Powered By Blogger

Jumat, 07 Oktober 2011

GAYA HIDUP MUSLIM



Demi Keamanan Dan Kehormatan Tutuplah Aurat



BEBERAPA waktu lalu, warga Jakarta dikejutkan oleh munculnya berita kasus pemerkosaan di sebuah angkutan umum. Peristiwa tersebut telah menyita perhatian publik, bahkan beberapa media memuatnya sebagai head line yang cukup menarik perhatian.

Silang pendapat pun tak terhindarkan. Masalah pemerkosaan bergeser pada masalah busana atau pakaian. Sebagian publik figur menilai bahwa memang sudah seharusnya kaum hawa menjaga diri dengan berpakaian syar’i. Namun sebagian yang lain bersikukuh untuk tetap menolak.

Aktivis perempuan pendukung rok mini misalnya, mereka menolak pihak yang menilai pakaian wanita sebagai pemicu tindak pemerkosaan.

“Jangan salahkan rok mini kami,” kilah mereka dalam demo yang mereka lakukan beberapa waktu lalu di bundaran HI, Jakarta.

Terlepas dari silang pendapat yang terjadi di masyarakat, sebagai seorang Muslimah sudah barang tentu kita ingin selamat dari bahaya dan tentunya ancaman siksa dari Allah SWT.

Tulisan ini, tentu tidak dimaksudkan membela para pemerkosa. Bagaimanapun, perilaku ini dilarang dan mendapat hukuman setimpal dalam Islam.

Namun, jauh akan lebih bermanfaat jika kaum Muslimah menjadikan kasus tersebut sebagai media introspeksi diri agar terhindar dari bahaya serupa. Pesan ini hanya untuk para Muslimah, bukan untuk yang beragama lain.

Sebagai ajaran universal, Islam sejak awal telah memberikan perhatian serius terhadap masalah busana. Seorang muslimah sungguh tidak dibolehkan (haram) membuka aurat mereka di depan umum atau terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya. Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya;

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS: Al-Ahzab: 59)

Ayat tentang hijab di atas, secara redaksional ditujukan kepada Nabi, namun demikian esensi dari ayat tersebut berlaku bagi seluruh wanita yang beragama Islam (Muslimah).
Ditinjau secara historis, perintah menutup aurat ini sama sekali tidak seperti anggapan aktivis liberal yang suka memutar balik esensi ajaran Islam. Juga tidak seperti tuduhan mereka yang menilai bahwa jilbab dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak para wanita.

Akan tetapi perintah tersebut hadir lebih karena adanya upaya serius untuk melindungi jiwa raga muslimah dari beragam gangguan dan bahaya yang bisa merenggut kesucian atau kehormatannya.

Prof. Dr. Muhammad Chirzin, menegaskan dalam karyanya “Buku Pintar Asbabun Nuzul” bahwa perintah berjilbab pada para muslimah, pada hakikatnya lebih dikarenakan menjaga kesucian dan kehormatan mereka dari berbagai macam ancaman dan berbagai macam gangguan kejahatan. Sebagaimana kaum Muslimah di zaman Nabi yang selalu rentan diganggu oleh kaum munafik dan Yahudi.

Dalam sejarah, jilbab terbukti efektif melindungi kaum hawa dari berbagai macam gangguan dan kejahatan laki-laki tak berkahlak.

Kehormatan Muslimah

Sejak ayat ini turun, kaum hawa pada masa Rasulullah sepenuhnya terjaga kehormatannya. Pernah suatu ada seorang Muslimah diganggu oleh orang Yahudi, maka sesaat kemudian rasulullah saw pun mengintruksikan perang terhadap Bani Qainuqa, yang telah mengganggu keamanan dan kenyamanan wanita yang beriman.

Peristiwanya bermula ketika seorang Muslimah mendatangi kios emas di pasar Bani Qainuqa untuk suatu keperluan. Ketika tiba di kios, Muslimah itu melihat beberapa orang Yahudi. Sesaat kemudian, orang Yahudi itu mulai menggoda dan melecehkan Muslimah tadi. Bahkan Yahudi itu berani memaksanya untuk menampakkan wajahnya. Dan, Muslimah tadi menolak.

Sampai-sampai mereka berani melakukan sesuatu yang mempermalukan Muslimah itu. Secara diam-diam, tukang emas pemilik kios mengikatkan ujung kain Muslimah itu pada sebuah bangku atau pada bagian punggung pakainnya tanpa sepengetahuannya, hingga ketika Muslimah itu berdiri, tersingkaplah aurat wanita ini. Merekapun tertawa terbahak-bahak dan mencemooh. Seketika Muslimah itu berteriak sekeras-kerasnya dan meminta pertolongan.

Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah saw, maka saat itu juga perintah perang melawan Yahudi Bani Qainuqa menjadi satu keputusan tegas beliau.

Hal ini cukup menjadi bukti bahwa jilbab itu penting baik bagi keselamatan diri, maupun kehormatan agama Islam. Oleh karena itu, sebagai Muslimah, tidak sepatutnya mengenakan busana yang tidak diajarkan oleh Islam dan dicontohkan oleh istri-istri beliau.

Keuntungan Berjilbab

Sebagai orang beriman, menurut aurat (berjilbab, red) tentu suatu keharusan. Namun ajaran Islam tak pernah memerintahkan sesuatu yang tak jelas manfaat dan alasannya. Demikian pula halnya dengan larangan.

Menurut aurat bagi Muslimah adalah perintah Allah dan rasul-Nya. Jika demikian pasti ada manfaat besar di balik perintah tersebut. Baik manfaat cepat di dunia dan pasti manfaat yang lebih besar lagi kelak di akhirat.

Wanita yang berjilbab insya Allah akan terhindar dari gangguan dan kejahatan pria tidak berakhlak. Lebih mudah beraktivitas di luar rumah, khususnya bagi Muslimah yang memiliki bayi yang masih minum ASI. Dengan berjilbab tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena bayi dapat minum ASI tanpa sang ibu malu karena terbuka auratnya.

Jilbab juga melindungi rambut dan kulit kepala dari sengatan terik mentari tatkala berada di area terbuka. Bahkan kulit pun akan tetap terjaga keasliannya, karena tidak terkena debu dan panas.

Secara psikis, jilbab juga akan memberikan self control yang baik. Jadi wanita lebih terpelihara ucapan dan perilakunya, sehingga terhindar dari keburukan akhlak. Oleh karena itu, secara otomatis jika para pengguna jilbab mengerti hakikat dasar jilbab, tentu mereka akan sangat disegani dan dihormati oleh siapapun juga.

Oleh karena itu, hendaknya para Muslimah dimanapun berada untuk bersegera menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya dalam hal berbusana. Jangan terprovokasi oleh sebuah ungkapan yang menyatakan, ”Lebih baik tidak berjilbab tapi baik daripada berjilbab tapi hatinya busuk.” Ungkapan tersebut adalah ungkapan yang tidak bertanggung jawab dan disampaikan orang yang mengerti agama secara baik.

Ingatlah, hati yang baik adalah hati yang kaya akan nutrisi iman. Dan, tidak mungkin seorang Muslimah yang mengaku beriman akan mengabaikan perintah Allah dan rasul-Nya.

Allah memerintahkan wanita menutup aurat, semata-mata agar terjaga jiwa raganya.
Ancaman pembuka aurat

Bagi wanita yang mengaku beriman, tetapi masih bersikeras tidak mau menutup aurat, sungguh ia telah merugi. Selain di dunia mereka hidup kurang terhormat, di akhirat mereka akan diminta pertanggungan jawab.

Rasulullah saw bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian, namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Sungguh ironis, jika kelak mencium bau surga saja kita tidak bisa.

Hadits di atas menjelaskan tentang ancaman bagi wanita-wanita yang membuka dan memamerkan auratnya.

Maka dari itu, bersegeralah menurut aurat. Jangan sampai karena lalai terhadap cara berbusana, di akhirat pun, kita menjadi wanita yang mendapat azab keras dari Allah SWT. Na’udzubillahi min dzalik.*







Nabi Saja Memperlakukan Istrinya Dengan Halus

SUNGGUH, tidak ada figur yang menjamin pengikutnya akan bahagia dalam segala hal selain Rosulullah saw. Dan, pasti bahwa tidak ada petunjuk yang bisa dijamin kebenarannya selain al-Qur’an al-Karim. Keduanya memberikan solusi terbaik bagi seluruh jenis persoalan yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah rumah tangga.

Dalam upaya membina rumah tangga bahagia Rosulullah juga memberikan teladan yang jelas dan mudah untuk dilaksanakan. Andaikata ada orang yang tidak pernah bertemu lawan jenisnya kemudian menikah, jangan khawatir, tips dari Rosulullah akan memberikan hasil yang baik daripada lawan jenis yang mengerti banyak teori rumah tangga namun tak mengikuti petunjuk nabi.

Kebahagiaan berumah tangga sangat mudah kita raih manakala kita benar-benar mengerti bagaimana Rosulullah saw memberikan teladan kepada kita selaku umatnya.

Dan, yang paling penting adalah kesiapan dan komitmen kita dalam meneladani kehidupan rumah tangga beliau.

Masalahnya, generasi sekarang, cenderung kurang memperhatikan masalah tuntunan interaksi suami istri di dalam kamar. Akibatnya mereka tak mampu meraih kebahagiaan yang didambakan. Jika dibiarkan lambat laun kondisi tersebut akan menimbulkan terjadinya perselisihan. Perselisihan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Tidak dapat dipungkiri, salah satu pemicu perselisihan yang sering dialami dalam berumah tangga, khususnya rumah tangga muda, yakni adanya ketidakpuasan pola interaksi suami istri di dalam kamar.

Bagaimanapun hal ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab tidak sedikit fakta menunjukkan bahwa seringkali rumah tangga hancur berantakan karena perkara yang satu itu.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim kita wajib membina keluarga bahagia (sakinah mawaddah wa rahmah). Bagaimana cara mewujudkannya? Uraian singkat berikut ini insya Allah akan membantu pembaca untuk meraih kebahagiaan rumah tangga.

Nikmat Itu Ibadah

Menikah adalah sunnah Nabi. Dan, menjalankan hubungan intim merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan bernilai pahala yang sangat besar.

Karenanya, jima’ (hubungan intim) dalam ikatan pernikahan adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk menyalurkan naluri jasmaniahnya agar terhindar dari perilaku yang menyerupai binatang atau bahkan lebih buruk lagi.

Rosulullah SAW pernah bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rosulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

Awali Dengan Doa

Sebagai seorang Muslim tentu kita diwajibkan untuk selalu mengawali pekerjaan dan menyudahi pekerjaan dengan membaca doa. Perihal hubungan suami istri juga ada doanya. Hal ini menjadi satu bukti bahwa Islam benar-benar agama yang sempurna.

“Dari Abdullah bin Abbas ra, Rosulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang kamu ingin berjima’ dengan istrinya, hendaklah ia membaca: بسمِ اللهِ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا (Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithana wa jannibi asy-syaithana ma rozaqtanaa).” (Dengan nama Allah, Yaa Allah jauhkanlah syetan dari kami dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizqikan kepada kami). Maka seandainya ditakdirkan dari hubungan itu seorang anak, anak itu tidak akan diganggu syetan selama-lamanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Itulah yang membedakan generasi Islam dengan orang diluar Islam. Bahkan di kamar dan hendak berkumpul dengan istripun, ada adab dan doa-doa yang dianjurkan.

Masalahnya, banyak generasi Islam kurang paham anjuran agamanya sendiri. Mereka kurang mengerti adab-adab Islam, termasuk adab dalam menggauli Istrinya.

Seorang ulama pernah mengatakan, saat ini banyak lahir anak-anak yang tidak memiliki kesopanan, tata krama dan tak mengenal budi pekerki. “Jangan-jangan, karena kedua orangtuanya tak pernah berdoa saat berhubungan intim,” ujarnya. Boleh jadi ungkapan ini benar. Sebab, saat itu, sebagaimana hadits di atas, syetan-syetan ikut terlibat di dalam kamar.

Karena itu, berdoalah ketika hendak berjima’ (berhubungan intim). Agar dapat mengundang berkah Allah SWT, hingga proses hubungan tersebut benar-benar dirdhoi Allah dan mampu menghasilkan putra-putri yang dikaruniai dan diberkahi Allah. Dampaknya, tentu akan menjadi hamba Allah yang shalih dan shalihah.

Merayu Istri

Bercanda sering dilakukan Nabi beserta istrinya Aisyah di saat berduaan. Pakar kesehatan saat ini sering menyebutnya dengan istilah bercumbu atau pembukaan sebelum jima’ (berhubungan seks).

Wanita dikenal memiliki perasaan halus. Ia juga harus diperlakukan sangat halus, bukan dengan cara kasar. Karenanya, tidak layak seorang suami memperlakukan para istri seperti binatang.

Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam selalu bercanda, tertawa dan merayu istri-istrinya sebelum berjima’.

Lakukan Dengan Tenang

Biasanya kesibukan sehari-hari, pekerjaan dan beragam tugas lainnya, menjadikan kualitas dan kuantitas interaksi suami istri sedikit terganggu. Namun demikian dalam prose jima’ akan sangat baik jika diberikan waktu yang pas. Jadi, tidak dilakukan dengan tergesa-gesa, namun tetap mengikuti tuntunan nabi, tenang.

“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Wanita merupakan makhluk Allalh yang sangat lembut hati dan perasaannya. Ciuman kepada istri merupakan satu hal yang amat didambakan dan dinantikan. Sebab ciuman suami bagi istri sholehah merupakan bentuk kasih sayang yang mampu menenangkan jiwa dan pikirannya. Maka dari itu mencium istri, merayu dan bercumbu dengannya merupakan satu hal yang tidak boleh ditinggalkan oleh para suami.

Berwudhu

Jika sang suami ingin berjima’ lagi, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang kamu telah bersetubuh dengan istrinya, lalu ingin mengulanginya kembali maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Muslim).

Aisyah menuturkan:”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam apabila beliau hendak makan atau tidur sedangkan ia junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (Muttafaq’alaih).

Larangan Dubur

Haram bagi suami menyetubuhi istrinya di saat ia sedang haid atau menyetubuhi duburnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan persetubuhan terhadap wanita haid atau wanita pada duburnya, atau datang kepada dukun (tukang sihir) lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Al-Arba`ah dan dishahihkan oleh Al-Alnbani).

Tidak Membuka Aib nya

Haram bagi suami-istri menyebarkan tentang rahasia hubungan keduanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguh-nya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang lelaki yang berhubungan dengan istrinya (jima`), kemudian ia menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim).

Jangan Tergesa Meninggalkan Istri

Umumnya suami lebih sering mengalami orgasme lebih cepat daripada istri. Namun demikian hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk bersikap egois. Suami juga wajib berusaha agar istri dapat merasakan puncak kenikmatan dalam hubungan intim.
Kemudian agar sedekah yang kita lakukan bersama pasangan kita juga memberikan hasil optimal maka upaya untuk bisa mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama merupakan satu hal yang perlu diperhatikan dengan sangat. Bahkan ada yang mengatakan wajib.

Karena pencapaian kenikmatan secara bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah.

Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar Islam, “la dharara wa la dhirar” (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Dengan demikian hal yang wajib dilakukan suami ialah belajar dan berusaha agar sang istri juga dapat merasakan puncak kepuasan. Merupakan satu tindakan yang bisa disebut egois dan dholim apabila suami telah mengalami orgasme kemudian dengan segera ia mengakhiri hubungan tersebut dan bergegas lepas dari pelukan sang isteri.

Tindakan di atas adalah keliru. Sebab keikmatan yang dirasakanoleh istri dalam jima’ dan sampainya ia pada orgasme, bukan semata-mata terletak pada alat kelaminnya saja. Tetapi ia juga sangat menikmati adanya keterpautan tubuh, bahkan sangat menikmati setiap sentuhan yang terjadi pada organ tubuh luar.

Bahkan yang terpenting dari semua itu adalah istri dapat merasakan adanya cinta dan kasih sayang dari sang suami. Sebab dengan hal itulah istri akan memliki kesiapan mental dalam dirinya untuk mengakhiri hubungan tersebut, bahkan hal itu akan sangat menjadikan istri selalu rindu untuk melakukan hubungan intim.

Oleh karena itu, sangat ditekankan kepada para suami untuk tidak lupa selalu memberikan ciuman kepada istri seketika setelah hubungan berakhir. Selain itu kata-kata yang manis, dekapan yang hangat dari kedua belah pihak akan semakin memperkuat jalinan cinta di antara keduanya.

Beberapa langkah di atas merupakan bagian kecil dari tuntunan Rosulullah saw bagi umatnya untuk memelihara kasih sayang antara suami dan istri.

Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddan wa rahmah insya Allah secara perlahan dapat dicapai. Islam itu sempurna, maka raihlah kebahagiaan dengan memahaminya dan mengamalkannya.

Mudah-mudahan kita mengamalkan sunnah Nabi dan meninggalkan tradisi jahilillah yang datangnya dari Barat dan orang kafir.*







Mari Perkuat Iman , Bukan Berbangga jumlah



SETIAP Setiap hari kita selalu dikepung oleh beragam berita, baik TV, internet, radio, majalah bahkan koran. Umumnya kita jadi ‘tidak karuan’ setelah membaca berita-berita itu. Pada saat yang sama berita-berita yang kita baca setiap harinya juga tidak berdampak signifikan terhadap produktivitas kita sehari-hari. Lebih-lebih terhadap peningkatan kualitas iman.

Apalagi berita yang dimuat media massa belakangan ini --baik dalam mapupun luar negeri-- cenderung kurang obyektif, khususnya ketika mengabarkan hal-ihwal umat Islam. Belum lagi program hiburan yang cenderung kurang etis.

Karena itu, adagium yang mengatakan bahwa kesalahan yang ditampilkan secara terus-menerus perlahan akan dianggap benar. Sedangkan kebenaran yang tidak pernah ditampilkan sudah pasti akan asing dan karena itu dianggap tidak benar, hari ini, bukanlah pepesan kosong.

Permainan opini di media berhasil menggiring manusia pada satu pemahaman dan gerakan yang seringkali justru tidak memberikan manfaat apa-apa bagi kehidupan kita, baik sebagai warga negara, bangsa maupun sebagai seorang Muslim. Yang ada justru makin menambah rasa gundah.

Prioritas Hidup

Tujuan utama diciptakannya manusia tiada lain hanyalah beribadah kepada Allah SWT. Beribadah kepada Allah SWT tidak bisa dilakukan kecuali orang yang berilmu. Tetapi ilmu yang tidak menguatkan iman juga tidak akan mendorong seorang manusia untuk benar-benar beribadah kepada-Nya.

Siapa yang tidak mafhum, jika mayoritas pejabat dan penduduk negeri ini beragama Islam. Tetapi, siapa yang tidak tahu kalau ternyata negeri ini adalah negeri Muslim terbesar yang korupsi menjadi budaya sebagian besar pejabat dan rakyatnya yang tentu juga beragama Islam.

Fenomena tersebut cukup menjadi bukti bahwa kita semua berkewajiban menjaga diri dan keluarga tertular virus yang membinasakan itu. Korupsi yang membudaya tersebut disebabkan oleh kelirunya mereka dalam menentukan prioritas hidup.

Allah SWT menjelaskan dengan gamblang bahwa pertama dan utama yang harus diupayakan oleh setiap Muslim adalah senantiasa menumbuhkan keimanan dan menjaga kualitasnya. Sebab iman itulah pangkal keselamatan umat manusia. Dengan iman orang rajin menuntut ilmu, dengan iman orang berani berjihad, dengan iman orang bisa menjadi pemimpin adil, bijaksana, dan pemberani.

Tetapi, hal inilah yang ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam di negeri ini. Faktanya sederhana, hampir dapat dipastikan bahwa seluruh anggota DPR setiap harinya selalu membaca koran. Tidak cukup koran mereka lihat internet. Tetapi bisa dipastikan, sangat sedikit di antara mereka yang setiap harinya membaca al-Qur’an.

Adakah kira-kira anggota dewan kita menjadikan al-Quran sebagai acuan menyelesaikan masalah dan persoalan, selain data penunjang bersumber dari media? Boleh jadi masih belum.

Mayoritas umat Islam, termasuk generasi muda telah disibukkan oleh hal-hal yang kurang memberi faedah. Baik bagi kepentingan duniawi apalagi ukhrawinya. Tidak perlu dibantah lagi bahwa kebanyakan anak-anak muda kita membuka akun Facebook-nya seolah-olah telah menjadi kebutuhan hidup setelah sandang, pangan dan papan.

Namun mereka sangat jarang --bahkan mungkin-- sangat berat untuk membaca dan mentadabburi al-Qur’an. Bahkan ada yang selama satu bulan atau sampau satu tahun tak menyentuh kitab sucinya, kecuali bulan Ramadhan saja.

Jika hal ini terus terjadi dan menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat kita, tentu kita bisa memastikan, rujukan gaya hidup mereka sehari-hari bukanlah al-Quran.

Kondisi inilah yang menjadikan kita cenderung mudah tertipu oleh dunia yang pragmatis, sehingga bertindak tidak atas dasar keridoan Tuhan tetapi atas logika materialisme.

Padahal berupaya untuk bisa bertindak atas dasar iman, itulah prioritas hidup yang hakiki.

Kuatkan Iman

Adakah masalah yang tidak bisa diatasi dalam hidup ini? Tentu semua bisa diatasi. Al-Qur’an menjamin hal tersebut. Al-Qur’an adalah obat (penyakit apa saja yang dialami kehidupan manusia), rahmat, dan petunjuk bagi orang yang beriman (benar keimanannya).

Ternyata, apabila kita telusuri secara cermat, hal utama dan pertama yang harus dilakukan oleh setiap Muslim ialah memperkuat keimanannya kepada Allah SWT. Hal tersebut bisa kita saksikan salah satunya dengan cara memperhatikan riwayat para nabi dan rasul-Nya.

Semua Nabi dan Rasul Allah menangan atas musuh-musuhnya bukan dengan persenjataan, kekuatan dana, dan banyaknya pasukan. Tetapi karena kualitas keimanannya. Sebab hanya dengan iman seorang Muslim akan mampu menjadi insan yang muttaqin.

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ بِبَدْرٍ وَأَنتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. 3: 123).

Bagaimana Allah menolong pasukan Muslim yang kecil dan tak bersenjata lengkap itu?

قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لَّأُوْلِي الأَبْصَارِ

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur) Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (QS. 3 (Ali Imron): 13).

Logika manusia biasa (lebih-lebih yang tidak beriman) pasti mengatakan bahwa yang banyak jumlahnya, lengkap senjatanya pasti akan menang. Tetapi faktanya tidak. Perang Hunain membuktikan hal tersebut. Bahwa ternyata banyaknya pasukan, lengkapnya senjata sama sekali tidak menjamin sebuah kemenangan bisa diraih.

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (QS. 9 (Attaubah): 25).

Tak sedikit ada penyakit dalam diri umat hari ini. DI mana mereka lebih suka berbangga-bangga jamaah dan jumlah. Meski sebenarnya, jumlah yang mereka bangga-banggakan itu tak pernah berarti bagi kemenangan Islam.

Karenanya, keimanan atau dengan bahasa lain, kualitas tauhid dan iman umat Islam, itu jauh lebih baik, dibanding jumlah yang banyak namun kualitasnya hanya seperti buih di lautan.

Jadi beriman itu penting dan mengimani apa yang diturunkan kepada rasulullah saw adalah perkara mendasar yang harus dijaga kualitasnya. Jika demikian mengapa kita tidak berusaha untuk selalu akrab dengan al-Qur’an?

Utamakan Sabar

Salah satu buah keimanan yang sangat istimewa ialah kesabaran.Nabi Muhammad berhasil membangun Madinah sebagai profil negara terbaik di dunia sepanjang masa karena kesabaran dan kesungguhan dalam menerapkan iman dalam kehidupan.

Sabar memang mudah diucapkan tetapi teramat berat untuk dilaksanakan. Namun bagi yang beriman, sabar adalah energi. Energi untuk tetap optimis, disiplin dan tekun dalam menjalani kehidupan dengan ketaatan penuh kepada Allah dan rasul-Nya.

Lihatlah perjalanan panjang Nabi Yusuf. Ia dilempar ke dalam sumur, kemudian difitnah hendak memperkosa istri tuannya, dan akhirnya dijebloskan ke dalam penjara. Semua ujian itu dihadapi dengan sabar tanpa kehilangan prinsip hidupnya, yakti tauhid.

Nabi Yusuf tidak pernah berusaha membalas perbuatan jahat saudara-saudaranya, kekejian istri tuan yang telah memfitnahnya. Bahkan Nabi Yusuf ikhlas berada dalam penjara, yang penting imannya terjaga.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِي

Yusuf justru berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. 12 (Yusuf): 33).

Sekiranya logika Nabi Yusuf ini digunakan oleh presiden, para menteri, anggota DPR dan seluruh umat Islam di Indonesia, tentu akan adil makmurlah negeri ini.

Faktanya jelas, dengan bersabar di dalam penjara, dan konsisten mempertahankan keimanannya, Nabi Yusuf diangkat oleh Allah SWT menjadi perdana menteri yang berhasil menyelamatkan rakyat Mesir dari paceklik dan kelaparan selama 7 tahun lamanya.

Bahkan nama Nabi Yusuf diabadikan di dalam al-Qur’an. Apalagi kalau bukan karena Allah ridha kepada Nabi Yusuf selain karena kesabarannya?

Kesimpulannya, marilah kita senantiasa berupaya mempertajam kualitas iman kita dengan berlomba-lomba memperkuat iman dan menunjukkan keislaman kita, bukan berbangga pada jumlah.








Membangun Mental Pemenang



SETIAP kali kita berhari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Qurban, seharusnya kita sudah memetik kemenangan. Kemenangan memimpin diri sendiri, sebelum memimpin orang lain. Barangsiapsiapa yang kalah dalam mengelola diri sendiri akan gagal memimpin orang lain. Kemenangan mengendalikan/mengelola panca indra, syahwat perut (syahwatul bathn) dan syahwat kemaluan (syahwatul farj) agar tunduk kepada keinginan Allah SWT. Sebagaimana al-Quran mengatakan;

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapatkan kemenangan." (QS.An Naba (78) : 31).

Kemenangan bahwa menemukan jalan keluar dari kerumitan hidup, memperoleh rizki di luar planning, perhitungan manusiawi dan tanpa menggunakan prinsip-prinsip ekonomi, mendapatkan berbagai kemudahan dalam menapaki pasang surut kehidupan termasuk terhapusnya dosa dan jaminan memperoleh pahala yang agung. Tentu ini, sebuah kemenangan yang bersifat spektakuler. Sebagaimana janji Allah SWT;

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah SWT niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah SWT niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (QS. Ath Thalaq (65) : 2-4).

Sebagai pemenang sejati, tak ada salahnya kita gemakan alunan takbir, tahmid dan tahlil. Kita gemakan ucapan Allahu Akbar, Allah Maha Besar, termasuk dalam keyakinan kita. Betapa kecilnya ilmu yang kita miliki, betapa kecilnya harta dan jabatan kita. Subhanallah. Maha Suci Allah. Betapa kotor diri kita. Bukankah kita seringkali tidak kuasa mengendalikan mulut, telinga, tangan, pikiran, perut dan farji (kemaluan) kita dari dosa dan masiat.

“Laa ilaaha illallah, Tiada Ilah selain Allah.” Kita diperintahkan untuk memperbanyak ucapan tahlil artinya kita dianjurkan untuk mengukir sebanyak mungkin prestasi karena dorongan iman.

Kalimat tahlil yang kita hayati dalam hati, diucapkan dengan lisan dan digerakkan dengan anggota tubuh, mudah-mudahan iman (tauhid) terpatri dalam jiwa kita.Tanpa menunggu banyak orang bertahlil di malam Jumat. Setiap saat, jika perlu kita harus bertahlil.

Dengan berpuasa secara benar kita bisa merasakan nikmatnya hari lebaran/hari raya. Laksana perasaan seorang pengembara (as Saihun) yang menemukan oase di tengah padang sahara. Bagaikan seorang musafir kehausan yang menemukan telaga yang jernih dan tempat berteduh di tengah-tengah teriknya perjalanan. Seperti perasaan seorang petani yang menemui tibanya masa panen. Seperti seorang pebisnis yang memperoleh keuntungan usaha yang berlimpah. Seperti seorang atletik yang mengungguli para kompetitornya.

Ketika menang, kekalutan dan kegelisahan hati menjadi terobati. Seakan-akan hilang keletihan, pengorbanan yang kita rasakan sebelumnya. Sehingga pasca kemenangan ada tambahan kekuatan, motivasi, harapan dan energi baru. Dengan stamina, spirit baru itu merupakan modal untuk melawan tekanan eksternal dan internal diri kita, mengusir rintangan, menyingkirkan duri, menolak rayuan dan godaan, memikul beban, dan menikmati kelelahan dan penderitaan.

لَيْسَ اْلعِيْدُ مَنْ يَلْبَسُ الْجَدِيْدَ اِنَّمَا الْعِيْدُ اِذَا كَانَتْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ وَعَنِ الْمَعْصِيَةِ بَعِيْد

“Bukanlah orang yang berlebaran itu orang yang berpakaian baru, hanyalah orang yang berhari raya itu jika ketaatannya (kepada Allah) meningkat dan terhadap perbuatan masiat menjauh.”

Memasuki bulan Syawal adalah momentum untuk mengadakan evaluasi secara radikal mutu/standar kelulusan kita pada madrasah Ramadhan. Semoga, pada sebelas bulan mendatang terjadi peningkatan kualitas pribadi, organisasi, sosial dan amal shalih, sesuai dengan arti dari bulan Syawwal itu (bulan peningkatan).

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” (QS. Ali Imran (3) : 133-135).

Mewaspadai Kebangkrutan

Alangkah ruginya jika kita tidak bisa mempertahankan kualitas (bobot kepribadian) yang kita serap dari Ramadhan. Pengaruh tarbiyah amaliah yang tersimpan dari kata Ramadhan. Yaitu, Ra (rahmat, kasih sayang), Mim (maghfirah, ampunan), Dhi’fun (berlipat ganda), Alif (amina minan nar, aman dari siksa), Nun (nur, bercahaya).
Seharusnya, terjadi peralihan bentuk setelah berpuasa. Sebelum berpuasa karakter kita bagaikan ulat yang menjijikkan. Bodinya tidak menarik. Kulitnya membuat gatal yang tak terperikan. Setelah berpuasa di dalam kepompong selama empat puluh hari berubah menjadi kupu-kupu yang sedap sejauh mata memandang.
Kita juga tidak ingin seperti perempuan tua jahiliyah dahulu yang pagi harinya rajin menenun, tetapi pada sore harinya hasil tenunannya itu diurai selembar demi selembar.

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[*]. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (QS. An Nahl (16) : 92)

Atau orang yang fisiknya puasa, namun panca indera lain tetap melakukan maksiat. Sehingga puasa yang dilakukan tidak berefek pada perubahan pola pikir dan perilaku kehidupan sehari-hari. Poso (puasa) identik dengan - opo-opo kerso (tidak ingin melakukan, Jawa red)

أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ ؟ قَالُوْا : اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ وَلَا مَتَاعَ , فَقَالَ : اِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتيِ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ , وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذاَ , وَسَفَكَ دَمَ هَذَا , وَضَرَبَ هَذاَ , فَيُعْطِي هَذَا مِنْ حَسَنَا تِهِ وَ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِ, فَاِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ, أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فيِ النَّارِ

Nabi bersabda; “Tahukah kalian, siapakah orang-orang yang bangkrut itu? Mereka menjawab, Menurut kami orang yang bangkrut itu ialah yang tidak memiliki harta dan benda. Beliau bersabda : orang bangkrut dari ummatku tampil pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat. Dia pun datang dengan membawa dosa karena memaki orang, menuduh seseorang berzina, memakan harta si anu, menumpahkan darah si anu, dan memukul si anu. Kemudian diberikanlah sebagian kebaikannya kepada si anu dan si anu (yang dahulu dizaliminya). Jika kebaikannya telah habis sebelum dosa kezalimannya berakhir, maka kesalahan orang diambil lalu ditimpakan kepadanya.Akhirnya dilemparkanlah dia ke neraka.” (HR. Muslim dan Turmudzi).

Karena itu, kemenangan ruhaniah adalah modal yang amat berharga agar kita memiliki kemampuan untuk menunda kepuasan sesaat yang menggoda, menggiurkan atau menyilaukan dan menukarnya dengan kesabaran dan keteguhan menunggu kepuasan akhir, abadi dan permanen. Karena kita yakin, sesungguhnya hasil yang kita nikmati sekarang tidak sebanding dengan kenikmatan di akhirat kelak.


فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disimpan untuk mereka, yaitu (berbagai kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.“ (QS. Al Sajdah (32) : 17)


JIKA energi spiritual itu mapan dan dahsyat, maka kita mampu melawan sikap tergesa-gesa, kemenangan sementara, keletihan dan kelelahan, perjalanan panjang nan berliku, godaan duniawi yang kerdil, trampil mengantisipasi berbagai tekanan internal dan intimidasi musuh. Dan pada saat yang bersamaan kita merasakan kehidupan yang bermartabat (izzah).

Kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan utamanya kehidupan bernegara kita sekarang ini membutuhkan energi spiritual untuk membangun kembali puing-puing kerusakan moral akibat terpaan badai materialisme. Serta penjajahan syubhat, syahwat dan ghoflah (kelalaian).

Sekarang juga kita memerlukan kekuatan ruhiyah itu untuk menyembuhkan bangsa dari patologi (penyakit) sosial. Sekarang ini kita membutuhkan energi spiritual untuk memperbaiki nasib bangsa yang telah terpuruk, miskin, bodoh, terbelakang, dan terjerat belenggu krisis. Dan sekarang ini kita memerlukan kekuatan moral itu untuk melawan tirani yang terjangkiti penyakit KKN secara kronis dan akut.

Sekarang ini kita membutuhkan reformis baru, sang juru selamat, pahlawan (banyak amal dan pahalanya), yang bisa membawa ke pinggir pantai para penumpang kapal Indonesia yang tenggelam di dasar laut. Kita membutuhkan imam (pemimpin spiritual) pada saat dimana para koruptor dihormati, orang yang baik dikucilkan, diisolir dan dituduh sebagai biang kerusakan negeri (teroris).

Setiap kali bangsa manapun menghadapi tantangan besar, muncul pahlawan yang memberikan arah dan memimpin perjalanan. Ketika bangsa Israil ditindas dan difakirkan Firaun, datanglah Musa dan Harun.

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut. Berkatalah mereka berdua : Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas. Allah berfirman : Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah : Sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah dating kepadamu membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS. Thaha (20) : 43-47).

Ketika mereka menghadapi paceklik, muncul Nabi Yusuf yang memegang kendali perekonomian dan mewujudkan kemakmuran.

(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf (12) : 46-47).


Ketika Jalut (Goliat) mengancam mereka dari luar, Nabi Dawud hadir memimpin perlawanan dan membunuh Jalut.

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata : "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar." Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS. Al Baqarah (2) : 49-50)

Ketika ummat manusia berada di tepi kehancuran peradaban Parsi dan Romawi, diutuslah Nabi Muhammad Saw.

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ


“Sebagaimana Kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah (2) : 151).

Ketika kerajaan Bani Umaiyah mengalami pembusukan dari dalam, datanglah sosok Umar bin Abdul Aziz. Seorang pemimpin yang zuhud. Pengaruh kepemimpinannya demikian mendalam. Pesan-pesan ketaqwaan mendominasi tempat-tempat umum. Bahkan para amil zakat keliling Afrika, tetapi tidak ada yang menerimanya. Indikator kemakmuran yang tidak ada duanya. Maka, sejarah menamakan pasca kepemimpinan cicit Umar bin Khathab tersebut sebagai khalifah rasyidah kelima.

Merindukan Sosok Leader, Bukan Dealer

Bukan tantangan yang kita keluhkan sekarang ini, tetapi benarkah rahim pertiwi ini tak sanggup lagi melahirkan para pahlawan, leader seperti zaman revolusi kemerdekaan pada tahun 1945 dahulu. Benarkah negeri yang dilukiskan oleh Syekh Ali Thanthawi laksana “ sepenggal firdaus di bumi “ dan penyair Yaman “ - namudzajiyyah fil jannah - maket surga”ini akan hancur ditangan bangsanya sendiri yang terlalu kerdil menghadapi persoalan dan tantangan besar. Benarkah bahwa tantangan kehidupan dari Allah sekarang ini lebih besar dari kapasitas internal yang kita miliki. Mengapa semua ujian yang kita hadapi bersamaan dengan musibah kelangkaan pahlawan.

Sudah saatnya kekuatan spiritual yang kita peroleh selama bulan Ramadhan kita aktualisasikan untuk membangkitkan semangat pengorbanan dan kepahlawanan. Sebab kejahatan yang menggurita pada era globalisasi saat ini terlalu keras untuk dilawan oleh orang-orang yang lemah imannya. Badai materialisme terlalu menggoda untuk dihadapi oleh orang yang berjiwa kerdil.

Dengan nilai-nilai perjuangan, kepahlawanan, pengorbanan yang diserap dari sekolah Ramadhan itu kita menggalang tangan-tangan shalih yang terisolir di negeri ini untuk bersinergi. Memenangkan kebenaran diatas kebatilan. Mengedepankan aspek spiritual diatas material. Mengunggulkan aspek ruhaniah di atas sektor badaniyah. Mengedepankan iman dan takwa diatas ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengedepankan iman diatas akal dan naluri. Dan kita alirkan kembali darah segar ke dalam tubuh ummat yang tampak pucat dan lesu. Dan bermental bagaikan buih di lautan. Serta kita angkat kembali harga diri kita yang sudah jatuh.

Terakhir, mari kita sadari bahwa siapapun orangnya pasti pernah dan selalu pernah melakukan kesalahan. Dalam diri kita bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi ada naluri. Dalam diri kita tidak hanya ada akal dan iman, tetapi ada pula syahwat. Kita bukan hanya memiliki kekuatan, namun juga memiliki kelemahan sekaligus kekurangan. Kesalahan yang fatal adalah kita tidak menyediakan pada ruang kepribadian kita untuk memperbaiki diri. Janganlah kita persepsikan bahwa kekurangan, kelemahan itu mematikan peluang untuk maju.

Semoga kesalahan itu tidak terulang, dan kita berharap kesalahan itu sebagai tangga, jembatan untuk meningkatakan kualitas kita. Marilah kita berbuat sebanyak mungkin untuk menutupi segala kekurangan dan kelemahan bawaan kita. Sehingga sampai pada kondisi bahwa kekurangan kita bisa dikalkulasi. Sekalipun banyak kekurangan, tetapi yang menonjol dalam diri kita adalah kelebihan-kelebihannya.

Hari raya sejatinya membuka ruang kepribadian kita secara lebar untuk berkembang. Tidak terpuruk pada sisi gelap dan bahu tidak sedap diri. Ketika kita terbuka dalam merespons setiap perubahan menuju ke arah kebaikan dan kesempurnaan, indikator bahwa kita menempatkan diri termasuk agen perubah (‘unshur taghyir). Kesadaran untuk berubah adalah unsur yang termahal dalam kehidupan ini.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Anfal (8) : 53).

Tentu saja, Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar