Powered By Blogger

Kamis, 15 Juli 2010

LEGOWO


Beberapa indikasi keikhlasan

Keikhlasan itu memiliki beberapa indikasi dan tanda-tanda yang nampak dalam kehidupan dan perilaku pemiliknya. Juga nampak dalam pandangannya terhadap dirinya dan pandangannya terhadap orang lain.


Indikasi-indikasi tersebut antara lain:

  1. Khawatir terhadap ketenaran serta keharuman nama atas dirinya dan agamanya, terutama bila ia termasuk orang-orang yang berprestasi. Ia meyakini bahwa Allah menerima amal berdasarkan niat yang tersimpan dalam batin, tidak dengan penampilan. Ia juga meyakini, bahwa meskipun ketenaran seseorang telah tersebar ke seluruh penjuru, namun tiada seorang pun yang dapat menolongnya dari siksa Allah, bila ia tidak mengikhlaskan niat untuk-Nya.

Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf dan orang-orang shaleh sebelum kita takut pada fitnah ketenaran, tipuan pangkat serta keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan murid-muridnya dari hal-hal tersebut. Imam Al Ghazali telah meriwayatkan beberapa kisah tentang hal tersebut.

Ibrahim bin Adham -rahimahullah- berkata:

“Tidak akan jujur kepada Allah orang yang mencintai ketenaran.”

Sulaim bin Hanzhalah berkata:

“Saat kami berjalan di belakang Ubai bin Ka'ab ra, tiba-tiba Umar ra melihatnya, lantas Umar mengangkat cemeti yang diarahkan kepadanya. Maka Ubai berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, apa yang hen-dak kamu lakukan?’ Umar ra menjawab, ‘Ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah bagi yang diikuti’.”

Kisah tersebut menggambarkan ketajaman pandangan Umar ten-tang suatu fenomena yang awalnya terlihat sederhana, namun dapat mengakibatkan terjadinya hal serius dalam diri orang-orang yang mengikuti dan dalam diri para pemimpin yang diikuti.

Al Hasan meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Ibnu Mas'ud keluar dari rumahnya, lantas beberapa orang berjalan di belakangnya (mengikutinya). Maka ia menoleh kepada mereka seraya berkata, “Kenapa kalian mengikuti saya? Demi Allah, andai kalian mengetahui apa yang kurahasiakan, tentu tiada dua orang pun dari kalian yang mengikutiku."

Al Hasan berkata:

"Sesungguhnya, suara sendal di sekitar orang dapat menggoyahkan hati orang-orang yang bodoh."

Pada suatu hari Al Hasan keluar dari rumah, lantas diikuti oleh banyak orang. Maka ia berkata kepada mereka, “Apakah kalian mempunyai suatu keperluan? Bila tidak ada keperluan maka bukankah hal ini dapat menjadikan hati orang mukmin berbelok?”

Abu Ayyub As-Sikhtiyani keluar untuk melakukan sebuah perja lanan, lantas beberapa orang mengikuti di belakangnya. Maka ia berkata:

“Andai aku tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui hatiku membenci hal ini, tentu aku takut kemurkaan dari Allah swt.”

Ibnu Mas'ud berkata:

“Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu, lampu-lampu (cahaya) petunjuk, yang menetap di rumah-rumah, pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, dan yang kusut pakaiannya. (Jadilah kalian) orang yang dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.”

Fudhail bin 'Iyadh berkata,

"Bila kamu mampu menjadi orang yang tidak dikenal, maka lakukanlah. Sebab apa kerugianmu bila tidak dikenal? Apa kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah swt?"

Riwayat-riwayat tersebut jangan sampai dipahami sebagai seruan untuk mengisolir diri, sebab orang-orang yang mengatakan atau menyampaikan riwayat-riwayat tersebut adalah tokoh-tokoh da'i yang bergaul dengan masyarakat, dan para pemandu perbaikan yang memiliki pengaruh baik dalam membimbing serta mengarahkan masyarakat. Akan tetapi secara keseluruhan wajib dipahami sebagai kewaspadaan terhadap syahwat jiwa yang tersembunyi, dan kehati-hatian terhadap pintu-pintu dan jendela-jendela yang dapat dilalui oleh syaitan menembus hati manusia. Pada hakikatnya ketenaran itu bukan suatu hal yang tercela, sebab tiada yang lebih terkenal daripada para Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan dan bukan didasari oleh niat ambisius, tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Imam Al Ghazali mengatakan, "(Ketenaran itu) fitnah bagi orang-orang yang lemah (keimanan), dan tidak demikian bagi orang-orang yang kuat (keimanannya)."

  1. Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor dalam menunaikan hak-hak Allah, dan teledor dalam melaksanakan berbagai kewa-jiban. Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (tertipu) dan terkagum dengan diri sendiri, bahkan ia selalu takut kalau kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan kebajikan-kebajikannya tidak diterima oleh Allah swt.

Dahulu, sebagian orang shaleh menangis pilu saat sedang sakit, lan­tas sebagian orang yang menjenguknya bertanya, “Mengapa engkau menangis? Padahal engkau ahli puasa dan shalat malam, engkau telah berjihad, bershadaqah, berhaji, mengajarkan ilmu, dan berdzikir.” Ia menjawab, “Siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjamin bahwa amalku diterima di sisi Tuhan ku? Sementara Allah swt berfirman,

Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlMaidah : 27).

At-Tirmidzi meriwayatkan, bahwa 'Aisyah ra, isteri Nabi saw berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang ayat,

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut” (QS. Al Mu'minun, 23: 60).

'Aisyah berkata, 'Apakah mereka itu orang yang meminum khamar dan mencuri?"

Rasulullah saw menjawab, "Tidak, wahai puteri (Abu Bakar) Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bershadaqah. Tetapi, mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh Allah). Mereka itulah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai kebajikan."

  1. Orang ikhlas lebih mencintai amal yang tersembunyi daripada amal yang diliputi oleh hiruk pikuk publikasi dan gaung ketenaran.

Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon dalam suatu jamaah; akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup, akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata manusia. Dari Umar bin Khathab ra, pada suatu hari ia keluar menuju masjid Rasulullah saw tiba-tiba ia menjumpai Mu'adz bin Jabal ra yang sedang duduk dan menangis di dekat kubur Nabi saw. Maka Umar bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Mu'adz menjawab, “Saya menangis karena (ingat) sesuatu yang kudengar dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,

'Sesungguhnya riya' (beramal karena mencari pujian manusia) yang sangat kecil itu termasuk kesyirikan. Dan sesungguhnya, barang siapa yang memusuhi wali Allah, maka berarti menantang perang dengan Allah. Sesungguhnya, Allah swt mencintai orang-orang baik, yang bertakwa, dan tersembunyi. Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam yang gelap gulita.” (Ibnu Majah: 2/1320. Nomor: 3989).

  1. Amalnya saat menjadi pemimpin dan saat menjadi anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan pelayanan pada dakwah. Hatinya tidak dirasuki penyakit suka tampil, selalu ingin di depan, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang ikhlas lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya.
    Dengan kata lain, orang ikhlas tidak menginginkan dan tidak meminta jabatan untuk dirinya, tetapi bila diberi amanah, ia menerimanya dengan penuh tanggungjawab dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melaksanakan sebagaimana mestinya.

Rasulullah saw telah menjelaskan model manusia seperti itu dalam sebuah sabdanya,

“Berbahagialah seorang hamba yang memegang tali kudanya dijalan Allah, rambutnya acak-acakan, dan dua kakinya berdebu. Bila ia (ditugaskan) di pos penjagaan, maka ia tetap di pos penjagaan tersebut, dan bila (ditempatkan) di barisan belakang, maka ia tetap di
barisan belakang tersebut....”
(Fathul Bari: 6/95. Nomor: 2887).

Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid saat ia diturunkan dari jabatannya sebagai panglima pasukan, ia tetap beramal dengan giat di bawah komando Abu Ubaidah yang menggantikannya, tanpa menggerutu dan tanpa mengomel, padahal ia adalah seorang panglima yang selalu mendapat kemenangan.

5. Tidak menggubris keridhaan manusia, bila di balik itu terdapat kemurkaan Allah swt. Sebab tabiat manusia sangat berbeda-beda. Demikian juga cara berpikirnya, kecenderungannya, dan tujuan-tujuannya. Karena itu, upaya untuk mendapat keridhaan mereka semua, adalah batas yang tidak mungkin dapat dicapai, dan keinginan yang tidak mungkin dapat diraih. Orang yang ikhlas tidak akan disibukkan dengan hal-hal seperti itu, karenanya ia tenang dan tenteram. Syairnya dalam berhubungan dengan Allah adalah:

Dengan-Mu ada kelezatan, meski hidup terasa pahit

Kuharapkan ridha-Mu, meski seluruh manusia marah

Kuharapkan hubunganku dengan-Mu tetap harmonis

Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan

Bila cinta-Mu kudapatkan, semua akan terasa ringan

Sebab, semua yang di atas tanah adalah tanah belaka

  1. Kecintaan dan kemarahannya, pemberian dan keengganannya untuk memberi serta keridhaan dan kemurkaannya adalah karena Allah dan agamanya, bukan karena kepentingan pribadi atau kemaslahatan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidak seperti kaum munafik yang hanya mencari keuntungan pribadi. Allah swt mencela orang-orang munafiq dalam Kitab-Nya (Al Quran),

"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (QS. At-Taubah, 9:58).

Anda dapat melihat, bahwa ada sebagian aktivis dakwah yang marah, menggerutu, lalu meninggalkan aktivitas, pergerakan, dan menjauh dari medan jihad, gara-gara ada seorang saudaranya yang mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya, melukai perasaannya, atau menjelekkan salah seorang teman dekat dan kerabatnya. Keikhlasan tujuan menjadikan seseorang tetap teguh di jalan dak­wah, dan komitmen pada orientasinya, betapa pun parahnya kesalahan orang yang berbuat salah, betapa pun parahnya kelengahan orang yang lengah atau berlebihannya orang yang melampui batas. Sebab ia beramal untuk Allah swt bukan untuk kepentingan dirinya, keluarganya, atau si fulan dan si fulanah.

Dakwah kepada Allah (Dakwah llallah) bukan hak prerogatif atau milik seseorang, melainkan milik setiap orang. Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang mukmin meninggalkan dakwah karena sikap seseorang atau karena perilaku seseorang.

  1. Orang yang ikhlas tidak akan menjadi malas, jenuh, atau berputus asa karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamanya waktu memanen buah dari amal, terlambatnya keberhasilan, banyaknya beban amal, dan sulitnya berinteraksi dengan manusia yang beragam cita rasa dan kecenderungan. Sebab ia beramal tidak hanya untuk mencari keberhasilan, atau mencari kemenangan saja. Akan tetapi, ia beramal untuk mendapatkan keridhaan Allah dan karena menjalankan perintah-Nya.

Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyakan kepada manusia, ‘Kenapa kalian tidak mendapatkan kemenangan?’ Akan tetapi, Allah akan menanyakan, ‘Kenapa kalian tidak berjihad?’ Allah tidak akan menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak berhasil?’ Tetapi, akan menanyakan, ‘Mengapa kamu tidak beramal?’

  1. Bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera dakwah serta berpartisipasi dalam perjuangan. Ia memberi kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada kebencian, kedengkian, atau iri hati. Bahkan orang yang ikhlas, akan meninggalkan posisinya dengan ridha dan senang hati, bila ada orang lain yang lebih baik darinya untuk posisinya tersebut. Ia akan mempersilahkan orang tersebut untuk maju, dan ia akan mundur dengan penuh kebahagiaan dan ketaatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar