Powered By Blogger

Rabu, 01 Desember 2010

renungan

http://photosfoto.com/wp-content/uploads/2009/09/Foto-Alam-Luar-Angkasa.jpg

Yaqub bin Tariq, Astronom Muslim Paling Awal


Yusuf Assidiq

Yaqub memadukan pemikiran dari India, Persia, dan Yunani.

Penerjemahan karya asing memberi kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, termasuk penerjemahan buku dari India, Sindhind, yang menjadi salah satu pijakan bagi ilmuwan Muslim untuk mendalami astronomi. Sarjana Muslim yang berjasa dalam proyek penerjemahan itu adalah Ibrahim al-Fazari.

Namun, sebenarnya proyek ini tak hanya digarap al-Fazari. Beberapa sumber sejarah menyingkapkannya. Salah satunya disampaikan oleh Abraham bin Ezra, sarjana keturunan Yahudi pada abad ke-12. Dia menduga juga keterlibatan Yaqub bin Tariq, ilmuwan Muslim asal Persia, dalam penerjemahan.

Penegasan yang sama pun disampaikan Ahmad Dallal, Sheila Blair, Jonathan Bloom, dan Majid Fakhry dalam Sains-sains Islam. Buku yang diedit John L Esposito itu menyebutkan adanya andil Yaqub bin Tariq. Lebih jauh terungkap bahwa al-Fazari dan Yaqub bin Tariq menerjemahkan Sindhind pada 771 Masehi.

Proses penerjemahan dilakukan di bawah pengawasan seorang astronom India yang mengunjungi istana Khalifah al-Mansyur. Ketika penerjemahan selesai dilakukan, para ilmuwan Muslim berlomba-lomba menghasilkan karya dan temuan terbaik pada bidang astronomi.

Karya terjemahan tersebut pada akhirnya menjadi acuan bagi para sarjana Muslim lainnya. Hingga seabad berikutnya, muncul karya ilmiah terjemahan dari bahasa Yunani berjudul Almagest, yang disusun Ptolemeus. Hal ini kian menggairahkan kajian astronomi di dunia Islam sepanjang abad pertengahan.

Terkait dengan penerjemahan buku dari India yang menjadi rujukan para astronom, nama al-Fazari ikut melambung. Buku-buku sejarah memberinya ruang cukup luas dalam mengangkat kehidupan dan kiprah intelektualnya. Ia lantas dikenal luas sebagai astronom Muslim yang berpengaruh.

Sebaliknya, tak banyak sumber historis yang mengulas Yaqub bin Tariq. Sebenarnya, pemikirannya dalam bidang astronomi juga berpengaruh. Sejumlah kalangan mengatakan, ia bisa disejajarkan dengan para astronom kondang, seperti al-Battani, al- Biruni, dan Tsabit bin Qurah.

Sejarawan Eropa, Jan P Hogendijk, mencoba menelusuri rekam jejak Yaqub bin Tariq. Hasil kajiannya ia tuangkan ke dalam tulisan bertajuk New Light on Lunar Visibility Theory of Yaqub bin Tariq. Hogendijk menegaskan, Yaqub bin Tariq termasuk seorang astronom Muslim paling awal.

Menurut Hogendijk, Yaqub menghabiskan masa hidupnya di Baghdad, Irak. Sebelum terlibat dalam proyek penerjemahan Sindhind, ia sudah melakukan kerja-kerja ilmiah. Hal itu ia lakukan semakin intens seiring masuknya pengaruh dari buku yang ikut ia terjemahkan tersebut.

Sebagai salah satu aktor penting dalam pengalihbahasaan itu, Yaqub memahami benar inti dari astronomi yang dikembangkan di India, termasuk sistem lingkaran orbit yang ditemukan Brahmasphutasiddhanta, penulis Sindhind. Berdasarkan buku itu, ia melakukan kajian dan pengamatan lebih mendalam.

David Pingree dalam buku The Fragments of the Works of Yaqub bin Tariq, Yaqub mampu membuat perhitungan mengenai perkiraan jarak antarplanet, diamater benda, angkasa, hingga perkiraan tahapan bulan sabit. Yaqub menggabungkan pemikiran dari India, Persia, dan Yunani.

Secara garis besar, Yaqub menghasilkan perpaduan antara parameter India dan elemen asli Persia, juga beberapa dari periode helenistik pra-Ptolemaik. Demikian yang tertulis dalam buku Sains-sains Islam. Beberapa pemikiran Yaqub merefleksikan penggunaan metode hitung India.

Selain juga terdapat penggunaan fungsi sinus dalam trigonometri, sumber-sumber sejarah berbahasa Arab belakangan juga memuat sejumlah rujukan terkait zij al-shah yang dikembangkan Yaqub. Ini merupakan sebuah koleksi tabel astronomi berdasarkan pada parameter India dan disusun pada masa Dinasti Sasaniyah, Persia.

Yaqub menuliskan sebuah risalah berjudul Tarkib al-Aflak, atau Penentuan Orbit. Karya itu termasuk rintisan dalam pembahasan mengenai astronomi dan kosmografi pada ranah intelektualitas Islam. Di dalamnya berisi uraian sangat perinci tentang konsep garis orbit planet-planet.

Perhitungan Yaqub

Selain itu, ia pun mampu memperkirakan jarak antarplanet dengan memakai teknik perhitungan dari India. Prestasinya yang lain, imbuh sejarawan sains Kim Plofker pada buku The Biographical Encyclopedia of Astronomers, yakni kemampuannya mengukur dimensi bumi dan benda angkasa.

Dalam perhitungannya, Yaqub menggunakan satuan hitung farsakh. Satu farsakh sama dengan 6,23 km. Menurut hasil perhitungan kala itu, ia mengatakan, luas permukaan bumi sebesar 1,050 farsaks. Sedangkan, planet lainnya, semisal Venus, Jupiter, Saturnus, atau matahari, bisa mencapai 20 ribu farsakh.

Pemikiran-pemikiran Yaqub mengundang pujian dari para ilmuwan. Al-Biruni (973-1050) memandang Tarkib al-Aflak sebagai satu-satunya naskah astronomi Islam yang membahas dengan akurat mengenai kajian kosmografi yang bersumber dari tradisi peradaban India kuno.

Yaqub pun mengungkapkan teori kemunculan bulan baru. Pada masa modern, gagasan itu dikenal dengan penentuan bulan sabit. Berabad-abad silam Yaqub telah berhasil mengukur tahapan bulan sabit, baik melalui perhitungan digit maupun tabel. Karya lain yang ditulisnya adalah Kitab al-Ilal (Buku tentang Sebab Akibat).

Sang ilmuwan menuangkan seluruh alasan, ide, gagasan, maupun pemikirannya dalam risalah ini, terutama penjelasan tentang aturan trigonometri yang digunakan pada tabel buatannya. Beberapa bagian dari naskah itu dikutip al-Biruni. Salah satunya menyangkut dasar-dasar trigonometri pada tabel sinus.

Dari penjelasan Yaqub, angka paling tepat untuk perhitungan astronomi dalam rumus trigonometri antara lain 34-38. Hasil pemikiran ini terus menjadi bahan kajian dan penelahaan oleh para saintis di seluruh dunia hingga berabad-abad kemudian. ed: ferry kisihandi


Para Perintis

Maraknya kajian astronomi di dunia Islam tidak mewujud secara tiba-tiba. Kerja keras dan dedikasi para saintis Muslim awal menjadi salah satu pemicu. Dari karya dan pemikiran mereka, akhirnya memunculkan gelombang penelitian lanjutan oleh para astronom Muslim dan Eropa pada masa berikutnya.

Beberapa tokoh memberikan jasa dalam merintis kajian ini. Di samping Yaqub bin Tariq, yang wafat pada 796 Masehi, tercatat nama Ibrahim al-Fazari. Keduanya berhasil menerjemahkan buku Sindhind dari India yang sangat fenomenal. Buku itu dibawa ke Baghdad pada 771 Masehi.

Selain membawa ilmu perbintangan dari tradisi India, al-Fazari dan Yaqub turut mencantumkan tabel perhitungan yang dihimpun pada masa Dinasti Sasaniyah di Persia. Periode penerjemahan berlanjut, naskah Almagest karya Ptolemeus juga menarik minat penerjemah.

Pada masa berikutnya, ilmuwan Muslim bernama al-Hajjaj bin Mathar menyajikan dua karya luar biasa yang selesai ditulis pada 828 Masehi. Kemudian, hadir pula naskah ilmiah dari Hunayn bin Ishaq. Karya ini lantas direvisi oleh Tsabit bin Qurah sekitar akhir abad ke-8.

Bidang astronomi abad pertengahan memasuki era baru dengan dibangunnya fasilitas observatorium pertama. Khalifah al-Ma'mun memerintahkan ilmuwan Yahudi yang baru masuk Islam, Sind bin Ali, sebagai pengawasnya. Al-Fazari berhasil membuat astrolabe, sebuah instrumen untuk memperkirakan lokasi matahari, bulan, planet, dan bintang.

Ali bin Isa al-Asthurlabi pada 830 Masehi membuat karya ilmiah tertua yang mengupas tentang astrolabe. Banu Musa ikut terlibat pengembangan astronomi setelah menyusun penghitungan luas bumi, demikian pula al-Khawarizmi, yang mengajukan sebuah tabel astronomi (zij) yang gemilang.

Hasil penelitian maupun pemikiran dari para pakar astronomi Muslim awal sangat menentukan gerak keilmuan bidang ini pada masa selanjutnya. Teori maupun konsep mereka pada aspek perbintangan digunakan di seluruh wilayah Islam, Eropa, hingga Cina.




SAAT PENGLIHATAN KEMBALI TAJAM

Assalamu'alaikum,


Syukur alhamdulillah sepatutnya kita selalu ucapkan kepada pencipta kita yaitu Allah swt yang dengan salah satu dari sekian banyak ciptaannya yaitu mata, kita bisa melihat dan membaca tulisan ini. Mata adalah anugerah Allah yang tak ternilai harganya. Tidak ada satu pun teknologi di dunia ini yang mampu membuat mata atau yang sepertinya. Dengan mata kita mampu melihat keindahan dunia. Laut dengan panorama sunrise dan sunsetnya, pegunungan dengan air terjunnya. Taman dengan bunga-bunganya yang berwarna cerah ceria dan berbagai macam keindahan alam lainnya.

Sesuai dengan apa yang dikatakan al Quran, bahwa segala sesuatu nanti pasti binasa, mata pun begitu dan juga mempunyai umur atau masa pakai. Biasanya semakin berumur seseorang, maka penglihatannya semakin kabur atau tidak jelas atau bisa jadi malah semakin tajam. Tetapi ada juga yang masih muda tetapi penglihatannya sudah kabur, begitupun ada pula yang sejak muda sampai masa tua penglihatannya tetap tajam. Penglihatan yang dimaksud adalah penglihatan mata hati. Kemampuan seseorang membaca tanda-tanda alam dan ayat-ayat Allah di masa ini sungguh-sungguh merupakan perjuangan. Kabut hedonisme dan awan gelap materialisme semakin hari semakin tebal, memaksa kita memicingkan mata untuk melihat lebih jelas apa yang ada didepan kita.

Kesenangan duniawi saat ini sangat mudah membutakan mata dan melupakan datangnya hari akhir. Manusia berlomba-lomba menimbun kekayaan tanpa mau berpikir lagi tentang perlu tidaknya bersyukur. Dunia memang tempat yang ampuh untuk membutakan mata.

Tapi ternyata, ada saatnya nanti ketika mata kita yang rabun, bisa kembali tajam daya lihatnya, bahkan yang sudah buta sekalipun. Kapankah itu ? Al Qur'an menjelaskan tentang hal ini di surat Qaaf ayat 20 sampai 22.

20. Dan ditiuplah sangkakala, dan demikian itulah hari yang dijanjikan (kiamat)

21. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.

22. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.

Sayang....saat mata kita kembali tajam, bukan pemandangan indah lagi yang terlihat. Melainkan hari pembalasan yang setiap manusia tidak dapat lari darinya. Semoga bisa menjadi dijadikan pelajaran bagi kita semua untuk menggunakan mata dan juga kehidupan pemberian dari Allah ini dengan sebaik-baiknya.


Wassalamu'alaikum




KEMANA TUHAN?....

Assalamu'alaikum,


Tuhan menurut al-Qur'an, adalah hakikat yang mutlak (al-Haqq), sementara semua bentuk ketuhanan yang lain adalah salah (bathil), mereka hanyalah nama. Ia bukanlah suatu bentuk proyeksi pikiran manusia, seperti diduga oleh Feurbach, juga Tuhan bukan produk kebencian orang-orang yang kecewa, seperti kata Nietzsche. Bukan pula sebuah ilusi orang-orang yang masih kekanak-kanakan, seperti pendapat Freud. Juga bukan seperti dugaan Marx, suatu candu masyarakat, suatu hiburan yang dipersembahkan demi keuntungan pribadi.

Tuhan menurut al-Qur'an adalah Dia yang selalu hidup (al-Hayy al-Qayyum), yang melampaui batasan tata ruang dan waktu, Yang Pertama (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhir), Yang Nyata (al-Zhahir) dan Tersembunyi (al-Bathin). Hakekat Tuhan yang pasti adalah tidak dapat diketahui, karena Ia melampaui semua pengertian.

Berulang kali al-Qur'an menyebut bahwa Tuhan selalu hadir dan dekat, bahkan dalam kenyataannya lebih dekat dari urat leher manusia. Apa maksudnya ? Tentu, ini bukan berarti pengertian fisik Tuhan yang berada atau dekat, meskipun dalam kenyataannya dekat dengan manusia. Ini mengimplikasikan, seperti ditunjukkan oleh konteks itu, bahwa Tuhan selalu sadar dan memperhatikan gerak hati dan tindakan-tindakan luar manusia, dengan harapan bahwa manusia akan menahan diri dari tujuan-tujuan yang tidak disukai oleh Penciptanya.

Seiring berputarnya waktu, bergantinya zaman dan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, banyak tuhan-tuhan baru yang tercipta. Manusia tidak lagi mengenal atau bahkan enggan mengenal Tuhan dengan "T" besar. Setiap keputusan yang dibuat dalam kehidupannya selalu menomer sekiankan Tuhan dan menomer satukan dirinya.

Teolog kontroversial Jerman, Hans Kung dalam bukunya Does God Exist ?, menceritakan kisah yang menunjukkan kesombongan hati sejumlah ilmuwan sekular. Ketika ditanya apakah ia meyakini adanya Tuhan, seorang pujangga dan tokoh filsafat besar mengatakan: "Tentu tidak, saya adalah seorang ilmuwan". Sedangkan filsafat al-Qur'an tentang alam semesta akan mendorong seorang ilmuwan menjawab, "Ya, tentu, meskipun saya adalah seorang ilmuwan".

Muhammad Iqbal dengan tepat sekali mengingatkan bahwa pengetahuan ilmiah yang tidak mempertinggi dan tidak dikaitkan pada agama adalah iblis. Ia menulis, "Akal yang diceraikan dari cinta adalah durhaka (seperti iblis), sedangkan akal yang disiram dengan cinta pastilah memliki sifat ketuhanan". Dan inilah yang akhir-akhir ini seringkali kita lihat atau dengar di lingkungan sekitar kita, tentang seseorang yang dianggap berilmu tetapi ilmu itu digunakan untuk melawan atau memutar balikkan perintah Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta.

Semua ciptaan di alam semesta ini semisal malaikat, langit, semut dan bahkan petir adalah penting untuk secara spiritual, dalam arti bahwa ciptaan-ciptaan itu pun menyerukan pujian kepada Tuhan dalam kondisi yang melampaui pengertian manusia (QS 17:44). Walaupun begitu, semua alam semesta ini dijadikan untuk dimanfaatkan oleh manusia.

Pemanfaatan ini adalah untuk mempertinggi tujuan penciptaan manusia yang sebenarnya, yaitu untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan sesuai dengan surat Adz Dzaariyaat 56, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". Tuhan sendiri tidak memerlukan balasan berupa pemberian dari manusia atas diciptakannya mereka beserta alam semesta ini (QS 51:57), karena Tuhan-lah Dzat yang selalu hidup (al-Hayy al-Qayyum) dan berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun atau apapun (QS 2:255). Sehingga apabila seorang manusia dalam seumur hidupnya selalu beribadah pun tidak akan menambah keagungan Tuhan itu sendiri, melainkan memberikan keuntungan dan kebaikan terhadap manusia itu sendiri secara lahir dan bathin, untuk di dunia dan terlebih lagi untuk di akhirat.

Sedangkan manusia sendiri mempunyai banyak kelemahan. Disebutkan dalam al-Qur'an, manusia adalah mahluk yang enggan dan kikir (QS 17:100), mahluk yang paling banyak bantahannya (QS 18:54), sangat sedikit dalam mensyukuri nikmat (QS 7:10), tidak sabar dan suka berkeluh kesah (QS 70:19-20), suka melampaui batas dan merasa kaya (QS 96:6). Disebutkan lagi, manusia adalah mahluk yang mencintai kehidupan dunia dan tidak memperdulikan akibat dari perbuatan mereka di hari akhir (QS 76:27) dan lain sebagainya. Maka terlihat jelas, manusia-lah yang membutuhkan Tuhan dan bukan sebaliknya. Manusia akan selalu membutuhkan Tuhan dalam segala aspek kehidupannya agar menjadi insan yang lebih baik.

Kebebasan manusia, akal dan cabang-cabangnya yang lain, begitu juga alam semesta yang besar ini, haruslah digunakan bukan semata-mata demi kenikmatan tetapi sebagai suatu bentuk beribadah. Dengan cara ini, dimensi spiritual terdalam semua mahluk yang dimanfaatkan manusia untuk beribadah akan mendatangkan keserasian dalam tujuan dan tatanan penciptaan, bukan lagi kekacauan.

Oleh karena itu, sudah saatnya setiap kita, manusia, saya dan anda, semakin memahami konsep Tuhan seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan selalu melibatkan Tuhan dalam setiap ruas kehidupan kita. Bukan untuk keuntungan Tuhan, tapi demi kita, manusia itu sendiri.


Manusia dilahirkan
dari rahim seorang ibu
yang mengandungnya selama 9 bulan.
Kemana Tuhan ?

Manusia tumbuh besar dan dewasa
Melihat dunia yang baru untuknya
dan terpesona dengan keindahannya
Lalu kemana Tuhan ?

Manusia bercanda tawa
Manusia bergembira ria
Menjadi manusia bertahta
Kemana Tuhan ?

Manusia diberi akal
untuk mencerna setiap ciptaan
yang tak tertandingi setiap insan
Lalu kemana Tuhan ?

Ketika seorang manusia tersungkur
dalam lembah kesedihan yang dalam
mencari makna hidup yang keras
Tak terhitung airmata yang terkuras
Sekali lagi, kemana Tuhan ?

Manusia lalu bertambah tua
Uban tumbuh di setiap ruas kepala
Tanpa tahu harus kemana berlari
sampai akhirnya ajal menanti
tanpa bekal amal yang berarti

Tuhan pun datang
dan Dia bertanya,
Fa-aina tadzhabuun ?
kemana kamu sekalian hendak pergi?

Lalu sang hamba pun tersungkur lagi
melihat azab yang telah menanti...


Wassalamu'alaikum




Hermeneutika, sebuah jawaban atau.....

Assalamu'alaikum,


Hari Sabtu yang lalu tanggal 25 Februari saya berkesempatan untuk hadir dalam seminar yang bertajuk "Pro-Kontra Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir" yang diadakan di gedung Pusat Studi Qur'an (PSQ) di jalan Fahrudin, Tanah Abang. Acara yang dimulai pukul sembilan pagi itu menghadirkan tiga pembicara yaitu,

1). Dr.H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A.g, staf pengajar fakultas agama Islam dan Magister studi Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan pengasuh tetap tafsir Al-Qur'an pada majalah mingguan Suara Muhammadiyah, Yogyakarta.
2). Dr. Andi Faisal Bakti, dosen Ilmu Komunikasi pada fakultas Dakwah dan Komunikasi dan program pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Mengambil gelar doktoralnya di McGill University, Canada tahun 2000 dan juga seorang peneliti di International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden, The Netherlands.
3). Prof Dr H Nasaruddin Umar, MA, Guru Besar dan dosen Progam Pascasarjana IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta.

Saya baru bisa hadir dalam seminar itu sekitar jam setengah sepuluh dan ketika itu yang sedang menyampaikan presentasinya adalah Dr.H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A.g. Beliau menyampaikan seputar sejarah Hermenutika yang berasal dari tradisi penafsiran Bible. Menurutnya Bible sejak awal memang sudah bermasalah dengan teksnya, oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstual dan dilihat dari sosio-historis si penulis dalam menafsirkan Bible.

Metode Hermeneutika ini dapat mengajak pembaca suatu teks untuk memahami isi teks tersebut lebih baik daripada si penulis teks. Seperti kita ketahui, Bible mempunya beberapa penulis yang dianggap mendapat inspirasi dari roh kudus seperti Markus, Yohannes, Matius dan sebagainya. Oleh karena itu heremeneutika ini dianggap bisa membuat si pembaca teks lebih mengerti dibandingkan si pembuat teks.

Sedangkan untuk al Qur'an, semua umat muslim di seluruh dunia mengakui bahwa kitab ini adalah kalamullah. Lafaz dan maknanya adalah dari Allah (lafdzan wa ma'nan minallah), yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw melalui perantara Jibril. Sehingga metode hermenutika ini tidak cocok untuk diterapkan dalam menafsirkan al Qur'an. Karena apakah kita bisa untuk memahami al Qur'an lebih baik daripada Yang membuat teks al Qur'an tersebut, yaitu Allah SWT ? Naudzu billah min dzalik.

Presentasi kedua disampaikan oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar, MA. Beliau dalam menyampaikan pendapatnya terkesan bersikap di tengah-tengah. Artinya beliau sebagian menyetujui penolakan yang dilontarkan oleh pembicara pertama terhadap Hermeneutika dan sebagian lagi menyetujui metode Hermeneutika. Prof Dr H Nasaruddin Umar, MA intinya mengatakan bahwa sebaiknya umat muslim tidak perlu apriori terhadap metode ini, karena metode ini tetap dapat digunakan dalam menafsirkan teks lain selain al Qur'an, misalnya teks tafsir. Karena tafsir ini masih buatan manusia yang tidak luput dari kesalahan, maka metode Hermeneutika ini masih bisa diaplikasikan pada teks-teks tafsir tersebut.

Presentasi ketiga disampaikan oleh Dr. Andi Faisal Bakti. Rupanya beliau inilah yang cukup ditunggu-tunggu oleh para audiens seminar. Sesaat setelah berada di podium untuk menyampaikan presentasinya, beliau mengakui bahwa dirinya adalah termasuk yang pro atau menerima metode Hermeneutika dalam penafsiran al Qur'an. Beliau menjelaskan bahwa keinginan menggunakan metode ini adalah karena menurutnya, tafsir-tafsir yang ada sekarang berada dari zaman klasik sehingga tidak mampu menyaingi perkembangan zaman masa kini, maka tidak heran umat muslim sampai sekarang tidak atau belum mampu menyaingi Barat dalam berbagai sisi.

Misalnya dalam makalah yang ditulis oleh pak Andi, beliau dalam menafsirkan surat an Nur ayat 31 tentang jilbab, disitu yang tertera adalah kata juyub atau sekitar wilayah dada wanita (maaf) saja yang disebutkan mesti ditutup dan tidak menyebutkan bagian lain seperti kepala, leher, kuping dan lainnya oleh karena itu bagian yang lain tidak terlalu penting untuk ditutupi dan yang terpenting menurut beliau adalah bagian juyub nya. Logika apakah ini ? ini sama saja seperti logika dari IAIN Semarang yang membuat buku "Indahnya Nikah Sesama Jenis" dan mendukung kawin sesama jenis karena di Qur'an tidak ada larangan itu. Seperti kata Adian Husaini, di Qur'an juga tidak ada larangan nikah dengan monyet, lalu apakah mereka nanti akan membuat buku "Indahnya Menikah Dengan Monyet" ?

Alumnus dari McGill, Canada itu juga mengatakan bahwa Hermeneutika ini dikatakan sebagai penyelamat kaum wanita. Berkali-kali beliau mengatakan kalimat-kalimat yang cukup mengandung "feminisme", dan terlihat seperti berusaha untuk memprovokasi kaum wanita di ruangan seminar tersebut, misalnya dengan seringnya beliau mengatakan bahwa wanita harus terus berjuang untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, wanita tidak boleh kalah dengan laki-laki. Ternyata beliau pun cukup sering memutarbalikkan ayat-ayat Al Qur'an dengan bahasa-bahasa yang sebenarnya cukup sulit untuk dimengerti oleh para audiens. Misalnya pak Andi mengatakan bahwa ayat itu (saya lupa ayatnya) seharusnya tidak memakai titik karena dulu al Qur'an tidak ada tanda bacanya.

Itu terbukti ketika setelah ketiga pembicara menyampaikan makalahnya. Moderator menunjuk tiga orang dari audiens untuk tanya jawab dengan para pembicara. Salah satunya ada seorang bapak yang sebagian rambutnya telah memutih dan memakai baju koko, beliau terlihat sederhana sekali. Tangan bapak itu terlihat bergetar ketika memegang mic seperti gugup. Beliau memberikan tanggapan-tanggapan sebanyak tiga point utama yang cukup memperlihatkan bahwa dia adalah salah seorang yang kontra dengan metode Hermeneutika.

Yang menarik adalah ketika bapak itu memberikan point yang ketiga, yaitu beliau meluruskan penafsiran yang dilakukan oleh Dr. Andi Faisal Bakti. Bapak itu mengatakan bahwa pak Andi telah melakukan kesalahan yang cukup fatal dalam membuang titik dalam suatu ayat (saya lupa ayat apa), karena apabila titik itu dibuang maka artinya apabila digabung dengan kalimat sebelumnya akan menjadi sangat tidak pas dalam susunan kalimatnya. Bapak itu memberikan contohnya yang kemudian disambut tepuk tangan riuh para audiens. Ketika mic nya dikembalikan ke depan, moderator pun mengucapkan, "Terima kasih kepada bapak......., perlu kita ketahui bahwa beliau adalah seorang guru besar ilmu tafsir al Qur'an di sebuah Perguruan Tinggi". Serentak para audiens pun berkata, "Ooo...pantes...".

Setelah sesi tanya jawab, giliran Dr. Quraish Shihab yang memberikan pernyataan. Beliau banyak memberikan saran agar para sarjana-sarjana muda yang belajar di Barat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan metodologi yang digunakan dalam menafsirkan teks terutama teks al Qur'an. Walaupun ada anggapan bahwa beliau kurang tegas dalam masalah jilbab dan ini bukan berarti bahwa beliau tidak mewajibkan. Terlihat dari pemaparan beliau, bisa dikatakan beliau cukup kontra dengan metode Hermenutika ini dan bahkan mengeluarkan beberapa pernyataan yang sedikit menyentil para penganut Hermeneutika termasuk pak Andi Faisal.

Setelah pak Quraish memberikan tanggapan, giliran tiga pembicara tadi memberikan tanggapan balik atas pertanyaan-pertanyaan dari tiga audiens tadi dan pernyataan pak Quraish. Satu persatu, masing-masing pembicara memberikan tanggapan setiap pernyataan dari para audiens dan pak Quraish dengan baik dan lancar. Yang cukup menarik adalah setelah pak Andi memberikan tanggapan atas tiga audiens tadi, ketika giliran menanggapi pernyataan pak Quraish, pak Andi sambil senyum dan dengan raut wajah yang sedikit segan mengatakan, "Maaf, saya tidak bisa menjawab atau menanggapi pernyataan pak Quraish". Para audiens kembali dibuat tertawa oleh ulah seorang Doktor lulusan McGill, Canada tersebut.

Setelah itu acara selesai dengan penutupan dari moderator yang intinya mengatakan bahwa penilaian buruk atau baik dari penggunaan metode Hermenutika ini sebagai manhaj tafsir dikembalikan kepada para hadirin. Seorang bapak disamping saya bergumam sambil beranjak dari tempat duduknya mengatakan, "Ya sudah jelas toh gimana penilaiannya....".

Saya jadi berpikir, hermeneutika yang diagung-agungkan oleh pengusung Islam Liberal ini apakah sebuah jawaban ataukah sebuah dagelan ? mengingat di seminar itu para audiens lebih banyak tertawanya dibandingkan manut-manut tanda setuju. Kalau ini memang dianggap dagelan, jelas ini bukanlah dagelan yang lucu.


Wassalamu'alaikum


Tidak ada komentar:

Posting Komentar