Pekerjaan Perumpuan
Yusuf Assidiq
Pada masa Turki Usmani, peran perempuan di bidang medis berkembang pesat.
Memberi kesempatan perempuan berperan bukan hal yang asing. Konsep ini telah berkembang di masa awal Islam. Terus berlangsung pada masa pemerintahan Islam dan saat peradaban umat mencapai titik tertinggi. Pintu terbuka luas bagi perempuan. Mereka bergerak di berbagai bidang pekerjaan.
Dalam buku Women and Wage Labour in Medieval Islamic West, Maya Shatzmiller menjelaskan, naskah-naskah Islam abad ke-11 dan ke-15 Masehi menunjukkan keterlibatan perempuan di ranah pekerjaan profesional. Sejumlah pekerjaan memang hanya berlaku bagi mereka, ada juga yang dikerjakan laki-laki dan perempuan.
Pada saat itu, ungkap Shatzmiller, keterampilan perempuan Muslim sudah lebih hebat dibandingkan perempuan di Barat. Para penguasa pun tidak mengabaikan kontribusi mereka. Lebih jauh, mereka tergerak membuat kebijakan terkait dengan para pekerja perempuan.
Melalui pekerjaan yang digelutinya, perempuan memperoleh penghasilan layak. Tercatat beberapa jenis pekerjaan yang ditekuni perempuan di sepanjang abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi. Salah satunya adalah menjadi ibu susu. Di Jazirah Arab dan kawasan Islam lain, tradisi mempekerjakan perempuan untuk ibu susu masih bertahan.
Tradisi tersebut telah ada sejak lama. Nabi Muhammad SAW pernah disusui oleh Halimatus Sa'diah. Olah karena itu, profesi sebagai ibu susu sangat dihormati dan dihargai di kalangan masyarakat Muslim. Naskah tulisan Ibnu Juzayy, seorang hakim Granada, Andalusia, mengungkapkan perhatian umat terhadap pekerjaan ini.
Terbukti, ulama dan ahli hukum menyusun seperangkat aturan khusus, seperti kriteria keluarga yang dapat mempekerjakan perempuan sebagai ibu susu. Keluarga itu mempunyai pendapatan tetap. Ibu si anak, menderita sakit sehingga membuatnya tak bisa menyusui anaknya atau tak bisa memproduksi air susu dalam jumlah mencukupi.
Jenis pekerjaan lainnya adalah sebagai penata rambut dan merias pengantin. Pekerjaan ini membutuhkan keahlian khusus dan memang hanya dimiliki perempuan. Keterampilan mereka diminati, terutama untuk merias mempelai wanita pada acara perhelatan pernikahan.
Para penata rambut dan rias ini mendapatkan imbalan yang memadai. Dari situ, mereka dapat menambah keuangan keluarga. Bahkan, membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan lainnya. Seniman juga menjadi salah satu bidang yang terbuka bagi perempuan pada masa-masa pemerintahan Islam.
Kebanyakan mereka menjadi penyanyi atau penari. Philip K Hitti melalui karyanya, History of the Arabs, menyebut nama seorang penyanyi yang terkenal pada masa Abbasiyah berjuluk al-Mu'tashim. Perempuan-perempuan Arab Muslim sangat mahir di bidang seni.
Mereka mampu menggubah puisi sekaligus bersaing dengan laki-laki di bidang sastra. Hitti mengatakan, pada masa itu perempuan memiliki andil dalam mencerahkan masyarakat dengan kecerdasan, kemampuan bermusik, serta keindahan suara yang mereka punyai.
Abu Muhammad bin Zayd, hakim dari Qayrawan yang hidup pada abad ke-10 Masehi, menyatakan, ada aturan khusus yang diberlakukan bagi para musisi perempuan. Karena di antara mereka yang berstatus sebagai budak. Peraturan itu dibuat untuk melindungi hak-hak mereka.
Para penyanyi yang masih berstatus budak, berhak menerima upah dari pekerjaan yang dilakoninya. Sang majikan tidak bisa meminta bagian karena pendapatan itu diperoleh dari hasil kerja keras dan keahlian mereka sendiri. Ketika perempuan ini meninggal dunia, seluruh pendapatan diberikan kepada keluarganya.
Mengemuka pula pandangan lain, yang menyatakan majikan mereka berhak menerima bagian dari hasil pendapatan dari menyanyi itu. Sebagian perempuan bekerja di sektor industri, khususnya tekstil. Mereka menjalani pekerjaan sebagai ahli tenun yang menghasilkan kain sutra.
Fakta ini disingkapkan oleh sejarawan yang hidup pada abad ke-15 Masehi, bernama al- Saraqusi. Perempuan-perempuan itu menjalani pekerjaannya di perusahaan besar yang ada di sentra industri tekstil, seperti di Persia, Kazakhstan, Mesir, dan sejumlah sentra industri tekstil di wilayah lainnya.
Ada pula yang membuka usaha secara mandiri. Mereka menenun kain dan menjualnya sendiri kepada para pembeli. Catatan historis dari periode itu menyebut adanya pungutan pajak kepada pekerja tekstil wanita. Juga pemilik usaha tenun rumahan. Pajak yang dikenakan berjumlah 11 persen dari hasil produksi barang yang nantinya dijual.
Perantara jual beli adalah aktivitas lain yang dijalani perempuan. Maya Shatzmiller menyatakan, peran sebagai perantara sangat penting dalam memperlancar kegiatan perdagangan. Keterampilan mereka dibutuhkan untuk menjembatani bisnis yang ditekuni oleh pengusaha perempuan.
Perempuan juga berperan sebagai perantara dalam perdagangan buku. Al-Saraqusti memperkuat bukti-bukti adanya kegiatan kaum wanita pada arus transaksi perekonomian di sejumlah wilayah Islam. Sementara itu, sejarawan Muslim, Said bin Hasan, memberikan sanjungan pada kiprah perempuan di bidang medis.
“Tenaga medis perempuan sangat terampil dalam menangani masalah kesehatan khusus perempuan dan ragam penyakit lainnya,” ungkapnya. Peran mereka begitu dihargai. Nil Sari dalam buku Medicine Medical History, menambahkan, keberadaan perempuan di bidang kedokteran Islam mencakup sejumlah pekerjaan.
Mereka mengisi posisi tenaga penyuluh kesehatan, perawat, hingga dokter. Lingkup kerja mereka sangat luas. Bahkan, terlibat dalam penanganan operasi pasien. Prestasi luar biasa tenaga medis perempuan mengalami perkembangan lebih pesat pada masa kekuasaan Turki Usmani. Dokter perempuan bekerja di rumah sakit dan istana. ed: ferry kisihandi
Seperangkat Panduan Pekerja Perempuan
Kian banyaknya perempuan menekuni pekerjaan di sejumlah bidang, diiringi beberapa perdebatan. Menurut Maya Shatzmiller dalam Women and Wage Labour in the Medieval Islamic West, perdebatan biasanya berhubungan dengan kedudukan perempuan dari sudut pandang agama.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah perempuan diperbolehkan bekerja? Jika boleh, apakah penghasilan yang mereka terima bisa disimpan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau diberikan kepada suami? Karena sensitifnya masalah ini, panguasa dan ulama menaruh perhatian khusus.
Shatzmiller menuturkan, alih-alih melarang, umat Islam justru memberikan peluang besar bagi perempuan yang ingin bekerja. Mereka berkesempatan memanfaatkan keahlian yang dikuasainya. Sejarawan Muslim, Ibnu Arafa, mengatakan, para perempuan sudah menekuni beragam pekerjaan sejak abad pertengahan.
Untuk melindungi hak, martabat, dan kedudukan perempuan di tengah masyarakat, pemerintah dan para ulama memandang perlu ada aturan mengenai keberadaan pekerja perempuan itu. Mereka diperkenankan bekerja dan menerima upah dari hasil jerih payahnya.
Penguasa menerbitkan peraturan sedangkan ulama membentengi dengan fatwa. Semua untuk menjamin eksistensi para pekerja perempuan. Di wilayah Maghribi, kini Afrika dan Andalusia, terdapat aturan mengenai pekerja perempuan. Biasanya disesuaikan dengan aturan ketenagakerjaan dan aturan rumah tangga.
Misalnya, tentang tata cara perekrutan, jam kerja, aktivitas kerja, hari libur, serta upah. Sebuah risalah pada abad ke-16 Masehi yang ditulis al-Wansharisi dan berjudul Mi'yar, menceritakan tentang pekerja perempuan itu. Juga aturan dan fatwa para ulama seputar aktivitas pekerjaan perempuan.
Tak hanya itu, al-Wansharisi juga menulis soal penentuan upah, perlindungan pekerja, dan kontrak kerja. Naskah berharga ini ditulis ulang pada tahun 1896-1897, terdiri atas 13 volume. Dari risalah klasik tersebut, tersingkap keterkaitan peran perempuan dalam menggeliatkan bidang industri dan ketenagakerjaan di dunia Islam. ed: ferry kisihandi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar