resonansi”, kolom khusus Harian Republika, dengan judul yang mengisyaratkan keprihatinan: “Korupsi Dalam Gelar Sarjana Aspal”. Tidak ada yang luar biasa dari tulisan itu, kecuali satu hal, penulisnya mencermati bahwa di negeri kita tercinta ini telah terjadi kebohongan yang dibungkus rapi secara kosmetikal, dengan topeng serba indah yang bernama “gelar akademik” dan pada akhirnya memunculkan “kesombongan”.

Sarjana-sarjana dengan sebutan yang bermacam-macam itulah yang kemudian membekali diri dengan sikap percaya diri yang kadang-kadang berlebihan, bahkan terkesan over-confident. Sikap inilah yang sering kali menjadi sebab dari sekian banyak permasalahan moralitas di dunia pendidikan kita yang semakin memprihatinkan.

Dunia pendidikan kita, kini sering disuguhi tontonan moralitas-rendah para pendidiknya. Bukan hanya yang terungkap di media masa cetak dan elektronik saja, yang kadang-kadang kemasan-kemasannya sudah disunting dengan kepiawaian para penyuntingnya dengan berbagai macam kepentingan. Tetapi realitas-objektifnya tidak terlalu berbeda dengan apa yang sudah diungkap oleh media masa di negeri kita tercinta ini.

Mereka yang berulah dengan moralitas-rendah, bukanlah mereka yang tak bergelar akademik saja. Bahkan yang telah bergelar tertinggi pun sempat mempertontonkannya dengan vulgar. Saya pun sempat berkomentar lirih: “pada saatny gelar akademik apa pun tidak harus selalu bersenyawa dengan moralitas-tinggi”. Tetapi apa boleh buat, masyarakat kita masih suka dengan “gelar-gelar formal” itu, simbol-simbol yang tidak selalu mengisyaratkan isi. Hingga, Mas Ahmad Tohari pun sempat bergumam: “mengapa kita doyan betul dengan gelar? Mungkin kita adalah bangsa yang sangat suka dengan simbol. Dan gelar sarjana adalah simbol bagi orang yang berpendidikan, orang pandai. Siapa tidak suka dicitrakan sebagai orang pandai? Soal kenyataannya, urusan belakang.”

Lain halnya dengan Bu Muslimah, seorang guru yang Andrea Hirata dalam bukunya: “Laskar Pelangi”. Di ketika sang guru ini berinteraksi dengan para muridnya tidak pernah ada kesan ”kesombongan”, apalagi arogansi intelektual yang sering dipertontonkan oleh para penyandang gelar-akademik yang seringkali ‘mabuk’ dengan status dan simbol-simbolnya. Saya kira, bukan karena beliau tidak bergelar akademik, tetapi bagi beliau – barangkali – kesombongan dalam bentuk apa pun bukan sesuatu yang seharusnya dipertontonkan. Apalagi dalam proses pendidikan yang di samping membebankan keharusan bagi para pendidiknya untuk melakukan transfer of knowledge, juga transfer of value bagi siapapun yang dididiknya. Diperlukan keteladanan yang terus mengalir dari para pribadi pendidik di seluruh ruang pendidikan yang tidak terbatas.

Dari ungkapan di atas, penulis menjadi ingat dengan istilah “Ulul Albâb” yang dikenalkan oleh al-Quran (QS Âli ‘Imrân/3: 190-191). Bagi mereka, segala sesuatu yang ada di alam raya nan luas ini pada hakikatnya adalah bukti kemahakuasaan dan kemahabesaran Allah SWT, sekaligus menjadi bukti dan tanda-tanda akan keberadaan-Nya. Orang-orang yang selalu berpikir dan memahami alam ini dengan seksama, akan menemukan bahwa dirinya sendiri adalah bagian yang amat kecil, jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya yang maha luas tak terbatas. Hingga kesadaran spiritualnya pun terefleksi dalam kepribadiannya, menjadi “manusia cerdas dan (sekaligus) rendah hati”.

Konon, menurut para mufassir – berdasarkan riwayat para sahabat Nabi s.a.w. – ayat ini turun ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang melakukan qiyâm al-lail (shalat tahajud) di malam hari. Setelah selesai shalat, beliau langsung tersungkur menangis, karena tidak kuasa ketika memahami betapa dalamnya makna yang dikandung pada ayat ini. Tidak cukup kata-kata untuk menjelaskannya.

Menurut para mufassir, ada dua hal yang membuat Nabi Muhammad s.a.w. menangis. Pertama, kesadaran unntuk berzikir. Kedua, kesadaran untuk berpikir. Dan oleh karenanya, sudah selayaknya manusia mengucapkan kata dengan tulus dalam setiap aktivitasnya “Ya Tuhan kami, tak mungkin Kau ciptakan semua peristiwa ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Jagalah diri kami dari azab neraka”.

Dua kesadaran itulah yang menjadi ciri-ciri orang yang Allah SWT sebut sebagai Ulul Albâb, sebagaimana sosok Nabi Muhammad s.a.w..

Pertanyaan pentingnya adalah: “Mampukah kita meneladaninya?”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar