Powered By Blogger

Jumat, 07 Oktober 2011

TAZKIYATUN NAFS



Jadikan Islam Sebagai Kebanggaan Hidup



SETIAP anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi," demikian kutip sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Sebab manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.

Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah SWT dan Rasulullah SAW diatas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu.

Al-Quran mengatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus (dinul qayyim), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum (30) : 3)).

Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah SWT. Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. Al Araf (7) : 172).


Berpaling dari Islam adalah menyiksa dirinya sendiri. Karena ia melempar dimensi spiritual di dalam dirinya. Maka kehidupan manusia akan mengalami kehampaan (krisis makna). Apa yang diburu dan dimilikinya tidak menambah kebaikan dirinya, keluarganya dan lingkungan sosialnya (tidak barakah).

Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani oleh Islam akan membuat kita kecewa seumur hidup. Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita.

Berbeda dengan dunya (sesuatu yang dekat), mata’ (kepuasaan sesaat), nikmat dinul Islam hanya diberikan kepada hamba yang dicintai-Nya. Itulah sebabnya banyak sekali orang yang menyatakan dirinya secara formal memeluk Islam, tetapi dalam realitas kehidupannya ada yang merasa tidak nyaman dengan atribut keislaman. Bahkan Islam yang indah dan mulia tersebut disalahpahami. Dahulu Islam ditambah-tambah. Kemudian Islam dikurangi. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hudud. Sekarang ini Islam diberi embel-embel lain. Islam radikal, Islam moderat dll. Islam masih dipandang belum sempurna. Sehingga memerlukan pengurangan dan penambahan, sehingga dia tidak merasa at home untuk memakainya.


Islam sebagai Dinullah

Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama yang dibuat oleh Rasulullah SAW. Yang memberi nama seseorang sebagai Muslim adalah Allah SWT sendiri.
Allah SWT memberi standar (ukuran), criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan sebagai Muslim. Tentu, Muslim disini adalah Muslim hakiki, lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).

Jadi, Muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah SAW diutus di muka bumi ini.

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu [kitab-kitab yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. Al Hajj (22) : 78).

Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi Muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”

Islam sebagai Dinul Insaniyyah

Jika merujuk nama manusia menggunakan istilah ‘Al-Insan’ mengandung pengertian yang mendalam. Dari kalimat tersebut melahirkan makna turunan ‘al-Uns’ (harmonis). Ini menunjukkan sesungguhnya sifat dasar manusia mudah untuk menjalin komunikasi dengan yang lain (makhluqun madani), meminjam istilah Ibnu Khaldun. Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.

Jika terhadap komunitas terdekat tidak memiliki jiwa besar. Mustahil bisa berinteraksi dengan lingkungan social yang lebih luas. Lingkungan terdekat secara minimal terdiri dari 160 KK. Empat puluh KK arah depan. Empat puluh KK arah belakang. Empat puluh KK arah kiri. Dan empat puluh KK arah kanan.

Karena fitrah manusia itu senang kepada perbuatan yang dikenali hati (al-Ma’ruf). Senang kepada kejujuran, keadilan, keberanian dalam membela kebenaran, dermawan. Dan tidak senang kepada sesuatu yang diingkari hati (al-Mungkar). Misalnya, kebohongan, ketidak jujuran, kelemahan, kikir, egois, mau benar sendiri sekalipun tidak benar.

Jika dalam kehidupan manusia memarginalkan dimensi naluri kepada sifat-sifat kemanusiaan ini, maka manusia akan menjadi srigala bagi yang lain. Ia menjadi keras hati, tertutup.Ada sebuah pameo “ Hari ini makan apa, besok dan lusa makan siapa”.

Islam sebagai Manhajul Hayah

Dalam tata bahasa Arab, Muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan). Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan,

Manhajul hayah artinya menjadikan Islam (al-Quran) sebagai panduan aturan kehidupan manusia. Jadi seorang Muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.

Seorang Muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah). Menyangkut system ideology, politik, social budaya, pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.

Islam sebagai Dinul Kaun

Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).

Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut ketentuan itu.

Demikian pula setiap fase kehidupannya, secara sistematis tunduk kepada pemilik dan pencipta kehidupan. Sejak fase kehidupannya di rahim ibu (berupa janin), ia hidup dengan tenang. Ia dilindungi oleh-Nya dari gangguan suara, panas dan dingin. Kemudian menjadi bayi (shobi), ia diajari oleh Allah menangis ketika dalam keadaan lapar. Kemudian menuju masa kecil (thifl). Ia diajari oleh Allah SWT berbicara, merangkak, berjalan dan berlari. Lalu menuju masa ABG (murahiq). Kemudian melawati masa dewasa (kuhulah). Dan melewati masa syaikh (umur 40 keatas). Dua kelemahan yang melekat pada diri anak Adam adalah masa kecil dan masa tua. Semua fase kehidupan diatas tunduk pada ketentuan Allah SWT. Siapapun tidak bisa menolaknya. Sekalipun mulutnya mengatakan bahwa dirinya Yahudi, Nasrani dan Majusi. Jika manusia bisa memilih, tentu ia ingin tidak melewati masa kecil dan masa tua. Karena masa kecil merepotkan orang tuanya. Dan masa tua merepotkan anak-anaknya.

Islam sebagau Dinul Hadharah

Islam yang diturunkan sebagai din, sebenarnya telah memiliki konsep seminalnya (ilmiah) yang spesifik (unik) sebagai peradaban (kemajuan hidup secara lahir dan batin). Sebab kata din (dal-yak-nun) itu sendiri telah mengandung keragaman makna, ketundukan, keberhutangan manusia kepada Tuhan, struktur kekuasaan, susunan hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Memiliki makna pula, kecenderungan manusia secara fitrah kembali kepada Perjanjian Pertama Dengan Allah SWT ketika di alam rahim ibu.


وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. Al-A’raf (7) : 172).

Dari din muncul berbagai derivasi (kata turunan), daana (berhutang), da’in (pemberi hutang), dayn (kewajiban), dayunah (hukuman/pengadilan), idanah (keyakinan). Artinya dalam istilah din itu tersirat sistem kehidupan yang utuh. Dinul Islam berarti pola kehidupan yang dibingkai oleh spirit Islam. Paham, perilaku dan kultur kehidupan yang diserap dari nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan).

Karena itulah, pada pesan terakhir Allah pada Nabi Muhammad, menyatakan bahwa Islam sebagai agama (din) yang telah sempurnya.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah (5) : 3).

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab [yang diturunkan sebelum Al Quran] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka, barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali Imran (3) : 19).

Mudah-mudahan, kita dan keluarga kita semakin istiqomah untuk berislam dan bangga kepada pada agama Islam. Sebagaimana Allah telah mengatakan keridhoannaya pada agama ini.*





Kiat Menumbuhkan Fitrah Bijaksana


ALLAH SWT menjadikan postur tubuh manusia seimbang, pula memiliki makna bahwa keistimewaan manusia istimewa adalah kecenderungan/kecondongannya kepada sikap keseimbangan dan keadilan serta kebijaksanaan. Karena itu, Allah SWT berfirman dalam Surat Al Infithar “Fa’adalak”.

Tetapi, karena kurang dirawat dengan taqarrub, tabattul, tajarrud dan tawajjuh ilallah, demikian pula karena penjajahan lingkungan social (fudhulul mukhalathah), betapa hari ini kita menyaksikan sifat yang mulia yang melekat dalam diri manusia tersebut tergerus oleh sifat susulan yaitu perbuatan dzalim (menganiaya orang lain). Sehingga yang menonjol pada diri manusia itu bengis dan kejam serta kehilangan rasa kemanusiaan. Seperti para pemimpin yang mempertahankan status quo.

Demi kekuasaan, mereka tidak segan-segan mengorbankan dan memperalat rakyat kecil. Demi ideologi, dia rele mangadu-domba yang lain dengan cara-cara kejam.

Fakta sehari-hari kita bisa menyaksikan, betapa penganiayaan antar sesama manusia sudah demikian parah. Misalnya suami tega menganiaya istrinya. Anak durhaka kepada orangtua. Pembantu mengkhianati majikannya. Pejabat membohongi yang memilihnya dll.

Dari sinilah akan mendatangkan kemurkaan-Nya di dunia ini.

Berikut ini adalah kiat sukses memelihara dan menumbuhkan sifat bijaksana.

1. Menyadari bahwa perbuatan zhalim akan kembali kepada pelakunya di dunia ini. Tidak menunggu balasan di akhirat.

"Dua perbuatan yang disegerakan siksanya di dunia ini adalah berbuat zhalim (al-Baghyu) dan mendurhakai orang tua (‘uququl walidaini)." (al-Hadits).

2. Menyadari betapa mahalnya karunia kehidupan yang dianugerahkan kepada kita sehingga bisa menikmati berbagai fasilitas kehidupan adalah atas kebijaksanaan Allah SWT.

"Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?." (Al Baqarah (2) : 28).

3. Mensyukuri karunia dan kebijaksanan-Nya menjadikan kita makhluk yang paling mulia/terhormat dibandingkan dengan makhluk yang lain. Sehingga ia akan memuliakan dirinya dan menghormati orang lain.

"Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan [untuk mencari kehidupan], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (Al Isra (17) : 70).

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin (95) : 4).

4. Menghayati kebijaksanan-Nya, alangkah mahalnya karunia akal yang berfungsi untuk memahami ayat-ayat-Nya yang berupa diri sendiri, ayat Al-Quran dan ayat yang digelar di alam semesta. Betapa sedihnya jika sudah diberi karunia hidup, tetapi bukan manusia, dan manusia tetapi akalnya mengalami disfungsi. Manusia yang tidak menggunakan akal pikirannya lebih rendah derajatnya daripada binatang ternak.

"Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai." (Al Araf (7) : 179).

5. Menyadari keadilan-Nya, betapa karunia Islam merupakan nikmat yang paling mahal dalam kehidupan. Dengannya ruhaninya akan ditumbuh kembangkan secara maksimal.

"Pada hari ini telah KU- sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. "(Al Maidah (5) : 3).

Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi yang aku banggakan selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”

6. Menyadari atas kebijaksanaan-Nya, bahwa orang beriman itu bagian dari keluarga besar kaum muslimin di seluruh dunia. Sehingga akan memiliki kebanggaan korps, berdasarkan keyakinan dan keimanan bukan ikatan yang bersifat lahiriyah yang semu. Dari sini akan memperoleh pelajaran yang amat mahal, ukhuwwah islamiyah. Sebuah persaudaran melebihi dari ikatan nasab.

"Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujurat (49) : 10).

7. Bercermin pada sikap keadilan dan kebijaksanaan para pendahulu kita yang shalih.

"Kebenaran Islam berada pada lisan Umar bin Khathab." (al-Hadits)

8. Menyadari kehadiran kitab suci, atas rahmat dan kebijaksanaan-Nya

"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian." (Al Isra (17) : 82).

9. Menyadari terutusnya Rasulullah SAW adalah semata-mata kebijaksanaan-Nya.

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Al Jumuah (62) : 2).

10. Menyadari penciptaan manusia, bumi dan seisinya dengan kebijaksanaan, bukan sekedar permainan.

"Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami ? Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia." (Al-Mukminun (23) : 115-116).








Mari Menata Ulang Pola Kehidupan Kita


BERAPAKA usia Anda hari ini? Rasulullah pernah mengatakan, rata-rata umur ummat nya hanya seputar 60-70 tahun saja.

أَعْماَرُ أُمَّتِي بَيْنَ سِتِّيْنَ وَ سَبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنَ يُجاَوِزُ عَلَى ذَلِكَ

“Umur ummatku antara 60-70 tahun. Sangat sedikit di antara mereka yang umurnya melampaui kisaran itu.” (HR. At Tirmidzi 3550, Ibnu Hibban 7/246, Ibnu Majah 4236).

Nah, sekarang, marilah kita hitung dengan matematika sederhana saja. Bisa jadi, kita diberi Allah usia sampai 70 tahun. Tetapi bisa saja tidak. Marilah kita pilih di tengah, anggap saja, kita diberita kemudahan untuk hidup pada usia 50 tahun.

50 tahun telah menghabiskan sekitar 18.250 hari atau setara dengan 458.000 jam. Itu andakan kita menggunakannya 24 jam sehari semalam penuh melakukan aktivitas. Faktanya, kebanyakan manusia membutuhkan istirahat, tidur, nonton, jalan-jalan, berbelanja, bergurau dll.

Anggap saja waktu tidur kita adalah 8 jam/hari. Maka, dalam masa 50 tahun, waktu yang telah kita habiskan untuk tidur memakan waktu 146.000 jam atau sama dengan 16 tahun 7 bulan (dibulatkan 17 tahun). Betapa sia-sianya kita menghabiskan waktu selama 17 tahun hanya untuk tidur.

Selain tidur, umumnya kegiatan manusia di siang hari adalah; bekerja, belajar, mengajar makan, jalan-jalan, istirahat atau ngerumpi. Jika semua waktu itu memakan waktu 4 jam rata-rata. Maka, dalam 50 tahun waktu yang dipakai untuk istirahat,ngerumpi, jalan-jalan dll membutuhkan (18.250 hari x 4 jam) atau 73.000 jam. Ini setara dengan 8 tahun.

Jadi, selama 50 tahun itu pula kegiatan kita untuk tidur, jalan-jalan, ngerumpi, nonton, istirahat memakan waktu 17 tahun + 8 tahun atau menghabiskan waktu 25 tahun.

Jika usia Anda hari ini masih 20-25 tahun, maka tinggal mengurangi 10 tahun “angka sia-sianya”. Maka, hasilnya tetaplah sama, hampir separuh masa kita telah hilang dengan sia-sia.

Pertanyaannya sekarang, berapa sisa waktu yang dipergunakan untuk beribadah dan sebagai bekal menghadap yang Khalik?

***

Alkisah, suatu ketika ada seorang tabi’in bernama Tsabit bin Amir bin Abdullah bin Zubair jatuh sakit. Saat mendengar panggilan azan shalat Maghrib, ia berkata kepada anak-anaknya, Bawalah aku ke masjid ! Anak-anaknya menjawab : Engkau sedang sakit ! Allah memaafkanmu. Ia kembali berkata, Laa ilaaha illallah ! Aku mendengar seruan hayya ‘ala ash-shalah hayya ‘ala al-falah ! dan aku tidak menjawab seruan itu? Demi Allah, Bawalah aku ke masjid. Mereka pun akhirnya membawa ayahnya ke masjid. Ketika sampai pada sujud terakhir dalam shalat maghrib itu, Allah mencabut nyawanya.

Sebagian ulama ada yang menceritakan bahwa lelaki tersebut ketika melakukan shalat shubuh selalu berdoa, Ya Allah, aku memohon kematian yang baik pada-MU. Lalu ia ditanya apa maksud dari kematian yang baik yang ia mohon dalam potongan doanya itu adalah kematian saat bersujud.

Kematian menjemput siapa saja tanpa memandang bulu, masa ajal tiba adalah rahasia dari-Nya, agar manusia siap menghadapinya setiap saat. Siapapun tidak bisa menjamin selamat dalam mabuk kematian (sakaratul maut). Kematian yang indah adalah ketika bersujud, baca al-quran, berjihad di jalan Allah SWT, di majlis ta’lim, majlis zikir dan majlis shalat jamaah. Orang akan mengakhiri kehidupannya berbanding lurus dengan hobinya di dunia. Maka, kita perlu selektif dalam memilih hobi (man syabba, syaaba ‘alaih).

Masalahnya, apakah benar semua kegiatan kita –bekerja, kuliah, istirahat, makan-makan, jalan-jalan kita-- digunakan untuk tujuan puncak, yakni hanya mengabdikan diri kepada Allah SWT. Andakan persepsi ibadah kita hanya 5 x sehari semalam, berarti semua itu masih memenuhi tujuan penciptaan kita.

Berapa lama shalat yang kita lakukan selama 50 tahun? Atau berapa lama waktu shalat yang telah kita lakukan selama 20-25 tahun usia kita ini?

Untuk sekali shalat , orang menghabiskan waktu 10 menit. Ini berarti dalam 5x shalat (menghabislan waktu sekitar 1 jam). Maka, dalam 50 tahun waktu yang kita digunakan untuk shalat = 18.250 hari x 1 jam = 18.250 jam. Setara dengan 2 tahun.

Masa 50 tahun di dunia hanya 2 tahun untuk shalat? Ini, bagi yang shalat memakan waktu 10 menit. Kalau cara shalat ekspres (super cepat), lalu bagaimana?

Benarkah shalat kita itu mencukupi untuk diterima dan pantas untuk menghadap Allah? Mengapa Anda begitu yakin?

Padahal Allah SWT berfirman dalam suratnya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz Dzariyat (51) : 56-57).

2 tahun dari 50 tahun kesempatan…itupun belum dapat dipastikan shalat kita memberikan efek pada perubahan pola pikir dan pembentukan akhlak yang mulia.

Sepertinya pahala shalat selama 2 tahun tidak sebanding dengan perbuatan dosa-dosa selama 50 tahun, dalam percakapan yang terkadang dusta, baik direncanakan atau tidak disengaja, ucapan yang menyinggung, memakan harta yang bukan milik kita, menggelapkan dan memalsukan angka-angka dll. Bukankah kita tidak berdaya dalam mengendalikan dosa panca indra kita?

Menata Ulang Pola Hidup

Suatu yang paling mahal dalam kehidupan kita adalah kesadaran tentang misi kehidupan di dunia ini. Tiada kata terlambat, sekalipun waktu demikian cepat, yang berlalu tidak akan kembali. Jangan kita biarkan kehidupan kita ini sia-sia belaka. Hanya memburu dunia, memarginalkan kehidupan akhirat.

Pernahkah kita membayangkan, berapa lamakah umat akhir zaman ini menikmati kehidupannya yang fana ini?

Kehidupan di dunia ini bagaikan berteduh di bawah pohon (halte) untuk menghilangkan kepenatan dalam menempuh perjalanan kehidupan yang jauh. Atau bagaikan mampir untuk membasahi kerongkongan yang sedang kering, karena dahaga.

Dalam ayat di atas disebutkan 1 hari menurut perhitungan Allah SWT adalah 1000 tahun menurut perhitungan kita. Berarti kita hidup tidak lebih dari 1/10 hari menurut perhitungan-Nya. Sekarang kita mencoba untuk mengkalkulasi. Dengan cara ini semoga muncul kesadaran baru untuk tajdidul iman, tajdidul ‘ibadah dan tajdidul akhlaq, tajdidul jihad wal ijtihad wal mujahadah.

Dalam sebuah firmannya, Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman : "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al-Mukminun (23) : 112-114).

Kesimpulannya, sesungguhnya kehidupan di dunia ini --yang seolah kita persepsikan panjang-- hakikatnya sangat singkat. Alangkah sia-sianya jika kita gunakan hanya untuk hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ibadah di jalan Allah.

Meminjam istilah Hasan Al Banna, barangsiapa yang mengisi waktunya hanya untuk bersenda gurau berarti melupakan misi kehidupannya. Mudah-mudakan, kita bisa memanfaatkan kesempatan hidup ini jauh lebih baik lagi.*





Cintailah Istri Anda Karena Allah


DALAM Islam, menikah sama dengan menyempurnakan separuh agama. Berbagai kenikmatan di surga sepertinya belum cukup bagi Adam ‘alaihis-salaam. Itulah sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan ibu kita, Hawa, untuk mendampinginya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya karya-karya besar orang sukses lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya bersinergi dengan sumber energi di luar dirinya, yakni dukungan dari orang-orang terdekat. Bagi seorang suami, istri adalah salah satu sumber energi itu.

Istri, di samping sebagai sandaran emosional, juga sebagai penyangga spiritual. Dialah yang siap berbagi tanpa pura-pura dan pamrih. Karunia istri, menurut Al-Qur`an, sama berharganya dengan kejadian dunia dan seisinya (Ar-Ruum: 16-30). Subhanallah!

Seorang suami bisa memperoleh ketenangan dan gairah hidup dari seorang istri. Juga kenyamanan, keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan seluruh energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali di dalam rumah. Rumah tidak sekadar tempat berteduh secara fisik, tetapi tempat berlabuh lahir dan batin. Sumber menu ruhani dan jasmani.

Potensi besar yang dikaruniakan Allah kepada perempuan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta, kasih sayang, dan ketenangan jiwa. Kekuatan itu seringkali dilukiskan bagaikan ring dermaga tempat suami menambat kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir merebahkan diri dan berteduh.

Di dalamnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan suami untuk bermain dengan lugu; saat suami melepaskan kelemahan-kelemahan nya dengan aman; saat suami merasa bukan siapa-siapa; saat suami menjadi bocah besar yang berjenggot dan berkumis. Di keadalaman telaga itulah suami menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.”

“Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan ibuku dan istriku,” kata Sayyid Quthub.

Sebaik-baik wanita (istri), kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah apabila kamu melihatnya menyenangkanmu. Istri yang seperti inilah yang bisa menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan penjaga kehormatan diri. Bila sumber itu hilang atau kering, tragedi cintalah yang akan terjadi.

Jangan Sampai Membelenggu

Hanya saja, kecintaan kepada istri harus rasional dan proporsional. Tak sekadar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio. Cinta terhadap istri hendaknya diletakkan demi kepentingan agama.

Cintailah istrimu di bawah cinta kepada Allah! Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mengasihi yang tidak dilandasi agama, suatu ketika bakal menjadi batu sandungan dakwah.

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِي

“Para kekasih pada hari itu (kiamat) sebagian mereka terhadap sebagian yang lain menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zuhruf: 67)

Ketergantungan kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Umar bin Khattab pernah menyuruh putranya, Abdullah bin Umar, satu dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah, untuk menceraikan istrinya. Pasalnya, ia terlalu berlebihan dalam mencintai istrinya itu.

Terkadang, ia terlambat shalat berjamaah karena asyik menyisir rambut istrinya. Sekalipun ia mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar menganggapnya sebagai kelemahan jiwa.

Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan putranya sebagai khalifah ketiga saat menjelang wafatnya, beliau menolak. “Aku tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tak berdaya menceraikan istrinya,” kata Umar.

Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan: "Pada hari kiamat setiap kekasih hati menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa."

Sedang Al-Hafidz Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Jika antara dua orang saling mencintai karena Allah, yang seorang di Timur dan yang seorang lagi di Barat, maka pada hari Kiamat Allah pasti akan mempersatukan keduanya sambil berfirman: "Inilah orang yg kau cintai karena-Ku..."

Agamalah yang bisa memberikan keterampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun) kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia.

Dinamika kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika, sehingga istri bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan di akhirat. Tidak sebatas pandai dalam menjalin kasih secara biologis, tetapi terampil dalam memetakan masalah dan memutuskan risiko yang terjadi pascanikah.

Membangun Sandaran Spiritual

Syaikh Hasan an-Naisaburi, seorang ulama yang alim, pada usia 40 tahun belum juga menikah. Di tengah kesibukannya, datanglah seorang gadis shalihah yang cacat (bermata juling) dan miskin memberanikan diri untuk menghibahkan dirinya kepada beliau.

“Wahai Ustadz, sudikah engkau berkeluarga dengan orang yang fari ini?” kata gadis itu.

Sang ulama tergagap, seakan-akan telinganya disambar petir, diingatkan akan sunnah Rasul yang selama ini seolah-olah terhapus dalam memorinya. Segera, setelah itu ia bisa menguasai diri.

Beliau menjawab, “Apakah sudah engkau pertimbangkan secara matang hidup denganku yang sudah tua ini? Ingat masa depanmu masih panjang! Jangan engkau korbankan harapanmu denganku!”

Singkat cerita, lamaran gadis tersebut diterima. Sang gadis, terutama bapaknya, segera melakukan sujud syukur, “Alangkah senangnya kehidupanmu kelak, Nak. Bapak doakan semoga pernikahanmu ini yang pertama dan terakhir. Anakku, ditinjau dari berbagai segi, sesungguhnya kamu tidak sekufu dengan ustadz. Baik dari sisi usia, keilmuan, harta, dan keturunan. Tetapi alhamdulillah, permohonanmu diterima dengan tangan terbuka. Doa apakah yang selalu kamu panjatkan kepada Allah selama masa penantianmu yang panjang, Nak?”

Selama lima tahun mujahid yang harum namanya itu berdampingan dengan wanita yang cacat fisik, tetapi sukses mengarungi samudera kehidupan berkeluarga tanpa hambatan yang berarti. Ia berhasil merangkai keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, wa muthmainah.

Sekalipun banyak ketidakcocokan di tengah jalan, tetapi dengan mudah dicarikan jalan keluar. Tentu, pasangan ini tidak terfokus perhatiannya pada hal yang bersifat lahiriah. Sang ulama menyadari, jika tidak menyukai satu sifat istri, palingkan penglihatanmu pada sisi yang lain.

Kalau kita baca tarajum (riwayat kehidupan) sang ulama, bisa dipahami bahwa kesamaan cinta kepada Allah-lah yang bisa mempertahankan dan merawat keharmonisan rumah tangga mereka sampai 15 tahun.

Suatu hari, sang istri yang cacat itu lebih dahulu kembali kepada Allah. Sang ulama menuliskan bait-bait puisinya yang melukiskan kepedihan hatinya, karena terlalu cepatnya berpisah dengan belahan jiwanya. “... Sungguh istriku, hati kita yang telah terbuhul... dengan cinta kepada Allah.”

Ia selalu terkenang dengan istrinya yang cacat fisik tetapi hatinya laksana intan mutiara. Lentera di dada.

Rasulullah berpesan, “Janganlah laki-laki mukmin membenci istrinya yang mukminah. Bila ada perangai istri yang tidak disukai, dia pasti ridha (senang) dengan perangai istri yang lain.” (Riwayat Muslim).








Tumbuhkan Cinta, Rangkullah Anak-Anakmu!!



KETIKA ada kolega saya datang dari Jepang, mereka mengajak ke restoran susi yang sangat terkenal. Tentu dijamin cukup mahal ongkosnya. Sekali makan bisa habis 500 dollar. Restoran yang dikenal dengan nama Uzen ini terletak di kota Berkelay, dekat kota San Francisco. Tepatnya di Jalan Collage Avenue, di sebelah perpustakaan kota Berkelay. Daerah yang ramai dihuni orang kulit putih yang kaya dan berpendidikan.

Sambil ngobrol kanan kiri tentang bisnis, terkadang kita saling melemparkan isu di luar tema pekerjaan, hingga masalah anak-anak.

“Ichiban ue no kodomo ha nansai desuka? (Berapa umur anak paling tua),” demikian penulis mengajukan sebuah pertanyaan.

“Sekitar 15 tahunan,” ujarnya dalam bahasa Jepang.

“Sotoni aruitara, kare no tewo kuminagara, arukimasuka?” (Apakah pernah menggadeng tangan anak Anda, ketika sedang jalan-jalan keluar rumah?)

Mungkin ini pertanyaan kurang menarik. Namun penulis berfikir, ini sebuah pertanyaan sederhana dan masuk akal. Setidaknya, ingin lebih tahu banyak tentang kebiasaan sehari-hari orangtua di Jepang dalam mendidik anak-anak mereka.

Sayang, jawabannya tak sesuai dengan yang penulis inginkan. Mereka justru tertawa lebar sembari mengatakan, “Soreha muri, mata okasii dayo.” (Itu adalah hal yang tidak mungkin, mustahil).

Perilaku memeluk, menggandeng anak adalah sesuatu yang dianggap aneh baginya.

“Kami tidak mungkin memegang pundak, memeluk anak-anak kami, apalagi menggandeng tangan anak kami ketika berjalan bersama,” tambahnya.

Fenomena ini kelihatannya mirip dengan di Indonesia. Bisa jadi itu adalah fenomena yang mungkin juga terjadi di kebanyakan keluarga.

Seorang ayah tidak terbiasa memeluk anak-anaknya ketika mereka tumbuh dewasa. Sehingga memegang pundak, merangkul dan mendekapnya adalah sebuah fenomena langka. Bahkan mungkin sudah dianggap tidak wajar alias alias prilaku aneh bagi orangtua dan anak.

Antara Sentuhan dan Otak

Mari kita bicara terlebih dahulu masalah kulit manusia sebelum melihat prilaku ini apakah sesuai dengan fitrah kita atau tidak. Luas rata-rata kulit orang dewasa adalah sekitar 1.67225 m².

Setiap cm2 luas kulit, mempunyai beribu-ribu saraf yang mempunyai fungsi sebagai sensor penerima.

Apa yang ditangkap oleh sensor ini kemudian disampaikan ke otak dan kemudian diolah untuk mengetahui kondisi di sekelilingnya. Panas dan dingin, halus dan kasar, bulat dan kotak semua dapat kita rasakan karena fungsi kulit ini.

Dan ternyata, belaian kasih sayang juga muncul dan dirasakan karena adanya rangsangan yang datang dari permukaan kulit.

Dalam beberapa hari pertama kehidupan embrio calon bayi, sel-sel yang akan membentuk bayi awalnya terdiri dari menjadi tiga lapisan. Endoderm (lapisan dalam) yang akhirnya menjadi organ-organ internal tubuh, mesoderm (lapisan tengah) menjadi otot dan tulang untuk menegakkan tubuh. Dan ektoderm menjadi kulit dan sistem saraf.

Otak dan kulit berasal dari lapisan yang sama, dan mereka berkembang bersama. Ajaibnya sel-sel otak dan kulit ini akan terus berkembang tidak hanya sebelum kelahiran, tapi juga dalam tahun pertama kehidupan sang bayi.

Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa hewan yang diberi sentuhan yang teratur akan mengembangkan otak yang lebih besar. Sentuhan ini akan membangun tulang dan otot yang kuat, sistem kekebalan yang lebih baik, dan tetap sehat sebagai orang dewasa daripada hewan yang kehilangan sentuhan ketika muda.

Saat bayi dipegang, dipeluk, dan mendapatkan makanan asi dari ibunya, dia mendapatkan rangsangan penting untuk membangun hubungan saraf antara kulit dan otaknya. Dengan menerima sentuhan dari keluarga atau pengasuh, sang bayi pada gilirannya belajar bagaimana untuk menyentuh dan kemudian dapat menjelajahi dunia luar. Sentuhan selama bulan-bulan awal pembentukan akan membangun sistem saraf yang kompleks dan canggih sehingga kita dapat sepanjang hidup merasakan berbagai tekstur, suhu dan merasakan bagian tubuh mana yang disentuh.

Tidak dipungkiri, bahwa Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin yang kampiun dan berhasil. Ummatnya bukan saja berjumlah ratusan. Bahkan jutaan, dan saat ini sudah milyaran.

Bagimana mungkin beliau bisa diingat sampai saat ini, kalau tidak ada sesuatu yang hebat di dalamnya?

Salah satu yang penulis tangkap dari sejarah kehidupan beliau adalah ketika beliau berhadapan dengan para sahabat dekatnya.

Sebelum menyampaikan pelajaran penting, terkadang Rasulullah SAW memegang pundak sahabatnya. Adalah Abdullah bin Umar, seorang sahabat muda yang menyodorkan dirinya agar dapat mengikuti perang Badar dan Uhud pada usia 13 dan 14 tahun.

Walaupun akhirnya permintaan kuatnya tidak dikabulkan oleh Rasulullah dalam dua perang dahsyat itu, pada usia 15 tahun akhirnya ia diperbolehkan mengikuti perang Khandaq memperkuat barisan pasukan Muslim Muhajirin dan Anshar.

Pegangan tangan Rasulullah di pundak Abdullah, pertanda apa yang akan disampaikannya adalah hal yang sangat penting dan pesan yang perlu diperhatikan.

Sentuhan tangan khas sang Nabi pecinta anak yatim dan orang miskin ini, bisa jadi membawa aroma tersendiri bagi Abdullah bin Umar. Keindahan alam fikiran akan keasyikan kedekatan dengan sang kekasih pujaan, manusia mulia.

Dan kemudian pesan penting itu pun akhirnya keluar dari mulut yang agung, Rasulullah SAW. Sebuah nasehat super yang luar biasa. Mengingatkan bagi yang masih punya hidup dan ingin mendapatkan kehidupan yang lebih hidup kelak.

"Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi; dan bila engkau di pagi hari, maka jangan menunggu datangnya sore.Manfaatkan waktu sehatmu untuk sakitmu, dan waktu hidupmu untukmatimu." (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW sering memegang pundak atau tangan para sahabatnya ketika memberikan pelajaran yang penting. Agar yang diberi pesan menjadi ingat dan tidak mudah melupakannya. Sentuhan tangan Rasul pujaan para malaikat ini menggambarkan hubungan kasih sayang yang dekat. Sebagai tanda sayangnya seorang guru kepada muridnya, ibarat seorang ayah kepada anaknya atau seorang komandan perang kepada prajuritnya.

Rasulullah SAW memang “sangat super sekali”, demikian meminjam istilah motivator dan konsultan asal Indonesia Sis Maryono Teguh atau lebih dikenal dengan nama Mario Teguh.

Baru-baru ini ada sebuah hasil studi yang mengejutkan dunia penyembuhan penyakit lupa dan marah. Terkadang orang semakin tua akan semakin menjadi pelupa dan pemarah. Ternyata penyakit ini bisa disembuhkan dengan hanya sentuhan tangan.

Adalah Akiko, seorang ibu muda dan ibunya yang sudah menginjak usia 70-an. Akiko pusing tujuh keliling ketika menghadapi ibunya yang semakin tua semakin menjadi. Pemarah dan pelupa. Pelampiasan marahnya tiba-tiba muncul. Tiba-tiba muncul emosinya yang tidak terkendali. Dipukulnya Akiko dengan tangannya karena sebuah kesalahan kecil.

Akiko hampir menyerah dengan kondisi seperti ini. Ia menangis, tidak kuat menghadapi kondisi ibunya yang suka uring-uringan.

Kondisi yang membuat fikirannya kalut dan sedih ini, tertolong ketika seorang dokter pijat Jepang memberikan saran untuk memberikan pijatan spesial di kedua tangan ibunya setiap hari. Minimal 5 menit.

Maka mulailah ia membawa anduk kecil yang sudah dicelupkan di air hangat. Ia bungkus dan usap-usap tangan kedua ibunya dengan sabar dan hati-hati. Kemudian ia buka anduk yang masih hangat itu, dan ia usapkan minyak pelicin di kedua tangan ibunya. Iya pijit dengan gerakan usapan dari pergelangan tangan sampai ke ujung jarinya. Harus dalam waktu kecepatan yang pasti, 5 detik! Itu adalah petunjuk penting yang ia terima dari dokter pijat. Tidak boleh lebih cepat dari 5 detik dan tidak boleh lambat dari 5 detik. Ketika usapan-usapan itu ia lakukan berulang kali. Kemudian menangislah ibunya dihadapannya. Ibunya terlihat tersengguk-sengguk, bercucuran air matanya. Dan akhirnya ibunya mengucapkan kata-kata yang selama ini hilang dan tidak pernah ia temukan kembali;
“Arigato, arigato, arigato”.

Akiko terkejut bukan kepalang. Baru kali ini ibunya kembali mengucapkan kata-kata yang dahulu pernah ada di mulutnya.

Akiko pun ikut menangis mendengar ucapan ibunya. Ia tidak dapat menahan linangan air matanya. Butiran-butiran air jernih itu jatuh mengenai tangan ibunya. Menghapus segala duka dan lara, segala penat dan letih, segala amarah dan keputusasaan.

Usapan tangan akiko di kedua tangan ibunya merubah segalanya. Ibunya menjadi gembira, dan mudah tersenyum. Itulah hebatnya sebuah sentuhan. Yang dahulu pernah diajarkan juga oleh Rasulullah SAW.

Aishar r.a. meriwayatkan bahwa beberapa orang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: "Apakah Anda suka mencium anak-anakmu?" Rasulullah SAW menjawab: "Ya". Kemudian mereka berkata: "Demi Allah, saya tidak mencium anak-anak saya". Kemudian Rasullullah SAW berkata: "Kemudian apa yang harus saya lakukan jika Allah telah menjauhkan anda dari rahmat-Nya." (Sahih Muslim, 5735)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Al-Aqra bin Habsi melihat Rasulullah SAW mencium cucunya Hasan. Kemudan Al-Aqra bin Habsi berkata, "Saya punya 10 anak, akan tetapi saya tidak pernah mencium satupun dari mereka". Kemudian Rasulullah SAW berkata: "Seseorang yang tidak menunjukan kasih sayangnya, tidak akan ada rahmat yang akan ditujukan kepadanya". (Sahih Muslim, 5736)

Peluk dan ciumlah anak-anakmu, agar mereka tahu bahwa ayah sangat mencintai mereka. Anak-anak yang ditampilkan ke dunia sebagai pendamping hidupnya. Ayah perlu mengungkapkan perasaannya bahwa dirinya berjuang dengan mereka untuk mencapai kemenangan hidup.

Berikanlah kasih sayang padanya, karena itu merupakan tanda-tanda iman seseorang dan akan berdampak memudahkan kita meraih surgaNya, sebagaimana dijanjikan Allah di surat Al-Baqarah [2]:25

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٥﴾

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (25).”(QS. Albaqarah[2]:25)








Tetap Berbahagia Menjadi Lajang




Home Jendela Keluarga

Share |
Tetap Berbahagia Menjadi Lajang?


Selasa, 20 September 2011

Oleh: Ali Akbar bin Agil

BAGI seorang wanita pada umumnya, melajang dalam usia matang sungguh tak nyaman. Betapa pun, menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini sangat bisa jadi menjadi penyebab guncangan jiwa yang bersangkutan.

Bagi seorang wanita normal, keluarga dan anak-anak adalah harapan dan cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa ketenangan. Anak-anak adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika setiap wanita menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya.

Tapi masalahnya, menikah tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan, yang dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena kriteria yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena takdir belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita lajang di usia matang hampir menjadi fenomena.

Lantas bagaimana?

Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita.

Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial.

Dengan sepeda motornya ia menjelajahi pelosok desa, mengisi kajian dan memberikan penyuluhan di kampung-kampung miskin dan desa-desa terpencil. Ia menjadi panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan, ia menjadi tempat orang-orang lugu itu meminta nasihat.

Muslimah itu, masih lajang dalam usianya yang 35 tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak yatim dengan kemampuannya sendiri. Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya ‘keluarga’. Wanita itu tak kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya ‘anak-anak’ tempat ia mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak digugat kesendiriannya karena ia menebar manfaat.

Membaca kisahnya, banyak inspirasi yang bisa diambil oleh kaum wanita, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa yang dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi kemanusiaan.

Pertama, jika kita renungan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah.

Kedua, seorang wanita lajang akan lebih mudah bergerak dan beraktifitas karena ia tak dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang wanita lajang akan bisa lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal waktu, peluang dan kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas sosial masyarakat yang mandeg karena ditinggal penghasungnya (yang seorang wanita) menikah? Berapa banyak aktifitas yang masih terus berkembang karena penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih lajang dan punya waktu banyak untuk berkomitmen?

Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai wanita? Bukankah pintu tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di dunia ini yang butuh asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita? Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema terutama berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak yang kurang dalam pendidikan dan asuhan.

Dalam kesendirian dan kemandirian kaum wanita, barangkali Allah memang mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk dididik, untuk diasuh. “Mereka adalah anak-anak kita juga,” begitu kata Emha Ainun Najib pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya di buku “Markesot Bertutur”.

Anak-anak sesungguhnya adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti dijaga. Sekalipun mereka tidak lahir dari rahim kita.


Saya percaya, selalu ada hikmah di balik setiap realitas yang ditetapkan Allah.

Banyaknya wanita lajang pada masa sekarang, mungkin karena Allah menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi lembut namun perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu diantaranya adalah mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak tetangga yang kurang perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu diantaranya adalah ikut membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya pendidikan dan aktifitas publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu, kemampuan dan kemandirian seorang wanita.

Mereka butuh kita, para wanita lajang yang mandiri, yang sanggup menafkahi diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki perhatian dan kemauan lebih untuk all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh para wanita yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap memiliki keluarga, meski bukan karena pernikahan.

Kita dapat memiliki makna, meski bukan dengan car menjadi ibu rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi manusia seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian semua orang, tanpa perlu menuntut dan meminta para lelaki untuk menikahi dan berpoligami.

Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orangtua asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan, mendirikan taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi terhadap agama di komunitas dan masyarakat kita. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar