Powered By Blogger

Jumat, 18 Juni 2010

Menggapai Kebahagiaan Hakiki


Apakah kita termasuk orang yang bahagia? Sebuah pertanyaan yang layak untuk dilontarkan kepada diri kita masing-masing. Mungkin di antara kita saat ini ada yang memiliki harta melimpah ruah, tetapi tidak merasa bahagia. Ada pula yang memiliki popularitas dan jabatan yang tinggi, namun dia tidak merasa bahagia. Ada juga di antara kita yang sangat terpandang di masyarakat dan menjadi tokoh terkemuka, tetapi itu pun tidak membuatnya bahagia. Ada juga yang mencoba melancong ke luar negeri mengunjungi tempat-tempat wisata yang beraneka ragam namun ternyata kebahagiaan itu tidak juga menyertainya.

Kalau demikian, ternyata ukuran bahagia itu bukan ada pada banyaknya harta, bukan ada di jabatan dan ketenaran, bukan pula pada ketokohan seseorang dan juga bukan dengan melancong. Lantas di manakah kebahagiaan itu, dan bagaimana pula kita dapat merealisasikannya?

Kebahagiaan adalah kondisi jiwa ketika seseorang mampu melakukan suatu perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia merupakan kekuatan batin yang memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan karunia Allah subhanahu wata’ala yang membuat jiwa lapang dan bergembira.

Bahagia adalah kejernihan hati, kebersihan prilaku dan keelokan ruhani. Hal itu merupakan pemberian Allah subhanahu wata’ala yang diberikan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terpuji.

Bahagia adalah rasa ridha yang mendalam dan sikap qana'ah. Ia bukan barang dagangan yang bisa dibeli di pasar oleh orang sekaya apa pun, tetapi merupakan dagangan Allah lsubhanahu wata’ala yang dikaruniakan kepada jiwa-jiwa yang terpilih.

Kebahagiaan itu kelapangan jiwa, bahagia itu tatkala anda bisa membuat senang hati orang lain, menyungging senyum di wajah, dan anda merasa lega tatkala dapat ber
buat baik kepada sesama, merasa nikmat ketika anda bersikap baik kepada mereka.

Kebahagiaan adalah membuang jauh segala pikiran negatif dan mengisinya dengan pikiran yang positif. Ia merupakan sebuah kekuatan yang mampu menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencari solusi bukan berdasarkan emosi.

Kebahagian itu ada pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, ada dalam meninggalkan kebencian, kedengkian dan sikap tamak terhadap kepemilikan orang lain.

Bahagia itu terdapat dalam dzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, syukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya. Dan kebahagiaan hakiki adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka.

Ungkapan tentang Kebahagiaan

  • Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain dan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan pelajaran oleh orang lain.

  • Bahagia adalah jika anda senang untuk berbuat kebaikan, bukan dengan berbuat apa saja yang anda senang.

  • Orang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari masa lalu dan berhati-hati terhadap dirinya. Orang celaka adalah orang yang mengumpulkan harta untuk orang lain dan bakhil untuk memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri.

  • Orang bahagia yaitu yang mau mengambil faidah dari pengalaman masa lalu, bersemangat pada hari ini dan optimis menyambut masa depan.

  • Kebahagiaan itu diraih dengan menjaga lisan.

  • Seseorang tidak akan meraih kebahagiaan kecuali jika dia hidup merdeka, terbebas dari cengkraman syahwatnya serta mampu menahan hawa nafsunya.

  • Kesungguhan anda dalam mencintai ketaatan, hati yang selalu anda hadapkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala, dan kehadiran hati ketika sedang beribadah merupakan indikasi cepatnya kebahagiaan.

  • Kebahagiaan itu tidak bisa dibeli dengan harta tetapi ia sering dijual.


Tanda-tanda Kebagiaan

Kebahagiaan memiliki tanda-tanda, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menyebutkan tiga perkara yaitu:
1. Jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur.
2. Jika mendapatkan ujian, dia bersabar.
3. Jika berbuat dosa, dia beristighfar.

Langkah Menggapai Bahagia

Di antara langkah-langkah yang yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dan kesuksesan adalah sebagai berikut:

1. Beriman Kepada Allah subhanahu wata’ala

Tidak ada kebahagiaan tanpa iman kepada Allah subhanahu wata’ala, bahkan kebahagiaan itu akan bertambah seiring dengan bertambahnya iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’ala, dan akan melemah bersamaan dengan lemahnya iman kepada-Nya. Apabila iman semakin kuat, maka makin besar pula kabahagiaan. Sebaliknya jika ia melemah, maka kegoncangan dan pikiran negatif akan bertambah yang dapat membawa kepada pahitnya kehidupan dan kebinasan.

2. Beriman kepada Kekuasaan Allah subhanahu wata’ala

Orang yang beriman bahwa Allah subhanahu wata’ala itu Maha Kuasa tanpa batas, maka dia tidak akan dirundung duka, tidak dibuat sedih oleh berbagai masalah karena dia mempunyai tempat bersandar yang kuat, ketika sedang ditimpa suatu ujian dan kesulitan.

3. Beriman dengan Ketetapan Allah subhanahu wata’ala

Iman dengan qadha' dan qadar akan menumbuhkan sikap ridha dalam hati, kelapangan jiwa dan ketenangan. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik. Jika ditimpa kelapangan, maka dia bersyukur dan itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan, maka dia bersabar dan itu pun baik baginya.” (HR Muslim)

4. Berteladan kepada Orang yang Sukses

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang telah memberikan sumbangsih yang besar dan luar biasa bagi umat manusia dan dia adalah orang yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala. Yang pertama dan utama adalah panutan kita Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan mengikuti jalannya, maka seseorang akan bahagia dan dengan meninggalkan petunjuk dan sunnahnya, maka seseorang akan celaka.

5. Mengenali Kehidupan

Hidup pasti akan menghadapi masalah, mendapati kesusahan dan pasti ada rintangan dan ujian. Semua ini merupakan ketetapan dari Allah subhanahu wata’ala terhadap manusia, supaya diketahui mana orang yang lebih baik amalnya. Maka wajib bagi kita untuk mengenal karakteristik hidup ini dan menerima sebagaimana wajarnya dan tidak menutup diri untuk menghadapi ketentuan Allah dengan ketentuan lainnya, menghadapi yang tidak kita senangi dengan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Mengetahui permasalahan ini bukan berarti pasrah dan putus asa, tetapi justru bersikap sebaliknya.

6. Mengubah Kebiasaan Negatif Menjadi Positif

Doktor Ahmad Al-Bara' Al-Amiri mengatakan bahwa memulai kebiasaan baru yang bersifataqliyah (bisa dinalar dan dipikirkan) itu tidak sulit, dibutuhkan kira-kira 21 hari. Dalam hari-hari tersebut kita berfikir, berbincang-bincang, lalu mengusahakan segala yang bisa mendukung untuk terwujudnya kebiasaan baru itu, dan terakhir kita menggambarkan dengan jelas dan sempurna bahwa diri kita telah menjadi yang kita inginkan.

Jika kita telah berfikir bahwa kita telah menjadi yang baru sebagaimana kita kehendaki, maka gambaran ini secara bertahap akan menjadi sebuah realita. Hal ini seperti diungkapkan bahwa "al hilm bittahallum wal ilm bitta'allum" sikap lembut dicapai dengan selalu berusaha lembut dan ilmu itu diraih dengan belajar. (Durus nafsiyah linnajah wattafawwuq)

7. Tujuan Yang Mulia

Banyak orang yang celaka karena dia tidak memiliki sasaran dan tujuan yang dia usahakan agar terealisasi. Atau dia punya tujuan tetapi bukan sesuatu yang mulia dan tinggi sehingga dia tidak merasa bahagia tatkala berusaha menggapainya. Sedangkan tujuan yang mulia, maka akan menjadi-kan seseorang merasa bahagia ketika sedang berusaha untuk mencapainya.

8. Ringankan Derita

Orang hidup pasti mengalami musibah dan derita, namun tak selayak-nya musibah itu disikapi sebagai akhir dari segalanya, dan jangan beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang menda-patkan ujian hidup. Bahkan selayaknya dia memperingan musibah dan tidak terlalu membesar-besarkannya.

9. Hal Sepele Jangan Dibuat Resah

Ada sebagian orang yang merasa resah dan kalut dengan kejadian-kejadian biasa dan lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Di antara mereka ada yang begitu sedih dengan pecahnya piring atau gelas, saluran air atau kabel yang putus, baju yang robek dan lain-lain yang sebenarnya wajar-wajar saja.

10. Kebahagiaan Ada Pada Diri Anda

Jika bahagia itu ada pada diri kita, maka mengapa harus jauh-jauh mencarinya, karena setiap manusia punya kekuatan dan potensi bahagia, tetapi kebanyakan mereka tidak mau melihatnya. Sebabnya adalah karena dia tidak pernah memperhatikan diri sendiri, tetapi sibuk melihat orang lain.

Kebahagiaan terkadang ada di depan mata, tetapi kita tidak menge-tahuinya, sehingga justru mencarinya lagi kepada yang lebih jauh dan semakin jauh. (Khalif Muttaqin)

Tulisan ini diterjemahkan dari buku: Daliluka Ila As-Sa’adah An-Nafsiyah, Dept. Ilmiyah Darul Wathan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar