ITSAR SEORANG PEMIMPIN
Seorang pemimpin, kata Yusuf al-Qaradhawi – mengutip pernyataan Rasulullah s.a.w. — harus mampu memberi contoh. Jangan banyak berharap rakyat berbuat baik ketika sang Pemimpin tidak mau memulainya untuk memberi contoh “yang terbaik”. Bahkan, seorang pemimpin harus selalu berpikir tentang apa yang bisa diperbuat “untuk” rakyatnya, bukan sebaliknya selalu menuntut rakyatnya untuk berbuat sesuatu pada dirinya. Selalu mempunyai keinginan untuk menebarkan “cinta” pada rakyatnya, hingga mereka (rakyat) sadar untuk mencintainya. Seperti sabda Rasulullah s.a.w. (sebagaimana yang dinyatakan kembali oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan al-Kubrâ, juz VII, hal. 158) kepada umatnya: “hiyâru aimmatikum alladzîna tuhibbûnahum wa yuhibûnakum (sebaik-baik pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu cintai mereka dan mereka pun mencintaimu)”. Mereka dicintai rakyat, karena mereka sudah terbukti mampu menunjukkan cinta mereka pada rakyat.
Islam mengajarkan bagaimana seorang pemimpin seharusnya bisa mendahulukan kepentingan rakyatnya, dengan gagasan “îtsâr.” Îtsâr adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkan saudaranya, ia rela haus untuk menyegarkan saudaranya, berjaga demi menidurkan saudaranya, ia bersungguh-sungguh untuk mengistirahatkan saudaranya, ia rela untuk ditembus peluru dadanya untuk menebus saudaranya.
Al-Quran, kata al-Qaradhawi, telah mengemukakan gambaran yang jelas tentang masyarakat Islam di Madinah yang memperlihatkan makna îtsâr: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung (QS al-Hasyr, 59: 9).
Sementara itu, Rasulullah s.a.w. memberikan gambaran lain (sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari), bahwa Sa’ad bin Rabi’ (salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w.) telah menawarkan kepada sahabat lain (Abdur Rahman bin Auf), — setelah keduanya dipersaudarakan oleh Rasulullah s.a.w. — untuk bersedia diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin Auf pun menjawab: “Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar.”
Ini gambaran îtsâr (seorang sahabat, yang ditunjukkan oleh Sa’ad bin Rabi’) yang amat langka dan hampir tidak kita dapatkan saat ini, yang kemudian dibalas dengan sikap ‘iffah (kehati-hatian), yang mulia dan bijaksana (oleh Abdurahman bin Auf). Keduanya menampilkan contoh ideal sikap anggota masyarakat Islam yang dibangun oleh Rasulullah s.a.w. di Madinah, yang senantiasa kita idam-idamkan sebagai bentuk ideal sebuah masyarakat, yang lebih berkeinginan untuk memberi antasesama, bukan – justeru – “meminta”.
Islam mengajarkan agar umatnya, dengan sangat spirit (ruh atau semangat) mahabbah (cinta) dan ukhuwwah (persaudaraan) bersedia untuk menjadi bagian dari umat manusia yang memiliki kesadaran kolektif umat untuk saling memberi, yang dengan keduanya umat manusia tidak mudah dipecah-belah dengan berbagai ragam pluralitas, termasuk “kepentingan-kepentingan sesaat”, sehingga tidak ada kesempatan untuk berseteru, meskipun ada sejumlah perbedaan kepentingan. Tidak lagi ada peluang untuk bersikap “congkak” dan “merendahkan orang lain”, karena merasa lebih besar dan kuat. Dan, pada akhirnya, juga tidak ada kesempatan untuk membenci siapa pun yang berbeda dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apalagi pada mereka yang tengah ber-‘amar ma’ruf nahi munkar’ untuk mereka yang sedang berkuasa dan memegang amanah rakyatnya.
Rasulullah s.a.w., dengan semangat îtsâr-nya telah menunjukkan keberhasilannya sebagai seorang pemimpin sejati, yang hingga kini masih layak dicatat dengan “tinta emas” sebagai pemimpin teladan. Sementara para sahabatnya telah menjadi generasi terbaik pada masanya, untuk bisa dijadikan sebagai “ibrah” (pelajaran) bagi semua orang yang peduli akan makna sebuah kepemimpinan yang memiliki ruh (semangat) mahabbah (cinta) dan ukhuwwah (persaudaraan) bagi semua orang. Hingga pada proses kepemimpinannya selalu menujukkan kesadaran untuk selalu “memberi”, dan bukan sebaliknya “mengemis” kepada rakyatnya untuk memiliki (kesadaran) untuk memahami dirinya dan memberikan yang terbaik untuk berbagai ragam kepentingannya.
Kita, selama ini, sebenarnya sudah tidak merasa nyaman dengan hidangan “tangis” para pemimpin yang selalu merajuk kepada rakyatnya, “meminta” (kepada seluruh komponen anak bangsa) untuk dimengerti, dan (bahkan) dibelaskasihani. Sampai-sampai para pengamat politik kita (yang masih mengedepankan nuraninya) sering menyatakan (dengan satu pertanyaan): “sampai kapan kita akan terus diajak untuk memaklumi sejumlah kebohongan yang dibalut dengan topeng-topeng retorika kejujuran?”
Saya (penulis) juga sering bertanya dengan sejumlah pertanyaan yang bersubstansi sama: “Akankah kita terjerembab dalam budaya saling memaafkan untuk sesuatu yang sejatinya sudak tidak pantas dimaafkan, seperti halnya ketika para pemimpin kita tengah terbuai dengan permainan akrobat silat-lidah yang tak pernah mengedepankan hati nurani?”
Andai saja para pemimpin kita sadar untuk menggali dan menggapai semangat îtsâr Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya dari kaum Muhajirin-Anshar, dan kemudian mewujudkannya ke dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kepentingan rakyatnya, pasti kita – rakyat Indonesia – tidak akan mengalami kekecewaan yang terus berulang dari waktu demi waktu, untuk menunggu sampai negeri kita tercinta ini memiliki: pemerintah yang bersih dan (juga) tata-pemerintahan yang baik.
Kalau Rasulullah s.a.w. (uswah hasanah kita) dan (juga) para sahabatnya bisa berbagi dengan semangat “îtsâr”, kenapa kita – sebagai umatnya — masih saja harus menunggu untuk menjadi seorang muslim dan sekelompok umat Islam yang mau mencontoh mereka?
Kini saatnya, para pemimpin segera untuk berbenah menjadi yang pertama dan utama dalam mengamalkan semangat “îtsâr”. Menjadi pemimpin yang mampu menunjukkan “cinta” kepada rakyatnya, sebelum meminta kepada rakyat untuk mencintai, hingga rakyat pun berkesadaran untuk “mencintai” mereka, demi kejayaan bangsa dan negara kita tercinta!
Nashrun minallâh wa fathun qarîb.
MELURUSKAN NALAR PAK TUA
Syahdan, di sebuah dusun terpencil ada seorang – sebut saja Pak Tua — yang bereksperimen untuk meramu dedaunan (berbagai macam daun) menjadi obat sebuah penyakit. Orang-orang pun tidak tahu bahwa ramuan hasil olahan Pak Tua dibuat dengan teori apa, tetapi yang jelas beberapa orang yang mencoba untuk memanfaatkannya telah merasakan dampak positifnya, “sembuh dari berbagai macam penyakit kulit”. Dari penyakit panu, eksim, kadas, kurap dan bahkan koreng bekas luka. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa obat ramuan Pak Tua lebih mujarab ketimbang obat-obat kulit yang pernah mereka beli dari apotek-apotek dan beberapa toko obat ternama di kotanya. Spektakuler … kata soorang dokter spesialis penyakit kulit yang beberapa kali telah menulis resep obat untuk para pasiennya, yang akhirnya ditinggalkan oleh pasien-pasien setinya, karena berita kemanjuran ramuan obat Pak Tua.
Beberapa dokter ternama di kota itu pun kemudian berkonsultasi dengan para apoteker, teman-teman sejawatnya. Di samping untuk sekadar curhat, juga berharap para apoteker yang adalah (juga) pada sarjana ilmu farmasi itu bersedia untuk meneliti kandungan ramuan obat Pak Tua yang tiba-tiba menjadi ‘laris-manis’ bak pisang goreng hangat “Bu Partinem” yang terkenal enak, murah dan berkualitas, hingga menjadi ramuan obat yang diasumsikan lebih mujarab daripada obat-obat kulit yang diyakini ‘berkualitas’ oleh para dokter dan farmakolog ternama di negeri ini.
Semula para apoterker, yang juga para sarjana ilmu farmasi itu merasa enggan untuk merespon permintaan para dokter yang merasa terusik dengan popularitas ramuan obat Pak Tua itu. Namun, seiring dengan turunnya omzet penjualan obat kulit di beberapa apotek dan toko obat di kota itu, tergeraklah mereka untuk melakukan penelitian sederhana di laboratorium di mana mereka selalu melakukan penelitian terhadap obat-obatan yang akan mereka rekomendasikan untuk diproduksi oleh para produsen obat dan juga para dokter yang menjadi mitra kerja mereka untuk mengisi ‘kantong’ mereka.
Hasil penelitian mereka tidak menemukan sesuatu yang luar biasa. Ramuan Pak Tua itu tidak lebih dan tidak kurang sama dengan obat-obat kulit herbal yang pernah mereka rekomendasikan. Bahkan, dalam beberapa hal, terindikasi ada ‘bahan’ (di dalam ramuan itu) yang bisa berdampak buruk pada kulit pemakai yang cukup sensitif, untuk pemakaian berjangka panjang.
Para apoteker itu pun pada akhirnya memberanikan diri untuk melakukan investigasi ke tempat pembuatan ramuan itu, di dusun terpencil tempat Pak Tua meramu obat kulit itu. Dengan berhati-hati mereka menyamar seolah-olah menjadi calon pembeli potensial ramuan obat itu. Bertamu kepada Pak Tua (pembuat ramuan obat kulit itu) dan melihat — dengan mata kepala – proses nyata pembuatan ramuan obat – yang dikatakan mujarab oleh banyak orang – itu. Dan hasilnya menakjubkan! Ternyata Pak Tua itu menuangkan beberapa botol kecil cairan kimiawi yang berbahaya bagi kulit pada ramuan obat itu, yang memang – menurut para apoteker itu – berfungsi (secara cepat) memberikan efek kesembuhan pada beberapa penyakit kulit yang disebut oleh para pemakai ramuan obat Pak Tua itu. Tetapi, dalam jangka panjang, akan merusak jaringan kulit dan bahkan bisa berdampak lebih hebat: “mengakibatkan iritasi kulit yang tidak mudah untuk disembuhkan”.
Hasil penelitian (investigasi) mereka pun diseminarkan pada sebuah acara seminar yang dihadiri oleh para apoteker, dokter kulit, perwakilan perusahaan-perusahaan obat di negeri itu, dan bahkan para pengambil kebijakan dari pihak pemerintah dan perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkepentingan terhadap acara seminar itu. Setelah melalui perdebatan dan diskusi panjang, akhirnya disimpulkan bahwa ramuan obat Pak Tua itu dinyatakan tidak layak untuk dikonsumsi, dan kemudian (hasil seminar itu) direkomendasikan untuk menjadi bahan pengambilan kebijakan oleh pemerintah dalam hal pemberian izin untuk penjualan dan pengedaran ramuan obat (kulit) tersebut untuk para pasien berpenyakit kulit yang disebut dalam label ramuan obat tersebut dapat diobati dengan ramuan obat Pak Tua itu.
Pemerintah, sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melindungi hak-haki pasien – pun merespon baik rekomendasi hasil seminar tersebut. Dan, setelah melalui berbagai pertimbangan, pada akhirnya membuat kebijakan untuk menarik peredaran obat kulit hasil ramuan Pak Tua tersebut, dan bahkan melarang untuk memroduksi, mengedarkan dan memperjualbelikannya, kecuali setelah dilakukan reproduksi dengan membuang ramuan kimiawi berbahaya yang terkandung di dalam ramuan obat itu, dengan mengajukan kembali izin produksi, pengedaran dan penjualannya kepada pihak yang berwenang.
Atas keputusan pihak pemerintah itu pun Pak Tua menjadi ‘terkaget-kaget’, dan bahkan dengan sedikit menunjukkan kemarahan dia pun berkata dalam bentuk pertanyaan lirih: “apakah kebijakan itu betul-betul bijak?” Bagaimana dengan nasib saya, anak-isteri saya, seluruh anggota keluarga saya, pegawai-pegawai saya, anggota-anggota keluarga pegawai saya, para petani pemasok ramuan dedauanan saya beserta orang-orang yang nasibnya bergantung pada produksi, peredaran dan penjualan ramuan obat saya? Apakah pemerintah sudah siap untuk menanggung seluruh kebutuhan hidup kami, setelah kami kehilangan kesempatan untuk memroduksi, mengedarkan dam menjuan ramuan obat ini? Sungguh, ini adalah kebijakan yang benar-benar tidak bijak! Tidak Adil! Zalim!!!
Pak Tua itu pun menundukkan kepala, menangis dan bahkan air matanya menetes beserta kesedihan yang menimpanya sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk menghentikan produksi, peredaran dan penjualan ramuan obatnya. Seluruh anggota keluarganya, para pegawainya dan para pemasok bahan dasar ramuan obat itu serta seluruh kroni perusahan Pak Tua itu meratapi nasib mereka, sambil sesekali menghujat (dengan berbisik) : “bodoh, dungu, goblok, tidak arif, ceroboh dan kurang-ajar”. Mereka marah – dengan nalar mereka — kepada pengambil kebijakan, karena merasa seluruh hak mereka terampas oleh para pengambil kebijakan yang mebuat kebijakan untruk mereka dengan tanpa sikap bijak. Nalar pembuat obat yang – secara tidak sadar – telah mengoyak dan menafikan nalar para pengguna obat yang telah sekian lama telah menanggung akibat buruk, dampak negatif (dari) ramuan obat Pak Tua yang dielu-elukan olah pihak Pak Tua. Mereka lupa bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan hak para pengguna obat yang telah sekian lama mereka zalimi dengan ramuan kimiawi yang terkandung dalam ramuan obat kulit (produksi) mereka. Karena mereka sadar terhadap dampak negatif pemakaian obat (ramuan Pak Tua) itu, setelah membaca hasil seminar dan rekomendasi para apotreker, yang juga para ahli (ilmu) farmasi yang berkompeten untuk menjelaskannnya, dan juga pemerintah – melalui lembaga otoritatifnya – yang telah memberikan informasi lengkap tentang bahaya pemakaian ramuan obat Pak Tua itu. Kini mereka sadar, berhenti untuk “menggunakan” ramuan obat Pak Tua itu.
Karena para konsumen itu telah sadar untuk tidak memakai ramuan obat Pak Tua itu, meskipun pemerintah tidak pernah melarang untuk memroduksi, mengedarkan dan menjualnya. Atau, bahkan dengan ke’nekad’annya Pak Tua dengan seluruh kroninya bersikukuh untuk memroduksi, mengedarkan dan menjual ramuan obat itu, tetaplah obat-obat (hasil ramuan) itu tidak akan pernah laku terjual.
Akhirnya, dengan keputusasaannya Pak Tua – yang kebetulan seorang muslim – beserta seluruh kroninya mengadu dan mengeluh kepada Pak Kyai (penasihat spiritualnya), sambil merajuk dia ceritakan pengalamannya dengan sangat rinci. Dia berharap agar Pak Kyai bisa memberi solusi yang menguntungkannya, dengan — misalnya — memberi fatwa “menghalalkan” ramuan obat kulitnya yang sudah dinyatakan berdampak negatif itu. Ternyata, alih-alih memberi fatwa halal. Pak Kyai – yang kebetulan juga seorang pakar fiqih — dengan nalar fiqih maqashidnya, setelah melakukan penalaran istiqrâ’ ma’nawî (induksi-tematik) terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi s.a.w., menyatakan bahwa tindakan Pak Tua untuk meramu, memroduksi, mengedarkan dan memasarkan ramuan itu adalah tindakan yang berkualifikasi “harâm”. Tepatnya: “harâm li saddidz dzarî’ah” (“dilarang”, untuk mengantisipasi terjadinya sesuatu yang buruk), Seperti haramnya “racun” untuk dikonsumsi, yang tentu saja akan memberi dampak meracuni kepada semua konsumennya. Kecuali kalau di kemudian hari ditemukan “simpulan” baru yang lebih bisa dipertanggungjawabkan bahwa mengonsumsi dengan cara tertentu — itu (ternyata) menyehatkan. Barulah fatwa haram mengonsumsi racun itu perlu digugat! Itulah nalar fiqih istishlâhî yang sudah lazim digunakan oleh mayoritas ulama fiqih, kata Pak Kyai.
Bagaimana Pak Tua? Tanya Pak Kyai!
Pak Tua itu pun akhirnya hanya bisa bergumam: “fatwa Pak Kyai kok sama-sebangun dengan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang (me)-rokok?”
Oh ya … kata pak Kyai, dengan penuh heran! Kebetulan, kalau begitu! Saya sangat setuju dengan fatwa Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Tolong carikan soft-copy atau hard-copynya! Saya berhimmah akan membantu untuk menyebarluaskannya!
Mendengar ucapan Pak Kyai itu pun Pak Tua lemas, dan tampak semakin kecewa. Biarkan dia dan para kroninya kecewa. Suatu saat nanti, ketika dia sudah benar-benar sadar, bahwa ketika dia dan para kroninya merasa berhak sepenuhnya untuk meminta hak mereka untuk tetap diperbolehkan meramu, memroduksi, mengedarkan dan menjual obat, mestinya dia dan para kroninya seharusnya sadar bahwa para pengguna obat mereka pun juga memiliki hak yang sama untuk dilindungi dari dampak buruk pemakaian obat yang mereka produksi. Selanjutnya menjadi hak mereka (para pengguna obat) pula untuk berhenti “memakainya”, ketika obat Pak Tua itu benar-benar megakibatkan sesuatu yang negatif pada diri mereka, tanpa harus berpikir “apakah tindakan mereka, ketika berhenti mengonsumsi ramuan Pak Tua itu akan bisa mengganggu kepentingan ekonomi Pak Tua dan kroninya, dan — apalagi — tak perlu menunggu adanya fatwa haram Pak Kyai!
Dan, seandainya Pak Tua dan para kroninya benar-benar sadar terhadap hak dan kewajiban mereka secara timbal balik ketika berinteraksi dengan para pengguna ramuan obat yang telah nyata-nyata mendapatkan dampak negatif dari penggunaan ramuan obat itu, pasti mereka pun akan sependapat dengan Pak Kyai, penasihat spiritualnya! Nggak ada yang salah dari fatwa Pak Kyai. Justeru mereka yang tak paham itulah yang mesti segera sadar untuk berbenah.
Jangan EGOIS Pak Tua! Ingat: al-Mashâlih al-Âmmah Muqaddamah ‘Alâ al-Mashâlih al-Khâshshah (Kepentingan Publik – sudah semestinya – lebih diutamakan ‘ketimbang’ kepentingan pribadi [dan juga kroni] ‘anda’). Jangan hanya karena anda terusik, lalu masyarakat harus berkurban untuk “anda” (dan kroni anda). Dan juga perlu diingat: “Dar’ al-Mafâsid Muqaddam ‘Alâ Jalb al-Mashâlih (Upaya preventif untuk menghindari kerusakan [yang kasat mata] – sudah semestinya – lebih diutamakan ‘ketimbang’ upaya untuk memeroleh kemanfaatan yang masih ‘remang-remang).
Inilah cerita imajiner yang tiba-tiba terlintas pada benak penulis, setelah membaca protes-protes terhadap fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, utamanya tentang fatwa keharaman (me)-rokok”, yang selayaknya dipahami lebih komprehensif oleh semua pihak, dengan membuang jauh-jauh sikap egois dan (juga) arogansi-arogansi beragam dari semua pihak yang tak sedikitpun mau berempati pada keseriusan para ulama dalam beristinbâth (menetapkan ketentuan hukum dengan berbagai ragam metode ijtihad). Apalagi mereka yang menanggapi fatwa-fatwa sejumlah ulama dengan sikap emosional (dengan kesan menghujat) dan sarat kepentingan.
Na’ûdzu billâhi min dzâlik!
MENGHADAPI MARKUS:apa kiat cerdas kita?
Siapa pun tahu bahwa berkata jujur saat ini membutuhkan keberanian yang luar biasa. Apalagi bersikap dan berperilaku jujur, tentu saja memerlukan mentalitas baja. Kalau Nabi kita (Muhammad s.a.w.) pernah mengingatkan artipentingnya kejujuran dengan berbagai pernyataan, yang antara lain diungkapkan dalam sebuah pernyatan beliau yang kurang-lebih: “Semula Islam hadir dalam keterasingan, dan di masa depan akan menghadapi situasi yang sama. Berbahagialah orang-orang yang asing (pada saat bersikap istiqamah untuk mempertahankan keislamannya), yaitu orang-orang yang masih bertahan menjadi muslim sejati dengan sikap istiqamahnya, di ketika mayoritas manusia telah luntur idealismenya karena sikap pragmatisnya” (HR Ahmad dari Abdurrahman bin Sanah).
Pragmatisme ternyata — dalam perjalanan sejarah kehiduoan manusia — telah telah meluluhlantakkan idealisme banyak orang. Banyak orang jujur yang tiba-tiba menjadi ‘pembohong’ karena tuntunan situasi dan kondisi pada zamannya. Berangkat dari pernyataan Rasulullah s.a.w. di atas, dalam kasitannya dengan kejujuran kita — adalah: “dalam konteks yang beragam, kejujuran itu sangat diperlukan dan memerlukan perhatian penuh setiap muslim yang peduli terhadap penegakan prinsip-prinsip syari’ah Islam, meskipun kita – pada saat itu — harus menghadapi risiko yang sangat berat. Kita harus tetap berani untuk menjadi orang orang yang berintegritas dengan modal kejujuran kita.
Namun, siapa yang hingga saat ini masih memiliki ‘nyali’ untuk tetap menjadi orang ‘jujur’ ketika harus melawan budaya kita yang yang sudah cenderung ‘korup’? Ditambah dengan sistem sosial apa pun (ekonomi, politik, hukum dan – bahkan – pendidikan) di sekitar kita yang lebih-kurang “sama” ‘korup’nya dengan budaya kita! Alih-alih berani melawan arus. Berani berbeda saja beresiko, dari dianggap aneh sampai – bahkan – disingkirkan!
Orang Jawa sering memberi istilah pada orang yang bersikap istiqamah untuk memegang “kejujuran” sebagao sikap diri ini sebagi ‘klilip’ (sesuatu yang mengganjal pada mata seseorang atau bahkan sekelompok orang). Nah, tentu saja “sang klilip” ini harus segera dienyahkan. Kita yang diposisikan sebagai ‘klilip’ ini sangat peotensial untuk tersingkir, karena – pada umumnya — “sang klilip” tidak cukup kuat untuk bertahan dari upaya siapa pun yang – dengan segala upayanya – berusaha untuk menyingkirkannya dari mata siapa pun yang merasa terganggu dengan keberadaannya. Maksudnya: “keberadaan sang ‘klilip‘ yang dianggapnya sangat mengganggu ini” .
Penulis mempunyai pengalaman (akhir tahun 2001) yang sangat mengesankan di ketika harus bersikap jujur. Atau lebih tepatnya bertindak ‘lugu’ (apa adanya) dalam mengurus perolehan hak pribadi di sebuah institusi tertentu (yang tidak pantas penulis sebutkan, karena bersentuhan dengan masalah aib). Dengan berbekal kelengkapan admininistratif yang sempurna (sesuai aturan) penulis bersilaturahim dengan salah seorang staf administrasi institusi tersebut dan menyerahkan seluruh berkas yang memang harus penulis serahkan saat itu. Biasa saja, kemudian staf administrasi tersebut memeriksa berkas-berkas itu, dan sejenak kemudian menyatakan: “sudah lengkap”. Atas komentarnya, tentu saja penulis “puas” dan sekaligus berharap pada suatu saat hak pribadi penulis akan segera terpenuhi.
Setelah bertahun-tahun penulis menunggu dengan beberapa kali konfirmasi, ternyata sampai saat ini penulis merenung (tahun 2010) di hadapan ‘komputer seri pentium II yang sudah di up-grade menjadi berseri pentium IV’ yang dahulu pernah penulis gunakan untuk menulis pengantar penyerahan berkas-berkas itu, hak-hak peribadi penulis itu pun belum penulis terima. Dan, yang paling berkesan pada diri penulis ketika penulis berusaha mencari informasi, ada seorang teman yang memberi saran kepada penulis dengan satu komentar singkat berbahasa Jawa : “jer basuki mawa beya”, yang terjemah bebasnya kira-kira: “setiap upaya untuk memperoleh sesuatu tudak ada yang gratis”. Hari gini, nggak ada makan siang gratis … Kira-kira begitu kalau ditegaskan. Itulah pengalaman penulis: “9 tahun menunggu kepastian yang tak pernah pasti”.
Berkaca dari kasus hukum sejak zaman Nabi kita (Muhammad s.a.w.) yang – dalam buku sejarah — ditengarai sudah ada indikasi keberadaan ‘mafia hukum’ yang mencoba untuk mempengaruhi proses peradilan, yang tentu saja antara lain diperankan oleh para “markus” (makelar kasus) – sebagai pemain di di balik layar — yang saat ini cukup terkenal di media (cetak maupun elektronik) di negeri kita tercinta, yang memiliki modus operandi yang beragam, tetapi substansinya sama, yaitu mengatur jalannnnya proses peradilan. Sehingga tidak terlalu mengherankan jika sampai saat ini masih terys terjadi fenomena perjungkir-balikan fakta: “yang zalim dianggap adil, sementara yang adil dianggap zalim”, karena kepiawaian “Para Markus” dalam bermain dengan berbagai ‘jurus-mabuk’ yang tak mudah dikenali oleh siapa pun, termasuk para pendekar ‘persilatan’ sekalipun dalam “dunia hukum kita” (baca: praktik peradilan).
Salah satu ayat al-Quran menyiratkan terindikasinya femomena “budaya markus” pada saat itu: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah/2: 188). Meskipun banyak mufassir (pakar tafsir) yang menengarai bahwa ayat itu baru sekadar sebagai warning (peringatan dini) dari Allah untuk orang-orang yang beriman, yang bisa jadi tergiur oleh praktik-praktik mafia hukum dengan segala modus operandinya. Tetapi, apapun kata para pakar tafsir, ayat tersebut bisa dipahami sebagai acuan bagi setiap pribadi orang yang beriman untuk menjadi orang yang tetap memiliki kesabaran untuk bersikap istiqamah dalam keimanannya. Karena, betapa pun beragamnya tantangan kehidupan ini, bagi seorang yang beriman tiada kata lain yang harus diucapkan dan dijadikan sebagai pijakan untuk beraktivitas selain kata: “sami’nâ wa atha’nâ”. Sekali kita tahu yang benar dari Allah, maka kebenaran itulah yang harus kita perjuangkan dalam seluruh bagian dari kehidupan kita dengan risiko apa pun yang harus kita terima.
Mencermati tantangan fenomena “Markus” di hadapan kita, bukan sesuatu yang sia-sia ketika kita belajar pada ungkapan “Mas Hendardi” (salah seorang praktisi hukum kita), misalnya, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun televisi swasta kita ketika dia menegaskan, bahwa fenomena “Markus” ini menjadi sesuatu yang bisa dipahami karena sistem peradilan kita memang (masih) “korup”. Dan kata kuncinya – katanya — adalah, karena institusi kita yang seharusnya mengawalnya juga (masih) “korup”.
Jadi simpulan pentingnya – menurut penulis — adalah: “kita perlu mereformasi institusi-institusi yang seharusnya berperan menegakkan hukum itu”, sebelum berbicara tentang kemungkinan pemberantasan mafia hukum, atau lebih khusus “mafia peradilan” yang dalam banyak hal dimainkan sandiwaranya oleh para markus yang sudah sangat terlatih. Penegakan hukum, sebagai bagian dari upaya reformasi” harus dimulai dari reformasi terhadap institusi penegakan hukum, kalau kita tidak mau gagal untuk selama-lamanya. Dan inilah gagasan radikal yang perlu dipertimbangkan.
Seandainya kita menengarai bahwa “Markus” (Makelar Kasus) – di negeri kita tercinta – ternyata (masih) menjadi the most powerful one (manusia atau – lebih tepatnya – sekelompok manusia yang terampuh) dalam menentukan hitam-putihnya penegakan keadilan di dunia peradilan kita. Kita pun harus sadar, bahwa kita tetap tidak akan pernah berdaya pada saat institusi-institusi yang seharusnya berperan menegakkan hukum itu masuh menjadi bagian dari masalah. Dan tidak hanya dalam kasus hukum, di semua lini kehidupan kita (ekonomi, politik dan bahkan pendidikan dan yang lainnya), kita pun masih belum berdaya ketika harus menghadapi “para markus” yang – dalam banyak hal — dimainkan oleh sejumlah orang dari kelompok elit-sosial (mutrafûn) yang seharusnya menjadi uswah hasanah (teladan), tetapi justeru berkikap “fâsiq” (baca: tidak taat terhadap aturan-main), dan bahkan menjadi uswah sayyiah (contoh yang buruk) dalam penegakan aturan main dengan berbagai keterampilannya untuk bermain canggih dalam upaya mendapatkan ‘kue-kue’ lezat dalam semua aktivitas pemakelarannya.
Lalu, setelah kita tahu (hampir) semuanya — meminjam istilah anak saya yang masih ABG — “so what gitu lho?” . Apa yang seharusnya kita perbuat sebagai salah satu makhluk Allah yang masih berkeinginan untuk mempertahankan idealismenya sebagai hamba Allah yang beriman, kalau para pihak yang seharusnya memulai untuk menegakkan aturan-main di negeri kita masih lebih suka saling-menyalahkan, dan bahkan membuka aib satu sama lain di media massa, tanpa pernah berupaya — secara kongkret — untuk berbuat sesuatu demi masa depan bangsa kita tercinta ini.
Apa memang (meminjam salah satu judul sinetron yang dibintangi Mas Dedi Mizwar) “Kiamat Sudah Dekat”, hingga kita tinggal menunggunya tanpa upaya sistematik dan sistemik untuk menjadi khairu ummah (umat yang terbaik), dengan menyerah-pasrah kepada “para markus” yang nampakya masih terlalu sakti untuk ditundukkan?
Wallâhu A’lam.
MUHAMMADIYAH BERMADZAB ATO TIDAK?
Agama – yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.[2] (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276)
Pernyataan di atas menjadi penting untuk dicermati, karena di dalam terdapat isyarat bahwa Muhammadiyah tidak pernah berkeinginan untuk mengikatkan diri dengan mazhab tertentu, karena semua produk pemahaman keislaman Muhammadiyah digagas dan dirujuk secara langsung melalui sumber otentik (pemahaman atas ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang shahih).
Tetapi, benarkah Muhammadiyah tidak bermazhab sama sekali dan bahkan tidak terpengaruh oleh pemikiran mazhab (utamanya mazhab – fikih – empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)?
Tulisan ini diasumsikan akan menjelaskan asumsi kebermazhaban dan ketidakbermazhaban Muhammadiyah, utamanya dalam masalah Fikih.
Makna Mazhab dan Bermazhab[3]
Secara etimologis kata mazhab berasal dari bahasa Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan demikian, kata mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara terminologis, mazhab berarti pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi, tasawuf, filsafat, politik maupun fikih. Dalam perkembangannya, kata mazhab mengalami penyempitan makna yang semula menyangkut semua aspek ajaran Islam, belakangan hanya menyangkut hukum Islam (fikih).
Dalam konteks fikih, istilah mazhab mencakup dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan mazhab dalam konteks ushul al-fiqh. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan dalam konteks hasil pemikiran atau fiqh.
Dengan demikian, mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau meng-istinbath-kan hukum Islam. Selanjutnya mazhab pengertiannya berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Pada dasarnya kemunculan mazhab-mazhab dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar mengingat al-Quran dan al-sunnah memang memberi peluang munculnya berbagai penafsiran (multi-interpretasi), karena di dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni al-dalalah (ayat yang penafsirannya tidak pasti) seperti adanya lafal musytarak (mempunyai makna ganda), majaz (metafor/makna kiyasan), ‘am-khash (umum dan khusus) dan sebagainya. Secara lebih rinci, Abu Zahrah, seorang ahli ushul al-fiqh, menjelaskan bahwa munculnya mazhab-mazhab dalam Islam dikarenakan beberapa hal: (1) perbedaan pemikiran. Perbedaan ini bisa karena pengetahuan yang berbeda, bisa juga karena konteks sosial masing-masing imam yang berbeda; (2) ketidakjelasan masalah yang menjadi tema pembahasan; (3) perbedaan kesenangan dan kecenderungan; (4) perbedaan sudut pandang; (5) karena mengikuti cara pandang pendahulunya; (6) perbedaan kemampuan; (7) masalah kepemimpinan dan kecintaan kepada penguasa; (8) fanatisme kelompok yang berlebihan.
Munculnya mazhab juga tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan perkembangan sejarah Islam sepeninggal Rasulullah s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat Islam dengan berbagai realitas (kenyataan) baru yang tidak ditemui sebelumnya. Pertama, semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia. Kedua, pergaulan kaum muslimin dengan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkannya, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat dan tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat jauhnya wilayah-wilayah yang ditaklukkan itu dengan pusat kekuasaan Islam, sehingga memaksa para gubernur, hakim dan para ulama melakukan ijtihad untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, meskipun dalam Islam terjadi perbedaan pendapat yang kemudian melahirkan mazhab, namun perbedaan tersebut hanya terjadi pada masalah-masalah furu’ (cabang), tidak sampai kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama yang berkaitan dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan tersebut lebih tepat dipandang sebagai dinamika (perkembangan) pemikiran daripada sebagai perpecahan.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami) hingga kini sudah muncul tiga belas mazhab fikih dalam Islam, namun yang terkenal dan melembaga ada sembilan. Mereka dikenal sebagai tokoh-t.okoh yang meletakkan dasar metode pemahaman fiqh yang kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya. Mereka adalah:
1. Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3. Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H)
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Dalam perkembangannya, mazhab-mazhab tersebut ada yang berkembang dengan pesat dan dianut di berbagai belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan hilang karena kurang mendapat pengikut seperti mazhab yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani al-Bagdadi (w. 270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu’Amr Abd al-Rahman bin Muhammad al-Auza’iy atau mazhab Auza’iy, Mazhab al-Thabari (w. 320 H), Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu Haris al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi (w. 174 H) dan sebagainya.
Mazhab yang terus berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya empat mazhab, yaitu:
1. Mazhab Hanafi yang rintis oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum mazhab ini bercorak rasional (ahl al-ra’yu). Hal ini disebabkan karena mazhab bermula di Kufah (Irak) yang terletak jauh dari Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah pusat kebudayaan, tempat bertemu dan berkembangnya filsafat Yunani dan Persia. Setelah Islam, Irak menjadi pusat berkembangnya berbagai aliran politik, ilmu kalam dan fikih seperti Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Pada masa Abu Hanifah, Kufah menjadi salat satu pusat aktifitas fikih para mujtahid generasi tabi’it tabi’in. Sebelum generasi tabi’in, Kufah menjadi tempat Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) untuk mengajarkan Islam dan memutuskan masalah-masalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan untuk memecahkan hukum adalah dengan ra’yu (pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam menerima hadis, analogi (qiyas), dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi terkenal sangat ketat untuk menerima hadis karena pada masa itu banyak muncul hadis-hadis palsu seiring dengan perpecahan politik yang dialami umat Islam. Banyak hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing. Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah, Libanon, Turki, Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, Cina, Rusia dan Irak.
2. Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab ini banyak dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam Malik termasuk periwayat hadis, karyanya yang paling monumental adalah al-Muwaththa’ (kumpulan hadis yag bercorak fiqh). Dalam merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-hadis, Imam Malik menggunakan metode sebagai berikut: a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau paling tidak pada tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan hadis daripada ra’yu; b) ‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah), karena mereka dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-penjelasan Rasulullah; c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam Malik, jika tidak ada hadis sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah, maka pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa para sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya al-Quran dan mendengar langsung penjelasan Rasulullah s.a.w.) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan umum terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan al-hadis baik yang mendukung maupun yang menolak. Tujuannya adalah untuk menarik kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat (daf’ al-madharrah); e) Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan perkataan dan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga halal; f) Qiyas. Apabila suatu masalah tidak ditemukan ketentuannya dalam al-Quran, al-hadis, perkataan sahabat atau ijma’ ahl al-Madinah maka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu menyemakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang jelas hukumnya karena keduanya ada persamaan illat. Mazhab Maliki ini tersebar dan diikuti di berbagai wilayah seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol dan Mesir.
3 Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 M). Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum adalah: a) al-Quran dan al-hadis merupakan sumber pokoknya sebagaimana mazhab-mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap kedua sumber tesebut seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i, al-Quran dan hadis mutawatir berada dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Quran. Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat al-Quran; b) Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kesepakatan ulama suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu negeri saja dan bukan ijma’ kaum tertentu saja; c) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nas dengan hukum yang ada dalam nas karena adanya persamaan illat. Mazhab Syafi’iyah ini berkembang di negara-negara seperti Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Makkah, Arab Selatan, Bahrain, Afrika Timur dan Asia Tengah.
4. Mazhab Hanbali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 M). Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat sahabat, ia juga menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if (dalam tingkatan hasan asal perawinya tidak pembohong); qiyas jika terpaksa (‘inda “arrah). Mazhab ini banyak berkembang di Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang ada, karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut dapat disederhanakan menjadi dua kecenderungan besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Para ahli hukum Iraq seperi Imam Abu Hanifah, karena berbagai alasan, dianggap terlalu ketat dalam menerima hadis sebagai dasar hukum, sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama Hijaz seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk menerima hadis sebagai dasar hukum, meskipun hal ini tidak berarti mereka menolak akal sama sekali.
Manna’ al-Qaththan, penulis buku Tarikh Tasyri’ al-Islami, memberi penjelasan lebih lanjut mengenai perkembangan ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Dalam kaitan perkembangan ahl al-ra’y di Iraq, dia memberi bebapa penjelasan: 1) Tasyi’ di Iraq dipengaruhi oleh pemikiran rasional Ibnu Mas’ud sebagaimana telah disinggung di atas; 2) Hadis yang berkembang di Iraq lebih sedikit jumlahnya dibanding hadis yang berkembang di Hijaz. Sementara permasalahan-permasalahan hukum yang berkembang di Iraq jauh lebih kompleks; 3) Fuqaha’ Iraq berhadapan dengan orang-orang Parsi yang sudah mempunyai peradaban dan kemampuan berfikir maju. Keadaan ini dapat mendorong munculnya permasalahan-permasalahan hukum baru yang belum ditemukan ketentuannya pada masa Nabi saw; 4) Iraq merupakan tempat tinggal kebanyakan orang-orang Syi’ah dan Khawarij sebagai imbas (akibat) dari perpecahan politik yang terjadi dalam Islam. Perpecahan tersebut segera diikuti debat teologis untuk melegalisasi (mengesahkan) kelompoknya masing-masing yang sering pula diikuti dengan penciptaan hadis-hadis palsu. Kondisi ini ikut mendorong Iraq untuk lebih selektif dalam menerima hadis.
Sedangkan berkembangnya aliran ahl al-hadis di Hijaz dikarenakan beberapa hal: 1) Pengaruh dari metode yang menekankan pada hadis sementara mereka menjauhkan diri dari penggunaan akal dan qiyas kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa; 2) Hijaz merupakan gudang hadis dan praktik sahabat karena di daerah inilah Nabi saw bermukim dan menyampaikan ajarannya; 3) Di Hijaz tersebut sedikit sekali ditemukan problem hukum yang menuntut kreativitas berfikir, karena mereka jauh dari pengaruh Parsi dan Romawi; 4) Hijaz jauh dari tempat munculnya fitnah dan pertentangan keagamaan. Atas dasar alasan-alasan tersebut tidak mengherankan jika di kedua wilayah yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam tersebut menampakkan corak yang berbeda.
Dalam pandangan umat Islam pada umumnya, bermazhab sering dibedakan dengan berijtihad. Bermazhab sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd (mengikuti tanpa mengetahui sebab).
Sehingga, ada kesan bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak menyentuh kekinian, dan menjadikan masa lalu sebagai “doktrin” dan “dogma” agama. Demikian halnya, berijtihad tidak perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu, hanya mengandalkan potensi akal untuk melihat kenyataan hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu direformasi dengan menghadirkan konsep baru dalam berijtihad dan bermazhab.
Bermazhab tidak identik dengan bertaklid buta. Masih dapat disebut bermazhab walaupun tetap menjalankan ijtihad, terutama sekali dalam kasus-kasus kontemporer. Dan lebih dari itu, masih disebut bermazhab meskipun juga berupaya mengembangkan metodologi (manhaj) yang sangat mungkin akan menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat.
Pada hakikatnya, bermazhab tidak harus mengikuti pendapat Imam mazhab dari kata-perkata (fil aqwal), namun bisa dalam metodologinya (fil manhaj). Bermazhab secara metodologis, misalnya kepada para imam mazhab (empat): Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i atau Ahmad bin Hanbal, akan berimplikasi pada kemungkinan perbedaan pendapat dengan para imam mazhab tersebut.
Dalam mengembangkan metodologi bermazhab, perlu menciptakan metode dalam berijtihad baru yang diakui secara akademik dan terjadinya kesinambungan dari proses berijtihad sekaligus hasil pemikiran ulama masa lalu (historical continuity). Seorang mujtahid juga sekaligus seorang mujaddid (pembaharu) yang tengah melakukan pembaharuan fiqih atau hukum Islam dan pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Produk pemahaman agama lebih melihat kebutuhan umat pada masa kini dengan tidak meninggalkan tradisi ulama masa lalu. Kita mungkin sering mendengar klaim universalisme Islam yang sering dikemukakan bahwa Islam adalah sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamin dan juga kaedah ushûl fiqh: al-syariah al-Islâmiyyah shalihah li kulli zamânin wa makânin atau al-syariah al-Islâmiyyah li mashlahat al-‘ibâd fi al-dârain (syariat Islam adalah untuk memenuhi kemaslahatan manusia dunia dan akhirat). Artinya, Islam akan selalu berkait-berkelindan dengan kemajuan zaman. Untuk merealisasikan klaim-klaim tersebut maka perlu menyegarkan kembali ajaran agama (ilahi) yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan baru yang muncul. Oleh sebab itu, konsep mengenai bermazhab dan berijtihad perlu direformasi. Sehingga, Islam selalu segar dan sesuai dengan perkembangan zamannya.
Rumusan yang tepat untuk menghubungkan antara tradisi (bermazhab dan berijtihad) dan perubahan (kekinian) adalah al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd al-ashlah (memelihara yang lalu yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik). Sehingga, tawaran gagasan ijtihad menjadi formulasi metodologis yang dapat dibentuk sebagai hasil kajian kritis terhadap konsep bermazhab dan berijtihad secara konvensional yang dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban akademik.
Istilahnya adalah modern scientific ijtihad (al-ijtihad al-’ilmi al-’ashri). “Ijtihad” bisa dilakukan secara tematis, tidak harus ke dalam seluruh aspek kehidupan. Al-’ilmi berarti bahwa berijtihad menggunakan prosedur keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan semacamnya), seperti yang terjadi dalam dunia pengetahuan umumnya.
Sedangkan al-’ashri dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan masa depan, tidak hanya terhenti pada lalu dan masa kini. Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang, diperlukan beberapa langkah.
Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber primer (primary sources) dalam sistem bermazhab atau dalam menentukan rujukan.
Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil keputusan hukum Islam dengan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis. Namun, perlu menyertakan studi kritis (critical study) sebagai sejarah pemikiran (intellectual history) dalam menganalisa latar belakang pemikiran atau hukum tersebut.
Ketiga, memposisikan semua hasil karya ulama masa lalu sebagai pengetahuan (knowledge), baik yang dihasilkan atas dasar deduktif maupun secara empirik. Dengan catatan bahwa keberadaan teks al-Quran dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang mutawatir) tidak dapat diuji ulang (re-examined).
Keempat, perlu ada sikap terbuka terhadap dunia luar dan bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan terjadi dengan tidak menggunakan sikap asal-tidak setuju (apriori).
Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang meningkat dan cepat dalam merespon permasalahan yang muncul.
Untuk itulah, diperlukan jaringan atau organisasi yang mampu mempertemukan di antara fuqaha’ untuk sama-sama menanggapi masalah yang ada.
Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang juga sekaligus mampu memberi inspirasi untuk kehidupan yang dialami umat.
Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial.
Kedelapan, menjadikan ilmu fikih (‘ilm al-fiqh) sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum, yaitu memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup masalah-masalah kehidupan umat yang sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umunya.
Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi pada kajian induktif atau empirik, di samping deduktif. Pendekatan induktif dimaksudkan sebagai penyertaan peran akal pada posisi yang sangat penting dalam membantu mewujudkan hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-âkhirah.
Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih ‘ammah menjadi landasan penting dalam mewujudkan fiqih atau hukum Islam.
Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh al-Qurân wa as-sunnah al-shahîhah (teks-teks al-Quran dan sunnah yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad. Kontrol yang dimaksud lebih menekankan pada konsep etika dengan mengacu pada al-mashâlih al-’ammah.
Konsep baru dalam bermazhab dapat dinyatakan dengan pernyataan penting: “siapa pun boleh bermazhab tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang berijtihad tidak dilarang untuk bermazhab tanpa harus terikat dengan metode dan pendapat para imam mazhab.
Memahami Muhammadiyah Melalui Pemikiran Keagamaannya
KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.
Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah”
Prinsip-prinsip Utama Pemahaman (Agama) Islam
Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:
- Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya.
- Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.
Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.
Mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah
Untuk memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam, yaitu: “ijtihad”.
Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai “kebenaran” al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan “sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah.
Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.
Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan).
Untuk itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang dilakukan – misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan.
Berislam Secara Dewasa
Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang proporsional.
Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.
Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih) operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs
Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”.
Himpunan Putusan Tarjih dan Mazhab Empat
Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya disebut HPT) adalah hasil diskusi dan kesepakatan yang dihasilkan melalui proses panjang dalam serangkaian pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) dalam setiap pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan Musyawarah Nasional (Munas).
Hasil-hasil diskusi atau pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut kemudian ditanfidzkan (dinyatakan keabsahan dan keberlakuannya) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diasumsikan mengikat secara organisatoris kepada seluruh jajaran pimpinan dan anggota Muhammadiyah.
Meskipun secara eksplisit Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam praktik pembahasan atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih) para ulama tarjih (Muhammadiyah) sama sekali tidak bisa menghindar dari manhaj (metodologi) dan pendapat para imam mazhab (termasuk imam mazhab empat) dan pengembangannya dalam berbagai ragam pendapatnya.
Dengan mencermati diktum-diktum putusan tarjih hingga saat ini, maka kita bisa melhat nuansa mazhab dan bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah), utamanya dalam pengertian manhaji (metodologis). Karena – secara jelas – mereka menggunakan sejumlah manhaj yang ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali. Hanya saja, para ulama tarjih tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan (apalagi) pendapat ulama mazhab tertentu.
Pola bermazhab seperti itu, dalam khazanah pemikiran keislaman disebut dengan bermazhab dengan pola “talfiqi” (memadukan pemikiran antarmazhab), dengan pertimbangan: “memilih yang paling layak untuk dipilih” secara proporsional.
Pemilihan metode “qiyas”, misalnya, jelas mengacu pada keberpihakan keempat imam mazhab pada pendekatan ta’lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Sementara pemilihan metode “istihsan”, jelas mengacu pada Imam Abu Hanifah. Sedangkan pemilihan metode “mashlahah mursalah” dengan berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu pada Imam Malik. Dan diketika Muhammadiyah (melalui kajian tarjih) mengadopsi metode “istishhab”, maka secara tidak langsung juga mengakui keberadaan mazhab Hanabilah, yang merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.[4]
Ihtitâm
Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab, dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya sebagai mazhab baru. Tetapi, dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi model bagi siapa pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan dalam beragama, sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru.
Dalam konteks mazhab dan bermazhab, hal itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi, bagaimanapun juga kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab tidak akan pernah menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab tertentu, baik dalam pengertian manhaji apalagi qauli.
Jadi, Muhammadiyah selamanya akan menempatkan diri sebagai kelompok terbuka untuk menerima, menolak, mengakomodasi, menghargai, mengeritik dan menyempurnakan setiap pemikiran keagamaan, (termasuk di dalamnya fikih), secara kritis, jujur dan terbuka dan penuh empati kepada pemikiran siapa pun dan dari mazhab mana pun dengan tetap konsisten untuk merujuk (kembali) kepada al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Dan oleh karenanya Muhammadiyah akan tetap berhimmah untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” untuk menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai marja’ (rujukan) dalam berislam secara kaffah dalam konteks tajdid (purifikasi dan pembaruan) yang proporsional dan bertanggungjawab .
[1] Disampaikan dalam Pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, di Kantor PDM Kota, pada hari: Rabu, tanggal: 7 April 2010.
[2] Pimpinan Pusat Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, 1987), hal. 276
[3] Untuk lebih jelasnya, baca: Qodri A. Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Scientific-Ijtihad (Jakarta: Teraju, 2003).
[4] Perhatikan beberapa keputusan tarjih (Muhammadiyah) di seputar ibadah, yang lebih menekankan ihtiyâth (kehati-hatian).
RIBA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SEJARAH
I. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah I mengingatkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.” (Q.S. An Nisa: 29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an, menjelaskan:
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:
1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”
2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3. Raghib Al Asfahani :
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”
4. Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’i:
“Riba adalah penambahan atas pinjaman seiring bertambahnya waktu”
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang Al Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
5. Qatadah:
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
6. Zaid bin Aslam:
“Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah yang berimplikasi pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: ‘bayar sekarang atau tambah.’”
7. Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
8. Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:
Ja’far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan riba – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
9. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali
“Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas pe-nambahan waktu yang diberikan.”
II. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami:
“Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al Qur’an dan hadits Nabi.”
III. Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitan dengan perbankan syariah implikasi ketentuan tukar-menukar antarbarang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jual-beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserah-kan ketika tukar-menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual-beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserah-kan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
IV. Konsep Riba dalam Perspektif Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius per-soalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Maka, sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif dari kalangan non-Muslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan non-Muslim tersebut perlu pula dikaji.
Pertama, agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Islam juga mengakui kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena kaum Yahudi dikaruniai Allah I kitab Taurat sedangkan kaum Kristen dikaruniai kitab Injil.
Kedua, pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan riba.
1.Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undangTalmud. Kitab Exodus (Keluaran ) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
2. Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Pinjaman biasa (6 % – 18%)
Pinjaman properti (6 % – 12 %)
Pinjaman antarkota (7% – 12%)
Pinjaman perdagangan dan industri (12% – 18%)
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan ¡¥tingkat maksimal yang dibenarkan hukum’ (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
Bunga maksimal yang dibenarkan (8 – 12%)
Bunga pinjaman biasa di Roma (4 – 12%)
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 – 100%)
Bunga khusus Byzantium (4 – 12 %)
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan peng-ambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan.
Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk meng-hasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman.
i. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
ii. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi mengang-gap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.
3. Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya ber-bagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen meng-halalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Basil (329 – 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 – 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
St. Anselm dari Centerbury (1033 – 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut :
Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 – 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
Dosa apabila bunga memberatkan.
Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang seder-hana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
V.Larangan Riba dalam Al Qur’an dan As Sunnah
Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah.
1.Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah I mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan Pem-benaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).
Tahap terakhir, Allah I dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah e bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan
turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.’”
2. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga Al Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah e masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, me-nerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (H.R. Bukhari no. 2084 kitab Al Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah e dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya ” Bilal menjawab, “Saya mem-punyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah e”, selepas itu Rasulullah e terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (H.R. Bukhari no. 2145, kitab Al Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah e melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (H.R. Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu).
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah e bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu ‘ Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.’ ” (H.R. Bukhari no. 6525, kitab At Ta`bir)
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.
“Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya.”
VI. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Pembahasan :
1. Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Q.S. Al Baqarah: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, ter-utama penerapan al qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah
“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
2. Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan . Pendapat ini berasal dari pe-mahaman yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan
Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3×2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan rasul-Nya).”
DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali Imran 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu. Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik – jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah {32} “Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina
sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan, badie, dan maa’nie.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupa-kan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan da-pat melakukan mudharat jauh lebih besar dari per seorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, meng-ekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf.
Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi, negara, bahkan global.
VII. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produk-tif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
VIII. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
IX. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
SISTEM BUNGA STESAAMS
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung a.Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan un-tung rugi
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”. d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. e. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
X. Berbagai Fatwa tentang Riba
Hampir semua majlis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah mem-bahas masalah riba. Pembahasan itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa¡¦il Nahdlatul Ulama.
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
i. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur¡¦an dan As Sunnah.
ii. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
iii. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
iv. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
Majlis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) :
i. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majlis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
ii. Mendesak Majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.
Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas dalam Muktamar Majlis Tarjih Malang (1989). Keputusannya: koperasi simpan-pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah mengeluarkan satu tambahan keterangan yakni, bahwa tambahan pembayaran atau jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba. Namun, dalam pelaksanaannya, perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutus-kan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini :
i. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
ii. Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
iii. Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
Keputusan Lajnah Bahsul Masa¡¦il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain :
i. Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :
Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram.
Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sistem per-bankan yang islami atau tanpa bunga belum ber-operasi.
Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut :
Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram.
Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
ii. Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan warga NU. Maka, Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini segera diperbaiki.
Perlu diatur :
1) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:
i) Al wadi¡¦ah (simpanan) bersyarat atau dlaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta titipan dari pihak ketiga atau lembaga keuangan lain yang menganut sis-tem yang sama.
ii) Al mudharabah, dalam prakteknya konsep ini disebut sebagai investment account atau lazim disebut sebagai deposito berjangka dengan jangka waktu yang berlaku, misal-nya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:
- General Investment Account (GIA).
- Special Investment Account (SIA).
2) Penanaman dana dan kegiatan usaha:
i) Pada dasarnya terbagi atas tiga jenis kegiatan, yaitu pembiayaan proyek, pembiayaan usaha perdagangan atau perkongsian, dan pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit and loss sharing, dan sebagainya.
ii) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat digunakan antara lain mudharabah, muqaradhah, musyarakah/syirkah, muraba-hah, pemberian kredit dengan service charge (bukan bunga), ijarah, bai¡¦uddain, termasuk di dalamnya bai¡¦ as salam, al qardhul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service charge), dan bai¡¦ bitsaman aajil.
iii) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan. Untuk mengaplikasikannya, bank dapat menggunakan konsep wakalah, musyarakah, murabahah, ijarah, sewa-beli, bai’ as salam, bai’ al aajil, kafalah (garansi bank), working capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
iv) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti pengiriman dan transfer uang, jual-beli mata uang atau valuta, dan penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan dengan prinsip tanpa bunga.
3) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syariah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah muamalah Islam.
4) Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu :
i. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
ii. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4.Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.
Dr. Yusuf Qardhawi, salah seorang peserta aktif dalam konferensi tersebut mengutarakan langsung kepada penulis pada tanggal 14 Oktober 1999 di Institute Bankir Indonesia, Kemang, Jakarta selatan, bahwa konferensi tersebut di samping dihadiri oleh para ulama juga diikuti oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa, dan dunia Islam. Yang menarik, menurut beliau, bahwa para bankir dan ekonom justru yang paling semangat menganalisa kemadharatan praktek pembunga-an uang melebihi hammasah (semangat) para ustadz dan ahli syariah. Mereka menyerukan bahwa harus dicari satu bentuk sistem perbankan alternatif.
6. Fatwa lembaga-lembaga lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia di atas, beberapa lembaga tersebut berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain
i. (Akademi Fiqh Liga Muslim Dunia)
ii. (Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia)
Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembaga-lembaga dunia di atas diambil pada saat bank Islam dan lembaga keuangan syariah belum berkembang seperti saat ini. Atau dengan kata lain, para ulama dunia tersebut sudah berani menetapkan hukum dengan tegas sekalipun pilihan-pilihan alternatif belum tersedia. Alangkah malunya kita di mata Allah I dan Rasulullah e ketika saat ini sudah berdiri 2 bank syariah secara penuh (Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri), 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful Umum, Reksa Dana Syariah dan ribuan Baitul Maal wat Tamwil (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) kita masih belum mem-buka hati untuk ¡§bertanggung jawab¡¨ terhadap ajaran agama kita.
XI. Dampak Negatif Riba
1. Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peng-hutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintah-kan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjam-kannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.***
MU'TAZILAH(SEJARAH,TOKOH DAN PEMIKIRANNYA)
Wacana Kalam di kalangan umat Islam merperkenalkan dua kutub pemikiran: Rasional dan Tradisional. Istilah rasional dan tradisional dalam Ilmu kalam dikaitkan dengan porsi penggunaan rasio (akal) dan wahyu secara tekstual. Kelompok yang dianggap mewakili aliran rasional adalah Mu’tazilah.
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah. (Al‑Fakhuri, 1957: 141)
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam. (Nasution, 1986: 38)
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang Mu’tazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya. Hal ini bisa dilihat ketika Washil bin Atha’ bersilang pendapat dengan gurunya Hasan Al-Bashri tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Washil berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah pada suatu posisi di antara kafir dan iman, yang ia menyebutnya fasiq. Dia duduk di salah satu sisi tiang di Masjid Basrah untuk menguatkan dan mempertahankan pendapatnya. Kemudian Hasan Al Bashri mengatakan: I’tazala ‘anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita. Dari sinilah maka Washil dan pengikut‑pengikutnya dinamakan Al Mu’tazilah. Nama ini bisa kukuh sebagai nama golongan tersebut karena:
- Hasan Al-Bashri dikultuskan oleh murid‑muridnya, maka nama yang dibuat oleh orang yang dianggap agung akan selalu abadi dan masyhur.
- Ternyata golongan ini memiliki pendapat‑pendapat yang menyimpang atau keluar dari jumhur muslimin, maka bisa dikatakan menyingkir dari pendapat tersebut (i’tazala ‘anhu).
Asal penamaan Mu’tazilah terhadap kelompok ini pada awalnya merupakan penamaan yang biasa, tidak memiliki unsur pujian dan celaan. Namun pada perkembangan selanjutnya nama ini menjadi celaan terhadap kelompok ini. Hal ini dikarenakan bahwasanya Mu’tazilah pada masa selanjutnya menampakkan pikiran mereka dalam hal qadla dan qadar, dzat dan sifat, dan tentang al qur’an yang dianggapnya sebagai makhluk. Hal yang terakhir inilah yang menyebabkan banyak orang Islam pada waktu itu tidak suka terhadap Mu’tazilah, yang pada akhirnya mereka menyebut nama Mu’tazilah sebagai nama ejekan. (Al-Ghurabi, t.t.: 48‑52)
Golongan ini juga dinamakan golongan qadariyah, karena mereka berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia yang diperbuat dengan sengaja, terjadi atas daya upaya orang itu sendiri yang diciptakan oleh qudrat yang dijadikan oleh Allah untuknya. Jadi segala gerak gerik manusia tidak dicampuri oleh iradat dan qudrat Allah. (Abubakar Atjeh, 1966: 48)
Adapun sebutan Mu’tazilah yang lain adalah:
- Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (kaum pendukung keadilan dan keesaan Allah).
- Ahlul Haq (golongan yang benar).
- Ats‑Tsanawiyah dan Al‑Majusiyah (kaum Dualis dan Majusi). Sebutan ini ditolak oleh Mu’tazilah.
- Al‑Khawarij, karena sejalan dengan pendapat Khawarij tentang dosa besar, apabila tidak bertaubat akan kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa orang itu tidak kafir.
- Al‑Wa’idiyah, yaitu bahwasanya Mu’tazilah menekankan kebenaran janji dan ancaman. Nama ini berasal dari golongan Murjiah.
- Al‑Mu’aththilah, yaitu bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat‑sifat Allah yang azali, juga menolak untuk mengambil pengertian makna lahiriah dari ayat‑ayat Al-Quran dan as-Sunnah jika tidak sesuai dengan pendirian mereka. (Jarullah, 1947: 5‑10)
Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Aliran ini muncul di Basrah pada abad ke 8 (2 H), berawal dari sikap Washil bin ‘Atha’ (700‑750 M/80‑131 H) memisahkan diri dari majlis ta’lim gurunya: Hasan Al‑Basri di sebuah masjid raya Basrah. Hal ini disebabkan karena Washil bin ‘Atha’ mempunyai pendapat yang berbeda dengan gurunya, yang berkaitan dengan masalah orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Washil bin ‘Atha’, mukmin yang melakukan dosa besar, jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin lagi (sedang menurut gurunya: statusnya mukmin), tapi jatuh kepada fasik, namun tidak jatuh pada status kafir (yang menurut Khawarij: statusnya kafir). Fasik, menurut Washil bin ‘Atha’, adalah: al-Manzilah Bain al‑Manzilatain (suatu posisi atau status di antara dua posisi); fasiq berada di bawah mukmin tapi di atas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin ‘Atha’ membentuk halaqah sendiri di masjid yang sama; jamaah yang dipimpin Washil bin ‘Atha’ itulah yang mendapat nama “Mu’tazilah (orang‑orang yang memisahkan diri). Kendatipun makna nama itu tidak buruk (bukan berarti memisahkan diri dari kebenaran), kaum Mu’tazilah lebih senang menyebut diri mereka Ahl at‑Tauhid wa al‑Adl, golongan yang mempertahankan kemurnian tauhid dan keadilan Tuhan. (IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 711) Dalam hal keadilan, mereka berpendapat bahwa mereka memperoleh pahala disebabkan karena memiliki benih‑benih kebaikan dan Allah akan menghukum orang yang berbuat dosa karena kesalahannya. Sedangkan tauhid berarti bahwa mereka secara tidak langsung menolak adanya sifat‑sifat Ketuhanan. (Sharif, 1963: 200)
Kebanyakan ulama‑ulama yang masuk dalam barisan Mu’tazilah, setelah berkembangnya. Filsafat Yunani di Bagdad (Irak) pada bagian kedua abad ke‑8 (2 H) adalah ulama‑ulama yang memberikan perhatian besar pada ilmu dan filsafat itu. Mereka menjadi golongan ulama intelek, yang disamping berteologi (menjelaskan, memperkuat dan membela akidah‑akidah yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi) dengan pemikiran rasional, juga sebagiannya ikut memberi saham yang besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat di zaman klasik Islam. Mereka sering tampil dalam gelanggang perdebatan teologis dengan para teolog non-muslim, mereka memakai senjata logika dan filsafat, sebagaimana yang digunakan pihak lawan. Bila penulis modern menyebutnya kaum rasionalis Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka hanya berpegang pada akal, atau lebih meninggikan akal dari wahyu; mereka sebenarnya berpegang pada keterangan akal dalam rangka menjelaskan atau membela keterangan wahyu. Terlebih dari itu, bila mereka disebut pada teologi liberal dalam Islam, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak terikat pada al-Quran dan as-Sunnah; mereka liberal dalam arti tidak terikat pada pemahaman‑pemahaman yang bersifat sederhana, dangkal atau harfiyah, yang muncul di kalangan sebagian ulama di luar golongan mereka.
Setelah Washil bin ‘Atha’ (pendiri Mu’tazilah) dan pendampingnya, Amru bin Ubaid wajat, ulama‑ulama Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Bagdad yang mau menerima jabatan pemerintahan, dan kelompok Basrah, yang tidak tertarik pada jabatan tersebut. Kedua kelompok itu, karena ketekunan beribadah dan menguasai ilmu serta filsafat, berteologi secara rasional, dapat menarik bagi dan berpengaruh kuat atas khalifah‑khalifah Bani Abbas sampai tahun 849 (234 H). Pada tahun ini, karena kesalahan memaksakan pendirian kepada ulama‑ulama di luar golongannya, Mu’tazilah yang telah 22 tahun lamanya menjadi madzhab resmi Daulah Abbasiyah, mendapat pukulan hebat dengan berfihakknya Khalifah Mutawakkil kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Akhirnya kaum Mu’tazilah dibenci dan dimusuhi oleh penguasa, mayoritas ulama, dan ummat. Pemuka mereka seperti Al‑Jubba’i, tidak mampu menahan kemunduran aliran teologi mereka. Mu’tazilah memang pernah bangkit lagi di Irak dan Persia, ketika kedua wilayah tersebut dikuasai oleh penguasa bani Buaihi (945‑1045/334‑437), golongan Syiah yang berteologi Mu’tazilah dan melahairkan ulama terkemuka, Qadhi Al‑Qudhat Abdul Jabbar (W 1025). Tapi setelah hancur kekuasaan Bani Buaihi, pada umumnya penguasa‑penguasa di seluruh dunia Islam berfihak kepada kaum Ahlussunnah Wal Jammah. (IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 712)
Dewasa ini, golongan Mu’tazilah ini banyak bertebaran di Syam, Yaman, Irak dan Hindustan. Tetapi juga di negeri‑negeri Islam yang lain, yang dengan sadar atau tidak sadar, faham‑faham Mu’tazilah ini masuk melalui ajaran Islam. (Atjeh, 1966: 48)
Wasil bin Atha’ dan Ajaran-ajarannya
Dia adalah Wasil bin ‘Atha’, yang berkuniah Abu Hudaifah, dan di dalam buku Al‑Bayan wa at-Tabyin, kunyahnya adalah Abu al‑Ja’d. Dia adalah Maula Bani Dhabbah; dalam suatu riwayat adalah Maula bani Makhzum. Dia lahir di Madinah tahun 80 H (699/700 M) dan meninggal pada tahun 131 H (748/749 M). (Badawi, 1971: 73‑82)
Ketika ia dilahirkan di Madinah, di tempat itu masih banyak orang‑orang muslim salaf dan pengikut‑pengikutnya, sehingga sedikit banyak dia terpengaruh oleh mereka. (Al-Ghurabi, t.t.: 76) Dia pergi ke Bashrah dan belajar di tempat Hasan Al-Basri, sampai dia mendirikan aliran baru ini (Mu’tazilah). Di sana ia kenal dengan orang‑orang besar seperti Jahm bin Shofwan dan seorang penyair Basysyar bin Bard. Istrinya adalah saudara perempuan Amr bin Ubaid. (Badawi, 1971: 76)
Reputasi Keilmuan Wasil bin Atha’
Washil termasuk orang yang pandai. Siang hari digunakannya untuk berdebat dan malam harinya digunakan‑nya untuk mencari argumentasi yang bisa memperkuat pemikirannya. Dia adalah sastrawan yang ulang, mampu berbicara dengan spontan, memiliki argumentasi yang kuat, dan mampu untuk tidak berbicara dalam waktu yang cukup lama. Dia banyak mengetahui pendapat‑pendapat yang ada pada masanya, dan dia juga seorang yang zuhud dan takut kepada Allah. (Al-Ghurabi, t.t.: 76)
Karya-karya Wasil bin Atha’
Wasil bin ‘Atha’ telah mengarang buku‑buku antara lain:
1. Kitab Ashnaf al-Murji’ah
2. Kitab At-Taubah
3. Kitab Al Manzilah Bain al-Manzilatain
4. Kitab Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar‑Ra’y
5. Kitab Ma’ani al-Quran
6. Kitab Al‑Khithab Fi at-Tauhid Wa al-’Adl
7. Kitab Ma Jara Bainahu Wa Baina Amr Bin Ubaid
8. Kitab As-Sabil Fi Ma’rifati al-Haq
9. Kitab Fi ad-Da’wah
10. Kitab Thabaqat Ahli al-Ilmi Wa Ghairi Dzalik. (Badawi, 1971: 82)
Peran wasil bin Atha’ dalam Aliran Mu’tazilah
Washil adalah tokoh pemula aliran Mu’tazilah. Dia adalah orang pertama yang mendapat julukan Mu’tazilah, dia pula yang mendirikan dan mempertahankan ajaran‑ajarannya. (Al-Ghurabi, t.t.: 74) Washil juga telah mewariskan kepada umat Islam berupa falsafat yang berharga untuk memahami aqidah Islamiah melalui metode pembahasan yang rasional.
Wasil bin ‘Atha’, dalam bidang da’wah sangat berjasa. Dia telah mengutus para da’i ke pelbagai penjuru dunia untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan teristimewa aliran Mu’tazilah, seperti Abdullah bin Al‑Haris ke Maroko, Hafsh bin Salim ke Khurasan, Ayyub ke Al-Jazirah dan Usman Ath‑Thawil ke Armenia. Washil juga dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan prinsip‑prinsip da’i dalam pemerintahan Islam dan mengutus utusan‑utusan dalam rangka da’wah Islamiah serta mempertahankan pendapatnya yang dia pegang teguh. (Al-Ghurabi, t.t.: 103)
Pemikiran Teologis wasil bin Atha’
Sebenarnya, ajaran‑ajaran Washil muncul sebagai reaksi yang ada pada waktu itu; yakni kontroversi yang cukup mencolok antara Khawarij dan Murjiah, orang‑orang Yahudi dan Nasrani berbondong‑bondong untuk masuk Islam, sehingga masalah‑masalah aqidah yang digandrungi sebelumnya, dibawa kedalam agama yang baru mereka peluk. Berbarengan dengan itu pula, filsafat Yunani telah merajalela, sehingga dia merasa tergugah untuk mengambil sikap dalam rangka menyelamatkan agamanya dari kesalahan‑kesalahan yang fatal dan bisa menganak non-muslim untuk memeluk agama Islam. Sikap‑sikapnya, pada pokoknya adalah pendapat‑pendapat berikut ini:
A. Al‑Manzilah Bainal Manzilatain (Posisi di antara Dua Posisi)
Ajaran ini memberi makna adanya sikap jalan tengah antara dua golongan yang tenah bersengketa, khawarij dan Murjiah. Tentang masalah iman dan kafir, Khawarij berpendirian bahwa implementasi perintah agama, seperti shalat, puasa, sadaqah dan berbuta adil merupakan salah satu unsur keimanan. Iman bukan hanya merupakan kepercayaan saja, sehingga menurutnya, barang siapa percaya bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya, namun dia tidak melaksanakan kewajiban‑kewajiban agama dan melakukan dosa besar, baginya dianggap kafir. Bahkan salah satu dari sektenya Al‑Azariqah, sebagai pengukut dari Nafi’ ibn al‑Azraq, memiliki suatu persepsi bahwa orang yang melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari agama Islam dan akan abadi di neraka bersama‑sama dengan orang‑orang kafir lainnya. (Asy‑Syahraststani, 1956: 291)
Murjiah bersiteguh dengan pendiriannya bahwa iman itu merupakan kepercayaan hati. Shalat, puasa dan serentetan ajaran yang senilai dengan itu bukan merupakan unsur iman. Dosa besar yang diperbuat oleh umat Islam tidak menyebabkan dia kafir, tetapi masih tetap dalam batasan orang mukmin. Aliran ini telah memperluas cakupan makna mukmin, sedangkan golongan Khawarij adalah sebaliknya. Orang Mukmin, dalam perspektif Khawarij, adalah mereka yang termasuk dalam golongannya sendiri, malahan al‑Azariqah, memberi batasan yang relatif sempit, kalau tidak boleh dikata‑kan terlalu sempit, dengan mengibarkan pandangannya bahwa orang mukmin adalah orang‑orang yang bergabung dalam sektenya, adapun selainnya dipandangnya kafir. Pandangan ini sangat berefek lebih jauh terutama dalam bidang politik. (Ahmad Amin, 1964: 292)
Mu’tazilah, Washil dengan para pengikutnya, hadir untuk memberikan sintesa bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana pendapat khawarij, dan bukan pula mukmin sebagaimana pola pandang Murjiah, tetapi fasiq, yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan kafir. Kata mukmin menurut Washil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq, karena dosa besarnya. Dan predikat kafirpun tidak bisa diberikan kepadanya, karena sebaliknya dosa besar dia masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan perbuatan‑perbuatan baik. (Ahmad Amin, 1964: 230) Orang yang berdosa besar tersebut, bila mata tanpa taubat terlebih dahulu maka dia akan masuk neraka selamanya, karena di akherat itu hanya terdapat dua golongan, golongan syurga dan neraka, namun siksanya akan diperingan, terletak di atas tingkatan orang‑orang kafir. Pendapat ini menyebabkan Washil keluar dari pengajian Hasan Al‑Basri dan pada gilirannya dia beserta para pengikutnya dinamai Mutazilah. Konsepsi ini sangat berdampak pada para pengikut Mu’tazilah sehingga ajaran ini diangkat menjadi salah satu dari al‑ushul al‑khamsah.
B. Peniadaan sifat‑sifat Allah
Washil berpendapat, bahwa Allah tidak memiliki sifat‑sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar esensinya dan menurutnya bahwa sifat‑sifat yang jumlah‑nyaa 99 nama tersebut merupakan satu kesatuan yang bernilai Ilahiyah. (Farah, 1986: 203) Semestinya sifat‑sifat itu qadim, karena tidak mungkin mensifatiNya dengan sifat hadits (baru), dan jika sifat‑sifat Allah itu qadim, maka memberikan makna bahwa yang qadim itu banyak, sudah barang tentu pendapat ini salah karena mengandung arti syirik atau menyekutukan Tuhan. (Al-Ghurabi, t.t.: 95)
Ajaran ini merupakan reaksi atau tanggapan terhadap pendapat‑pendapat yang pada waktu itu sedang berkembang, antara lain:
- Pendapat Muqatil bin Sulaiman, wafat tahun 150 H, bahwa Allah mempunyai sifat‑sifat jasmani dan sifat‑sifat yang terdapat pada mahluk.
- Pendapat Ats‑Tsanawiyah, bahwa cahaya dan gelap itu izaali dan qadim.
Kalau kita teliti, paham penafian sifat Allah ini tampaknya bukan pendapat asli Wasil bin ‘Atha’ karena sebelum dia, Jahm bin Shafwan (wafat 128 H) telah berpendapat dapat serupa, hanya saja Jahm telah mengecualikan sifat berkuasa, berbuat, dan mencipta. Hanya Allah saja yang mempunyai sifat‑sifat tersebut. Manusia dalam perbuatan‑perbuatannya adalah dipaksa. Perbuatannya bukan dalam arti yang sebenarnya, melain‑kan dalam arti kiasan, tak ubahnya sebagaimana statemen: tanaman menghijau, hujan turun dari langit, siang hari terang benderang dan sebagainya. (Al-Ghurabi, t.t.: 95) Menurut Asy‑Syahrahtani, bahwa pikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang peniadaan sifat‑sifat ini, dianggap belum matang, tetapi kemudian disempurnakan oleh pengikut‑pengikutnya setelah mereka mempelajari filsafat Yunani. Abu Hudzail berpendapat, bahwa sifat esensi bagi Allah seperti mengetahui, berkuasa, hidup, dan sebagainya, adalah zat Allah itu sendiri, bukan merupakan wujud tersendiri yang terpisah dari esensinya. Pengetahuan Allah adalah Allah itu sendiri. Kekuasaan Allah adalah esensi Allah sendiri, demikian pula sifat‑sifat esensi lainnya. (Al-Ghurabi, t.t.: 159)
C. Al‑Qadar
Menurut Wasil bin ‘Atha’ Tuhan adalah bersifat bijaksana dan adil. Sebaliknya ia tidak memiliki sifat jahat dan dholim. Mustahil bagi‑Nya menghendaki supaya manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perintah‑nya. Karenanya, menurut Wasil bin ‘Atha’ bahwa pada hakekatnya manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan baik atau buruk, iman atau kufur, taat atau ingkar terhadap perintah Allah. Dengan alasan ini, maka manusia berhak mendapat balasan. Menurut Asy‑Syahrastani, pemikiran Wasil bin ‘Atha’ tentang Al‑Qadar ini, telah mengikuti jejak jalan fikiran yang ditempuh oleh Ma’bad Al‑Juhaini dan Ghailan Al‑Dimasyqi. Ajaran Al‑Qadar ini memberikan kebebasan akal dan perbuatan manusia untuk berikir dan berbuat, akan tetapi ada konsekuensi logisnya, yaitu bahwa manusia akan dimintai pertanggung jawabannya. (Asy‑Syahrastani, 1956: 51)
Sikap Para Ulama terhadap Wasil bin Atha’
Al‑Asy’ari adalah salah seorang ulama yang sangat gencar menyerang ajaran Wasil bin ‘Atha’. Dia menuduh Wasil bin ‘Atha’ sebagai orang Majusi. Dia berbeda pendapat dengan Wasil, mengenai ajaran peniadaan sifat. Menurutnya, Allah itu mempunyai sifat‑sifat, namun berbeda dengan sifat‑sifat yang dimiliki oleh mahluk. Dia menolak ajaran Al‑Qadar, bahwa manusia tidak mampu berbuat hal‑hal yang baru, namun demikian, mereka dapat melakukan kasab. (Abu Zahrah, t.t.: 166)
Sebagian ulama yang lain memasukkan Wasil bin ‘Atha’ sebagai kelompok Khawarij, bahkan ada lagi yang memasukkannya dalam kelompok Jahmiyah. (Al Ghurabi, t.t: 79)
Khatimah
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
- Pada awalnya nama Mu’tazilah adalah digunakan untuk nama golongan yang mengasingkan diri atau memisahkan diri dari golongan‑golongan yang telah ada.
- Nama Mu’tazilah dengan kaitannya dengan kelompok teologi, adalah suatu nama yang pada awalnya dijulukkan kepada kelompok ini oleh pihak lain.
- Mu’tazilah adalah sebuah aliran teologi dalam Islam, yang muncul di Basrah (Irak) pada awal abad ke‑8, yang dipelopori oleh Wasil bin ‘Atha’, tatkala ia berselisih faham dengan gurunya: Hasan Al‑Basri tentang dosa besar.
- Ada beberapa nama yang dialamatkan kepada golongan Mu’tazilah ini, yaitu: Qadariyah, Ahlul ‘Adl wat Tauhid, Ahlul Haq, Ats‑Tsanawiyah, Al‑Majusiyah, Al‑Khawarij, Al‑Wa’idiyah, dan Al‑Mu’aththilah.
- Karena kelompok ini dalam menganalisa selalu menggunakan akal, maka dapat dikatakan kelompok ini adalah kelompok rasionalis (aliran teologi rasional) dalam Islam.
- Washil adalah orang pertama yang mendapat julukan Mu’tazilah, mempertahankan ajaran‑ajarannya, mewariskan metode pembahasan yang rasional.
- Banyak ulama’ yang tidak setuju dengan pendapat Washil, sehingga dengan mudah menuduhkan takfir (pengafiran) kepadanya, dengan simbolisme Majusi, Khawarij dan Jahmiyah.
Referensi:
Abu Zahrah, M., Al‑Madzahib al‑Islamiyyah, Kairo, Dar al-Fikri al-‘Arabi, tt.
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Kairo: An‑Nahdhah al‑Mishriyyah, 1964.
Atjeh, Abubakar, Ilmu Ketuhanan (Ilmu Kalam), Jakarta: Tintamas, 1966.
Badawi, Abdurrahman, Madzahibu al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-‘Ilmi Li al-Malayin, 1971.
Al‑Fakhuri, Hanna, dkk, Tarikh al-Falsafah al‑Arabiyyah, Beirut: tnp., 1957.
Farrah, E. Caesar, Islam, Canada: Barrons Educational Series, INC, 1986.
Al‑Ghurabi, Ali Musthafa, Tarikh al-Firaq al‑Islamiyyah, Nasy’atu ‘Ilmi a- Kalam ‘Inda al-Muslimin, Mesir: Muhammad Ali Shabih Wa Auladuh, tt.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Jarullah, Zuhdi Hassan, Al‑Mu’tazzilah, Kairo: tnp., 1947.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran‑aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Sharif, M.M., A History of Muslim Phylosophy, Kempten (Germany): Otto Harrassowitz Wiesbaden, 1963.
Asy‑Syahrastani, Kitab al-Milal Wa an-Nihal, Kairo: Al‑Angelo Al‑Mishriyyah, 1956.
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ALIRAN PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH
Iftitah
Salah satu doktrin yang sangat penting bagi Mu’tazilah adalah perihal kemakhlukan al-Quran. Doktrin ini mempunyai dua sisi tinjauan. Pertama, sisi teologis an‑sich yang berpangkal pada paham bahwa hanya Allahlah yang qadim, sedang semua diluar Allah adalah hadits, semua yang hadits adalah makhluk, jadi al-Quran karena di luar Allah adalah hadits dan makhluk. Kedua, sisi politis yaitu upaya pemasyarakatan doktrin ini pada umat Islam, dimana pemerintah ikut campur tangan dengan kekuasaannya bahkan tidak segan‑segan menggunakan kekerasan fisik. Sisi kedua inilah obyek kajian makalah ini.
Al-Mihnah: Tonggak Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Mu’tazilah
Al‑Mihnah yang mirip dengan inquisition berarti severe trial, ordinal tribulation (Hans Wehr, 1960: 895), yaitu pemeriksaan keras, cobaan berat dan kesengsaraan.
Dalam konteks Mu’tazilah, al‑Mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah (Gibb, 1974: 377). Bagi qadli dan pejabat yang menerima paham ini maka putusannya dianggap sah, demikian halnya dengan kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima paham ini siksaanlah yang mereka terima.
Gerakan al‑Mihnah ini merupakan implikasi doktrin ketauhidan Mu’tazilah di samping doktrin yang lain yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan meyakini keqadiiman al-Quran berarti telah berbuat syirik, syirik adalah dosa besar, dan dosa besar harus diberantas sampai keakar‑akarnya meski dengan kekerasan.
Mereka berkeyakinan bahwa satu‑satunya sifat Tuhan yang betul‑betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah qadim (Nasution, 1986: 52), dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni dari syirik.
Al-Quran: Qadim atau Jadid?
Secara historis, paham kemakhlukan al-Quran ini sudah ada sejak masa Marwan bin Muhammad (Khaalifah terakhir dinasti Umayah). Paham ini dimunculkan buat pertama kali oleh al‑Ja’d bin Dirham, dari dialah Jaham bin Shafwan mengambil paham ini (Ahmad Amin, 1936: 162). Dalam perkembangan selanjutnya ketika Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara/pemerintah, doktrin kemakhlukan al-Quran ini menjadi issu yang sangat dominan. Mu’tazilah mencapai masa kejayaannya pada masa tiga khalifah Abbasiyah al‑Makmun, Al‑Mu’tashim dan al‑Watsiq sejak tahun 813 s/d 847 M, pada masa inilah gencar‑gencarnya gerakan al‑Mihnah.
Gerakan al‑Mihnah ini diawali dengan instruksi al‑Makmun kepada gubernur Baghdad Emier Ishaq bin Ibrahim tahun 218/833. Dalam suratnya ia menjalskan hal‑hal yang mendorongnya mengeluarkan instruksi itu. Ahmad Amin dalam bukunya Dluha Al‑Islam halaman 168‑169 menyimpulkan isi instruksi itu menjadi lima point, yang hakekatnya berpangkal pada keinginan Makmun menjaga kemurnian aqidah umat secara keseluruhan, baik ia sebagai pejabat pemerintah, ulama atau rakyat biasa. Surat yang sama juga beliau kirimkan kepada Gubernur Mesir, Kaidar, sehingga beliau menguji/menyelidiki Abdullah al‑Zuhri qodli Mesir kala itu.
Sasaran al‑Mihnah dalam instruksi pertama ini adalah para qadli, para pejabat peradilan juga para saksi dalam perkara yang dimajukan dalam pengadilan, karena ini merupakan syarat sahnya putusan pengadilan.
Instruksi kedua dikirim lagi kepada Ishaq bin Ibrahim untuk menguji tujuh ulama ahli hadits, yaitu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin al‑Dauraqi. Dalam pengujian itu mereka semua menerima paham kemakhlukan al-Quran (Ahmad Amin, 1936: 170).
Instruksi ketiga dikirim kepada Ishaq untuk menguji para pejabat pemerintah, fuqaha dan muhadditsin. Dari pengujian tersebut kebanyakan mereka memberikan jawaban yang tidak tegas menerima atau menolak, mungkin ini dilakukan untuk menghindari siksaan. Diantara yang berbuat demikian adalah Basyar bin al‑Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan Ibnu al‑Baka’ (Ahmad Amin, 1936: 170).
Khalifah Makmun tidak puas dengan jawaban mereka yang tidak tegas itu, sehingga Ishaq mengumpulkan lagi 30 orang terdiri dari qodli, muhadditsin dan fuqaha’. Kebanyakan mereka mengakui kemakhlukan al-Quran kecuali empat orang saja; Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin Nuh. Mereka dibelenggu dan disiksa, akhirnya tingal dua orang saja yang bertahan Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh (Ahmad Amin, 1936: 177).
Pengganti al‑Makmun adalah al‑Mu’tashim (833‑842 M) ia tetap menjalankan al‑Mihnah ini, Ahmad bin Hambal tetap pada pendiriannya maka ia dijebloskan ke penjara. Khalifah berikutnya al‑Watsiq (842‑847 M). Di awal pemerintahannya ia menampakkan kekerasannya seperti al‑Makmun, namun pada akhir pemerintahannya ia berbalik dan menyesali semua tindakannya, bahkan ia berusaha menghapuskan gerakan al‑Mihnah dan paham kemakhlukan al-Quran ini (Abu Zahrah: 173).
Perkembangan Pemikiran Teologis Mu’tazilah Sebagai Aliran
Gerakan al‑Mihnah ini ternyata membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi Mu’tazilah sebagai aliran. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk melaksanakan paham‑paham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu itu. (Nasution, 1974: 40). Setelah kejadian itu kaum Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti (Watt, 1987: 78).
Pemikiran rasional dan sikap kekerasan Mu’tazilah ini memicu lahirnya aliran‑aliran teologi lain dalam islam karena Mu’tazilah semakin kehilangan simpati umat disatu pihak, dipihak lain keadaan semacam ini justru mendongkrak kedudukan muhadditsin ke tingkat yang lebih tinggi di mata umat. Keadaan semakin parah ketika al‑Mutawakkil, pengganti wal‑Watsiq, membatalkan Mu’tazilah sebagai paham negara tahun 848 M. Sehingga keadaannya menjadi berbalik, Ibnu Hambal serta ulama muhadditsin lebih dekat dengan penguasa, sedang Mu’tazilah jauh dari penguasa. Terlebih lagi Mu’tazilah mengalami konflik intern dengan banyaknya pemikir‑pemikir Mu’tazilah yang meninggalkannya, seperti: Abu Isa al‑Warraq, Abu Husain Ahmad Ibnu Rawandi juga Abu Hasan al‑Asy’ary (Nasution, 1986: 68). Di saat seperti ini aliran Asy’ariyah cepat diterima rakyat banyak.
Pada masa dinasti Buwaihi (945‑1055), Mu’tazilah mendapat angin segar kembali, karena Ahmad Ibnu Buwaihi kepala dinasti yang menyerang Baghdad tahun 945 M. beraliran Syi’ah yang cenderung rasionalis. Kalau dahulu Mu’tazilah ditopang oleh al‑Makmun, maka sekarang Sahib Ibnu Abdadlah (977‑995 M) Perdana Menteri dari Sultan Fakhr al‑Dawlah yang menopang kekuatan Mu’tazilah. Filosof‑filosof besar banyak yang muncul pada masa ini, seperti al‑Farabi, Ibnu Maskawih, al‑Ghazali, al‑Biruni dan Ibnu Haitami.
Dinasti Buwaihi akhirnya digulingkan oleh Tughril dinasti Saljuq pada tahun 1055 M, namun belum bisa menggoyahkan kedudukan Mu’tazilah, karena Tughril mempunyai perdana menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibnu Mansur al‑Kunduri (416‑456 H), (Nasution, 1986: 74).
Setelah meninggalnya Tughril Bek, Mu’tazilah menurun kembali karena penggantinya Alp Arselan menangkat Nizam al‑Muluk seorang Asy’ariyah menjadi perdana menteri. Mulai saat inilah Mu’tazilah sebagai aliran berangsur‑angsur menghilang sampai tujuh (7) abad lamanya, dan baru pada awal abad kesembilan belas muncul kembali namun bukan merupakan aliran/kelompok, tetapi cenderung sebagai cara pandang/wawasan dalam memahami agama. Tokoh‑tokoh kebangkitan kembali Mu’tazilah ini seperti Jamaluddin al‑Afghani, Mohammad Abduh, Ahmad Amin dan sebagainya.
Al‑Mihnah Dalam Sorotan
Sebagaimana telah dipaparkan di awal tulisan ini, bahwa dimungkinkan menggunakan dua pendekatan terhadap al‑Mihnah, karena ia berdimensi ganda, yaitu dimensi teologis dan dimensi politis. berdimensi teologis karena muatan peristiwa al‑Mihnah masalah khalq al-Quran sedangkan dimensi politis, karena pengambil keputusan dalam peristiwa ini adalah seorang penguasa, bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir.
Dari dua pendekatan tersebut, penulis cenderung mendekati dari dimensi politik. Ada dua pertimbangan yang memperkuat pandangan penulis, yaitu:
Pertama, pengambil keputusan dalam masalah al‑Mihnah adalah seorang penguasa, bukan seorang pemikir, betapapun tidak tertutup kemungkinan bahwa al‑Makmun berada dalam bayang‑bayang pikiran Mu’tazilah.
Kedua, Khalq al-Quran yang tampaknya menjadi persoalan utama dalam kasus al‑Mihnah, hanyalah salah satu indikator dari sikap pemerintah al‑Makmun, bukan sebagai persoalan yang sebenarnya (crucial points), karena ada yang lebih penting dan mendasar dari pada masakah khalq al-Quran. Masalah pokok yang sesungguhnya adalah suatu pergulatan antara pemerintah yang berhaluan rasional dalam melihat persoalan‑persoalan teologis dengan kelompok ahli hadits yang berhaluan tradisional dan tekstual.
Sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarah Islam, pada tahun 750 M. sampai dengan 1000 M., di kalangan umat Islam sedang terjadi gelombang pemikiran yang begitu besar, pada saat mana umat Islam sedang mentransformasi keilmuan Yunani secara besar‑besaran. Harun al‑Rasyid, al‑Makmun dan al‑Mu’tashim adalah diantara khalifah Abbasiyah yang dikenal sebagai orang yang sangat besar komitmennya pada usaha transformasi pemikiran Yunani ini. (Nasr, 1986: XIV). Transformasi pemikiran Yunani secara besar‑besaran ini oleh Dr. Muhammad Ghallab disebut sebagai gelombang pemikiran kedua dalam masyarakat Islam. (Ghallab, t.t.: 121).
Al‑Mihnah (inquisition) yang dilancarkan oleh al‑Makmun tidaklah sama dengan inquisition yang terjadi di Spanyol. Karena al‑Mihnah yang dilancarkan oleh al‑Makmun ini semacam “liberalisme” Mu’tazilah melawan mereka yang menghalangi liberalisme khususnya kaum fundamentalis. Sedangkan inquisition di Spanyol yang kemudian melanda Eropa adalah sebaliknya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit, melawan pikiran liberal yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu banyak belajar dari warisan pemikiran islam. (Nurcholis Madjid, 1992: 216)
Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi tidaklah bertanggung jawab dalam kasus al‑Mihnah, meskipun al‑Makmun berada dalam bayang‑bayang pemikiran Mu’tazilah. Sebagai seorang pemegang kekuasaan, al‑Makmun dengan kebijakan politiknya tersebut sdah barang tentu tidak hanya sekedar berkepentingan dengan masalah khalq al-Quran yang menjadi ajang perselisihan antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok ahli hadits, tetapi lebih jauh dari itu yaitu berbentangnya jalan bagi liberalisme dalam pemikiran‑pemikiran keagamaan, disamping menginginkan adanya kesamaan pandang umat Islam dalam masalah yang bersifat teologis.
Mengenai sementara pandangan bahwa kasus al‑Mihnah menjadi faktor sirnanya paham Mu’tazilah setelah periode al‑Mu’tashim, mungkin masih perlu dilakukan tinjauan yang lebih teliti lagi. Sebab jika dilihat dari kasus mihnah tersebut, paham Mu’tazilah nampaknya hanya diterima oleh sebagian kecil umat Islam yaitu kalangan intelektual dan pemerintah, sementara di sisi lain, kelompok ahli hadits mempunyai pengaruh yang luas dan mengakar di kalangan masyarakat. Maka kemungkinan besar faktor kurang berkembangnya pemikiran Mu’tazilah karena transformasi pemikiran Yunani belum benar‑benar diterima oleh kebanyakan umat islam semenjak kehadirannya di tengah‑tengah mereka, karena pola pikir tradisional telah lebih dulu berkembang dan mengakar pada mereka. Bahkan hingga saat ini tidak berkembangnya ajaran‑ajaran Mu’tazilah karena tidak mudahnya pikiran Mu’tazilah diterima oleh pemikir Islam yang telah terbentuk dalam alam pikiran tradisional.
Semoga tulisan ini mempunyai dampak positif dalam pengembangan pemikiran Islam baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca yang budiman.
Referensi:
Amin, Ahmad, Duha al‑Islam, Juz III, Mesir: al‑Nahdlah al‑Misriyah, 1936.
Abu Zahrah, Muhammad, Ahmad, Tarikh al‑Madzahib al‑Islamiyah, Mesir: al‑Maktabah al‑Mahmudiyah, t.t.
Ghallab, Muhammad, Al‑Ma’rifah ‘Inda Mufakkiri al‑Muslimin, Mesir: Darul Misriyah, t.t.
Gibb, H.A.R, dan Kramer, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: EJ. Brill, 1974.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Nasr, Sayyed Husein, Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah, Terj. Ahmad Mujahid, Lc., 1986.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
——, Teologi Islam, Jakarta: UI. Press, 1986.
Watt, W. Montgomery., Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, 1987.
Wehr, Hens, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ithaca: ed. J. Milton Cowan, Ithaca, 1960.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar