Laman

Jumat, 10 Desember 2010

renungan

[5.jpg]

TRANSAKSI DERIVATIF:perspektif hukum islam

Banyak ulama dan pemikir islam memberikan pendapatnya secara beragam terhadap transaksi derivatif. Dalam transaksi forward dan futures, pada dasarnya secara teknikal tidak ada keberatan dari sudut pandang islam selama transaksi tersebut semata-mata untuk melindungi kemungkinan resiko yang terjadi dan transaksi tersebut benar-benar direalisasikan pada waktu jatuh temponya. Konsep dasar transaksi tersebut sebenarnya sama dengan apa yang sabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu bahwa siapa yang melaksanakan salaf (forward trading) harus melaksanakannya dengan jumlah, berat dan periode waktu yang tertentu/spesifik. Dengan transaksi tersebut, perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih produktif dan efisien dan memberikan manfaat bagi masyarakat berupa harga yang relatif rendah dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Tetapi jika transaksi derivatif tersebut digunakan untuk tujuan spekulatif, misalnya menyelesaikan transaksi sebelum jatuh temponya dengan melakukan set-off terhadap selisih harga, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka islam jelas melarangnya. Mufti Taqi Usmani juga mengatakan bahwa transaksi futures yang ada saat ini tidak sesuai syariah karena dua hal: Pertama, transaksi tersebut tidak dilaksanakan efektif pada waktu jatuh temponya. Kedua, pada saat kontrak dibuat, transaksi tersebut tidak dimaksudkan untuk direalisasikan. Disamping itu, menurut hemat penulis, transaksi futures tersebut juga tidak sesuai syariah karena dalam prakteknya saat ini transaksi futures tidak berhubungan langsung dengan fisik barang sehingga tidak memberikan nilai tambah kepada sektor produktif/riil dan semata-mata digunakan untuk tujuan spekulasi. Transaksi derivatif saat ini termasuk dalam kategori zero-sum game karena selisih harga yang harus dibayar/diselesaikan antara harga saat kontrak dibuat dengan harga saat jatuh temponya didebetkan ke rekening satu pihak dan dikreditkan kepihak lainnya. Oleh karenanya, transaksi derivatif disebut juga contract of differences.

Solusi Islam

Sebagaiamana diuraikan diatas, transaksi derivatif yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengelola dan mengendalikan risiko tetapi dalam perkembangannya telah menjadikan risiko itu sendiri sebagai komoditas dan oleh karenanya dianggap memiliki nilai dan dapat diperdagangkan. Resiko itu sendiri adalah sesuatu yang abstrak, tidak berwujud dan tidak merepresentasikan nilai sehingga oleh karenanya tidak dapat diperdagangkan. Ibnu Taymiah 670 tahun yang lalu telah membedakan risiko kedalam dua kategori. Pertama, risiko yg berhubungan dengan aktivitas ekonomi riil, yang dapat menghasilkan kekayaan atau nilai tambah. Kedua, risiko yang tidak berhubungan dengan aktifitas ekonomi riil, zero-sum activities dan tidak menciptakan nilai tambah. Jenis risiko yang pertama adalah sah dan justru diperlukan dalam kegiatan ekonomi untuk mendorong spirit dan inovasi yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, adalah menjadi kewajiban kita untuk mengelola dan mengendalikan risiko tersebut sehingga daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomi riil tetap positif. Untuk itu diperlukan upaya yang meliputi strategi, proses, produk dan instrument untuk mengelola dan mengendalikan risiko, yang didalam bahasa sekarang disebut dengan rekayasa keuangan (financial engineering) tetapi dengan tujuan dan cara-cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kata kunci dalam rekayasa keuangan ini adalah inovasi dan kreatifitas dalam penciptaan produk dan instrumen yang sesuai syariah dengan tujuan untuk memberikan solusi terhadap berbagai masalah keuangan.

Setiap inovasi akan menghasilkan perubahan, tetapi hanya perubahan yang memberikan value atau nilai tambah yang dapat diterima sedangkan perubahan yang justru mengakibatkan kerusakan haruslah ditolak. Begitu pula halnya dengan kreatifitas yang pada dasarnya timbul karena adanya berbagai keterbatasan. Keterbatasan yang kita hadapi atau miliki saat ini, seperti lingkungan bisnis dan peraturan yang belum mendukung, kuantitas dan kualitas sumber daya insani yang belum memadai serta keterbatasan lainnya, haruslah menjadi stimulant bagi timbulnya kreatifitas yang memberikan nilai tambah bagi kemajuan industri keuangan.

Prinsip Islam

Dalam melakukan upaya-upaya inovatif dan kreatif tersebut, islam memberikan berbagai pedoman atau prinsip yang harus diperhatikan, yaitu antara lain: keseimbangan, interdependensi, akseptabilitas, dan integrasi.

1). Keseimbangan: ini merupakan prinsip islam secara umum dan tentunya berlaku bagi setiap kegiatan ekonomi dan keuangan islam, termasuk kegiatan kreatif dan inovatif dalam penciptaan proses, instrument dan produk keuangan. Ekonomi islam tidak semata-mata berorientasi kepada keuntungan finansial untuk pelaku individu tetapi juga keuntungan sosial untuk masyarakat dan alam sekitar. Bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga kepentingan akhirat. Konsekwensinya, setiap proses, instrument dan produk keuangan yang dihasilkan harus memenuhi kedua kepentingan tersebut.

2). Kerjasama dan Interdependensi: Untuk dapat menerapkan prinsip keseimbangan tersebut, cara-cara yang dilakukan haruslah bersifat kerjasama dan saling ketergantungan, bukan persaingan, seperti semakin banyaknya usaha bersama secara terbuka dibidang teknologi informasi, yang salah satunya lazim dikenal dengan sebutan “open sources”. Bisnis dotcom seperti yahoo, google dan facebook berkembang pesat karena juga menerapkan prinsip kebersamaan dan ketergantungan sesama penggunanya. Bisnis tersebut memadukan atau menyeimbangkan antar kepentingan mendapatkan keuntungan dengan kepentingan sosial. Dengan cara ini, maka pengembangan proses, instrumen dan produk keuangan dapat dilakukan secara produktif, optimal dan efisien.

3). Akseptabilitas: Dalam dunia muamalah atau bisnis, islam mengajarkan bahwa segala sesuatu itu boleh kecuali secara tegas dilarang. Artinya, kesempatan sangat terbuka luas bahkan nyaris tanpa batas untuk melakukan kreasi dan inovasi sepanjang hasilnya lebih memberikan manfaat daripada mudharat. Batasan atau larangan yang ada terutama terhadap kegiatan yang tidak berkeadilan seperti riba dan gharar. Riba memisahkan kegiatan disektor keuangan/moneter dengan kegiatan disektor riil atau produktif. Riba telah mengakibatkan kegiatan keuangan jauh melampaui kegiatan riil sehingga menimbulkan ekonomi gelembung dan akhirnya terjadi krisis ekonomi karena prinsip keseimbangan dan interdepensi antara kegiatan di kedua sektor ekonomi tersebut dilanggar. Gharar dilarang karena didalamnya terdapat unsur-unsur yang meragukan atau tidak jelas yang mengakibatkan timbulnya risiko. Transaksi gharar adalah transaksi yang hanya mendasarkan pada risiko tersebut dan bukan pada barang atau obyek yang nyata. Oleh karenanya gharar disebut sebagai “trading in risk”. Keragu-raguan atau ketidak jelasan dalam transaksi tersebut menghambat kegiatan ekonomi menjadi produktif dan efisien.

4). Integrasi: Untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang berimbang dan berkelanjutan, islam mengharuskan adanya interaksi dan integrasi antara sektor moneter/keuangan dan sektor riil. Setiap pertambahan nilai uang sebesar satu rupiah harus diimbangi dengan pertambahan barang dan jasa disektor riil dengan nilai yang sama. Faktor waktu (masa) dan risiko merupakan prasyarat dan harus pula saling berinteraksi dan berintegrasi bagi upaya pertumbuhan dikedua sektor ekonomi tersebut secara seimbang. Faktor waktu merupakan variabel dari riba dan faktor risiko merupakan variabel dari gharar. Dengan menjaga keduanya tetap berinteraksi dan berintegrasi, baik antar keduanya maupun dengan kegiatan ekonomi riil, maka riba dan gharar dapat dihindari, dan pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan disektor moneter dan sektor riil secara terintegrasi akan efisien dan berkesinambungan.

Instrumen Islam untuk Lindung Nilai

Sebagaimana telah diuraikan dimuka bahwa transaksi derivatif pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya lindung nilai terhadap hasil-hasil dari kegiatan ekonomi di sektor riil. Tetapi dalam praktiknya, transaksi derivatif telah terlepas dari kegiatan di sektor riil dan menjadi ajang spekulasi.

Dalam rangka upaya lindung nilai, pada dasarnya ada 3 pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: economic hedging, cooperative hedging dan contractual hedging. Berbagai instrumen keuangan islam seperti murabahah, mudharabah dan musyarakah, dapat digunakan sebagai upaya lindung nilai tersebut sesuai dengan karakteristik transaksi atau risikonya. Uraian lebih lanjut tentang ketiga pendekatan dengan instrumen keuangan islam tersebut akan disampaikan dalam kesempatan selanjutnya.



HADIS MENGENAI 73 GOLONGAN

Ungkapan bahwa umat Rasulullah SAW akan terbagi menjadi 73 kelompok memang berasal dari sebuah hadits. Hadits itu memang benar adanya dan shahih.

Diantaranya adalah hadits berikut ini :

إن أهل الكتاب تفرقوا في دينهم على اثنتين و سبعين ملة و تفترق هذه الأمة على ثلاث و سبعين كلها في النار إلا واحدة و هي الجماعة

Dari Muawiyah bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah SAW bersabda,? Umat sebelummu dari ahli kitab terpecah menjadi 72 millah (aliran). Dan agama ini (Islam) terpecah menjadi 73. 72 diantaranya di neraka dan satu di surga. Yaitu Al-Jamaah. (HR. Abu Daud)

Dalam kitab syarah (penjelasan) Sunan Abi Daud yaitu kitab Aunul Ma`bud disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-jamaah adalah ahli Al-Quran Al-Karim, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu yang bergabung untuk mengikuti Rasulullah SAW dalam segala halnya. Mereka tidak membuat-buat bid’ah yang merusak, merubah atau membawa pendapat yang rusak.

Juga ada banyak lagi hadits lainnya yang senada, salah satunya adalah hadits berikut ini :

أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيل تَفَرَّقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَة , وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اِثْنَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَة , كُلّهَا فِي النَّار إِلَّا وَاحِدَة قَالَ : وَهِيَ الْجَمَاعَة

فإن بنى إسرائيل افترقوا على إحدى وسبعين فرقة والنصارى على اثنتين وسبعين فرقة وإن أمتى ستفترق على ثلاث وسبعين فرقة كلها على الضلالة إلا السواد الأعظم من كان على ما أنا عليه

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,? Yahudi terpecah menjadi 71 firqah, nasrani terpecah seperti itu juga. Sedangkan umatku terpecah menjadi 73 firqah. (HR. At-Tirmizy, nomor 2564 – Kitabul iman bab Ma Ja`a fi iftiraqi hazdhihil ummat. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Namun Rasulullah SAW tidak pernah menyebutkan identitas dan nama-nama ke-72 golongan yang beliau sebutkan itu. Beliau hanya menyebutkan kriteria atau sifat-sifat satu golongan yang selamat yaitu mereka yang berpegang teguh pada sunnahnya (manhajnya) dan sunnah (manhaj) para pengikutnya. Sehingga memang masih tersisa pertanyaan buat kita, siapakah atau kelompok manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW itu?

Namun sebagai pengantar latar belakang sejarah, usia umat Islam ini sudah mencapai 1400-an tahun dan hingga hari ini Islam dipeluk oleh tidak kurang 1,5 Milyar manusia. Bila kita telusuri sejarah, maka jumlah kelompok, organisasi, jamaah, paham, mazhab, aliran dan apapun jenisnya sungguh sangat banyak, tidak terbatas pada angka 73 saja. Lagi pula tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah yang dimaksud oleh beliau sebagai firqah yang jumlahnya 73 itu bentuknya jamaah, organisasi, paham, aliran, kelompok, tanzhim, atau mazhab?

Sedangkan satu firqah yang oleh beliau dikatakan satu-satunya yang selamat yaitu ahlus-sunnah wal jamaah?, dalam konteks pemahaman yang disepakati adalah sebuah pemahaman aqidah/tauhid. Bukan mazhab fiqih, nama organisasi, kelompok, jamaah atau lainnya. Namun bila kita telusuri paham aqidah di luar ahlus-sunnah wal jamaah, kita mendapati bahwa paham-paham itu jumlahnya jauh memebihi angka 72 buah, apalagi bila dihitung sejak zaman nabi hingga hari ini dimana umat Islam telah tersebar luas dari Maroko sampai Maroke. Maka jumlahnya mencapai jutaan bahkan puluhan juta paham/aliran.

Karena itu dari pada mengurusi atau mencari-cari siapakah yang dimaksud 72 firqah yang sesat itu, lebih baik kita berkonsentrasi agar kita bisa dimasukkan dalam kriteria satu firqah yang selamat yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Caranya dengan mempelajari sunnah beliau SAW dari segala sisi dan aspek kehidupan seperti aqidah, syariah, akhlaq, sosial, politik, hukum, ekonomi dan lain-lainnya. Juga tidak lupa kita mengikuti pula apa yang telah disunnahkan oleh para khalifah beliau dan para ulama yang mewarisi kenabian. Dan selama Rasulullah SAw tidak memerintahkan kita untuk menelusuri ke-72 firqah itu, buat apa capek-capek dan bersibuk-sibuk mencari kambing hitam?. Toh bila kita menunjuk hidung? kelompok tertentu, belum tentu mereka mau menerimannya.

Kalaupun ketika kita mempelajari suatu aliran atau jamaah lalu kita mendapati ada hal-hal yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi, bukan berarti kita boleh terburu-buru memasukkannya ke dalam kelompok 72 firqah yang sesat. Yang lebih baik justeru kita melakukan pendalaman ilmu agama, ta`lim, pelurusan, penyesuaian dengan cara yang terbaik, terbuka, rendah hati dan dengan niat yang bersih hanya mencari ridha Allah.



AKHLAK MUSLIM

IFTITAH

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam al-Quran surat al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (QS al-Qalam [68]: 4).

Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi Saw., dan salah satunya yang paling populer adalah,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR Ahmad dari Abu Hurairah)

Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keaneka-ragaman tersebut.

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى
Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam (QS al-Lail [92]: 4).

Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut,antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.

BAIK DAN BURUK

Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?

Tulisan ini tidak akan mengarungi samudera pemikiran yang dalam lagi sering menenggelamkan itu, namun kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya.Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut.Terdapat sekian banyak ayat al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS al-Balad [90]: 10).

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8)
…dan (demi) jiwa serta penyempurnaaaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (QS asy-Syams [91]: 7-8).

Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.

Al-Quran ٍSurat (QS) Thaha (20): 121 menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga,

فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى ءَادَمُ رَبَّهُ فَغَوَى
Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.

Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk,dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.

Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan — jika terjadi– terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa al-Quran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia tetap dinilai baik (ma’ruf).

Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir,hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci dan bersih). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (menjadi) Yahudi, Nasrani atau Majusi. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Seorang sahabat Nabi Saw. bernama Wabishah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi Saw., lalu beliau menyapanya dengan bersabda:

جِئْتَ تَسْأَلُ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَجَمَعَ أَصَابِعَهُ فَضَرَبَ بِهَا صَدْرَهُ وَقَالَ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ ثَلَاثًا الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
“Engkau datang menanyakan kebaikan dan dosa?” “Benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah. Rasulullah pun bersabda — seraya merapatkan jari-jemarinya dan menepukkan tangan ke dadanya — : “Tanyailah hatimu, wahai Wabishah sebanyak tiga kali! “Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.” (Hadis Riwayat Ahmad dan ad-Darimi).

Dengan demikian menjadi amat wajar jika ditemukan ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya — setidaknya pada awal masa perkembangan — tidak akan sulit melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan keburukan.

Salah satu frase dalam surat al-Baqarah ayat 286 menyatakan:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Oleh beberapa ulama, frase ini kerap dijadikan sebagai bukti apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat “yang dilakukan” terulang dua kali: yang pertama adalah terjemah dari kata kasabat dan kedua terjema dan kata iktasabat.

Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar menyatakan kata iktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan. Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan,sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).

Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fithrah (asal kejadian manusia). Dalam al-Quran surat ar-Rum (30): 30 dinyatakan:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban, sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu (QS Al-Isra’ [17]: 14).

PERTANGGUNGJAWABAN

Atas dasar uraian di atas, al-Quran membebaskan manusia untuk memilih kedua jalan yang tadi disebutkan, tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak boleh membebani orang lain untuk memikul ebani orang lain untuk memikul ain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam al-Quran Surat (QS) al-An’am, 6: (ayat) 164; QS al-Isra’, 17: 15 dan QS al-Baqarah, 2: 286 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran:

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS al-An’am [6]: 164)

مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS Al-Isra’ [17]: 15).

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Dari gabungan kedua ayat ini, kita dapat memetik paling tidak dua kaedah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:

1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.

Di sisi lain, ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak.

Al-Quran secara tegas menyatakan:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS al-Baqarah [2]: 225).

… فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ …
…tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya… (QS Al-Baqarah [2]: 173).

Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS an-Nahl [16]: 106) .

Al-Quran surat al-Isra’ ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang anak agar menghormati kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia mereka sudah tua (karena ketika telah uzur boleh jadi mereka melakukan hal-hal yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata uf (cis), dan harus memilih kata-kata yang baik, sambil merendahkan diri kepada keduanya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا(23)وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا(24)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia; Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS al-Isra’ [17]: 23-24)

Ayat ini disusul dengan firman-Nya:

رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا
Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan memaaafkan sikap dan ke1akuan yang telah kamu lakukan dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di luar kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra’ [17]: 25).

TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK

Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.

Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. al-Quran suci Surat (QS) Thaha (20): 8 menegaskan:

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
(Dialah) Allah tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma’ Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).

Rasulullah Saw. juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”

MENELADANI AKHLAK RASULULLAH SAW

Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab: “خُلُقُهُ الْقُرْآنَ”, sebagaimana hadis berikut:

سُئِلَتْ عَائِشَةُ عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
‘Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, maka dia pun menjawab: “Akhlak beliau. adalah al-Quran (Diriwayatkan oleh Ahmad dari al-Hasan).

Semua sifat Allah tertuang dalam al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.

Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. Ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempatkasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya’ (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw. melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda:

“Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini.”

Seseorang yang berusaha meneladani sifat al-Kibriya’ tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan,

“Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah”.

Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, al-Quran juga menegaskan bahwa:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman [31]: 18).

Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan — dan bukan kaya materi — sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 273)

Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS Fathir [35]: 15).

Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.

Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda antara seseorang dengan yang 1ain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda,dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.

SASARAN AKHLAK

Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia,serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.

Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).

Berikut upaya pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak Islamiyah.

1. Akhlak terhadap Allah

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.

Mahasuci engkau — Wahai Allah — kami tidak mampu memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu.

Demikian ucapan para malaikat.

Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah “al-hamdulillah”). Dalam al-Quran surat an-Naml (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ سَيُرِيكُمْ ءَايَاتِهِ فَتَعْرِفُونَهَا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah, “Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.”

سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ(159)إِلَّا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ(160)
Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).

Teramati bahwa semua makhluk –kecuali nabi-nabi tertentu– selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.

تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Asy-Syura [42]: 5).

وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ وَيُرْسِلُ الصَّوَاعِقَ فَيُصِيبُ بِهَا مَنْ يَشَاءُ وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللَّهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ
Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya. (QS ar-Ra’d [13]: 13).

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS al-Isra’ [17]: 44).

Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka –sebelum memuji-Nya– bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.

Tidak sedikit ayat al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai “wakil”. Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9:

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
(Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).

Kata “wakil” bisa diterjemahkan sebagai “pelindung”. Kata tersebut pada hakikatnya terambil dari kata “wakala-yakilu” yang berarti mewakilkan.

Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.

Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.

Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh. Pertama sekali harus diingat bahwa keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai contoh, Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu akan berakibat gugurnya makna keesaan.

Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika demikian “perwakilan”-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.

Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa –berdasarkan pengetahuan dan keinginannya– tindakan sang wakil merugikan. Jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula Kemahamutlakan Allah Swt. Oleh karena itu, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS al-Baqarah, 2: 216).

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS al-Ahzab [33]: 36).

Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.

Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.

Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu,Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil.

Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.

Perintah bertawakal kepada Allah — atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil — terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. perhatikan misalnya al-Quran Surat (QS) al-Anfal, 8: (ayat) 61:

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Yang lebih jelas lagi adalah dalam al-Quran surat al-Maidah, [5] 23:

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi ni`mat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS an-Nisa’ [4]: 79).

Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang Muslim mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.

Perhatikan pengajaran Allah dalam al-Quran surat al-Fatihah:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat,bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).

Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas “yang telah Engkau anugerahi nikmat”. Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan “jalan orang-orang yang Engkau murkai,” tetapi “yang dimurkai,” karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah.

Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS Asy-Syu’ara’ [26]: 80).

Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa “Dia (Allah) yang menyembuhkan”.

Sekali lagi, bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s. bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir a.s.).

Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap “Aku ingin merusaknya” (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah “Maka Tuhanmu menghendaki” (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah “Maka kami berkehendak” (ayat 81). Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik.

2. Akhlak terhadap Sesama Manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS al-Baqarah [2]: 263).

Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. –misalnya — dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia 1ain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS al-Hujurat [49]: 2).

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nur [24]: 63).

Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati.

Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (QS an-Nur [24]:27).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS an-Nur [24): 58).

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS an-Nisa' [4]:86).

Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS al-Baqarah [2]: 83).

Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, (QS al-Ahzab [33]: 70).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ(12)
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS al-Hujurat [49]:11-12) .

Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah –seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. — menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS an-Nur [24]: 22).

Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat Ali Imran (3): 134, yaitu:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa “Anda boleh melakukan perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan hak orang lain”,tetapi dalam al-Quran ditemukan anjuran, “Anda hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan Anda sendiri.”

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS al-Hasyr [59]: 9).

Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita) — seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.

3. Akhlak terhadap Lingkungan

Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.

Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.”

Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Karena itu dalam al-Quran surat al-An’am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya –seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya– “Tidak boleh diperlakukan secara aniaya.”

Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.

قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. (QS al-Hasyr [59]: 5).

Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfatannya”, demikian kandungan penjelasan Nabi Saw. tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi, “Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh).” Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

مَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ
Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka. (QS al-Ahqaf [46]: 3).

Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan.

Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat ni`mat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan, “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, (QS az-Zukhruf [43]:13)

Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.

Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. Bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.

Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,

Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.

Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti “perendahan”. Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS al-Jatsiyah [45]:13).

Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.

Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda:

Agama adalah hubungan interaksi yang baik.

Beliau juga bersabda:

Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi).

(Disadur dan diselaraskan dari tulisan M. Quraish Shihab dalam Buku Wawasan Al-Quran, untuk kepentingan Diskusi dan Pengajian Akhlak)




SIKAP KITA TERHADAP SETAN

Setan merupakan salah satu dari makhluk Allah SWT yang pada dasarnya diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT sebagaimana manusia diciptakan juga untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini karena setan berasal dari golongan jin yang sama-sama diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

“Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali supaya mengabdi kepada-Ku.” (QS adz-Dzâriyât [51]: 56).

Kita mengenal sejarah godaan setan kepada manusia bermula interaksi anergis antara Adam-Hawa dengan Iblis. Adam-Hawa berasal dari golongan manusia, sedang Iblis berasal dari golongan jin.

Disebutkan dalam firman Allah SWT:

“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada Adam[1]. Maka sujudlah mereka kecuali iblis. dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain Aku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (QS al-Kahfi [18]: 50).

Di dalam al-Quran, Allah SWT mengemukakan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap setan dan menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita bersikap kepadanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang baik di dunia ini sehingga membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

1. Setan sebagai Saudara

Dalam bersikap kepada setan, ada manusia yang menjadikannya seperti saudara sehingga ia memiliki sifat-sifat yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh setan, satu diantaranya adalah melakukan apa yang disebut dengan tabdzîr dalam penggunaan harta, yakni menggunakan atau membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sedikit apalagi banyak. Dalam bahasa kita hal ini diistilahkan dengan pemborosan, karena mengandung kesia-siaan.

Orang yang melakukan hal ini disebut dengan mubazir. Harta yang kita miliki, sebanyak apapun dia sangat banyak yang membutuhkannya baik untuk keluarga sendiri yang memang sangat berhak maupun orang lain seperti orang miskin dan orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, Allah SWT berfirman:

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS al-Isrâ’ [17]: 26-27).

2. Setan sebagai Pemimpin dan Pelindung

Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan pemimpin, namun manusia tidak boleh sembarangan memilih pemimpin, karena hal itu bisa mengakibatkan persoalan yang sangat pelik. Namun yang amat disayangkan adalah ada manusia yang menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai pemimpin sehingga kepemimpinan itu membawa akibat negatif yang sangat besar, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS an-Nahl [16]: 99-100).

Kata sulthân (kekuasaan) dalam ayat di atas berasal dari kata as-Sâlith yang maksudnya adalah minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu yang menggunakan sumbu. Ini berarti sulthân adalah keterangan atau bukti yang menjelaskan sesuatu dengan terang dan mampu meyakinkan pihak lain, baik benar maupun salah. Setan memang memiliki kemampuan untuk memperdaya manusia, namun yang bisa diperdaya oleh Setan hanyalah orang-orang yang lemah imannya, yang menjadikannya sebagai pemimpin, sama seperti virus sebuah penyakit yang hanya akan menimpa orang-orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat.

Penggunaan kata “wali” (pelindung) terhadap setan juga disebutkan dalam firman Allah SWT:

“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 257).

Ini berarti ada manusia yang menjadikan setan sebagai pemimpin dan pelindung. Kata “wali” bermaksud sesuatu yang langsung datang atau berada sesudah sesuatu yang lain, tidak ada perantara di antara keduanya. Ketika Allah SWT atau setan yang dijadikan sebagai wali oleh manusia, itu artinya manusia memiliki hubungan yang sangat dekat sehingga langsung ditolong, dibantu dan dilindungi. Ketika Allah SWT yang dijadikan sebagai wali (pemimpin dan pelindung), maka Allah SWT akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan kepada cahaya yang terang, yakni petunjuk hidup yang benar, namun ketika manusia menjadikan setan sebagai wali, maka setan akan mengeluarkan manusia dari jalan hidup yang benar (cahaya) kepada kegelapan atau kesesatan yang banyak.

3. Setan sebagai Kawan

Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendirian, ia membutuhkan kawan yang dapat menghibur dikala duka, yang dapat membantu dikala susah dan menemaninya dikala sepi, bahkan memecahkan persoalan saat menghadapi masalah. Karena itu, manusia seharusnya menjadikan orang-orang yang baik dan shaleh sebagai kawan, karenanya Allah SWT berpesan kepada setiap mukmin untuk selalu berkawan kepada orang-orang yang shiddîq (benar), Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS at-Taubah [9]: 119).

Karena itu amat disayangkan bila manusia menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai kawan dekatnya, akibatnya merebaklah berbagai kejahatan yang disebarluaskan oleh setan, karena setan dan pengikut-pengikutnya hanya akan membuat manusia menempuh jalan hidup yang sesat hingga berujung ke neraka, Allah SWT berfirman:

“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya dan membawanya ke azab neraka .” (QS al-Hajj [22]: 4)

4. Setan sebagai Musuh

Sikap terbaik yang harus ditunjukkan oleh manusia terhadap setan adalah menganggap dan menjadikannya sebagai musuh yang harus diperangi dan diwaspadai setiap saat. Setan harus diperlakukan sebagai musuh karena sepak terjangnya dalam kehidupan kita menjadi kendala besar bagi kita untuk bisa menjadi muslim yang sejati, Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 208)

Disamping itu, seruan Allah SWT untuk memperlakukan setan sebagai musuh tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tapi juga kepada seluruh umat manusia, karena ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya dan ia tidak boleh menghalalkan segala cara dalam upaya mencapainya, Hal ini karena, meskipun manusia tidak beriman kepada Allah SWT atau tidak menjadi muslim, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetap saja mereka yang tidak beriman kepada Allah-pun tidak membenarkan upaya yang menghalalkan segala cara, Allah SWT berfirman:

“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168).

Keharusan manusia menjadikan setan sebagai musuh juga karena dalam kehidupan bersama, manusia sangat mendambakan kedamaian hidup, sedangkan setan selalu menanamkan perselisihan, permusuhan ke dalam jiwa manusia hingga akhirnya terjadi peperangan; tidak hanya dengan kata-kata tapi juga perang secara fisik dengan korban harta dan jiwa yang sedemikian banyak serta membawa dampak kejiwaan yang negatif, dan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia, Allah SWT berfirman:

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi manusia.” (QS al-Isrâ’ [17]: 53).

Manakala kita siap menjadikan setan sebagai musuh, maka setiap kita harus waspada 24 jam setiap harinya, memiliki kesiapan untuk “berperang” dengannya dalam arti tidak ada kompromi dengan setan, memiliki daya tahan yang kuat untuk menghalau godaan setan dan memohon perlindungan kepada Allah SWT dari gangguan-gangguan setan, bila ini yang kita lakukan, maka kita bisa menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benar takwa.


[1] Sujud di sini berarti: menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri. Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.






PANDANGAN AL-QUR'AN TENTANG BAIK DAN BURUK

Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk. serta tentang pencipta kelakuan tersebut. yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?

Tulisan ini tidak akan mengarungi samudera pemikiran yang dalam lagi sering menenggelamkan itu. namun kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik. dan juga sebaliknya. lni berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut. Terdapat sekian banyak ayat al-Quran yang dipahami menguraikan hal hakikat ini, antara lain:

Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan[1] (QS Al-Balad [90]: 10).

7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

8. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS asy-Syams [91]: 7-8).

Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.

Al-Quran surat Thaha (20): 121-123 menguraikan bahwa Iblis menggoda Adam sehingga, durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.

121. Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia[2].

122. Kemudian Tuhannya memilihnya,[3] maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.

123. Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Redaksi ini menunjukkan bahwa sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat. Walaupun kemudian Adam bertobat kepada Tuhan, sehingga ia kembali lagi pada kesuciannya.

Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep- konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan-jika terjadi-terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadapkonsep- konsep moral, yang disebut ma’rûf dalam bahasa Al-Quran. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain. Perbedaan-perbedaan itu-selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum-maka ia tetap dinilai baik (ma’rûf).

Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis Nabi Saw. pun antara lain menginformasikannya:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ

Tidak ada anak yang dilahirkan (oleh orangtuanya) kecuali (dilahirkan) dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi. Nasrani, atau Majusi (HR Bukhari).

Seorang sahabat Nabi Saw. bemamaWabishah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi Saw. , lalu beliau menyapanya dengan bersabda:

جِئْتَ تَسْأَلُ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَجَمَعَ أَصَابِعَهُ فَضَرَبَ بِهَا صَدْرَهُ وَقَالَ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ ثَلَاثًا الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

“Engkau datang menanyakan kebaikan dan keburukan?” “Benar, wahai Rasul, ” Jawab Wabishah.Rasululah saw. berkomentar serasa merapatkan jari-jemari tanggannya dan menepukkan telapak tangannya ke dada, sambil berrsabda: “Tanyailah dirimu, tanyailah hatimu wahai Wabishah sebanyak tiga kali! “Kebajikan adalah sesuatu yang menyebabkanjiwa menjadi tenang, dan yang menenteramkan hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa” (HR Ahmad dan ad-Darimi dari Wabishah bin Ma’bad al-Asadi).

Dengan demikian menjadi amat wajar jika ditemukan ayat- ayat Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia pada hakikatnya-setidaknya pada awal masa perkembangan tidak akan sulit melakukan kebajikan. berbeda halnya dengan melakukan keburukan.

Salah satu frase dalam surat al-Baqarah ayat 286 menyatakan.

Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya.

Frase ini kerap dijadikan oleh beberapa ulama sebagai bukti apa yang disebut di atas. Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat “yang dilakukan ” terulang dua kali: yang pertama adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua teremahan dari kata iktasabat.

Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar menyatakan kata iktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, memberi arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan. Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).

Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fithrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum (30): 30 dinyatakan.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[4],

Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban, sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:

Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu (QS al-Isra’ [17]: 14).


[1] Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan.

[2] Yang dimaksud dengan durhaka di sini ialah melanggar larangan Allah Karena lupa, dengan tidak sengaja, sebagaimana disebutkan dalam ayat 115 surat ini. Dan yang dimaksud dengan sesat ialah mengikuti apa yang dibisikkan syaitan. Kesalahan Adam a.s. meskipun tidak begitu besar menurut ukuran manusia biasa sudah dinamai durhaka dan sesat, karena tingginya martabat Adam a.s. dan untuk menjadi teladan bagi orang besar dan pemimpin-pemimpin agar menjauhi perbuatan-perbuatan yang terlarang bagaimanapun kecilnya.

[3] Maksudnya: Allah memilih nabi Adam a.s. untuk menjadi orang yang dekat kepada-Nya.

[4] Fitrah Allah: maksudnya “ciptaan Allah”. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.





MORAL HAZARD DALAM TRANSAKSI EKONOMI:perspektif al qur'an -hadis

Moral hazard atau perilaku jahat dalam ekonomi adalah tindakan pelaku ekonomi yang menimbulkan kemudharatan baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Untuk menjustifikasikan apakah suatu tindakan ekonomi merupakan moral hazard ataukah bukan, perlu mempelajari prinsip-prinsip dari transaksi yang Islami, yang dihalalkan ataupun yang diharamkan.

Prinsip transaksi Islami[1]:

  1. Ada kerelaan antarpihak yang bertransaksi (suka sama suka).
  2. Adil (keseimbangan dalam pandangan berbagai segi antar pelaku ekonomi/tidak mezalimi dan tidak dizalimi (lâ tazhlimûna walâ tuzhlamûn) dan terdapat empat batasan :
    • tidak boleh ada mafsadah (no externalities) = tidak zalim terhadap lingkungan
    • tidak boleh ada gharar (uncertainty with zero sum game) = tidak zalim terhadap pasangan pelaku transaksi
    • tidak boleh ad maisîr (uncertainty with zero sum game in utility exchange) = gharar akibat pertukaran manfaat
    • tidak boleh ada riba (exchange of liability) = gharar akibat pertukaran kewajiban
  3. Jelas ( dalam status transaksi, ukuran, timbangan, kualitas, harga)
  4. Tidak memakan hak orang lain secara paksa
  5. Bermanfaat

Prinsip transaksi yang terlarang dalam Islam:

  1. Terdapat unsur pemaksaan
  2. Terdapat unsur kezaliman
  3. Gharar/tidak jelas
  4. Memakan hak orang lain
  5. Mengandung mudharat

Jenis-jenis aktivitas ekonomi/transaksi yang terlarang dalam Islam

1. Pencurian, perampokan, korupsi. Tindakan ini merupakan usaha untuk mengambil hak atas milik pihak lain dengan cara paksa. Aktivitas ini merupakan moral hazard yang sifatnya universal, karena semua masyarakat di dunia menyepakati sebagai tindakan yang terlarang.

2. Perjudian/maisir; mencari keuntungan ekonomis sekadar dari spekulasi, tanpa hasil yang riil. Contoh kongkritnya adalah perjudian dengan media apapun, seperti: kartu, olahraga, SDSB, Valas dan Saham. Unsur uncertainty/ketidakpastian bukan spekulasi, begitu juga game of chance bukan judi. Hanya bila suatu tindakan bergantung sepenuhnya pada hasil game of chance ia termasuk mengundi nasib, dan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain ia tergolong maisir dan hal ini terlarang. Bila tidak zero sum game maka tidak disebut judi, contohnya undian bagi Nabi Yusuf a.s. dan Bunyamin yang hadiahnya disediakan pihak ketiga, maka halal karena tidak ada pihak yang dirugikan.

3. Najasiy; tindakan penjual menaikkan harga barang dengan melakukan konspirasi dengan pihak lain, agar orang suruhan tersebut menawar atau memuji produknya sehingga pembeli lain terpaksa mengikuti harga yang ditentukan penjual. Ibnu Umar ra berkata, “ asululah Saw. Pernah melarang najasiy”. Contoh riil dari najasiy adalah tindakan George Soros yang menyebar isu kelangkaan US-dollar agar harga US-dollar melambung; contoh lainnya adalah penjual saham perusahaan yang terancam bangkrut dengan menyuruh kolega-koleganya agar memburu sahamnya, dan harga sahamnya akan melambung karena diburu pembeli saham yang tidak tahu kondisi riil perusahaan dan mengira perusahaan tersebut menguntungkan.

4. Tallaqî rukbân; membeli dengan harga rendah dari orang yang tidak tahu, menjual dengan harga tinggi atau mencari keuntungan pribadi dengan memanfaatkan asimetric-information/keeidaktahuan pelaku pasar lainnya atau mencari keuntungan sekadar dengan memanfaatkan selisih harga dari ketidaksempurnaan pasar; contoh konkritnya adalah calo terminal, BPPC. Nabi s.a.w. pernah bersabda: “jangan hendaknya sebagian kamu menjual atas penjualan sebagian yang lain, dan janganlah kamu sekalian menyongsong barang dagangan sehingga diturunkan ke pasar”

Dan dari Abdullah bin Umar r.a. “ pernah kami menyongsong para penunggang unta, dan kami beli dari mereka bahan makanan, maka Nabi Saw melarang menjualnya sampai tiba di pasar bahan makanan”.. Dan menurut riwayat lain: “Mereka membeli bahan makanan di pasar sebelah atas, lalu menjualnya di tempat itu juga. Maka Rasulullah Saw melarang mereka menjualnya ditempat itu sehingga memindahkannya ke tempat lain”.

5. Ihtikâr; menimbun barang yang telah dibeli pada saat harga barang bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga barang lebih tinggi lagi pada saat dibutuhkan penduduk setempat atau lainnya. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.: “Barang siapa melakukan penimbunan untuk merusak pasar sehingga harga naik tajam maka ia berdosa”.

Contoh kongkrit iktikar saat ini adalah para spekulan valas yang menimbun dollar agar harga dollar melambung dan menjualnya saat harga diyakini merupakan harga tertinggi. Iktikar semacam inilah yang telah menghancurkan perekonomian Asia Tenggara.

6. Monopsoni; membeli dengan harga rendah tanpa kewajaran, sehingga merugikan penjual. Contoh kongkritnya adalah mafia tembakau yang memaksa petani agar menjual dengan harga rendah. Contoh lainnya adalah para spekulan barang-barang waktu kerusuhan sampit, yang memaksa korban kerusuhan untuk menjual barang dengan harga sangat rendah di luar batas kewajaran.

7. Riba; usaha untuk mengambil keuntungan dari pinjaman (riba nasiah), atau perdagangan yang tidak jelas harganya (riba fadhl). Kongkritnya adalah rentenir, Perbankan konvensional, Hutang luar negeri dengan bunga, tukar-menukar barang yang tidak jelas harganya (tukar tambah).

8. Politik Dumping/Predator Pricing; tindakan menghancurkan saingan bisnis dengan cara menjatuhkan harga di luar batas kewajaran, hingga saingan jatuh kemudia menaikkan lagi. Umar bin Khattab ra pernah mengetahui tindakan ini, kemudian mengancam penjual tersebut, “ naikkan hargamu atau keluar dari negeri ini”

9. Ekploitasi; mengambil manfaat dari kerja orang lain dengan upah yang tidak layak menurut kebiasaan masyarakat. Rasulullah s.a.w. melarang untuk memberikan pekerjaan yang di luar kemampuan manusia. Jika terpaksa dilakukan, harus dibantu. Selain itu upah harus dibayarkan tepat waktu, tidak boleh ditunda. Saat ini salah satu bentuk eksploitasi adalah TKW yang tidak dibayar oleh majikan berbulan-bulan.

10. Penipuan usaha untuk memperoleh keuntungan dari pihak lain dengan memanfaatkan ketidak tahuan orang lain/dengan sengaja memanipulasi informasi. Contoh: mengurangi timbangan, ukuran dan kualitas palsu.

Rasulullah s.a.w. lewat pada seonggokan bahan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya pada onggokan tersebut, maka jari-jemarinya mengenai sesuatu yang basah, lalu bertanya, “apa ini hai pemilik makanan?” jawabnya: “terkena hujan, ya Rasulullah” Sabdanya pula, “ Tidakkah kamu letakkan saja di sebelah atas makanan ini, supaya semua orang tahu. Siapa yang melakukan penipuan terhadap umatku dia buka dari golonganku”.

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ(١) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ(۲) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ(٣)

“Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang; (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi;. dan apabila mereka menakar dan menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS al-Muthaffifin, 83; 1-3).

11. Jual beli untuk tujuan yang mengandung mudharat (menjual barang untuk tujuan yang merugikan orang lain). Misalnya menjual pedang/pistol pada orang yang jelas punya niat untuk membunuh. Kerjasama dengan musuh umat Islam, yang bisa digunakan untuk menghancurkan Islam sendiri.

12. Jual beli barang dan jasa yang terlarang (daging babi, khamr dan bangkai). Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.: “barang siapa menahan anggur di musim panen sehingga dapatlah ia menjualnya kepada orang yang membikinnya jadi arak, maka benar-benar ia telah menceburkan diri ke dalam api berterang-terangan” dari Abdullah bin Buraidah. “Allah SWT melaknat bangsa Yahudi, pernah diharamkan atas mereka lemak, maka mereka cairkan lemak-lemak itu , lalu mereka jual hasilnya dan mereka makan harganya”.

13. Pemalsuan uang. Dalam fiqh dinamakan maghyûsiy. Al-Ghazali membolehkan pemerintah mencetak uang selain emas dan perak asal nilainya dijamin/dijaga dan tidak boleh mengubahnya. Ibnu Khaldun berpendapat sama. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut tetapi oleh banyaknya produksi barang dan jasa serta neraca pembayaran yang positif.

Menghadapi kendala al-akhlâq al-madzmûmah (akhlak tercela) itu, maka jelas perlu kontrol pemerintah. Maka Rasulullah Saw membentuk lembaga kontrol pasar (Wilâyatul Hisbah) untuk mengawasi moral hazard dalam pasar dan juga distorsi pasar. Para muhâsib ini ditugasi untuk melakukan inspeksi ke pasar. Lembaga hisbah ini paling agresif pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Pada zaman pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur dari dinasti Abbasiah, beliau mengangkat Zakariyyah Yahya Ibn Abdullah sebagai pemimpin lembaga Hisbah tingkat federal.

Sebagai muhasib tingkat federal maka dia sadar akan keterbatasannya, maka dibentuk lembaga Hisbah negara bagian. Lembaga ini memantau pasokan barang, harga, moral hazard, memfasilitasi transportasi dan akomodasi untuk keperluan bisnis. Lembaga Hisbah ini dalam era sekarang merupakan gabungan dari departemen keuangan, perdagangan, dan pertanian.


۱يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS an-Nisa’, 4: 29)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar