![[6.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8Ttz6WwaPKt4A8SIOIhnX8KlqiE9WF4pnAwNl_CTq-nCy-pV0jhc4my0-KMcs-Cj6IB1y5w11fDqo1pVulQqe2BZVwxZ23EK2gmAeTOuSeliLT1Z_pTarcJC8Gp9DCo3CQur5w0va/s1600/6.jpg)
KRITIK METODOLOGIS ATAS TAFSIR ALQUR'AN:kajian terhadap pemikiran al-zahabi dan arkoun
I. PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan sekaligus menjadi penjelasan atas fungsi utamanya.[1] fungsi tersebut ditunjukkan juga oleh Allah dalam beberapa ayat al-Quran.[2] Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka tidak boleh tidak al-Quran tersebut harus dipahami oleh umat manusia.[3]
Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan al-Quran tersebut, yang salah satunya adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Upaya ini telah dimulai oleh Rasulullah saw. sendiri sebagai mufassir pertama dan utama dan dilanjutkan oleh para mufassir pelanjutnya. Rasulullah saw. menafsirkan ayat-ayat al-Quran melalui sunnahnya,[4] sedang para pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadis-hadis Rasulullah saw., di samping berusaha memahami al-Quran dengan penjelasan al-Quran itu sendiri, dan menggunakan kemampuan akal mereka untuk melakukan ijtihad melalui penggunaan kemammpuan pengetahuan bahasa, adat-istiadat Arab, hal ihwal kaum Yahudi-Nasrani (riwayat-riwayat Israiliyyat dan Nashraniyyat) serta kekuatan intuitif mereka.[5] Kemudian, pada masa selanjutnya (Tabi’in) diwarnai dengan pengayaan teori tafsir yang di samping merujuk pada tafsir sahabat, juga dengan ra’yu sebagai alat penalar, meskipun corak ra’yunya belum sejelas pola tafsir bi al-ra’yi pada masa berikutnya.. Al-zahabi, dalam konteks ini, menyebutkan ada lima sumber tafsir Tabi’in: (1) al-Quran, (2) al-Hadis, (3) tafsir sahabat, (4) cerita Israiliyyat dan (5) ra’yu atau ijtihad para tabi’in sendiri.[6]
Al-zahabi berpendapat bahwa pada masa tabi’in inilah kita bisa melihat adanya peluang ‘inhiraf’7 dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran. Masalah yang diangkat oleh al-zahabi dalam bukunya: Al-Ittijâhat al-Munharifah Fî Tafsîr al-Qurân al-Karîm Dawâfi’uhâ Wa Daf’uhâ, merupakan masalah yang penting dan berat, karena membicarakan tentang orientasi-orientasi penyimpangan dan motivasi yang melatarbelakanginya dengan mengetengahkan argumentasi-argumentasi dalam mendeskripsikan dan menawarkan solusinya secara komprehensif.
Al-zahabi mengingatkan kepada para pembacanya, bahwa Tafsir al-Quran bukanlah atau tidak identik dengan al-Quran. Semua hanyalah merupakan karya intelektual para mufassir yang yang juga adalah manusia yang bisa salah. Tafsir adalah tempat yang subur untuk beribadah dalam dimensi intelektualitas manusia sekaligus merusak citra kesucian al-Quran dengan cara — misalnya – menumbuhsuburkan pendapat-pendapat mazhab, kelompok kepentingan dan keinginan-keinginan pribadi yang tidak selaras dengan substansi pesan-pesan al-Quran sendiri.
Al-zahabi mencermati bahwa kecenderungan-kecenderungan menyimpang itu merupakan fenomena kontemporer. Sejak zaman Rasulullah saw pun kecenderungan itu sudah ada, meskipun teredam – secara sistemik – oleh situasi sosio-religius yang kurang kondusif untuk melakukan penyimpangan. Secara logika — menurut al-zahabi – bisa kita duga bahwa pada zaman sahabat bukan tidak mungkin ada peluang untuk melakukan penyimpangan itu, karena pada waktu itu di samping kontrol sosialnya sudah tidak sebaik pada masa Rasulullah saw, otoritas intelektual para sahabat yang dapat diasumsikan memiliki kenisbian dalam melakukan klaim kebenaran atas setiap pendapat. Pada masa Rasulullah saw, setiap perbedaan pendapat atas penfasiran ayat-ayat al-Quran dapat secara langsung dikonfirmasikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, pada masa sahabat, konfirmasi sebaik apa pun tidak akan dapat dipahami sebagai sebuah justifikasi final dan ‘serba-benar’. Namun untuk menyatakan bahwa kecenderungan ke arah tersebut benar-benar ada, al-zahabi merasa belum dapat menemukan evidensi yang cukup kuat, karena semangat di samping karena semangat keagamaan yang relatif masih kokoh di kalangan para mufassir generasi sahabat, kritisisme antarsahabat – dalam konteks tafsir al-Quran masih menjadi tradisi intelektual yang berkembangan dan sangat dihormati oleh masing-masing pihak. Di sinilah prinsip tasamuh itu tumbuh subur dan memainkan peran penting dalam perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam bidang tafsir al-Quran. Gejala ke arah penyimpangan, meskipun belum dapat kita katakan telah menyimpang, karena di dalamnya terdapat hal-hal yang memberikan peluang ke arah itu, menurut al-zahabi, terlihat dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern, dengan adanya beberapa sistem, orientasi dan metode penafsiran masing-masing. Kecenderungan-kecenderungan itu semakin tampak, di tandai dengan munculnya pola-pola baru dalam menafsirkan al-Quran, terutama dengan semakin menguatkan gairah orang Islam untuk memberikan makna yang lebih memuaskan keinginan mereka dalam memahami al-Quran, dengan berusaha mengelaborasi metodologi tafsirnya yang tidak seluruhnya steril dari semangat kepentingan.8
Statemen Al-zahabi terlihat tidak membedakan antara kemungkinan adanya kesalahan – sebagai konsekuensi dari keterbatasan intelektualitas manusia dihadapkan pada kebenaran mutlak yang dimiliki oleh Tuhan — dan penyimpangan penafsiran – sebagai konsekuensi dari vested-interestnya, padahal keduanya berbeda secara diametral. Yang pertama merupakan ketidaksengajaan sedang yang kedua merupakan tindakan sengaja.
Sementara itu, kita memperoleh informasi yang berbeda dari seorang intelektual Muslim yang terdidik di dunia Barat Mohammed Arkoun dengan “Bacaan al-Quran”nya yang kritis dan transformatif. Dalam pandangan Arkoun sejarah pengajaran al-Quran dimulai pada awal abad VII M. (tepatnya pada tahun 610 M.), yakni ketika Muhammad – secara teologis – “diangkat oleh Allah menjadi Rasul (perantara)-Nya” pada usia empat puluh tahun.
Peristiwa itu terjadi selama hampir 23 tahun, berakhir ketika menjelang Muhammad wafat sekitar tahun 632 M. Hari yang diperingati oleh sebagian umat muslim, termasuk Indonesia, sebagai Nuzul al-Quran (turunnya wahyu), yang merupakan persitiwa pertama kali ayat al-Quran ‘diturunkan’, yaitu surat al-‘Alaq, ayat 1-5.
Seharusnya peringatan Nuzul al-Quran menjadi momentum untuk merefleksikan secara lebih substantif makna al-Quran. Karena sejak pengkodifikasian al-Quran pada masa Khalifah ‘Utsman bin Affan, maka al-Quran dalam sebuah mushaf (Korpus Resmi Tertutup) terus menerus digunakan untuk memandu sejarah umat Islam. Jadi hitam-putih sejarah umat Islam sangat dipengaruhi bagaimana Muslim memandang al-Quran.
Sampai di sini benar apa yang dikatakan Nasr Abu Zayd[7] bahwa al-Quran pada tingkat tertentu merupakan produsen kebudayaan (muntij ats-tsaqafi) bagi orang Islam. Kebudayaan yang dilahirkan dari interpretasi al-Quran tidak berpersoalan ketika memang secara substantif selaras dengan semangat al-Quran sebagai pembebas manusia dari budaya patriarkhis, budaya kekerasan dan sikap a humanis.
Mengenai hal ini kita dapat bercermin kepada sifat revolusioner dan liberatif Nabi Muhammad. Kondisi masyarakat Arab tempat Muhammad dilahirkan dan dibesarkan antara lain sangat tidak menghargai perempuan. Perempuan tidak dapat memainkan peral yang independen dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Misalnya status perempuan dalam perkawinan sangat buruk, mereka harus hidup dengan seorang suami yang mempunyai lebih dari duabelas isteri. Wanita dianggap sebagai beban hidup dan banyak kasus penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam tradisi Arab jahiliyah.
Lalu Muhammad datang dengan membawa misi pembebasannya dengan seruan larangan mengubur bayi perempuan hidup-hidup (QS. 81-89), memberikan batasan jumlah perempuan yang boleh dinikahi (QS. 4: 3), dan perempuan diberi hak waris (QS. 4:7). Sikap liberatif Muhammad yang lain dalam bidang pengentasan kemiskinan, anak yatim, pemerdekaan budak, seruang berpengetahuan dan lain-lian merupakan bukti upaya revolusionernya dalam membebaskan problem kemanusiaan..
Tetapi, tidak jarang sebagian golongan Muslim menginterpretasikan al-Quran secara tekstual sehingga melahirkan interpretasi yang jauh dari semangat pembebasan al-Quran.
Eksploitasi ayat-ayat al-Quran untuk melegitimasi bentuk kekerasan semisal konsep jihad yang lebih dimaknai sebagainperang suci (holy war) akhir-akhir ini di Indonesia cukup marak. Kasus-kasus eksploitasi ayat al-Quran seperti konsep tentang negara Islam dan anjuran sikap tidak kompromi dengan agama lain tidak jarang mengemuka di masyarakat kita belakangan ini.
Sampai di sini sebenarnya umat Muslim memiliki problem yang cukup serius bagaimana seharusnya memaknai al-Quran dan bagaimana membacanya.
Pemahaman seorang Muslim atas al-Quran yang paling umum adalah wahyu itu terberi (given/tanzil), yakni wahyu yang diturunkan dalam struktur gramatika dan wacana (discourse) al-Quran. Inilah yang menyebabkan adanya sakralisasi yang berlebihan atas al-Quran di kalangan umat Muslim. Al-Quran dipersepsikan sebagai teks suci dari Allah yang sacred dan transenden, sehingga makna tekstualnya harus ditaati dan dijadikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat wacana sosio-historisnya terlebih dahulu.
Tidak pelak lagi diskursus yang muncul adalah truth claims (klaim-klaim kebenaran) tanpa mempedulikan pergeseran budaya.
Baik kiranya kita belajar dari pemikiran seorang intelektual post-modernis Muslim yang mendapat gelar sarjana sastra dari Universitas Sorbonne Perancis, Mohammed Arkoun. Ia memandang wahyu tidak bisa hanya dipahami secara simplistis. Harus ada pengklasifikasian yang jelas mengenai tingkat-tingkat pemaknaan atas wahyu. Arkoun menyebutkan adanya tiga tingkat makna wahyu.
Pertama, wahyu sebagia parole (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite), untuk menunjuk realitas semacam ini biasanya al-Quran menggunakan terma al-lauh al-Mahfuzh (the well preserved table) atau umm al-Kitab (the Archetype Book).
Tingkat kedua, menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Quran, konsep wahyu tingkat kedua ini menunjuk realitas firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad selama duapuluh tiga tahun.
Secara original, wahyu pada tingkat ini berbentuk oral (lisan); ia dimemorisasikan dan ditransmisikan secara lisan selama masa yang lama sebelum kemudian ditulis. Dalam penjelasan Komaruddin Hidayat, di sini al-Quran bukan lagi dipahami sebagai kalam Tuhan in toto dan verbatim, melainkan sudah merupakan “produk bersama’ yang di dalamnya terdapat gagasan Tuhan yang kemudian dipahami dan diterjemahkan oleh Muhammad ke dalam lisan Arab (Komaruddin, 1996: 86).
Meminjam analisis tokoh linguistik Perancis Ferdinand de Saussure (1857-1913), jika pada tingkat pertama wahyu mengacu pada parole Tuhan, pada tingkat kedua ini bisa kita katakan sebagai dimensi langue dari al-Quran.
Tingkat ketiga, menunjuk wahyu dalam bentuk Korpus Resmi Tertutup atau wahyu yang sudah tertulis dalam mushaf (jilidan) dengan huruf dan berbagai tanda baca yang ada di dalamnya.. Pengertian wahyu di sini menunjuk pada mushaf ‘Utsmani, yang darinya pada tahun 1924 diterbitkanlah edisi standar al-Quran di Kairo, Mesir. Wahyu pada tingkat ketiga ini merupakan rekaman dari langue Tuhan yang menyejarah pada tingkat kedua, dan pada saat yang sama dalam beberapa hal, telah mereduksi kekayaan sifat oral yang dimilikinya.
Menurut Saussure, fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Satu hal yang menjadi karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Demikian pula yang terjadi pada al-Quran, parole Allah itu sangat individual yang tak mungkin makna mutlaknya dapat digapai manusia. Manusia hanya sampai menggapai makna relatif-Nya. Sedangkan langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut.
Langue merupakan suatu institusi sosial dan sekaligus sistem nilai. Sebagai sistem sosial langue tidak direncanakan sendiri, emnurut Roland Barthes, itulah sisi sosial dari langue.
Satu hal yang penting dicatat bahwa al-Quran yang berupa langue, tentunya bersifat sosiologis-historis karena sudah masuk sistem budaya, sosial dan politik Arab pada tahun 610 –632 M. Al-Quran yang ada dalam bentuk mushaf saat ini tidak serta merta menunjuk pada parole Tuhan, tetapi lebih pada kondisi sosio-historis tersebut. Karena berupa langue seharusnya kita menempatkan al-Quran sebagai praktek wacana dan bersifat sosiologis. Makna-makna darinya, khususnya yang bersifat relasi kemanusiaan, yakni apa yang dihasilkan oleh pangalaman Madina (tajribah Madinah/l’experience de Medine) tidak mutlak transenden, tapi malah bersifat sosiologis. Keterlibatan Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi turut memberi bentukan atas konstruksi wahyu yang dihasilkan. Mohammed Arkoun sering menyebutnya dengan istilah angan-angan sosial (l’emaginaire social) bersama antara Muhammad dan Sahabat serta peran antagonis para musuh Nabi turut memberi kontribusi atas wacana apa yang dihasilkan oleh al-Quran.
Arkoun memandang bahasa wahyu yang primer sebenarnya adalah bahasa lisan (oral) atau kata yang diujar. Dalam perjalanan sejarahnya, al-Quran yang semula bahasa lisan ini kemudian dibakukan dalam bentuk tulis. Pembakuan tersebut dimulai sejak abad ke-4 H atau 10 M., yankni ketika mayoritas umat Muslim sepakat bahwa ujaran-ujaran yang dikumpulkan dalam pembakukan resmi di zaman Khalifah ‘Utsman merupakan totalitas wahyu. Akibat pembakuan ini, menurut Arkoun, mengantarkan al-Quran yang semula berupa tradisi lisan menjadi sebagai Korpus Resmi tertutup (Corpus Officiel Clos).
Disebut korpus (corpus), untuk menunjukkan pengertian satuan besar teks-teks yang dihimpun dalam sebuah jilid buku. Korpus itu resmi (officiel) karena pembuatannya ditentukan dan diawasi oleh sebuah kekuasaan politik yang telah terlibat dalam pertikaian. Adapun disebut tertutup (clos) karena tak satu kata, tidak juga satu vokal pun yang dapat ditambahkan, dihapus atau diubah setelah terwujudnya konsensus kaum Mukminin tentang keutuhan dan kelengkapan wahyu.
Akibat pemahaman bahwa wahyu Tuhan dipresentasikan oleh mushaf ‘Utsmani adalah utuh, lengkap dan transenden, membuat cara berpikir umat Muslim didominasi oleh nalar grafis (tulis). Inilah yang menjadi cara berpikir Muslim selama ini, bahkan hingga sekarang dalam memandang wahyu. Teks (grafis) kemudian sering beralih fungsi menjadi preteks (dalih) yang sering hanya diulangi dan berfungsi sebagai pengabsahan kekuasaan kelompok tertentu. Padahal, perubahan bentuk wahyu yang semula bahasa lisan kemudian dibakukan ke dalam bentuk tulis seharusnya membawa pergeseran pula dalam memandangnya. Dengan cara pandang inilah baru dimungkinkan keberanian membaca al-Quran secara lebih kritis.
Lantas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana seharusnya membaca al-Quran? Bagi Arkoun, jawabannya terpusat pada apa yang ia sebut mengacu pada wacana al-Quran. Jadi pembacaan terhadap al-Quran seharusnya selalu diproyeksikan pada tingkat pengertian wahyu yang menyejarah dan masih menjadi wacana yang “hidup” pada definisi wahyu tingkat kedua sebagaimana dijelaskan di muka. Apa yang dimaksudkan Arkoun ini mungkin menjadi lebih jelas lagi bila kita bandingkan dengan apa yang selama ini diperbuat oleh paara penafsir al-Quran.
Sebagian atau malah hampir seluruh penafsir al-Quran, bila kita amati, manafsirkan wahyu pada tingkat Korpus Resmi Tertutup. Pada tingkat ini sebenarnya proses interpretasi bergerak pada pruduktivitas teks dan tidak lagi pada produktivitas wacana, secara linguistis. Sehingga pemahaman yang diperoleh adalah bahwa teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana semula. Sehingga interpretasi yang dihasilkan selalu terkungkung pada batas-batas grafis-tekstualis dan tidak pernah dapat beyond text (melampaui teks).
Tidak mengherankan apabila model pembacaan terhadap Kitab Suci masih diselimuti nalar grafis-tekstualis, Islam dan agama-agama wahyu (non-arkhais) lainnya akan selalu menghadapi problem serius dalam merespons perkembangan masyarakat.
Kita bisa lihat bagaimana agama-agama sangat ‘keteteran’ baik secara teologis maupun metodologis merespons problem seperti HAM, gender, pluralisme, perkawinan beda agama dan lain-lain yang tidak bisa dibendung lagi. Karena memang teks Kitab Suci tidak merekam perkembangan budaya semisal itu, ataupun kalau merekam malah bertentangan dengan semangat perkembangan.
Kita mesti menyadari betul ada distansi pengalaman budaya dan kemanusiaan antara pengalaman yang dihasilkan dalam Kitab Suci dan progresivitas budaya dan kemanusiaan kita saat ini. Sebagai orang yang masih mengidentifikasi diri beriman, tesis yang dikemukakan untuk menjembatani seharusnya adalah menjadikan hubungan keduanya dialektis. Perlu adanya dialektika antara tradisi (at-turats) dan modernitas (al-hadatsah). Dengan nuzul al-Quran semestinya kita mulai menggagas al-Quran sebagai pembebas yang sesuai dengan semangat profetis (nubuwwah) para Nabi, bukan sebagai pengungkung budaya manusia.[8]
II. NORMATIVITAS DAN HISTORISITAS PENAFSIRAN AL-QURAN
Meminjam istilah M. Amin Abdullah, antara normativitas dan historisitas tidak selalu seiring.9 Demikian juga pada kasus penafsiran al-Quran. Pada saat trunnya, al-Quran memiliki latar belakang sejarah. Sehingga teks-teks al-Quran pun memuat doktrin-doktrin yang menyejarah. Oleh karena itu, menafsirkan al-Quran secara tekstual tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarahnya menjadi persoalan tersendiri. Tetapi, memahami latar belakang sejarah kewahyuan al-Quran juga merupakan sesuatu persoalan yang tidak mudah dicari solusinya. Keterjebakan kita pada pemahaman normatif akan menjadikan diri kita terkungkung dalam wilayah teks-grafis al-Quran, sementara pemahaman historis yang tidak cerdas pun akan membawa ke arah penafsiran yang meluas ke arah pemahaman yang liberal keluar dari makna tekstualnya, yang boleh jadi di satu pihak akan dapat menemukan makna-makna kontekstual, tetapi di lain pihak akan dapat menyimpangkan makna-makna tekstualnya yang lebih bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan dialektis terhadap kedua kemungkinan tersebut.
Al-Quran, sebagaimana penulis nyatakan di atas, antara lain berfungsi sebagai petunjuk (hudan). Keberadaannya yang ‘tetap’ dalam sebuah mush-haf yang terpelihara kemurniannya dalam jaminan Allah bukan berarti telah benar-benar menjadi petunjuk bagi umat manusia. Al-Quran akan dapat menjadi petunjuk manakala ia bisa dipahami dan diamalkan oleh umat manusia. Untuk keperluan itu al-Quran harus dijelaskan maknanya ke dalam penjelasan yang lebih bisa dipahami daripada al-Quran sebagai al-Quran. Dengan kata lain al-Quran memerlukan tafsir sedemikian rupa agar dapat menjadi pedoman yang lebih bisa dimengerti dan diamalkan.10
Sebuah pertanyaan yang terangkai selalu muncul dalam kaitan ini: (1) Siapakah yang memiliki kompetensi untuk menafsirkan al-Quran?; (2) Sejauhmana kompetensinya? dan (3) Apakah patokan-patokan dasarnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, terlebih dahulu bisa disimak pendapat Ibnu ‘Abbas dalam sebuah pernyataannya tentang al-Quran. Menurutnya, dalam kaitannya dengan tafsir, ayat-ayat al-Quran bisa diklasifikasikan menjadi empat macam. Pertama: ayat-ayat yang dapat dipahami oleh secara umum oleh orang-orang Arab dengan kemampuan bahasanya; kedua: ayat-ayat al-Quran yang bisa dipahami maknanya secara jelas oleh semua orang; ketiga: ayat-ayat al-Quran yang tidak dapat dipahami maknanya kecuali oleh para ulama dan keempat: ayat-ayat al-Quran yang hanya diketahui maknanya secara jelas oleh Allah saja.[9]
Dari pernyataan Ibnu ‘Abbas tersebut di atas, kita bisa mengambil pengertian bahwa: (1) tidak semua ayat al-Quran dapat dipahami maknanya oleh kalangan awam (Arab); (2) tidak semua ayat al-Quran dapat dipahami maknanya oleh orang Arab yang mahir dalam berbahasa Arab; (3) tidak semua ayat al-Quran dapat dipahami maknanya oleh para mufassir dan (4) ada ayat-ayat khusus yang pemahaman hakikinya hanya dimiliki oleh Allah. Quraish Shihab mnerangkan bahwa: ayat-ayat yang hanya dapat dipahami oleh Allah adalah ayat-ayat mutasyabihat; sementara ayat-ayat yang sulit untuk dipahami oleh kalangan awam dan orang yang hanya sekadar memahami bahasa Arab adalah ayat-ayat yang harus ditafsirkan, yang pada kasus inilah para mufassir yang memiliki kompetensi keilmuan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran diasumsikan akan dapat membantu untuk menafsirkannya; sementara itu, sebagian ayat al-Quran yang dipat dipahami secara sederhana dengan kemampuan berbahsa Arab, cukuplah diserahkan kepada para pengkaji al-Quran yang memiliki kemampuan berbahasa Arab; sedangkan ayat-ayat yang sudah jelas maknanya dapat diserahkan kepada seluruh anggota massyarakat yang memiliki sedikit kecakapan berbahasa Arab dan kemampuan intelektual yang diperlukan untuk memahaminya sendiri tanpa bantuan para mufassir.[10]
Meskipun seorang mufassir itu telah memiliki kemampuan untuk menafsirkan al-Quran, kemungkinan untuk membuat kekeliruan tetap ada. M. Quraish Sihab menyatakan bahwa seorang mufassir dapat berbuat salah dalam menafsirkan al-Quran dikarenakan, antara lain, karena: (1) terjebak oleh subyektivitasnya; (2) kekeliruan dalam menerapkan metoda atau kaedah; (3) kedangkalan dalam ilmu alat; (4) kedangkalan pengetahuan mengenai materi uraian (pembicaraan) ayat; (5) tidak memperhatikan konteks, baik asbabun nuzul, munasabah antarayat maupun kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya ayat dan (6) tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.[11]
Sementara itu, Al-zahabi meringkas kemungkinan kesalahan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran ke dalam dua faktor penting: (1) kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semau lafal al-Quran, dan (2) kecenderungan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa Arab saja, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-Quran itu, kepada siapa diturunkannuya dan siapa yang dibicarakan oleh al-Quran itu.[12]
Dari kedua macam uraian tersebut, kita peroleh kesimpulan bahwa: meskipun secara teoretik para ulama telah memberikan batasan-batasan ideal, sebagaimana hasil kesimpulan yang kita peroleh dari pernyataan Ibnu ‘Abbas tersebut di atas, dan juga — mungkin — patokan-patokan yang dijelaskan oleh para ulama, dalam praktiknya selalu saja ada kemungkinan para mufassir itu berbuat kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran berkaitan dengan kompetensinya masing-masing.
Oleh karena itu, betapa pun kita harus berhati-hati untuk berpihak pada tafsir para mufassir ketika kita berusaha merujuk pada pendapat-pendapatnya di seputar makna ayat-ayat al-Quran yang ditafsirnya. Klaim-klaim kebenaran atas sesuatu karya tafsir sudah tidak mungkin dapat kita pertanggungjawabkan. Sementara itu, penolakan-penolan secara a priori terhadap karya-karya tafsir para mufassir yang selama ini dinyatakan oleh mayoritas umat Islam sebagai karya-karya tafsir yang tercela harus kita cermati kembali untuk menuju pada kritisisme yang proporsional.
Penyimpangan-penyimpangan penafsiran juga akan terjadi manakala para mufassir dengan sengaja memaksakan prakonsepsi-prakonsepsi atau gagasan tertentu ke dalam tafsirnya tanpa memperhatikan kaedah sastera kitab suci al-Quran dan konteks historisitasnya.[13]
III. PENYIMPANGAN PENAFSIRAN AL-QURAN: KERESAHAN TEOLOGIS AZ-ZAHABI
Penyimpangan penfasiran dapat dipilah – secara makro – menjadi dua hal. Pertama: penyimpangan metodologis, yang berpijak pada pemilihan metode yang berpihak pada kepentingan-kepentingan yang sarat dengan keinginan untuk melakukan kesalahan penafsiran. Kedua: penyimpangan substantif, yang bermuara pada kesalahan-kesalahan produk-produk penafsiran, yang sengaja didisain sejak semula oleh ‘sang mufassir’ dengan segenap kemampuannya untuk memutarbalikkan makna tesktual dan kontekstualnya. Hanya saja untuk memahami apakah telah terjadi kesalahan atau penyimpangan bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, tanpa pengakuan jujur dari sang mufassir bahwa dia telah dengan sengaja melakukan penyimpangan, maksimal kita – para kritikus – hanya akan dapat menduga atau berasumsi dan kemudian melalukan pembuktian-pembuktian ilmiah yang berpihak pada argumentasi-argumentasi teoretik yang kita akui sebagai alas argumentasi yang paling ‘absah’ untuk melakukan kritik evaluatif terhadapnya. Kritik evaluatif ini – misalnya – telah dilakukan oleh Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean dalam bukunya: “Tafsir Kontekstual al-Quran” yang secara jujur mereka akui banyak terinspirasi oleh ide-ide Fazlur Rahman.[14]
Secara metodologis, para pakar ilmu tafsir telah merumuskan kaedah-kaedah baku (yang dibakukan, pen,) penafsiran al-Quran, yang berisi seperangkat kaedah dan aturan yang harus (baca: “wajib) diindahkan oleh para mufassir ketika ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Dalam pandangan (normatif) para pakar Ilmu al-Quran (konvensional) apabila seseorang mufassir menafsirkan al-Quran tanpa menerapkan metode yang dibakukan tersebut, penafsiranya dapat diasumsikan berpotensi untuk keliru[15], dan bila kekeliruan itu disengaja, maka dapat dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Sebagaimana penjelasan Muhammad Husein al-zahabi tersebut di atas, dengan meminjam tesis Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean kita bisa memperkirakan dan melihat kemungkinan-kemungkinan bentuk penyimpangan penafsiran ayat-ayat al-Quran.
Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir[16], kita bisa memprediksi kecenderungan-kecenderungan para mufassir ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Apakah steril dari keinginan-keinginan untuk memaksakan pendapatnya berkaitan dengan teori-teori yang mendasarinya atau fanatisme mazhabnya, determinasi keilmuannya, minat kajiannya atau bahkan kecenderungan-kecenderungan lain yang berkaitan dengan keinginan pribadi dan atau kelompoknya.
Amal melihat kecenderungan menyimpang ini terjadi pada penefsiran teologis, filosofis dan sufistis. Penafisran teologis pada umumnya mendekati al-Quran secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusasteraannya, demi membela sudut pandang tertentu. Pemaksaan gagasan-gagasan asing ke dalam al-Quran juga merupakan gejala yang mewabah di dalamnya.[17] Dalam kasus ini, Al-zahabi memberikan kritik keras terhadap Az-Zamakhsyari, ketika dia mencoba untuk menawarkan ide-ide Mu’tazilah dalam penafsirannya.[18] Misalnya pada kasus penafsiran kata nadhirah pada surat al-Qiyamah, 75: 23, terkesan adanya bias i’tizal, yang oleh karenanya sulit dipertanggungjawabkan obyektivitasnya.[19] Sementara itu, Amal melihat contoh penafsiran kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang keabadian al-Quran yang masing-masing berpendapat selaras dengan asumsi dasar teologisnya tentang makna keabadian tersebut. Kelompok Asy’ariyah meyakini bahwa al-Quran atau Kalam Allah itu abadi (qadim). Al-Quran merupakan Perintah Tuhan, dan “kata kreatif” kun (ada) merupakan seluruh bentuk sifat kata yang abadi. Sebaliknya Mu’tazilah menyatakan bahwa: “tidak ada yang abadi kecuali Tuhan”, sehingga al-Quran dipahami sebagai sesuatu yang baru.
Upaya pemaksaan prakonsepsi ini ke dalam al-Quran, memang tidak bisa dipungkiri akan selalu ada, dan – secara sosiologis – laya ada. Tetapi – persoalannya – apakan keyakan sosiologis itu dapat dijadikan sebagai dalih pembenaran teologis bahwa al-Quran dapat ditafsirkan begitu saja tanpa upaya pengendalian diri dari kecenderungan terhadap kepemihakan individual yang bersifat “pre judice?” Penafsiran-penafsiran itu – dalam pandangan Amal – jelas-jelas telah memperlakukan al-Quran secara tidak adil dan dapat dianggap gagal dalam pesan-pesan universal al-Quran yang lebih bersifat koheren dan bermakna.[20]
WAKAF
Harta — utamanya harta yang memiliki kemanfaatan untuk dikelola sebagai modal usaha dan dikembangkan menjadi sumber dana — seperti tanah, rumah, pekarangan, sawah-ladang dan yang semakna dengannya, bisa diambil alih pemanfatannya (tanpa adanya pengambilalihan kepemilikan) oleh orang lain dalam waktu yang relatif lama atau bahkan selamanya selaras dengan klausul perjanjian (akad), untuk tujuan tertentu, dan bahkan bisa dikembangkan menjadi aset berharga bagi masyarakat luas untuk kepentingan penyantunan dan pemberdayaan. Pengambilalihan manfaat terhadap harta itu terjadi atas dasar kerelaan si pemilik harta dengan disertai amanah dari si pemberi terhadap si penerima agar tetap menjaga keberadaan harta tersebut, sehingga tidak mengalami kerusakan, dengan disertai persyaratan implisit: “tanpa adanya kebolehan bagi si penerima untuk memperjualbelikannya”. Pola itulah yang disebut “al-Waqf (Wakaf)”.
Pendahuluan
Dalam modul yang berjudul “al-Waqf (Wakaf)”, para mahasiswa diajak untuk memahami permasalahan al-Waqf (Wakaf) melalui pemahaman atas hadis-hadis Rasulullah saw.
Modul ini membahas tentang pengertian dasar al-Waqf (Wakaf), baik dalam pengertian etimologis maupun terminologis.
Setelah anda mempelajari modul ini, secara garis besar anda dapat:
- mengemukakan pengertian dasar al-Waqf (Wakaf) menjelaskan hukum-hukum berkaitan dengan masalah al-Waqf (Wakaf), berdasarkan hadis-hadis Nabi s.a.w.
- menjelaskan implikasi atas pemahaman hadis-hadis al-Waqf (Wakaf), dengan pendekatan hukum.
Teks Hadis
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: (أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَرْضاً بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ -صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّى أَصَبْتُ أَرْضاً بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِى مِنْهُ. قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لا يُبَاعُ أَصْلُهَا، وَلا يُورَثُ، وَلا يُوهَبُ، فَتَصدَّقَ بِهَا فِى الْفُقَرَاءِ، وَفِى الْقُرْبَى، وَفِى الرِّقَابِ، وَفِى سَبِيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالضَّيْفِ، لا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيهَا أَنْ يَأَكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ صَدِيقاً غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالاً)، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ.
وَفِى رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: (تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا: لا يُبَاعُ وَلا يُوهَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ(
Terjemah
Dari Ibnu ‘Umar r.a. beliau berkata: ‘Umar mendapatkan tanah di Khaibar, lalu beliau mendatangi Nabi saw untuk meminta fatwa tentang tanah tersebut, seraya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya tidak mendapat harta yang lebih berharga bagi diri saya dibanding sebidang tanah tersebut. Lalu Rasulullah saw bersabda: jika kamu mau, tahanlah pokoknya lalu sedekahkan hasilnya. Kata Ibnu ‘Umar: Lalu ‘Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanahnya tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Lalu beliau sedekahkan hasilnya kepada fakir-miskin, keluarga-keluarga terdekatnya, untuk memerdekakan budak, sabilillah, ibnus sabil dan tamu. Tidak ada halangan bagi pengelolanya untuk memanfaatkan sebagian hasilnya dengan cara yang baik, boleh dia berikan kepada temannya, dengan tidak mengambil harganya. (Muttafaq ‘Alaih). Susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfaqkan hasilnya.
Pengertian Lafal
أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَرْضاً | : | Umar ibn al-Khaththab mendapatkan bagian sebidang tanah, dari hasil rampasan perang Khaibar, di daerah Khaibar. Dinyatakan dengankata “ashâba”, bukan “wajada” atau “nâla”, karena beliau tidak berusaha untuk mendapatkannya, tetapi sekadar “diberi” bagian. |
| َأَتَى النَّبِيَّ -صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَاَ | : | Umar ibn al-Khaththab, kemudian mendatangi Nabi Muhammad s.a.w. untuk memohon fatwa (meminta pendapat) mengenai masalah tanah yang diperolehnya itu. Dalam hal ini Umar ibn al-Khaththab berkeinginan agar Nabi s.a.w. bersedia untuk memberikan pendapatnya mengenai pemanfataan tanah tersebut. |
| لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِى مِنْهُ | : | Kata Umar ibn al-Khaththab kepada Nabi s.a.w.: “Menurut pendapat saya, tanah ini merupakan harta yang paling berharga bagi diri saya. Yang oleh karenanya, saya merasa perlu untuk mempertanyakan pemanfaatannya kepadamu (ya Nabi s.a.w), agar tanah ini tidak menjadi sia-sia, dan bahkan saya harapkan bisa memberi manfaat lebih besar bagi siapa pun”. |
| إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا | : | Rasulullah (Nabi) Muhammad s.a.w. pun menjawab: “Jika kamu (Umar ibn al-Khaththab) setuju, saya usulkan agar tanah ini diwakafkan saja, dengan cara “memberikan kesempatan kepada pihak tertentu untuk mengolahnya dan menikmati hasil penolahnnya, tanpa harus memindahkan kepemilikan tanah tersebut darimu kepada orang-orang yang mengolahnya”. |
| فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ | : | Dalam hal ini, selaras dengan usulan dari Nabi s.a.w., Umar ibn al-Khatththab pun setuju. Dan beliau pun mewakafkan tanah tersebut kepada pihak tertentu untuk dikelola dan dinikmati hasilnya. |
Maksud Hadis
Tanah yang dimiliki oleh seseorang bisa diwakafkan kepada orang lain, dengan akad (kontrak) “pemindahan hak pemanfaatan”, bukan “pemindahan hak kepemilikan”. Yang oleh karenanya, si pemilik tanah selamanya – pada hakikatnya — tetap memiliki hak atas tanah tersebut, dan – sementara itu – si penerima wakaf hanya berhak untuk memanfaatkannya selaras dengan isi akad (kontrak).
Penjelasan dan Istinbath Hukum
Wakaf, dalam pengertian bahasa, berarti menahan. Bila dinyatakan: وقفتُ كذا, maksudnya: “saya menahannya”. Menurut pengertian syara’ (pengertian keagamaan), wakaf bermakna: “penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetapnya keadaan harta tersebut pada dzatnya, tanpa adanya kebolehan untuk membelanjakan bagi hambanya pada pembelanjaan yang pada dasarnya diperbolehkan”.
Al-Qurthubi berpendapat: “secara kultural sudah berlaku, bahwa setiap pengelola harta wakaf boleh mengambil sebagian dari hasil tanah wakaf tersebut, sehingga seandainya ada orang yang mewakafkannya dengan persyaratan “tidak boleh” bagi pengelola untuk mengambil sebagian dari hasilnya, maka orang tersebut dinilai tidak baik.”
Adapun yang dimaksudkan dengan بالمعروف (cara yang baik) ialah: menurut ketentuan kebiasaan yang berlaku. Ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan لمعروف ialah: menurut ukuran yang dapat memenuhi kebutuhannya. Ada juga yang berpendapat, bahwa maksud dari kata المعروف ialah: boleh mengambil dari sebagian hasil tanah wakaf tersebut sesuai dengan kadar amal (pengelolaan) nya. Pengertian المعروف yang pertamalah yang lebih baik.
Adapun pengertian sabda Rasulullah saw: (غير متمول) bermakna: “tidak mengambilnya sebagai harta milik dari hasil wakaf tersebut”. Maksudnya: pengelolanya (العامل) tidak memiliki sedikit pun harta wakaf tersebut, dan tidak boleh menjualnya. Akan tetapi, dia hanya memiliki hak untuk menafkahkannya di jalan Allah.
Ahmad menambahkan di dalam riwayatnya: Bahwa ‘Umar r.a. mewasiyatkan penggelolaan tanah wakaf tersebut kepada Hafsah Ummul Mu’minin, kemudian kepada para sesepuh dari anak keturunannya. Riwayat yang sama (juga dikemukakan) menurut ad-Daruquthni.
Kesimpulan:
- Tanah merupakan harta yang boleh diwakafkan.
- Bila tanah tersebut menghasilkan sesuatu, maka hasilnya dapat diberikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
- Pengelola tidak diperkenankan menjual harta (tanah) wakaf tersebut, tetapi diperbolehkan untuk mengambil sebagian dari hasil tanah tersebut, dengan tetap memberikan sebagian yang lain kepada orang yang berhak untuk memperolehnya.
- Pewakaf diperbolehkan menentukan syarat, bahwa si pengelola tidak diperkenankan untuk mengambil manfaat dari harta wakafnya tanpa persetujuan si penerima wakaf, meskipun tindakan tersebut – menurut pendapat sebagian ulama — dapat dinilai “makruh”.
BERGURU PADA MUSIBAH
Seorang pakar tafsir (mufassir) – M. Quraish Shihab – menyatakan bahwa kata “musibah” sebenarnya mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana. Tetapi, kata tersebut populer digunakan untuk makna bencana. Sehingga, ketika memaknai QS al-Hadîd/57: 22-23: “tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira (ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah) terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”.
Para ulama pun – pada umumnya – menyatakan bahwa “tidak ada suatu bencana pun yang menimpa umat manusia di dunia ini, seperti: kekeringan, tanah-longsor, banjir, paceklik, sakit, kemiskinan da kematian dan yang semakna dengan itu melainkan merupakan takdir Allah yang tidak bisa dielakkan oleh setiap manusia. Yang oleh karena itu, harus disikapi dengan sabar dan pantang putus asa.
Setiap orang – kata M. Quraish Shihab — pasti akan pernah dan bahkan – selama masih ada kehidupan – selalu akan menghadapi “musibah” yang beragam. Dan keragamam bentuk musibah itulah yang sebenarnya akan membentuk kepribadian setiap orang, terkait dengan sikap orang itu terhadap setiap musibah yang menimpanya.
Nabi kita, Muhammad s.a.w., adalah orang yang selalu bergumul dengan beragam musibah, dan “beliau” selalu menyikapinya dengan “sabar”. Akhirnya: “beliau” menjadi pemenang, menggapai sukses yang luar biasa dalam kehidupannya: “hasanah fid dunya, wa hasanah fil âkhirah” (meraih kesuksesan dalam kehidpan duniawi dan ukhrawi).
Sebaliknya, dalam ruang dan waktu yang sama, “Abu Lahab” adalah orang yang bergumul dengan persoalan yang sama, tetapi dia gagal menjadi yang terbaik, bahkan digambarkan dalam QS al-Lahab “terpuruk: menjadi yang “terburuk”, menjadi pecundang, tidak berhasil menggapai kesuksesan di di dua ranah kehidupan: “terpuruk di dunia, dan – lebih parah lagi – terpuruk di akhirat. Belajar dari dua pribadi di atas, Muhammad s.a.w. (tokoh protagonis dalam konteks panggung sandiwara kehidupan masyarakat majemuk) dan Abu Lahab (sang tokoh antagonis), sesungguhnya kehidupan ini – di mana pun dan kapan pun — adalah ”guru” kita untuk menjalani kehidupan berikutnya.
Secara sederhana, hari-hari dalam kehidupan kita, sebenarnya bisa kita pilah menjadi tiga: ”masa lalu, sekarang, dan masa depan. Di kala sedang terhimpit kesulitan, kita bisa belajar darinya: bagaimana agar kita ”sekarang” berbenah agar di masa mendatang bisa terhindar dari kesulitan dan bagaimana kita akan menghadapi setiap kesulitan jika (kesulitan) itu terjadi lagi. Atau, bagaimana kita bersikap dengan sikap yang terbaik ketika ”kemalangan” menjadi sesuatu yang tak terelakkan dalam ranah kehidupan kita. Begitupun, ketika kita memperoleh sesuatu anugerah dari Allah, berupa sesuatu perolehan yang membahagiakan setelah kita berhasil menata kehidupan kita dalam menghadapi setiap musibah, seharusnya kita bisa memetik pelajaran dari kebahagiaan tersebut. Bagaimana kita bisa memperoleh kebahagiaan untuk hari esok – dengan kecerdasan kita untuk menyikapi problem kehidupan di masa sekarang, dan bagaimana cara kita untuk mengungkapkan suatu kebahagiaan agar kita terlindung dari godaan setan, yang seringkali mengecoh kita dengan sikap sombong dan euforia, hingga kita – bisa jadi – lupa untuk bersyukur. Bahkan, kita bisa berharap bahwa tidak hanya sebatas itu (silih bergantinya musibah yang beragam) yang bisa kita jadikan sebagai guru dalam kehidupan. Tetapi, semua yang ada dalam kehidupan ini bisa kita jadikan guru terbaik, untuk berupaya menjadi manusia yang lebih berkualitas. Tak terkecuali – yang paling sederhana — ketika kita lakukan ”satu tarikan napas” untuk melangsungkan kehidupan kita pun bisa menjadi alas belajar. Karena semua itu, mengandung suatu proses pembelajaran bagi kita dalam mengatur hidup, menggapai makna syukur di ketika kita mampu untuk menghargai waktu dalam menata aktivitas nyata di ”masa sekarang” untuk menggapai masa depan.
Mencermati kandungan dua rangkaian ayat al-Quran di atas (QS al-Hadîd/57: 22-23), kita masih bisa belajar dari ”satu lagi” guru kehidupan kita yang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan kita yang lain, untuk kita sadari dalam kehidupan kita sendiri, yaitu (peristiwa) kematian bagi siapa pun yang pernah hidup. Satu kejadian yang tak mungkin kita hindari dengan cara apa pun, karena ketika sudah sampai pada saat ”Allah SWT menghendakinya”. Karena, dengan mengingat kematian, kita bisa menghargai betapa nikmatnya waktu hidup yang singkat ini, sehingga kita sadar untuk memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. ”Bersyukur untuk bisa menghargai waktu”, Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Âli ‘Imrân/3: 185: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Semoga kita tak pernah teperdaya oleh gemerlap kehidupan dunia, karena kita berhasil menjadi pembelajar terbaik dalam setiap musibah yang menimpa diri kita. Bahkan dengan setiap musibah yang pernah menimpa, kita bisa menjadi manusia yang semakin cerdas dalam menyikapi kehidupan dan menjadi ”muflih” (orang yang beruntung) karena kita senantiasa ”mampu” untuk menjadikan setiap musibah sebagi guru dalam mengarungi bahtera kehidupan yang berliku. ”Menjadi orang yang bersabar dalam suka dan duka dan bersyukur terhadap semua nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, kapan pun — di mana pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun”.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. – Sang Uswah Hasanah kita – berhasil menjadi yang terbaik dan menggapai kesuksesan hidup dalam dua ranah kehidupan ”dunia-akhirat’, sebagai umatnya, dengan berittiba’ (meneladani) pada sikapnya terhadap setiap musibah yang menimpanya, kita seharusnya (juga) bisa menjadi yang terbaik dan sukses dalam menggapai setiap cita-cita luhur kita.
MENJADI YG BERMANFAAT
Suatu saat Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (orang) yang paling bermanfaat bagi semua orang (HR ad-Daruquthni dari Jabir bin Abdullah).
Hadis ini – menurut para kritikus hadis – tidak memenuhi kualitas shahih. Al-Albani, misalnya, menilai bahwa hadis ini berkualitas hasan. Tetapi, matan (teks) hadis ini mengisyaratkan sesuatu yang dapat dipahami bahwa kemanfaatan seseorang bagi semua orang adalah hal yang baik. Bahkna dalam konteks ajaran universal Islam mengenai “at-ta’awun (tolong-menolong” hal tersebut sangat relevan.
Guru Saya – (Allahu Yarham) Pak Djindar Tamimy – pernah mengajarkan sebuah hadis populer “Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya. (HR Muslim dari Abu Hurairah), seraya menyatakan sebuah rangkaian kata, yang kurang lebih bermakna: “Jangan meremehkan profesi guru, karena guru adalah orang yang banyak memberikan sesuatu yang nilai kemanfaatannya akan berjalan sepanjang masa”.
Waktu itu, semasa saya masih menjadi siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, tidak begitu paham. Apalagi tergetar hati saya. Kesan saya waktu itu: “Pak Guru sedang memuji dirinya”, karena beliau tidak menjelasakan maksudnnya lebih jauh.
Tetapi, (saat ini) setelah saya benar-benar menjadi guru, saya benar-benar memahami bahwa “pendidikan” yang diberikan oleh guru kepada para muridnya tak mungkin bisa dibandingkan nilainya dengan pemberian apa pun yang pernah saya terima dalam perjalanan hidup saya.
Saya menjadi diri saya seperti sekarang ini adalah “saya” yang telah mendapatkan pendidikan dari para “guru” saya, termasuk guru abadi saya: “kedua orang tua saya”. Ilmu yang mereka transformasikan kepada diri saya menjadikan diri saya memiliki kemudahan untuk berperan dalam panggung sandiwara kehidupan saya hingga saat ini. Saya selalu membayangkan, betapa besar dan banyak amal jariyah yang telah dikerjakan oleh para pendidik, para guru saya yang telah menjadikan diri kita “mampu” menjalani kehidupan ini dengan kesiapan prima.
Saya menjadi ingat “siapa dulu yang mengajar ilmu berhitung dengan simbol angka-angka dan menanfaatkannya, hingga saya menjadi “pandai berhitung” dalam kehidupan ini bukan sekadar dengan angka-angka? Beruntunglah saya yang telah dikaruniai “ilmu” karena kerja-keras para guru saya yang telah mendidikan diri saya tanpa kenal lelah. Hingga saya mengerti bahwa “saya” tengah diberi amanah sekaligus kesempatan oleh para guru saya untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah mereka transformasikan agar menjadi (orang) “yang bermanfaat” dan oleh karenanya saya mendapatkan pahala yang tak akan pernah terputus, apalagi mereka (para guru saya) yang telah berjasa ‘memahat’ diri saya sebelumnya bisa disebut sebagai “orang dungu”, menjadi “tahu” dan berpengetahuan. Para guru sayalah yang telah melatih diri saya menjadi “terampil” untuk mengisi kehidupan, dan yang juga tidak kalah pentingnya: menjadi sadar untuk hanya bertuhan kepada “Allah”, dengan pendidikan yang mereka berikan dalam semangat “bertauhid”.
Di ketika saya buka kembali catatan-catatan pelajaran saya, ketika saya masih menjadi sisa kelas 5 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, saya temukan sebuah catatan hadis yang bermakna: “Siapa pun yang pernah mengajak berbuat baik kepada orang lain, maka dia pasti mendapatkan pahala kebaikan dari perbuatan pernah dilakukannya dan akan selalu mendapatkan kebaikan dari tindakan baik orang yang lain yang melakukan perbuatan-perbuatan karena ajakan-ajakannya untuk berbuat baik, tanpa mengurangi pahala (kebaikan) orang-orang yang mengamalkan kebaikan yang pernah diajarkan olehnya sampai kapan pun kebaikan-kebaikan itu dikerjakan oleh siapa pun. Sebaliknya, siapa pun yang pernah mengajak berbuat jahat kepada orang lain, maka dia pasti berdosa sebagai akibat dari perbuatan jahatnya dan akan selalu mendapatkan dosa sebagai akibat dari perbuatan dosa semua orang yang pernah diajak olehnya untuk berbuat dosa, tanpa mengurangi dosa semua orang melakukannya sampai kapan pun perbuatan jahat itu dikerjakan oleh siapa pun.” (HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Hadis inilah yang selalu mengingatkan dan memotivasi saya ketika diminta untuk mengajar dan memberikan pengajian-pengajian di masyarakat. Atau di ketika saya diminta untuk menulis artikel atau makalan apa pun, hadis inilah yang selalu menjadi pendorong diri saya untuk mau menulis. Bahkan ketika karya saya diberi tahu bahwa tulisan-tulisan saya dibajak orang lain, saya justeru tersenyum dan mengucap alhamdulillah, karena para pembajak itu telah memberi peluang bagi diri saya untuk menambah perbendaharaan pahala dari Allah dengan ‘amala jariyah saya”. Bukankah dengan semakin banyak orang yang mau membajak tulisan saya itu, maka semakin mungkin tulisan-tulisan saya itu akan tersebar luas, dan implikasinya adalah: semakin terbuka kesempatan bagi diri saya untuk memperoleh pahala dari “ilmu” yang telah saya sebarluaskan melalui bantuan para pembajak itu, untuk menjadi semakin bermanfaat?
Kenapa kita harus marah, ketika ilmu yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi diri kita dan semua orang, meskipun harus dengan cara “dibajak” oleh orang lain? Meskipun kita harus juga memberi nasihat kepada para pembajak itu agar tetap mau memperhatikan etika dalam menggapai dan menyebarkan ilmu, agar apa yang kita kerjakan benar-benar mendapatkan ridha dari Allah.
Dan kini saatnya kita bertanya kepada diri kita: “Sudahkah kita berpikir untuk menjadi pendidik dalam beramal jariyah, dan menjadikan dunia pendidikan sebagai ladang untuk beramal jariyah? Sudahkah kita menjadi orang berilmu, dengan upaya belajar yang berkesinambungan dan – kemudian – mengamalkan serta mentransformasikannya kepada semua orang, agar ilmu kita menjadi lebih bermanfaat bagi diri kita orang selama-lamanya?
Terima kasih guru-guru ku, utamanya ibuku (Hj. Siti Sa’adah Basyir) dan (Allahu Yarham) ayahku (HM. Ahsan Dahlan), kakekku (Allahu Yarham) KHM Basyir Mahfudh yang telah mendidikku untuk menjadi orang yang berilmu dan (insyaallah) berkemampuan untuk beramal jariyah dengan ilmu yang engkau curahkan kepada diriku. Engkaulah “sang” pencerah perjalanan hidupku.
Semoga Allah membalas amal kebaikanmu dengan surgaNya yang telah disediakan untuk mereka yang bertakwa. Amin.
SETAN: SANG PEMENANG ATAU PECUNDANG
Setan adalah kekuatan jahat yang merasuk dalam pribadi Jin dan Manusia. Mereka diciptakan oleh Allah sebagai penggoda umat manusia hingga akhir zaman. Berawal dari peran yang dimainkan oleh Iblis (Sang Penggoda), semula pada dasarnya dirinya diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT — sebagaimana manusia (yang direpresentasikan oleh Adam dan Hawa) – yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Karena sikap enggan dan sombongnya, Iblis menjadi ‘pembangkang’ dan berperan menjadi setan” dari golongan Jin yang berhasil menjadi penggoda Adam-Hawa dengan instrumen buah “khuldi” yang cukup efektif membuat keduanya (Adam-Hawa) lupa atas larangan Allah dalam QS al-Baqarah, 2: 35 dan QS al-A’raf, 7: 19, (Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini [pohon yang dilarang Allah untuk didekati oleh keduanya, yang namanya tidak dijelaskan dalam ayat ini dan Hadis Nabi s.a.w.; tetapi ada yang menamakannya dengan sebutan “khuldi” sebagaimana tersebut dalam QS Thâhâ, 20: 120, tetapi itu adalah nama yang diberikan setan.], yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim).
Dari kedua ayat tersebut, jelaslah pelajaran Allah bagi kita bahwa setan akan menjadi pemenang bila kita lengah sedetik pun, dan sebaliknya kita akan menjadikannya sebagai pecundang bila kita tetap ingat kepada Allah, kapan pun dan di mana pun kita berada.
Ketika menginterpretasikan rangkaian kalimat akhir QS al-An’âm, 6: 142: “… janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”, pada umumnya para pakar tafsir al-Quran menyatakan bahwa “jangan sampai kita (umat manusia) “sedikit pun” mengikuti bujuk-rayu setan. Sebab – bagaimanapun juga – setan tidak akan pernah mengajak berbuat baik dan mengajan kepada kebaikan.” Secara a priori, mereka bersepakat bahwa tidak ada yang perlu diikuti setiap langkah setan” . Pertanyaan lanjutnya adalah: (1) “apa saja langkah-langkah setan itu?”; (2) bagaimana kita menahan diri untuk tidak mengikutinya?; (3) apa hikmah di balik larangan itu?
Di negeri kita tercinta – Indonesia – berbagai ragam kemaksiatan terpampang jelas di depan mata, bahkan terhiasi oleh berbagai macam perhiasan yang dapat mengaburkan pandangan mata kita, meskipun mata-hati kita pedih merasakannya. Tampilan kosmetikal – misalnya — para badut politik pun tak kalah menariknya, yang oleh pak Taufiq Ismail – dalam sebuah puisinya yang berjudul “Tuhan Sembilan Senti” – disindir dengan satu ungkapan: “dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya”. Pemandangan serupa sekarang ini bukan merupapan sesuatu yang asing lagi di layar televisi, misalnya. Dahulu, kata Ibu saya – yang pernah berpuluh tahun menjadi guru Sekolah Dasar Muhammadiyah — perilaku semacam ini dirasa aneh. Tetapi, kini orang – pada umumnya — menganggap sebagai sesuatu yang wajar, sekalipun taruhannya adalah: “kita menjadi semakin bersahabat dengan ketidak-benaran dan ketidak baikan, yang karena kita anggap sebagai sesuatu yang wajar, kita semakin tidak memiliki kepekaan untuk membedakan: mana yang haq dan mana yang bathil. Setan, yang semula menjadi musuh kita, tiba-tiba – secara tidak sadar – kita jadikan sebagai sahabat kita. Setan, kekuatan jahat yang ada di seputar kita, akhirnya menjadi panglima kita. Mengendalikan diri kita untuk menjadi sahabatnya, yang ujung-ujungnya menjadikan diri kita menjadi semakin bersahabat dengan berbagai bentuk kemaksiatan!
Setan memang tidak mengenal pilih kasih; semua orang menjadi target “bujuk-rayu” mereka; bukan hanya para badut politik yang sangat piawai bersenandung dengan kata-kata dan penampilan indah, bahkan para mubaligh dan pendidik yang bergerak di dunia dakwah dan pendidikan pun ‘bisa’ digoyang imannya dengan modus operansi yang beragam, secara sistemik dan sistematik, sebagaimana peringatan Allah pada firman-Nya dalam QS al-A’râf, 7: 16-17: Iblis pun menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). ”Setan, yang dalam hal ini diwakili oleh Jenderal Besarnya (Iblis) tidak akan pandang bulu dalam menyesatkan umat manusia. Manusia akan digoda dari depan, belakang, kanan dan kiri. Para setan – pengikut Iblis – akan selalu berjuang mati-matian untuk menyesatkan kita, di kala bangun, selagi tidur, pada waktu sekolah, kerja, istirahat, makan, minum, ke toilet, bahkan di saat kita melaksanakan shalat sekali pun. Kalau perlu, kata Rasulllah s.a.w. dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Anas bin Malik, “masuk ke dalam pembuluh darah kita”! Kelembutan rayuan komunitas setan, yang bisa berwujud Jin dan (juga) Manusia diilustrasikan oleh Allah dalam QS al-An’âm, 6: 112 (Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan). Dan dalam QS an-Nisâ’, 4: 118-119 (Allah pun melaknatnya, dan setan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya”. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata). Sebegitu memukanya, sehingga, sehingga membuat mereka diberi predikat ‘makhluk halus’. Dan yang perlu diingat, bahwa semua aktivitas kita tidak akan pernah lepas dari lirikan ketajaman mata setan. Siapapun, kata Allah – dalam QS an-Nahl, 16: 99; Shâd, 38: 82-83 — tidak akan mampu menghindarkan diri dari tipu daya mereka (para setan) dengan kepiawaian mereka dalam melakukan tipu-daya, kecuali orang-orang yang tawakal dan ikhlas. Ibaratnya, jadilah kita, manusia ini, mainan setan, kecuali orang-orang yang beriman. Seperti komentar Harun Yahya (2003) pun – ketika menginterpretasikan QS al-Hijr, 15: 39-42 menyatakan: “I will make things on earth seem good to them and I will misled them all, every one of them except your servants among them who are sincere” (Akan kujadikan serasa indah semua yang ada di dunia ini bagi para manusia dan akan kusesatkan mereka semuanya [tanpa kecuali]; dan semuanya akan menjadi manusia-manusia sesat kecuali mereka yang benar-benar memiliki kesetiaan penuh untuk menjadi hamba Allah. Demikian kata setan kepada Allah SWT. Dan kita pun di negeri ini, boleh jadi tengah menjadi ‘sasaran empuk’ Iblis – yang pernah sukses mengoda Adam-Hawa — dengan “Tim Sukses”nya yang lebih canggih dalam mengoda umat manusia di zaman yang serba-terbuka.
Dari uraian di atas, kita paham bahwa memang berat sekali untuk menghindari godaan para setan ini. Kalau menghadiri pesta ulang tahun, tanpa harus diingatkan, kita bisa berdatangan on time. Menghadiri pertandingan sepak bola, bergerombol partisipannya. Apalagi pesta “umbar-syahwat” di berbagai tempat dan kesempatan. Tetapi, begitu diundang untuk menghadiri “undangan” Allah yang ditandai dengan suara azan para muazin, apakah kita telah terbiasa bergegas untuk mendatanginya? Apalagi di waktu subuh, “Setan” lebih sering menjadi pemenang, dan kita pun terkapar di tempat tidur menjadi pecundang!
Ada saja alasan orang-orang untuk menghindar, tidak menghadiri undangan Allah. Pendeknya, jika diinvetarisasi, seribu satu lebih alasan. Padahal jadwal waktu shalat sudah kita ketahui. Hingga saya berpikir untuk belajar kepada Iblis dan “Tim Sukses”nya, kenapa mereka bisa seberhasil itu. Hebat benar cara kerja mereka dalam membujuk menusia agar jauh dari Allah. Seperti tim sukses partai-partai politik kita, Tim Sukses setan tak mengenal lelah. Mereka bekerja pagi, siang dan malam.
Setan-setan ini ternyata hebat sekali. Keberhasilan mereka nampak nyata kala kita lihat dalam angka kehadiran umat Islam ke masjid-masjid, dengan sampel “jamaah shalat subuh” yang selalu sepi. Seperti layaknya Tim Kampanye Pemilu saja, setan-setan ini bekerja ekstra keras untuk medorong diri kita untuk besikap malas dalam beribadah. Bedanya, Tim Kampanye Pemilu biasanya bekerja untuk kepentingan politik jangka pendek, sedangkan setan bekerja untuk kepentingan yang lebih strategis: “menyesatkan umat manusia sepanjang masa!”
Tengoklah pusat-pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan. Penuh dengan manusia dengan berbagai dandanan. Kesederhanaan nyaris sirna di antara kerumunan manusia yang mengunjungi tempat-tempat hiburan ini. Mereka menganggap tempat-tempat ini sebagai pelepas lelah spiritual. Jutaan rupiah dikeluarkan dengan tanpa tujuan yang jelas. Mengengok keberhasilan setan seperti ini, saya kira akan membuat Ketua Tim Sukses Setan pun tertawa, dan berteriak: “Kita Berhasil!” kata Iblis, sang Komandan, dengan sangat bangga. Dan ternyata karya Tim Sukses Setan di negeri kita tercinta ini boleh dibilang cukup berhasil, jika melihat polah-tingkah para pelaku maksiat yang berulah di depan kita. Setan telah berhasil menjadi pemenang, dan kita pun menjadi pecundang!
Sudahkah kita “sadar” bahwa kita tengah dan selalu digoda oleh setan?
Kita mengenal sejarah godaan setan kepada manusia bermula interaksi anergis antara Adam-Hawa dengan Iblis. Adam-Hawa berasal dari golongan manusia, sedang Iblis berasal dari golongan jin.
Disebutkan dalam firman Allah SWT: “Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis. dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain Aku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (QS al-Kahfi [18]: 50).
Di dalam al-Quran, Allah SWT mengemukakan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap setan dan menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita bersikap kepadanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang baik di dunia ini sehingga membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Dalam bersikap kepada setan, ada manusia yang menjadikannya seperti saudara sehingga ia memiliki sifat-sifat yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh setan, satu diantaranya adalah melakukan apa yang disebut dengan tabdzîr dalam penggunaan harta, yakni menggunakan atau membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sedikit apalagi banyak. Dalam bahasa kita hal ini diistilahkan dengan pemborosan, karena mengandung kesia-siaan.
Orang yang melakukan hal ini disebut dengan mubazir. Harta yang kita miliki, sebanyak apapun dia sangat banyak yang membutuhkannya baik untuk keluarga sendiri yang memang sangat berhak maupun orang lain seperti orang miskin dan orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, Allah SWT berfirman: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS al-Isrâ’ [17]: 26-27).
Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan pemimpin, namun manusia tidak boleh sembarangan memilih pemimpin, karena hal itu bisa mengakibatkan persoalan yang sangat pelik. Namun yang amat disayangkan adalah ada manusia yang menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai pemimpin sehingga kepemimpinan itu membawa akibat negatif yang sangat besar, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS an-Nahl [16]: 99-100).
Kata sulthân (kekuasaan) dalam ayat di atas berasal dari kata as-Sâlith yang maksudnya adalah minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu yang menggunakan sumbu. Ini berarti sulthân adalah keterangan atau bukti yang menjelaskan sesuatu dengan terang dan mampu meyakinkan pihak lain, baik benar maupun salah. Setan memang memiliki kemampuan untuk memperdaya manusia, namun yang bisa diperdaya oleh Setan hanyalah orang-orang yang lemah imannya, yang menjadikannya sebagai pemimpin, sama seperti virus sebuah penyakit yang hanya akan menimpa orang-orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat.
Penggunaan kata “wali” (pelindung) terhadap setan juga disebutkan dalam firman Allah SWT: “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 257).
Ini berarti ada manusia yang menjadikan setan sebagai pemimpin dan pelindung. Kata “wali” bermaksud sesuatu yang langsung datang atau berada sesudah sesuatu yang lain, tidak ada perantara di antara keduanya. Ketika Allah SWT atau setan yang dijadikan sebagai wali oleh manusia, itu artinya manusia memiliki hubungan yang sangat dekat sehingga langsung ditolong, dibantu dan dilindungi. Ketika Allah SWT yang dijadikan sebagai wali (pemimpin dan pelindung), maka Allah SWT akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan kepada cahaya yang terang, yakni petunjuk hidup yang benar, namun ketika manusia menjadikan setan sebagai wali, maka setan akan mengeluarkan manusia dari jalan hidup yang benar (cahaya) kepada kegelapan atau kesesatan yang banyak.
Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendirian, ia membutuhkan kawan yang dapat menghibur dikala duka, yang dapat membantu dikala susah dan menemaninya dikala sepi, bahkan memecahkan persoalan saat menghadapi masalah. Karena itu, manusia seharusnya menjadikan orang-orang yang baik dan shaleh sebagai kawan, karenanya Allah SWT berpesan kepada setiap mukmin untuk selalu berkawan kepada orang-orang yang shiddîq (benar), Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS at-Taubah [9]: 119).
Karena itu amat disayangkan bila manusia menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai kawan dekatnya, akibatnya merebaklah berbagai kejahatan yang disebarluaskan oleh setan, karena setan dan pengikut-pengikutnya hanya akan membuat manusia menempuh jalan hidup yang sesat hingga berujung ke neraka, Allah SWT berfirman: “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya dan membawanya ke azab neraka .” (QS al-Hajj [22]: 4).
Sikap terbaik yang harus ditunjukkan oleh manusia terhadap setan adalah menganggap dan menjadikannya sebagai musuh yang harus diperangi dan diwaspadai setiap saat. Setan harus diperlakukan sebagai musuh karena sepak terjangnya dalam kehidupan kita menjadi kendala besar bagi kita untuk bisa menjadi muslim yang sejati, Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 208).
Disamping itu, seruan Allah SWT untuk memperlakukan setan sebagai musuh tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tapi juga kepada seluruh umat manusia, karena ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya dan ia tidak boleh menghalalkan segala cara dalam upaya mencapainya, Hal ini karena, meskipun manusia tidak beriman kepada Allah SWT atau tidak menjadi muslim, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetap saja mereka yang tidak beriman kepada Allah-pun tidak membenarkan upaya yang menghalalkan segala cara, Allah SWT berfirman: “Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168).
Keharusan manusia menjadikan setan sebagai musuh juga karena dalam kehidupan bersama, manusia sangat mendambakan kedamaian hidup, sedangkan setan selalu menanamkan perselisihan, permusuhan ke dalam jiwa manusia hingga akhirnya terjadi peperangan; tidak hanya dengan kata-kata tapi juga perang secara fisik dengan korban harta dan jiwa yang sedemikian banyak serta membawa dampak kejiwaan yang negatif, dan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia, Allah SWT berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi manusia.” (QS al-Isrâ’ [17]: 53).
Manakala kita siap menjadikan setan sebagai musuh, maka setiap kita harus waspada 24 jam setiap harinya, memiliki kesiapan untuk “berperang” dengannya dalam arti: “zero lolerance” (tidak ada kompromi) dengan setan, memiliki daya tahan yang kuat untuk menghalau godaan setan dan memohon perlindungan kepada Allah SWT dari gangguan-gangguan setan, bila ini yang kita lakukan, maka kita bisa menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benar takwa.
Dan hanya ketakwaan kitalah “instrumen” yang dapat menjamin diri kita menjadi “Sang Pemenang” dalam setiap pergumulan “melawan setan”, dan sekaligus menjadikan para setan terkapar menjadi “Sang Pecundang” di hadapan kita!
PUDARNYA SPIRIT AL-MAUN
QS al-Mâ’un (QS 107: 1-7) mengisyaratkan sebuah peringatan keras dari Allah SWT terhadap muslim yang – meskipun – telah melaksanakan shalat, tetapi karena ketidakpeduliannya terhadap (nasib) anak yatim dan orang miskim dikategorikan oleh-Nya sebagai “pendusta” agama. Sebuah kategori yang sangat buruk bagi siapa pun yang mendambakan (perolehan) rahmat Allah dan perlindungan terhadap azab-Nya. Kenapa para pelaku shalat itu mendapatkan kategori buruk seperti itu? Kata kunci adalah: “kelalaiannya” dalam menyempurnakan penegakan shalatnya, dikarenakan (masih) adanya sikap riya’ di dalam diri para pengamal shalat. Sehingga, meskipun secara ritual yang bersangkutan telah (merasa) melaksanakan shalat, tetapi nilai instrumental dan fungsionalnya tidak atau (minimal) belum terwujud dalam kehidupan nyata. Mereka masih menjadi manusia-manusia yang dikendalikan oleh egonya, dan menjadi orang yang tidak atau (minimal) belum memiliki kepedulian yang signifikan bagi setiap anak yatim dan orang miskin. Sehingga hak-hak asasi mereka tidak terpenuhi oleh sejumlah kewajiban yang semestinya ditunaikan oleh setiap muslim yang telah menegakkan shalatnya. Mereka menjadi terlantar oleh karena penelantaran para pelaksana shalat yang (sesungguhnya) belum pernah menegakkannya dengan benar. Shalat hanya sekadar menjadi tindakan ritual dan kehilangan nilai-nilai instrumental dan fumngsionalnya.
Dalam kaitannya dengan bahaya (sikap) riya’, Rasululllah s.a.w. pernah mengingatkan kepada para sahabatnya: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan atasmu (para sahabatku) adalah syirik kecil. (Atas pernyataan Rasulullah s.a.w. itu pun) para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah s.a.w., apa yang engkau maksud dengan syirik kecil itu? Rasulullah s.a.w. pun menjawab: “ ar-Riya’ . (Hadis Riwayat Ahmad dari Mahmud bin Labid)
Banyak orang yang mau peduli kepada sesama karena berharap adanya umpan-balik. Sedang pada setiap kepdulian yang tak memiliki umpan-balik, atau umpan-baliknya tak sepadan dengan tingkat kepeduliannya, pada umumnya orang memiliki keengganan untuk melakukannnya. Hingga kepedulian orang terhadap orang lain, hingga kini, selalu diukur dengan sejauhmana dia akan memperoleh sesuatu dari apa yang pernah diberikan kepada siapa pun.
Dalam konteks aktivitas sosio-ekonomi, kepedulian sosial itu pun masih terbatas pada wacana CSR (Corporate Social Responsibility), yang ujung-ujungnya adalah pemberian dana kepada siapa pun yang pantas dipedulikan untuk kepentingan “image-building” (pencitraan-baik) para pemberinya. Sangat jarang dana CSR tersebar kepada mereka yang seharusnya berhak mendapatkannya bukan karena kepentingan “image-building” perusahaan-perusahaan yang memberinya. Faktor penyebabnya mudah ditebak dengan sebuah pertanyaan penting: “untuk apa kami memberi, kalau pada akhirnya tidak memperoleh apa-apa dari pemberian kami?”
Cukup menarik apa yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi, utamanya komunitas ekonom muslim, dalam rangka menggugah kesadaran untuk memberi, memunculkan sebuah istilah populer: “pareto optimum”. Apa maksudnya? Dr. Andi Irawan menulisnya dalam rubrik “Opini”, Republika, Selasa, 23 Maret 2010. Pareto optimum – menurutnya — adalah suatu kondisi saat introduksi kebijakan tersebut menyebabkan ada pihak yang diuntungkan (better-off ), tanpa menyebabkan satu pihak pun yang dirugikan (worse-off ). Dinyatakan bahwa pada umumnya kebijakan ekonomi terkategori sebagai second best policy, yang bermakna kebijakan ekonomi jarang dan sukar sekali untuk memenuhi kategori pareto optimum. Umumnya suatu implementasi kebijakan ekonomi akan berakibat ada yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Walaupun demikian, kalau kita berusaha menghadirkan pareto optimum secara total, maka suatu kebijakan yang berstatus second best policy sekalipun, bisa ditujukan untuk menciptakan suatu kondisi pareto optimum. Kaedah implementasinya sederhana saja, pihak yang dirugikan dari kebijakan tersebut diberikan kompensasi dari kerugian yang dideritanya atau diproteksi dari imbas negatif kebijakan tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa di dunia modern sekarang ini gagasan paretto optimum akan sulit untuk dilaksanakan, karena “manusia modern” tengah berhadapan dengan sistem dan budaya (baca: perilaku) yang tidak selaras dengan nilai-nilai moral yang seharusnya mereka jadikan sebagai acuan dalam berperilaku. Dan ironisnya, umat – sebagai pelaku — selalu menjadi sasaran tudingan. Mereka menjadi dianggak tidak – atau minimal kurang — bermoral karena kesalahan mereka sendiri, tanpa memberi peluang kepada umat untuk berwacana tentang “sebab-musabab”, kenapa mereka seolah-olah begitu menikmati perilaku mereka tanpa merasa bersalah. Pertanyaan besarnya, jangan-jangan mereka menjadi sebegitu menikmati perilaku mereka karena kelemahan para pemimpinnya yang selama ini mempertontonkan “akhlak madzmumah” kepada umatnya, dan akhirnya menjadi “model” bagi umatnya, dan sebegitu ‘pelit’ dalam memberi contoh “akhlak mahmudah” kepada umat. Sehingga, untuk menerapkannya diperlukan: “kesadaran untuk berbagi, tanpa harus merasa kehilangan sesuatu ketika memberi”.
Gagasan paretto optimum ini, bila kita simak dengan seksama, semangatnya sama sebangun dengan perintah berinfaq, bersedekah dan berzakat serta paralel dengan semangat larangan “riba” dalam al-Quran dan as-sunnah. Memberi adalah sesuatu yang akan terbalas dengan pengembalian yang – secara kuantitatfif dan kualitatif – lebih bernilai. Dan inilah jaminan oleh Allah yang dinyatakan dalam al-Quran. Rasulullah s.a.w. pun menjelaskan dalam sunnahnya dengan berbagai penyataan dan bukti empiris. Hanya saja, karena buta dan sakitnya hati manusia, seseorang atau sekelompok orang tidak bisa melihat dengan mata-hatinya. Dan oleh karenanya, diperlukan kebersihan hati untuk memahami “nalar-pareto optimum” (perintah infaq, sedekah dan zakat dan larangan “riba”)
Ironisnya, para pemimpin kita dan orang-orang yang oleh al-Quran disebut sebagai “mutrafûn” (kelompok-elit sosial di tengah peradaban umat), ditengarai, telah dan tengah mengajari diri kita untuk terbiasa memandang sesama (manusia) dengan cara-pandang “subjek-objek”, yang akibatnya sering membuat kita lupa untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kata banyak pakar kepemimpinan, perilaku masyarakat kita (baca: umat) adalah potret perilaku pemimpinnya. Perilaku pemimpin – pada umumnya — menjadi model bagi umat kita. Sehingga kalau pemimpinnya kurang memahami etika kepemimpinannya, tidak berperilaku berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, abai terhadap kesusahan yang diderita sesama, lebih mementingkan diri, sering menampilkan perilaku memeras (misalnya: sering memaksakan kehendak pada umatnya untuk menjadi gerbong mereka tanpa dialog yang jujur dan terbuka), serba tertutup dan – apalagi – mendasari perilakunya dengan sikap otoriter, apa yang bisa diharap dari perilaku umatnya? Tentu saja umat akan menjadi korban ‘keserakahan’ para pemimpinnya. Oleh karena itu, jika kita berkehendak untuk mendidik umat dengan nilai-nilai Islam, mau tidak mau pemimpin kita harus memberi contoh terlebih dahulu bagaimana seharusnya menjadi “manusia-muslim”. Berikan contoh perilaku Islami hingga umat menjadi tergerak untuk mencontohnya. Pemimpin adalah model bagi umatnya. Atau dengan kata lain, para pemimpin harus merekonstruksi moralitas mereka sendiri, sebelum berharap terjadinya rekonstruksi moralitas umat.
Dalam kaitannya dengan pudarnya spirit al-Ma’un, di negeri kita tercinta saat ini, ada satu hal dari sekian persoalan moralitas yang kurang diperhatikan dan banyak diabaikan, yaitu “kesetiakawanan sosial”. Kesetiakawanan sosial, sebagai yang dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w. dalam beberapa hadisnya, merupakan persoalan akhlak sosial yang – hingga kini — kurang tergarap. Moralitas luhur ini bukanlah sesuatu yang dengan mudah bisa tumbuh dan berkembang pada diri manusia, karena di dalamnya ada unsur “pengurbanan” yang harus diberikan. Orang, pada umumnya, lebih senang untuk meminta daripada memberi. Padahal kesetiakawan mempersyaratkan kesediaan untuk banyak memberi, yang berarti sesorang harus memiliki kerelaan untuk mengambil sebagian yang dia miliki untuk diberikan kepada orang lain dengan semangat keikhlasan. Kesetiakawanan sosial bukanlah merupakan sesuatu yang tiba-tiba terjadi, taken for granted. Ia tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan. Ia tidak akan pernah tumbuh dan berkembang tanpa proses pendidikan dan pelatihan yang tertata? Dan oleh karenanya harus ada orang dan lembaga yang kompeten dan bertanggung jawab untuk menumbuhkembangkannya lengkap dengan perencanaan yang matang untuk diimplementasikan dalam program pendidikan dan pelatihan terpadu.
Sebagai sebuah upaya, ketika penulis mengajar di kelas “program studi Ilmu-Ekonomi UM Yogyakarta untuk matakuliah Agama Islam”, penulis pernah menyatakan bahwa dalam dunia bisnis, banyak cara yang bisa dilakukan oleh setiap orang untuk memperoleh keuntungan. Antara lain dengan pola bai’ al-‘înah” (jual-beli ‘inah). Yaitu: “seseorang (penjual) menjual barang dagangannya kepada orang lain dengan harga (pembayaran) yang ditangguhkan, kemudian orang orang yang membeli itu menjual lagi (barang yang baru dibelinya itu) kepada penjualnya dengan harga tunai, (tetapi) dengan harga lebih rendah daripada harga pembeliannya semula. Kiat ini dipakai dalam rangka untuk menyiasati jebakan “riba” yang – secara legal-formal – diharamkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah”, sehingga seolah-olah orang yang bertransaksi jual-beli itu – dengan pola ‘înah itu — (telah) terlepas sama sekali dari tindakan “riba”.
Penulis katakan kepada para mahasiswa, bahwa pola jual-beli ‘inah itu esensinya adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan di atas kezaliman. Kenapa kini kita – umat Islam — masih terjebak dalam semangat ribawi seperti itu dengan berbagai dalih karena hasutan rasa enggan untuk “memberi”, sementara al-Quran dan as-Sunnah mengajarkan kepada kita untuk siap berbagi? Alangkah indahnya jika semangat memberi dan berbagi itu kita hidupkan kembali, dengan etos sedekah dan kehati-hatian kita untuk tidak terjebak pada kubangan semangat “ribawi”. Bersedekahlah dengan semangat pareto optimum, etos al-Mâ’un yang memberdayakan, hingga keberislaman kita bisa terwujud menjadi “rahmat” bagi semuanya.
Ibda’ bi nafsik (mulailah dari diri sendiri). Kita hidupkan kembali spirit al-Mâ’un yang kini tengah redup, berbekal semangat “Mentari Muhammadiyah” yang boleh jadi ‘bisa’ redup – bila tak terkawal oleh keimananan yang kokoh — di tengah badai kehidupan yang lebih banyak menawarkan kemewahan duniawi.
MEMBERDAYAKAN PEREMPUAN DG PENDIDIKAN
Ada sebuah mitos yang masih berkembang dalam pandangan masyarakat tradisional, yang menyatakan bahwa: ”perempuan tidak memerlukan pendidikan setinggi kaum laki-laki”. Dan ironisnya, pameo ”wanita adalah ’konco wiigking’ (teman di balik panggung kehidupan) seolah-olah telah menjadi sebuah ’kredo’ absolut yang selamanya tidak perlu digugat. Padahal, Allah — sang Khaliq — tidak pernah merancang makhluk ’perempuan’ sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki, apalagi client (budak) bagi sang patron (tuan), bahkan secara tegas menjadikannya sebagai mitra berbagi dan bersinergi. Masing-masing bukan ’budak’ atau ’tuan’ bagi yang lain. Lalu, kenapa pandangan seperti itu tak juga kunjung sirna pada masyarakat kita, tak terkecuali di kalangan masyarakat muslim tradisional di negeri kita tercinta?
Simaklah dengan seksama firman Allah berikut: ”Kepunyaan Allahlah apa yang di langit dan di bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang dikehendaki dan memberikan anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS asy-Syura/42: 49). Adakah kandungan isinya yang mengisyaratkan ketidakberdayaan wanita di hadapan laki-laki? Sama sekali tidak! Bahkan, Allah memberi sinyal penting tentang kesetaraan derajat kedua jenis makhlukNya. Ayat ini mengingatkan kepada kita untuk tidak memandang ’berbeda’ antara laki-laki dan perempuan karena perbedaan jenis kelamin mereka. Apalagi memandang rendah-tinggi salah satu darinya. Pandangan seperti inilah yang seharusnya segera dikoreksi.
Islam mengetengahkan sebuah pandangan komprehensif, bahwa laki-laki maupun perempuan adalah dua jenis makhluk yang berasal dari Allah dan diciptakan oleh-Nya dengan sejumlah potensi yang memiliki kesetaraan kemungkinan untuk dikembangkan melalui pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing dalam proses kemitraan yang bersifat sinergis, dan bukan untuk dipertentangkan dalam sebuah proses pengembangan yang bersifat anergis. Keduanya sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan dan memberikan cinta, kasih sayang, perlindungan, dan pendidikan yang baik dalam serangkaian relasi-horisontal yang adil.
Dari ayat ini mengemuka pandangan integratif dari Islam tentang individu, antarindividu dan masyarakat. Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam konteks relasi-horisontal kemanusiannya di dunia ini sebagai penjabaran dari konsep dasar ”tauhid”. Dari pemahaman tentang ”Allah yang Esa” sebagai sang Pencipta (Khâliqu kuli syai-in) menuju (pemahaman) tentang keesaan penciptaan yang bersumber dari Yang Esa, yang tertuang menjadi ”kesatuan ciptaan” yang harmonis, tanpa ada kemungkinan terjadi pertentangan atau kontradiksi. Semua makhluk adalah mitra satu sama lain, termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan bagi komunitas manusia.
Konsep tauhid telah memberi penegasan verbal, intelektual, praktis, dan spiritual tentang keesaan Allah sebagai Rabb, Mâlik dan Ilâh, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam QS al-Fatihah dan an-Nas. Bahkan dalam QS al-Hujurat/49: 13, laki-laki dan perempuan dicitrakan sebagai makhluk diciptakan oleh-Nya dengan spirit (semangat) yang setara, dan oleh karenanya keduanya — secara hakiki — harus dilepaskan dari perbedaan semu dan simbolik yang tergambar dalam relasi-horisontalnya. Oleh sebab itu, dalam kerangka konsep ”tauhid”, tidak boleh ada pemisahan hak dan kewajiban antara lakli-laki dan perempuan untuk berperan ’menjadi’ seseseorang (yang menjadi pilihannya) – dalam relasi-horisontalnya – sejauh tidak melanggar prinsip syari’at (Islam) dan – apalagi – di ketika berelasi dalam rangka menciptakan kemashlahatan.
Dalam konteks pendidikan, perempuan sudah seharusnya diberi peluang yang setara dengan kaum laki-laki dan saling memanfaatkan dalam kerangka (konsep) give and take (memberi dan meminta), yang terbangun dalam kesadaran berta’awun (saling membantu) seoptimal mungkin untuk (kepentingan) kemashlahatan personal, interpersonal dan sosial mereka. Dan konsekuensinya – antara lain — akses pendidikan untuk kaum perempuan (sebagaimana kaum laki-laki) seharusnya selalu dibuka ”lebar-lebar” (seluas mungkin), agar dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan ’kaum wanita’ yang – hingga kini – pada umumnya masih menjadi gerbong-gerbong yang bergantung pada tarikan lokomotif yang diperankan oleh kaum laki-laki. Dengan satu misi luhur ”mendidik kaum perempuan” untuk (masa depan mereka) menjadi ”manusia-manusia terdidik, terlatih dan terampil” sebagaimana yang telah diperoleh oleh kaum laki-laki (pada umumnya), dan bahkan – dengan asumsi keunggulan-keunggulan komparatifnya – bisa lebih unggul daripada kaum laki-laki, tanpa pretensi untuk ”balas-dendam” karena masa lalu mereka yang pernah terpinggirkan karena budaya kita yang condong lebih berpihak pada kaum laki-laki.
Konon, dalama sejarah umat Islam. tradisi pendidikan untuk kaum perempuan sudah dimulai sendiri oleh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pemberian peluang ”kebebasan” bagi kaum wanita untuk pergi ke masjid dan mengikuti program pendidikan yang Beliau tradisikan di belahan ruang masjid. Sebagaimana hadis Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar: ”Jangannlah kamu sekalian melarang para wanita di antaramu untuk pergi ke masjid, ketika mereka meminta izin kepadamu untuk pergi ke tempat itu (masjid).
Hadis ini memberikan peringatan kepada kaum laki-laki (pada saat itu) untuk tidak membelenggu para wanita dalam rangka mendapatkan akses publik dengan cara berinteraksi dengan umat Islam di masjid, yang pada saat itu solah-olah hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Dan tentu saja, semangat peringatan Nabi s.a.w. (dalam hadis itu) tidak berhenti untuk saat itu (di tempat itu), namun seharusnya dipahami sebagai sebuah peluang bagi wanita untuk berinteraksi secara positif dalam jamaah umat Islam tanpa sekat perbedaan ’gender’. Seandainya kaum laki-laki berpeluang memanfaatkan masjid sebagai tempat untuk mendewasakan dirinya sebagai hamba Allah, maka kaum perempuan pun seharusnya diberi kesempatan yang sama.
Dikisahkan dalam sejarah umat Islam, bahwa para isteri dan puteri Nabi s.a.w. juga diberi peluang oleh beliau (Nabi s.a.w.) untuk berperan di ruang publik, dengan – misalnya — mengerjakan tugas yang beragam dengan gaji tetap dan variabel. Bahkan salah seorang sahabat beliau — Umar bin al-Khattab – dikisahkan pernah mempekerjakan seorang wanita yang beliau beri amanah sebagai ”Pengawas Pasar” di kota Medinah.
Tradisi yang pernah dikembangkan oleh Rasulullah s.a.w. dan Umar bin al-Khattab tersebut – andaikata mungkin – bisa kita rekonstruksi menjadi sebuah tradisi pemberdayaan untuk kaum perempuan di masa sekarang, dan bahkan bisa kita jadikan sebagai model pemberdayaan kaum perempuan untuk kepentingan masa depan mereka. Sebab, hingga kini masih ada kalangan muslim yang ’gamang’ untuk bereksperimentasi dengan sebuah upaya kreatif (konseptualisasi gagasan atau ide baru) dan inovatif (implementasi gagasan atau ide baru) untuk memberdayakan kaum perempuan, karena kekhawatiran mereka sementara ini, di ketika berkreasi dan berinovasi – karena jebakan gagasan konservatifnya — ’jangan-jangan’ melanggar prinsip syari’at (Islam). Padahal, ketika bercermin dengan ekperimentasi Rasulullah s.a.w. dan Umar bin al-Khattab, konsep-konsep pemberdayaan kreatif dan inovatif itulah yang semestinya perlu ’segera’ kita upayakan, mengingat masih berkembangnya budaya ”diskriminatif” terhadap wanita dengan mengatasnamakan ”agama”, termasuk di dalamnya – mungkin – dengan mengatasnamakan ”Islam” yang membelenggu, yang seharusnya – secara normatif — mengetengahkan gagasan pemberdayaan dan pemuliaan terhadap kaum perempuan.
Kini, saatnya kita mulai upaya pemberdayaan kaum perempuan ini dengan sebuah kreasi kreatif-inovatif: ”pendidikan-emansipatoris” yang berwawasan Islam, yang dalam berbagai kesempatan disuarakan oleh kaum perempuan (muslimah) di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri kita tercinta. Belajar dari eksperimentasi Nabi Muhammad s.a.w. yang sederhana dan kreasi Umar bin al-Khattab yang lebih bernuansa ”politis”, kita dorong para pemimpin kita, dan juga seluruh lapisan masyarakat untuk memulai (berbuat). Mendidik kaum perempuan untuk menjadi semakin berdaya. Sebagaimana dorongan Rasulullah s.a.w. – dalam sebuah riwayat — kepada umatnya: ”Siapa saja yang dianugerahi dua orang anak perempuan atau yang menanggung beban dua orang saudara perempuan dan memperlakukan mereka dengan baik dan sabar, ia dan aku akan berada di surga berdampingan seperti ini (seraya menunjukkan dua jari tangannya.” (HR Ahmad bin Hanbal dari Anas bin Malik). Perlakuan baik dan sabar terhadap perempuan dalam hadis di atas tidak lain adalah ”mendidiknya” – dalam pengertian luas, yang tidak harus dalam pengertian tersekat oleh tembok-tembok sekolah, agar mereka menjadi pribadi-pribadi dan komunitas muslimah terbaik untuk siapa pun ketika mereka berperan, termasuk di dalamnya ketika berinteraksi dengan kaum laki-laki dalam sebuah relasi-kemitraan yang lebih bersifat sinergis untuk kemashlahatan bersama.
Insyâallâh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar