SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ALIRAN PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH

Iftitah

Salah satu doktrin yang sangat penting bagi Mu’tazilah adalah perihal kemakhlukan al-Quran. Doktrin ini mempunyai dua sisi tinjauan. Pertama, sisi teologis an‑sich yang berpangkal pada paham bahwa hanya Allahlah yang qadim, sedang semua diluar Allah adalah hadits, semua yang hadits adalah makhluk, jadi al-Quran karena di luar Allah adalah hadits dan makhluk. Kedua, sisi politis yaitu upaya pemasyarakatan doktrin ini pada umat Islam, dimana pemerintah ikut campur tangan dengan kekuasaannya bahkan tidak segan‑segan menggunakan kekerasan fisik. Sisi kedua inilah obyek kajian makalah ini.

Al-Mihnah: Tonggak Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Mu’tazilah

Al‑Mihnah yang mirip dengan inquisition berarti severe trial, ordinal tribulation (Hans Wehr, 1960: 895), yaitu pemeriksaan keras, cobaan berat dan kesengsaraan.

Dalam konteks Mu’tazilah, al‑Mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah (Gibb, 1974: 377). Bagi qadli dan pejabat yang menerima paham ini maka putusannya dianggap sah, demikian halnya dengan kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima paham ini siksaanlah yang mereka terima.

Gerakan al‑Mihnah ini merupakan implikasi doktrin ketauhidan Mu’tazilah di samping doktrin yang lain yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan meyakini keqadiiman al-Quran berarti telah berbuat syirik, syirik adalah dosa besar, dan dosa besar harus diberantas sampai keakar‑akarnya meski dengan kekerasan.

Mereka berkeyakinan bahwa satu‑satunya sifat Tuhan yang betul‑betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah qadim (Nasution, 1986: 52), dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni dari syirik.

Al-Quran: Qadim atau Jadid?

Secara historis, paham kemakhlukan al-Quran ini sudah ada sejak masa Marwan bin Muhammad (Khaalifah terakhir dinasti Umayah). Paham ini dimunculkan buat pertama kali oleh al‑Ja’d bin Dirham, dari dialah Jaham bin Shafwan mengambil paham ini (Ahmad Amin, 1936: 162). Dalam perkembangan selanjutnya ketika Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara/pemerintah, doktrin kemakhlukan al-Quran ini menjadi issu yang sangat dominan. Mu’tazilah mencapai masa kejayaannya pada masa tiga khalifah Abbasiyah al‑Makmun, Al‑Mu’tashim dan al‑Watsiq sejak tahun 813 s/d 847 M, pada masa inilah gencar‑gencarnya gerakan al‑Mihnah.

Gerakan al‑Mihnah ini diawali dengan instruksi al‑Makmun kepada gubernur Baghdad Emier Ishaq bin Ibrahim tahun 218/833. Dalam suratnya ia menjalskan hal‑hal yang mendorongnya mengeluarkan instruksi itu. Ahmad Amin dalam bukunya Dluha Al‑Islam halaman 168‑169 menyimpulkan isi instruksi itu menjadi lima point, yang hakekatnya berpangkal pada keinginan Makmun menjaga kemurnian aqidah umat secara keseluruhan, baik ia sebagai pejabat pemerintah, ulama atau rakyat biasa. Surat yang sama juga beliau kirimkan kepada Gubernur Mesir, Kaidar, sehingga beliau menguji/menyelidiki Abdullah al‑Zuhri qodli Mesir kala itu.

Sasaran al‑Mihnah dalam instruksi pertama ini adalah para qadli, para pejabat peradilan juga para saksi dalam perkara yang dimajukan dalam pengadilan, karena ini merupakan syarat sahnya putusan pengadilan.

Instruksi kedua dikirim lagi kepada Ishaq bin Ibrahim untuk menguji tujuh ulama ahli hadits, yaitu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin al‑Dauraqi. Dalam pengujian itu mereka semua menerima paham kemakhlukan al-Quran (Ahmad Amin, 1936: 170).

Instruksi ketiga dikirim kepada Ishaq untuk menguji para pejabat pemerintah, fuqaha dan muhadditsin. Dari pengujian tersebut kebanyakan mereka memberikan jawaban yang tidak tegas menerima atau menolak, mungkin ini dilakukan untuk menghindari siksaan. Diantara yang berbuat demikian adalah Basyar bin al‑Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan Ibnu al‑Baka’ (Ahmad Amin, 1936: 170).

Khalifah Makmun tidak puas dengan jawaban mereka yang tidak tegas itu, sehingga Ishaq mengumpulkan lagi 30 orang terdiri dari qodli, muhadditsin dan fuqaha’. Kebanyakan mereka mengakui kemakhlukan al-Quran kecuali empat orang saja; Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin Nuh. Mereka dibelenggu dan disiksa, akhirnya tingal dua orang saja yang bertahan Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh (Ahmad Amin, 1936: 177).

Pengganti al‑Makmun adalah al‑Mu’tashim (833‑842 M) ia tetap menjalankan al‑Mihnah ini, Ahmad bin Hambal tetap pada pendiriannya maka ia dijebloskan ke penjara. Khalifah berikutnya al‑Watsiq (842‑847 M). Di awal pemerintahannya ia menampakkan kekerasannya seperti al‑Makmun, namun pada akhir pemerintahannya ia berbalik dan menyesali semua tindakannya, bahkan ia berusaha menghapuskan gerakan al‑Mihnah dan paham kemakhlukan al-Quran ini (Abu Zahrah: 173).

Perkembangan Pemikiran Teologis Mu’tazilah Sebagai Aliran

Gerakan al‑Mihnah ini ternyata membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi Mu’tazilah sebagai aliran. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk melaksanakan paham‑paham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu itu. (Nasution, 1974: 40). Setelah kejadian itu kaum Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti (Watt, 1987: 78).

Pemikiran rasional dan sikap kekerasan Mu’tazilah ini memicu lahirnya aliran‑aliran teologi lain dalam islam karena Mu’tazilah semakin kehilangan simpati umat disatu pihak, dipihak lain keadaan semacam ini justru mendongkrak kedudukan muhadditsin ke tingkat yang lebih tinggi di mata umat. Keadaan semakin parah ketika al‑Mutawakkil, pengganti wal‑Watsiq, membatalkan Mu’tazilah sebagai paham negara tahun 848 M. Sehingga keadaannya menjadi berbalik, Ibnu Hambal serta ulama muhadditsin lebih dekat dengan penguasa, sedang Mu’tazilah jauh dari penguasa. Terlebih lagi Mu’tazilah mengalami konflik intern dengan banyaknya pemikir‑pemikir Mu’tazilah yang meninggalkannya, seperti: Abu Isa al‑Warraq, Abu Husain Ahmad Ibnu Rawandi juga Abu Hasan al‑Asy’ary (Nasution, 1986: 68). Di saat seperti ini aliran Asy’ariyah cepat diterima rakyat banyak.

Pada masa dinasti Buwaihi (945‑1055), Mu’tazilah mendapat angin segar kembali, karena Ahmad Ibnu Buwaihi kepala dinasti yang menyerang Baghdad tahun 945 M. beraliran Syi’ah yang cenderung rasionalis. Kalau dahulu Mu’tazilah ditopang oleh al‑Makmun, maka sekarang Sahib Ibnu Abdadlah (977‑995 M) Perdana Menteri dari Sultan Fakhr al‑Dawlah yang menopang kekuatan Mu’tazilah. Filosof‑filosof besar banyak yang muncul pada masa ini, seperti al‑Farabi, Ibnu Maskawih, al‑Ghazali, al‑Biruni dan Ibnu Haitami.

Dinasti Buwaihi akhirnya digulingkan oleh Tughril dinasti Saljuq pada tahun 1055 M, namun belum bisa menggoyahkan kedudukan Mu’tazilah, karena Tughril mempunyai perdana menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibnu Mansur al‑Kunduri (416‑456 H), (Nasution, 1986: 74).

Setelah meninggalnya Tughril Bek, Mu’tazilah menurun kembali karena penggantinya Alp Arselan menangkat Nizam al‑Muluk seorang Asy’ariyah menjadi perdana menteri. Mulai saat inilah Mu’tazilah sebagai aliran berangsur‑angsur menghilang sampai tujuh (7) abad lamanya, dan baru pada awal abad kesembilan belas muncul kembali namun bukan merupakan aliran/kelompok, tetapi cenderung sebagai cara pandang/wawasan dalam memahami agama. Tokoh‑tokoh kebangkitan kembali Mu’tazilah ini seperti Jamaluddin al‑Afghani, Mohammad Abduh, Ahmad Amin dan sebagainya.

Al‑Mihnah Dalam Sorotan

Sebagaimana telah dipaparkan di awal tulisan ini, bahwa dimungkinkan menggunakan dua pendekatan terhadap al‑Mihnah, karena ia berdimensi ganda, yaitu dimensi teologis dan dimensi politis. berdimensi teologis karena muatan peristiwa al‑Mihnah masalah khalq al-Quran sedangkan dimensi politis, karena pengambil keputusan dalam peristiwa ini adalah seorang penguasa, bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir.

Dari dua pendekatan tersebut, penulis cenderung mendekati dari dimensi politik. Ada dua pertimbangan yang memperkuat pandangan penulis, yaitu:

Pertama, pengambil keputusan dalam masalah al‑Mihnah adalah seorang penguasa, bukan seorang pemikir, betapapun tidak tertutup kemungkinan bahwa al‑Makmun berada dalam bayang‑bayang pikiran Mu’tazilah.

Kedua, Khalq al-Quran yang tampaknya menjadi persoalan utama dalam kasus al‑Mihnah, hanyalah salah satu indikator dari sikap pemerintah al‑Makmun, bukan sebagai persoalan yang sebenarnya (crucial points), karena ada yang lebih penting dan mendasar dari pada masakah khalq al-Quran. Masalah pokok yang sesungguhnya adalah suatu pergulatan antara pemerintah yang berhaluan rasional dalam melihat persoalan‑persoalan teologis dengan kelompok ahli hadits yang berhaluan tradisional dan tekstual.

Sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarah Islam, pada tahun 750 M. sampai dengan 1000 M., di kalangan umat Islam sedang terjadi gelombang pemikiran yang begitu besar, pada saat mana umat Islam sedang mentransformasi keilmuan Yunani secara besar‑besaran. Harun al‑Rasyid, al‑Makmun dan al‑Mu’tashim adalah diantara khalifah Abbasiyah yang dikenal sebagai orang yang sangat besar komitmennya pada usaha transformasi pemikiran Yunani ini. (Nasr, 1986: XIV). Transformasi pemikiran Yunani secara besar‑besaran ini oleh Dr. Muhammad Ghallab disebut sebagai gelombang pemikiran kedua dalam masyarakat Islam. (Ghallab, t.t.: 121).

Al‑Mihnah (inquisition) yang dilancarkan oleh al‑Makmun tidaklah sama dengan inquisition yang terjadi di Spanyol. Karena al‑Mihnah yang dilancarkan oleh al‑Makmun ini semacam “liberalisme” Mu’tazilah melawan mereka yang menghalangi liberalisme khususnya kaum fundamentalis. Sedangkan inquisition di Spanyol yang kemudian melanda Eropa adalah sebaliknya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit, melawan pikiran liberal yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu banyak belajar dari warisan pemikiran islam. (Nurcholis Madjid, 1992: 216)

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi tidaklah bertanggung jawab dalam kasus al‑Mihnah, meskipun al‑Makmun berada dalam bayang‑bayang pemikiran Mu’tazilah. Sebagai seorang pemegang kekuasaan, al‑Makmun dengan kebijakan politiknya tersebut sdah barang tentu tidak hanya sekedar berkepentingan dengan masalah khalq al-Quran yang menjadi ajang perselisihan antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok ahli hadits, tetapi lebih jauh dari itu yaitu berbentangnya jalan bagi liberalisme dalam pemikiran‑pemikiran keagamaan, disamping menginginkan adanya kesamaan pandang umat Islam dalam masalah yang bersifat teologis.

Mengenai sementara pandangan bahwa kasus al‑Mihnah menjadi faktor sirnanya paham Mu’tazilah setelah periode al‑Mu’tashim, mungkin masih perlu dilakukan tinjauan yang lebih teliti lagi. Sebab jika dilihat dari kasus mihnah tersebut, paham Mu’tazilah nampaknya hanya diterima oleh sebagian kecil umat Islam yaitu kalangan intelektual dan pemerintah, sementara di sisi lain, kelompok ahli hadits mempunyai pengaruh yang luas dan mengakar di kalangan masyarakat. Maka kemungkinan besar faktor kurang berkembangnya pemikiran Mu’tazilah karena transformasi pemikiran Yunani belum benar‑benar diterima oleh kebanyakan umat islam semenjak kehadirannya di tengah‑tengah mereka, karena pola pikir tradisional telah lebih dulu berkembang dan mengakar pada mereka. Bahkan hingga saat ini tidak berkembangnya ajaran‑ajaran Mu’tazilah karena tidak mudahnya pikiran Mu’tazilah diterima oleh pemikir Islam yang telah terbentuk dalam alam pikiran tradisional.

Semoga tulisan ini mempunyai dampak positif dalam pengembangan pemikiran Islam baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca yang budiman.

Referensi:

Amin, Ahmad, Duha al‑Islam, Juz III, Mesir: al‑Nahdlah al‑Misriyah, 1936.

Abu Zahrah, Muhammad, Ahmad, Tarikh al‑Madzahib al‑Islamiyah, Mesir: al‑Maktabah al‑Mahmudiyah, t.t.

Ghallab, Muhammad, Al‑Ma’rifah ‘Inda Mufakkiri al‑Muslimin, Mesir: Darul Misriyah, t.t.

Gibb, H.A.R, dan Kramer, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: EJ. Brill, 1974.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.

Nasr, Sayyed Husein, Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah, Terj. Ahmad Mujahid, Lc., 1986.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

——, Teologi Islam, Jakarta: UI. Press, 1986.

Watt, W. Montgomery., Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, 1987.

Wehr, Hens, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ithaca: ed. J. Milton Cowan, Ithaca, 1960.