Mencetak Keluarga Inovatif
FENOMENA kecelakaan pesawat terbang milik tentara RI beberapa waktu lalu menjadi sebuah ironi sekaligus kekonyolan yang menggelitik. Bagaimana mungkin, sebuah negara dapat mempertahankan kedaulatannya, jika alat-alat utama sistem pertahanannya sudah lansia dan tak aman digunakan?
Namun demikian, mari sejenak kita memikirkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) dalam surat Al-Anfal ayat 60:
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“Dan persiapkanlah dengan segenap kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak dapat mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infaqkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dirugikan.”
Dalam ayat di atas, sebagai Muslim kita diperintahkan untuk selalu siaga penuh menghalau musuh yang datang mengganggu kedaulatan dalam segala bidang.
Umat Mandiri
Sayangnya, umat kini masih banyak yang tak bergerak mempersiapkan “kuda-kuda perang” mereka. Banyak alasan yang dikemukakan untuk membela diri. Mulai ketidaksiapan sumberdaya, hingga tidak bersatunya secara mendunia umat ini.
Kita tentu tidak dapat berlindung pada kekuatan yang berasal dari musuh Islam untuk melindungi hak-hak seorang Muslim.
Hal menarik telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) ketika beliau dan umat Islam menjalani masa pemboikotan. Masa-masa pemboikotan inilah yang kemudian mengajarkan kepada umat untuk senantiasa mandiri tanpa bergantung pada kekuatan lain selain kekuatan sendiri. Termasuk dalam hal pertahanan diri, dan mencukupi segala kebutuhan dengan sumber daya yang dimiliki.
Kesadaran untuk mandiri dan membangun kekuatan sendiri ini, seharusnya juga tertanam kuat pada umat generasi ini. Tidak selamanya kita dapat bergantung kepada fasilitas yang diciptakan oleh pihak yang tak selamanya bersahabat. Bukankah tidak pernah ada jaminan bahwa selamanya kita akan berdamai dengan negara tersebut? Bila suatu saat perang di maklumkan atas kedua negara, bukankah “rahasia” persenjataan kita sudah ada di tangan mereka?
Generasi umat ini harus belajar untuk menguasai teknologi dan mandiri menciptakannya. Semangat dan kesungguhan inilah yang harus dimulai dari sebuah elemen terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga.
Pendidikan para Penemu
Sudah saatnya, kita mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi penemu dan ‘pencipta’. Menjadi orang yang kelak menciptakan pesawat tempur, tak sekadar menjadi pilot pesawat tempur. Apalagi hanya sebatas mengagumi kegagahan sang pilot yang berlaga di film-film Barat. Mengajarkan kepada anak-anak kita untuk bercita-cita menjadi gubernur baitul maal bukan sekadar menjadi pegawai bank.
Tak ada salahnya bila kita mencontoh yang telah dilakukan Jepang dalam membangun negerinya. Sebelum tahun 1868, Jepang adalah negeri yang tertinggal dan tak diperhitungkan di pentas dunia. Namun, tiga puluh tahun setelah Restorasi Meiji bergulir di tahun tersebut, Jepang telah berubah menjadi negara adidaya yang ditakuti.
Kunci dari perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa ini adalah pendidikan. Yaitu mengubah sistem pendidikan tradisional (yang kerap dilakukan di kuil-kuil) dengan sistem pendidikan modern, program wajib belajar, pengiriman mahasiswa Jepang ke luar negeri, serta peningkatan anggaran sektor pendidikan secara signifikan. Selain itu, Jepang mendorong rakyatnya untuk bersahabat dengan buku.
Sebagai keluarga Muslim, sangat penting untuk meningkatkan kualitas anak-anak yang kita miliki. Pendidikan mereka adalah investasi penting yang wajib kita lakukan saat ini. Kualitas pendidikan inilah yang harus diperhatikan setelah masalah akidah.
Allah SWT pun menantang umatnya untuk memecahkan rahasia di balik setiap penciptaan-Nya yang begitu sempurna. Dia membekali manusia untuk menjawab tantangan ini dengan hati, mata, dan telinga. Sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam ayat 78 surat An-Nahl:
وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati supaya kamu bersyukur.”
Oleh karena itu, selayaknya pendidikan yang kita berikan adalah pendidikan yang memacu anak-anak kita menemukan dan mengembangkan rahasia yang tersimpan di balik penciptaan Allah SWT. Semangat untuk menjadi penemu dan berinovasi inilah yang begitu penting untuk dipupuk di dalam keluarga.
Mewujudkan Mimpi
Keluarga kita harus menjadi keluarga yang haus akan hal-hal yang baru. Tak betah diam manakala tak bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Juga bersemangat untuk menjadi keluarga yang luar biasa bukan menjadi yang biasa-biasa saja.
Merangsang setiap anggota keluarga untuk menjadi para penemu memang bukan perkara mudah. Namun, hal ini dapat dirangsang dengan membiarkan ide-ide liar anak-anak dan pasangan kita bermekaran. Walau mungkin, dalam sesaat kita sempat menganggap hal tersebut hanya mimpi dan tak masuk akal, mari saling mendukung untuk membuatnya menjadi nyata. Karena, banyak teknologi yang kini sangat bermanfaat berasal dari mimpi yang tak masuk akal.
Mengasah akal untuk berjalan di tempat yang terasa “tak mungkin” akan membuat kita mendalami hal yang belum terjamah. Hal yang belum terjamah inilah yang membuat seseorang akan merasa tertantang dan berusaha untuk menaklukkannya. Sehingga, ia akan terbiasa untuk menemukan dan menciptakan hal-hal baru. Semangat inilah yang mendorong dunia Barat dan bangsa Jepang menjadi bangsa-bangsa yang menguasai peradaban modern.
Kita harus menanamkan dalam diri dan keluarga bahwa Allah SWT tidak pernah menyuruh hamba-Nya menjadi orang-orang biasa. Sebaliknya, Allah memasang target bagi hamba-Nya agar benar-benar menjadi orang-orang luar biasa. Sebagaimana yang telah Allah nyatakan dalam surat Ali Imran ayat 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik bagi seluruh manusia; menyuruh pada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.”
Orang-orang luar biasa inilah yang mampu mempersiapkan kuda-kuda perang tangguh yang akan menggentarkan nyali musuh.
Mulai saat ini, kita harus membiasakan anak-anak kita membaca ayat-ayat Allah yang bertebaran dalam kehidupan dengan lafadz keluar-biasaan yang telah Allah ciptakan dalam mata, telinga, hati, dan akal. Sehingga, setiap anak kelak akan bercita-cita menjadi “pembuat burung Ababil” yang memporak-porandakan pasukan Abrahah. Burung Ababil tersebut mereka buat dalam bentuk pesawat tempur yang kelak menghancurkan pasukan Abrahah modern yaitu Israel dan sekutunya.
Tak hanya membuat Burung Ababil pelumat pasukan musuh, kita pun melihat anak-anak yang terdidik dalam keluarbiasaan ini menjelma menjadi Avicena muda, Imam Ghazali yang diteladani seluruh ekonom besar dunia, bahkan panglima perang sehebat Thariq bin Ziyad. Sungguh, mereka adalah sosok-sosok luar biasa yang piawai dalam cara yang bukan biasa-biasa saja. Kelak, dengan semangat inilah, Islam akan kembali menjelma menjadi raksasa yang menguasai duniaIstimewa Dengan Bertambah Usia
BERTAMBAH usia bagi kaum Hawa memiliki arti yang sangat besar. Banyak orang bilang perempuan sangat dibatasi oleh usia. Karena itu, banyak perempuan yang sangat khawatir terhadap bertambahnya usia mereka. Bertambahnya usia berkonotasi pada semakin sempitnya kesempatan dan berkurangnya kebanggaan.
Semua itu, membuat hidup bagi perempuan bagaikan pilahan-pilahan sempit. Rentang waktu yang membanggakan hanyalah antara 20 hingga 40 tahun. Sebelumnya adalah usia anak-anak dan selebihnya adalah usia yang mengkhawatirkan karena harus berhadapan dengan ketuaan. Sungguh, semuanya membuat perempuan merasa begitu terkejar-kejar oleh waktu.
Orientasi Fisik
Ini semua adalah buah dari paham materialisme yang begitu ampuh memporak-porandakan eksistensi perempuan. Semuanya berorientasi pada fisik. Setiap perempuan dijejali propaganda untuk tampil cantik dan sempurna agar bisa mendapatkan cita-cita yang dimimpikannya. Jenis-jenis kesuksesan yang diekspos pun yang berangkat dari modal fisik.
Perempuan yang cantik dan muda akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, lebih diterima dalam pergaulan, dan memiliki masa depan yang lebih cerah dibandingkan mereka “yang biasa-biasa saja.” Sehingga anak-anak perempuan pun berlomba untuk memoles diri agar masa depan mereka di usia dewasa terjamin oleh kecantikan dan penampilan. Ketika usia memasuki dasawarsa ketiga, perempuan pun segera dihinggapi kekhawatiran akan penampilan. Tanda-tanda penuaan yang mulai merambah wajah segera membuat kepercayaan diri menurun. Akibatnya, begitu banyak potensi yang lebih penting dibandingkan fisik, terabaikan begitu saja lalu padam sebelum waktunya.
Padahal, bertambahnya usia seharusnya membuat perempuan semakin bersinar dan membuat masa depan semakin cerah. Karena, bertambahnya usia berarti bertambahnya kedewasaan. Bertambah usia berarti semakin banyaknya hikmah kehidupan yang telah berhasil digenggam, sehingga langkah ke depan untuk mencapai keberhasilan pun akan semakin ringan.
Tak mudah memang membangun pengertian ini di dalam benak kita. Karena, propaganda materialisme sedemikian kuat mencengkeram perempuan. Kesan yang dibangun dunia industri pun melulu menggunakan perempuan sebagai objek. Sehingga perlahan, setiap perempuan merasa tak sempurna, bila tak seperti yang terpampang dalam iklan.
Namun, tentu sebagai perempuan, kita sama-sama sepakat bahwa keadaan ini harus segera diubah. Inilah saatnya untuk mengubah pandangan tentang usia, dimulai dari dalam diri sendiri.
Menjadi yang Dicintai
Hal pertama yang harus dikedepankan dalam benak kita adalah usia merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala (SAW). Bertambahnya usia, selayaknya membuat kita menjadi manusia yang lebih bernilai di hadapan Allah SWT. Bila usia yang menapaki masa tua menjadi hal yang merisaukan, marilah menukar tempat kerisauan itu dengan semangat. Semangat untuk melihat lebih dalam apa yang telah kita lakukan dengan usia yang semakin menjemput senja. Bila semangat evaluasi ini menuntun kita pada sebuah kenyataan bahwa tak banyak yang berarti dengan usia yang sekian lama kita lalui, teruskanlah menjadi semangat untuk melakukan lebih banyak hal yang berarti.
Jadikanlah setiap pagi sebagai awal untuk mengukuhkan eksistensi kita sebagai orang yang dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana sebuah riwayat pernah memuat percakapan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) dengan seorang Badui. Orang Badui yang kasar itu bertanya kepada Rasulullah tentang ciri-ciri orang yang dicintai oleh Allah SWT dan ciri orang yang dibenci oleh Allah SWT.
Namun, Rasulullah SAW justru balik bertanya kepada orang tersebut, “Dapatkah engkau ungkapkan, bagaimana perasaanmu ketika bangun tidur?” Orang Badui tersebut kemudian menjawab, “Mula-mula yang kurasakan adalah keinginan untuk melakukan kebajikan dan rindu hendak berkumpul dengan orang-orang yang senang berbuat baik. Jika aku tidak bisa berbuat kebajikan, maka remuk-redamlah hatiku. Aku juga sangat berduka, jika tidak dapat menjumpai orang-orang yang saleh dalam pergaulanku.” Atas jawaban tersebut, Rasulullah tersenyum dan kemudian berkata, “Kalau keadaanmu demikian, maka itulah ciri-ciri orang dicintai oleh Allah. Adapun ciri-ciri orang yang dibenci oleh Allah adalah mereka yang ketika bangun tidur sudah berencana untuk berbuat maksiat serta ingin bersuka ria dengan ahli maksiat.”
Bertambahnya pagi juga berarti bertambahnya usia. Bila setiap pagi yang ada di dalam hati kita adalah keinginan untuk berbuat kebaikan dan berkumpul bersama orang-orang yang gemar berbuat baik, maka kita pun tak akan pernah merasa tua. Semangat untuk melakukan kebaikan ini akan membuat kita menyambut hari esok dengan penuh harapan dan kegembiraan. Ini akan membuat kita merasa berarti dan berenergi untuk melakukan hal yang benar-benar bernilai.
Optimis dan Ikhlas
Fakta ini tentu dapat menunjukkan pada kita bahwa apa yang ada dalam hati dan pikiran kita jauh lebih penting dari berbagai produk kecantikan yang selalu ditawarkan untuk memperlambat penuaan. Hati dan tindakan yang positif akan mendorong tubuh untuk memproduksi sel baru yang lebih berkualitas, ini juga berarti peremajaan sel-sel tubuh. Hormon dan organ pun menjadi lebih imun (kebal) terhadap serangan bakteri dan virus yang menggerogoti kebugaran. Tubuh pun menjadi lebih terlindungi dari serangan racun dengan anti oksidan yang berhasil diproduksi oleh tubuh yang memiliki emosi yang baik.
Karena itu, penting kiranya untuk semakin meringankan perjalanan usia kita dengan semangat ikhlas. Ikhlas untuk memaafkan dan ikhlas untuk mengambil hikmah dari setiap lembaran menyedihkan yang pernah kita lalui. Juga ikhlas merelakan segala hal yang urung kita miliki. Sikap seperti ini akan membuat hidup kita akan terasa lebih ringan dan optimis menyambut hari esok.
Kesedihan, kegelisahan, bahkan kemarahan biasanya lahir dari ketidakmampuan kita memiliki sesuatu seperti yang kita inginkan. Inilah yang kemudian melahirkan angan-angan yang membuat kita semakin tertekan dan menyesali keadaan. Akhirnya hidup pun terasa sempit.
Hidup dalam optimisme dan keikhlasan akan membuat kita tak pernah terbebani oleh kesedihan manakala kita tak dapat meraih sesuatu dan ambisi yang berlebihan. Ini akan membuat kita senantiasa menikmati hari-hari yang dikaruniakan oleh Allah. Merasa menjadi hamba yang beruntung dan tak akan terusik oleh hal-hal kecil seperti tanda-tanda penuaan sekalipun. Karena, dalam keadaan fisik seperti apapun, kita tahu apa yang harus kita lakukan. Sehingga kita pun tahu, bahwa kita akan senantiasa cantik dan bermanfaat dengan amal terbaik yang kita upayakan.
Mempersiapkan Diri Bila Suami Pergi
Tiada satu orang pun tahu, sampai kapan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperjalankan usia pernikahan. Hampir setiap suami-istri bercita-cita melanggengkan ikatan pernikahan sampai tua, kakek nenek. Bahkan ada pula yang berharap, pasangannya di di dunia adalah pasangannya pula di akhirat. Wallahu ’alam.
Namun seringkali cita-cita itu tak lebih sebatas angan belaka. Takdir Allah-lah yang menentukan. Ada yang pernikahannya baru seumur jagung, lalu kandas oleh takdir berupa kematian maupun perceraian.
Perceraian, walaupun dibenci Allah, toh tidak sedikit menjadikannya jalan keluar. Perceraian kadang bisa menjadi solusi atas problem rumah tangga yang dihadapi.
Adapun rumah tangga yang adem ayem, bahkan sedang manis-manisnya, tiba-tiba dihadapkan pada takdir lain, yaitu kematian. Allah memisahkan pasangan. Sungguh, memang hanya di tangan Allah segala kebijaksaan ini.
Kematian, Risiko atau Dambaan?
Banyak para istri yang tidak siap ketika ditinggal wafat sang suami. Tampak beruntung mungkin bagi istri yang bersuami seorang PNS atau pegawai yang mendapat tunjangan. Dengan demikian, ketika suami meninggal, istri dan keluarganya terjamin (secara material).
Namun sejatinya bukanlah tunjangan atau pensiunan yang membuat para ibu “terjamin”. Banyak ibu di luar sana, yang suaminya bukan pegawai, bisa langsung sigap tatkala mendapati kenyataan suaminya diambil Allah. Dan kesigapannya ini tidak dipengaruhi oleh adanya pensiunan atau tunjangan.
Kematian sebagai takdir Allah seharusnya bukan sesuatu yang harus disesali. Terlebih bagi istri seorang da’i, kematian bukanlah risiko perjuangan, namun kemuliaan yang setiap saat didambakan. Kematian merupakan salah satu ujian untuk membuktikan keimanan.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Namun bagi kaum istri, kepergian suami mau tidak mau akan meninggalkan pemikiran yang cukup mendalam. Plus menuntut berbagai macam kesiapan. Inilah yang seringkali terlupakan oleh para wanita, terutama para istri aktivis dakwah.
Tingkatkan Diri
Para wanita, setelah menikah, biasanya merasa cukup “aman” dengan keberadaan suami sebagai qawwam.
“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisaa’: 34)
Qawwam berasal dari kata qa’im yang dapat diartikan sebagai seseorang yang bertanggung jawab, baik nafkah lahir maupun batin. Kedudukan suami sebagai qawwam seringkali membuat banyak wanita–kaum istri--terlena karena selalu “mengandalkan suami”. Mulai dari masalah penghasilan, sampai pada hal-hal sepele yang seharusnya bisa ditangani oleh seorang wanita. Kaum wanita cenderung menyerahkan berbagai urusan pada suami.
Hal itu tidak sepenuhnya merupakan kesalahan para istri itu. Pasalnya, memang tidak sedikit para suami yang meminta agar istrinya menangani hal-hal tertentu. Terkait dengan penghasilan, banyak laki-laki yang lebih suka istrinya tinggal di rumah, lebih fokus mengurusi rumah tangga. Dan hal ini pun tidak sepenuhnya salah.
Yang harus dipahami oleh para wanita yang notabene adalah kaum ibu, terlebih istri para aktivis dakwah, adalah usaha terus-menerus untuk meng-up grade diri. Hal ini harus pula dipikirkan oleh para suami, antara lain dengan memberi kesempatan bagi para istri untuk terus mengembangan diri, baik secara keilmuan maupun keterampilan.
Kembali kepada para istri. Sekalipun suami mungkin lebih menyukai istri tinggal di rumah atas pertimbangan kemaslahatan, bukan berarti para istri berhenti mengembangkan diri. Ada banyak hal yang tetap bisa dilakukan walaupun “hanya” dari rumah, tanpa meninggalkan anak-anak.
Para istri bisa memulainya dari sesuatu yang menjadi hobi, misalnya menjahit dan memasak. Ketika pekerjaan rumah tangga sudah tampak beres, anak-anak bisa diajak kerjasama, maka berilah kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang merupakan wujud dari pengembangan diri.
Banyak pula wanita yang menyukai macam-macam keterampilan yang bisa dikembangkan dari “balik” rumah. Naluri mendidik juga tidak terlepas dari sifat dasar ibu. Maka ketika suami lebih menyukai sang istri tinggal di rumah, naluri mendidik itu tetap bisa dikembangkan dengan menyesuaikan kondisi.
Bagaimana jika setelah “kepergian” suami, satu-satunya alternatif adalah kerja di luar rumah? Apalagi Anda pun merasa mempunyai kemampuan yang bisa dikembangkan tapi di luar rumah.
Kita semua yakin bahwa Allah menguji hamba-Nya sesuai kadar kemampuannya. Ada sebagian para wanita yang dianugerahi banyak kemampuan dan kreativitas, sehingga cenderung lebih mandiri. Artinya, tanpa ke luar rumah pun tetap bisa mengaktualisasikan diri, bahkan mencari tambahan penghasilan.
Namun banyak di antara para istri yang potensinya perlu disinergikan dengan yang lain, yang mau tidak mau membuatnya harus ke luar rumah. Atau lebih dari itu, ada sebagian di antara kaum wanita yang keterampilan dan keilmuannya dibutuhkan oleh umat. Akibatnya, walaupun ingin fokus di rumah, ternyata masyarakat menuntutnya untuk keluar rumah. Dan insya Allah, ini pun aktivitas yang mulia.
Di rumah atau di luar rumah, yang jelas para wanita harus tetap memahami tugas pokoknya, termasuk tuntunan-tuntunan syar’i yang mengatur aktivitas kaum wanita ketika di luar rumah. Dengan demikian tidak akan menimbulkan fitnah dan kemudharatan.
Selebihnya, para Muslimah tetaplah memiliki kewajiban untuk selalu membuat dirinya lebih baik. Dan boleh jadi, ujian-ujian ini adalah dalam rangka menaikkan kualitas diri dan derajat keimanan. Karena seseorang belum dikatakan beriman, kalau belum diuji.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah ini amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
Nah, persiapkan diri apabila Allah menguji dengan “perginya” suami, entah nanti, esok, atau esoknya lagi.
Tulisan ini angap saja sumbangan simpati kepada para istri/ibu yang “merelakan” suaminya “pergi”. Belum banyak yang dapat kami lakukan untuk membantu. Semoga keberadaan kita sebagai istri/ibu, dan anak-anak kita, tidak menjadi fitnah dan penghalang bagi perjuangan kaum laki-laki beriman. Semoga keberadaan kita dapat mendukung para laki-laki beriman itu untuk menjemput kemuliaan syahid. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar