Menepis Anggapan Bulan Shafar
Adalah Bulan Sial
|
Sebagaimana bulan Muharram (Jawa: Suro) itu diyakini sebagai bulan yang keramat dan membawa sial, maka muncul pula anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan yang membawa sial, naas, dan penuh dengan malapetaka. Karena bulan sial, maka tidak boleh mengadakan hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana, atau kegagalan dalam pekerjaannya itu.
Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.
Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.
Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.
Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.
Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.
“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.
Thiyarah Adat Jahiliyyah
Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.
Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.
Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:
1. Karena sesuatu yang dilihat
Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.
2. Karena sesuatu yang didengar
Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.
3. Karena waktu-waktu tertentu
Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.
Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.
Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.
Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.
“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Obat dari Penyakit Ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).
Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.
Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.
Sumber:
Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’Fenomena Dukun Uang
Deraan krisis ekonomi berkepanjangan yang berujung pada tingginya angka pengangguran dan lesunya sektor riil, membuat sebagian orang dengan mudahnya tergiur cara-cara instan untuk mendapatkan uang. Tak heran jika hampir tiap hari kita disuguhi berita banyaknya masyarakat yang tertipu dengan praktik-praktik bisnis berkedok pegadaian, ‘perjudian’ bernama Asuransi, hingga yang berbau ‘primitif’ sekalipun, yakni penggandaan uang melalui dukun.
Tak jarang praktik-praktik tersebut dibungkus dengan istilah-istilah modern, seperti spiritualis, supranaturalis, ahli metafisika, dan nama-nama lainnya. Ditambah lagi si dukun kerap membantah keras jika metodenya tersebut dianggap klenik yang sarat dengan kesyirikan. Untuk menipu masyarakat, umumnya mereka mengaku menggunakan jin putih bukan jin hitam, jalan kanan bukan jalan kiri, anti syirik, dan berbagai alasan lainnya.
Bahkan tak jarang, dengan sekuat tenaga mereka mencari-cari dalil untuk membenarkan praktik busuk mereka. Padahal dengan jelas Allah subhanahu wata’ala menyebutkan dalam Al-Qur’an:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab. Mereka percaya kepada Al-Jibt dan Ath-Thaghut, serta mengatakan kepada orang kafir di Makkah bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang beriman.” (An-Nisa: 51)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya (2/7726) menyatakan berkenaan dengan ayat ini:
“Bahwa yang dinamakan Al-Jibt dalam bahasa Habasyah adalah tukang sihir, sedangkan yang dimaksud dengan Ath-Thaghut adalah para dukun.”
Saudara, hakekat perbuatan dukun adalah meminta bantuan setan untuk mengetahui hal-hal yang terkait dengan perkara gaib, seperti meramal nasib seseorang, mengetahui tempat barang-barang yang raib, atau mengaku mengetahui peristiwa yang akan terjadi. Yang tentu saja, perkara yang akan datang tersebut sebenarnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah ‘azza wajalla saja. Hanya saja sang dukun meminta bantuan para setan yang menyadap berita langit dari pernyataan-pernyataan malaikat. Lantas oleh setan perkataan tersebut disampaikan ke telinga dukun. Kemudian sang dukun menambahi kalimat tersebut dengan seratus kedustaan. (Lihat ‘Aqidatut Tauhid hal. 126 karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dari sini, nampak sekali persahabatan antara setan dan dukun terjalin dengan mesra. Praktik dukun yang menggunakan cara-cara magis tak lepas dari bantuan setan. Dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ (221) تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ (222) يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ.
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah para pendusta.” (Asy-Syu’ara’: 221-223)
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا.
“Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jinn: 6)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang dukun, beliau menjawab:
لَيْسُوا بِشَيْءٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا الشَّيْءَ يَكُونُ حَقًّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنْ الْجِنِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ قَرَّ الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُونَ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
“Sungguh mereka itu tidak ada apa-apanya. Lantas orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, terkadang para dukun itu mengatakan sesuatu yang benar? Maka Nabi menjawab; perkataan itu dari yang benar, lantas setan menyambarnya, lalu disampaikan kepada telinga pengikutnya seperti suara ayam betina. Tercampurlah di dalamnya dengan seratus lebih kedustaan.” (HR. Al-Bukhari no. 7561, Muslim no. 4135)
Saudara pembaca, itulah sebenarnya hakekat dukun. Mereka sejatinya adalah tukang bual, yang pada akhirnya keahliannya dalam berdusta tersebut digunakan sebagai bisnis yang dapat menghasilkan uang.
Tentu dalam prakteknya mereka tidak hanya pandai komat-kamit membaca mantra, namun mereka pun lihai membungkus ajian-ajian syiriknya tersebut dengan bahasa yang berbau kearab-araban. Tak lain, semua itu digunakan untuk menutupi kedustaannya tersebut dengan label agama.
Konyolnya, di zaman yang (katanya) kian maju ini, banyak orang yang justru kian mudah dibodohi. Laris manisnya praktik perdukunan adalah contoh nyata yang terpapar di depan kita. Karir sukses, lancar usaha, kaya mendadak hingga ritual buang sial adalah segelintir jualan dukun yang mampu membenamkan akal sehat sebagian masyarakat.
Kini praktik tersebut ternyata mulai diperankan oleh para dukun ‘putih’ yang dibalut dengan nama-nama yang terkesan kekinian, seperti orang pinter, paranormal, supranatural. Atau yang berbau agamis, seperti kiyai, ustadz, habib, atau yang lainnya. Namun intinya sama-sama dukun bual yang berusaha menyedot kocek orang lain.
Padahal kasus penipuan berupa penggandaan uang yang melibatkan para dukun, bukan berita baru dan rahasia di masyarakat. Tapi hal itu senyatanya tak membuat masyarakat jera. Dukun berikut produk-produknya masih kian laris diserbu masyarakat hingga kini. Padahal ini adalah masalah besar yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ancam dalam sabdanya:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi dukun, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari”. (HR. Muslim No. 2230, Ahmad no. 16041 dari beberapa istri Rasulullah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2918)
Hukum ini sebagai akibat dari hanya mendatangi dukun saja, walaupun ia tidak mempercayai dukun tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan walaupun hanya sekadar mendatanginya saja. Oleh karena itu, ketika shahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan perihal dukun, beliau menjawab:
فَلا تَأْتُوا الْكُهَّانَ
“Jangan sekali-kali kalian mendatangi para dukun.” (HR. Muslim no. 4133)
Adapun kalau mempercayainya, maka ancamannya jelas lebih keras lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam dalam sabdanya:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu ia mempercayai yang dikatakannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR. Ahmad No. 9541, dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2650)
Bertolak dari dalil-dalil di atas, setidaknya ada dua bahaya besar yang mengancam orang-orang yang mendatangi dan menanyakan sesuatu kepada para dukun:
Pertama; haram, shalatnya tidak mendapat pahala selama 40 hari. Ini sebagai akibat hanya mendatanginya saja guna menanyakan sesuatu.
Kedua; kekafiran, jika membenarkan dan meyakini apa yang dikatakan dukun tersebut.
Namun, jika datangnya ke dukun dalam rangka hendak menampakkan kelemahan dan kedustaan dukun, atau menguji dukun tersebut, tidak dalam rangka mengambil perkataannya, maka hal ini diperbolehkan.
(Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, I/533-534)
Parahnya, tak sedikit orang terbuai dengan giuran maut mereka yang kini mulai mampu merasuk ke jajaran saudagar muda, setelah diiming-iming bisa menggandakan uang dengan berlipat-lipat.
Justru kenyataan berbalik, akhirnya sang mbah berbalik menjadi saudagar setelah berhasil mengeruk kantong korbannya. Sedangkan si saudagar tadi hanya bisa gigit jari, sadar bahwa dirinya telah tertipu setelah uangnya ludes digondol sang dukun.
Si dukun sendiri tak perlu mengeluarkan modal besar untuk merintis usahanya ini, hanya butuh beberapa rupiah untuk membeli kemenyan dan bunga tujuh rupa, ia mampu mengkibuli banyak pasien yang datang kepadanya.
Makna yang bisa ditangkap di sini, selain mimpi-mimpi kesuksesan yang memang menjadi penyakit membelit di sebagian masyarakat kita, juga dikarenakan syari’at tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang penting tanam duit dulu, pinjam sana pinjam sini, maka sekian laba per bulan telah membayang di depan mata. Atau bagi yang berdukun, tinggal tunggu malam Jum’at Kliwon, maka uang konon bakal berlipat dengan sendirinya.
Pembaca, itulah potret kehidupan manusia yang memang ‘tak pernah kehilangan akal’ untuk menyeberangi batasan-batasan syari’at. Demi urusan perut, seseorang terkadang rela menjual keislamannya kepada dukun dengan kesyirikan. Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa selainnya.” (An-Nisa’: 48)
Semoga kita semua terjaga dari perbuatan syirik yang dapat menyesatkan dan menjerumuskan umat ke jurang kebinasaan di dunia dan akhirat. Amin Ya Mujibas Sa’ilinKalimat ‘Pengandaian’ Dilihat dari Kacamata Aqidah
Tidak jarang kita mendengar orang berucap ‘seandainya aku tadi berbuat begini, maka akan demikian dan demikian …‘ atau ucapan ‘andaikan aku tadi berbuat begitu, maka pasti akan demikian dan demikian …‘, dan yang semisal dengan kata-kata tersebut. Bahkan mungkin kita sendiri pun juga sering mengucapkannya, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإْنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
“Jika menimpa padamu sesuatu (musibah), maka jangan kamu mengatakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan terjadi ini dan itu …’, akan tetapi katakanlah: ‘Ini adalah takdir Allah dan jika Allah kehendaki terjadi pasti terjadi’ karena berandai-andai (ucapan seandainya atau yang semisalnya) itu membuka pintu amalan setan.” (HR. Muslim)
Bermula dari potongan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, ada beberapa pihak yang melarang secara mutlak tentang penggunaan kata ’seandainya’ atau yang semisalnya, dan sebaliknya, ada sebagian orang yang banyak terjatuh ke dalam kesalahan dengan bermudah-mudahannya mereka dalam menggunakan kalimat pengandaian ini.
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah, bagaimana syari’at memandang permasalahan ini? Apakah benar penggunaan kata ’seandainya’ dan yang semakna dengannya itu dilarang secara mutlak? Dan bolehkah kita bermudah-mudahan mengucapkan kalimat ini tanpa dibatasi oleh keadaan dan kondisi tertentu? Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan permasalahan ini secara gamblang. Beliau membagi penggunaan kata ’seandainya’ atau yang semisalnya pada beberapa keadaan:
1. Apabila digunakan dalam rangka menentang syari’at, maka yang demikian ini hukumnya haram bahkan bisa mengantarkan pelakunya kepada kekafiran. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat. Yaitu ketika terjadi perang Uhud, ketika itu di tengah perjalanan menuju medan pertempuran, ‘Abdullah Bin Ubay yang merupakan gembong munafikin bersama 300 orang membelot dari pasukan kaum muslimin. Tatkala 70 orang shahabat syahid dalam peperangan tersebut, maka mereka kaum munafikin berkata dalam rangka menentang dan menolak syari’at jihad yang mulia ini -sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala- sebutkan dalam ayat-Nya:
لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا.
“Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.” (Ali ‘Imran: 168)
Yakni mereka bermaksud mengatakan: Kalau seandainya mereka mentaati dan mengikuti kami dan kembali bersama kami, tentunya mereka tidak akan terbunuh, akal dan logika kami kami lebih baik daripada syari’atnya Muhammad.
Ucapan seperti ini bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran.
2. Apabila digunakan dalam rangka menentang takdir, maka ini juga haram hukumnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menentang takdir Allah ‘azza wajalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَوْ كَانُوا عِنْدَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: Seandainya mereka tetap bersama kita tentunya mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” (Ali Imran: 156)
Allah subhanahu wata’ala mentakdirkan ada sebagian manusia yang meninggal, baik disebabkan karena kecelakaan ataupun terbunuh dalam suatu peperangan. Namun musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan munafikin mengingkari bahwa itu merupakan takdir dan kehendak Allah ‘azza wajalla, bahkan mereka mengatakan bahwa meninggalnya seseorang itu semata-mata karena keluarnya dia dari rumahnya, kalau seandainya seseorang tetap tinggal di rumahnya, pasti dia tidak akan mati. Inilah persangkaan dusta mereka yang kaum mukminin dilarang untuk meniru dan menyerupai sikap mereka ini. Orang yang beriman yakin bahwa segala yang terjadi dan menimpa umat manusia adalah karena takdir Allah subhanahu wata’ala.
3. Apabila digunakan dalam rangka meluapkan penyesalan, misalnya seseorang membeli sesuatu untuk dijual kembali dengan anggapan bahwa dia akan mendapatkan keuntungan yang banyak. Namun ternyata yang terjadi dia justru rugi besar, maka kemudian dia berkata: ‘Seandainya aku tidak membeli barang ini tentunya aku tidak akan rugi seperti ini’. Maka yang seperti ini hukumnya haram. Karena seseorang yang selalu diliputi penyesalan, hidupnya akan selalu dipenuhi dengan kesedihan dan hatinya akan merasa sempit, sementara Allah subhanahu wata’ala menginginkan hamba-Nya agar memiliki kelapangan jiwa dan bersemangat dalam menghadapi setiap permasalahan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإْنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk sesuatu yang bisa bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan Allah dan jangan berputus asa. Jika menimpa padamu sesuatu (musibah), maka jangan kamu mengatakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan terjadi ini dan itu …’, akan tetapi katakanlah: ‘Ini adalah takdir Allah dan jika Allah kehendaki terjadi, pasti terjadi’ karena berandai-andai (ucapan seandainya atau yang semisalnya) itu membuka pintu amalan setan.” (H.R. Muslim)
4. Apabila digunakan untuk berdalil (beralasan) terhadap maksiat yang dia lakukan, bahwa itu merupakan takdir. Maka ini adalah perkara yang batil. Sebagaimana yang telah diucapkan kaum musyrikin, Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tentang mereka dalam ayat-Nya:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ.
“Orang-orang yang berbuat kesyirikan akan mengatakan: “Seandainya Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu apapun.” (Al-An’am : 148)
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ.
Dan mereka (kaum musyrikin) berkata: “Seandainya Allah yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak beribadah kepada mereka (malaikat).” (Az Zukhruf : 20)
5. Apabila digunakan untuk berangan-angan. Maka hukumnya tergantung pelakunya. Jika dia berangan-angan kebaikan maka baginya kebaikan, dan jika dia beangan-angan kejelekan maka baginya kejelekan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ حَقَّهُ قَالَ فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ قَالَ وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا قَالَ فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ قَالَ وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقَّهُ فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ قَالَ وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ هِيَ نِيَّتُهُ فَوِزْرُهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ.
“Sesungguhnya dunia ini untuk 4 orang:
(1) Seorang hamba yang Allah rizkikan baginya harta dan ilmu kemudian dia gunakan rizki tersebut untuk bertaqwa kepada Allah, menyambung tali persaudaraan, dan dia mengetahui bahwa Allah punya hak atas itu semua. Maka ini adalah derajat yang paling baik.
(2) Seorang hamba yang Allah rizkikan padanya ilmu namun tidak diberi harta kemudian dia berkata: Seandainya aku punya harta, aku akan beramal seperti amalannya si fulan[1]. Maka bagi keduanya ini sama pahalanya.
(3) Seorang hamba yang Allah rizkikan padanya harta namun tidak Allah beri ilmu maka dia hambur-hamburkan hartanya tanpa didasari ilmu, tidak dia gunakan untuk bertaqwa kapada Allah, tidak digunakan untuk menyambung tali persaudaraan, dan tidak tahu bahwa di situ ada hak Allah yang harus dia tunaikan. Maka ini adalah derajat yang paling buruk.
(4) Seorang hamba yang Allah tidak berikan harta dan ilmu padanya, namun kemudian dia berkata: Seandainya aku memiliki harta, aku akan melakukan seperti yang dilakukan si fulan[2]. Maka bagi keduanya sama dosanya.” (HR Ahmad)
6. Apabila digunakan dalam rangka menyampaikan kabar berita, maka yang demikian ini hukumnya boleh. Misalnya seseorang berkata: Seandainya kamu hadir di pelajaran, kamu pasti akan mendapatkan faidah. Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لأحللت معكم.
“Kalaulah seandainya aku mendapati kembali dari urusanku (yakni haji) seperti apa yang telah lalu, maka aku tidak akan membawa Al-Hadyu (yakni hewan sembelihan ketika menunaikan ibadah haji) dan aku akan bertahallul bersama kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkabarkan rencana beliau kalau seandainya bisa menunaikan ibadah haji tahun berikutnya, beliau tidak akan membawa Al-Hadyu karena beliau melihat apa yang dialami oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum[3]. Wallahu A’lam.
Sumber:
Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid (II/361-363), Bab Ma Ja’a Fi Al-Law, Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, cetakan Dar Ibnil Jauzy.
[1] Ini adalah angan-angan yang baik, yakni kalau seandainya dia memiliki harta, dia akan menggunakannya untuk amalan ketaatan sebagaimana yang digambarkan dalam amalan orang yang pertama dalam hadits tersebut.
[2] Ini adalah angan-angan yang buruk, yakni kalau seandainya dia memiliki harta, dia akan menghambur-hamburkan hartanya tersebut dan tidak dibelanjakan untuk sesuatu yang diridhai Allah ‘azza wajalla sebagaimana yang digambarkan pada perbuatan orang yang ketiga dalam hadits tersebut.
[3] Hadits ini terkait dengan kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhaji bersama para shahabatnya ke Makkah. Pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beberapa shahabatnya membawa hewan sembelihan (Al-Hadyu), dan sebagian shahabat yang lain tidak membawanya. Di tengah perjalanan turun perintah dari Allah subhanahu wata’ala bagi orang-orang yang tidak membawa hewan agar bertahallul dan hajinya dihitung haji tamattu’, sedangkan yang membawa dihitung haji qiran. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa haji tamattu’ lebih afdhal daripada haji qiran maupun ifrad, sebagaimana yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini. Masalah seperti ini secara lebih rinci bisa dilihat dalam pembahasan tentang haji
TAUHID, YANG PERTAMA DAN UTAMA
Tidak ada keraguan lagi bahwasanya tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi dalam Islam. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits yang terkenal dari shahabat yang mulia Mu’adz bin Jabal Radhiyallah ‘anhu ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepadanya :
( يا معاذ ، أتدري ما حق الله على العباد وما حق العباد على الله ؟ ) قلت : الله ورسوله أعلم ؟ قال : ( حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا )
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribada kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Makna Tauhid adalah :
Upaya menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla Pencipta alam semesta, serta menjauhkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya. Tauhid merupakan agama setiap Rasul ‘alaihimus salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengutus mereka dengan membawa misi tauhid tersebut kepada setiap umat.
Di antara keutamaan tauhid adalah:
1. Tauhid merupakan pondasi utama dibangunnya segala amalan yang ada dalam agama ini.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersab :
بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وحَجِّ بَيْتِ اللهِ الحَرَام
“Agama Islam dibangun di atas lima dasar : (1) Syahadah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan (5) berhaji ke Baitullah Al-Haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali di dalam Al Qur’an, sebagaimana lawan tauhid yaitu syirik yang merupakan larangan pertama kali di dalam Al Qur’an, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Al-Baqarah ayat 21-22 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) [البقرة/21، 22]
“Wahai sekalian manusia, ibadahilah oleh kalian Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. Yang telah menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan, langit sebagai bangunan, dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengan air tersebut buah-buahan, sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)
Dalam ayat ini terdapat perintah Allah “ibadahilah Rabb kalian” dan larangan Allah “janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah”.
3. Tauhid merupakan poros utama dakwah seluruh para nabi dan rasul, sejak rasul yang pertama hingga penutup para rasul yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [النحل/36]
“dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (yang menyeru) agar kalian beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.” (An-Nahl: 36)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ (25) [الأنبياء/25]
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al Anbiya’: 25)
4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Begitu pula lawan tauhid, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ [الإسراء/23]
“Dan Rabbmu telah memutuskan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya ” (Al Isra’: 23)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا [النساء/36]
“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An Nisa’: 36)
Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik, Allah letakkan sebelum perintah-perintah lainnya. Menunjukkan bahwa perintah terbesar adalah Tauhid, dan larangan terbesar adalah syirik
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seorang hamba ke dalam Al –Jannah (surga) dan terlindung dari An-Nar (neraka). Sebagaimana pula lawannya yaitu syirik merupakan sebab utama masuknya dan terjerumusnya seorang hamba ke dalam An Nar dan diharamkan dari Jannah Allah.
Allah berfriman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) [المائدة/72]
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka Allah akan mengharamkan baginya Al Jannah dan tempat kembalinya adalah An-Nar dan tidak ada bagi orang-orang zhalim seorang penolongpun.” (Al Ma’idah: 72)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui (berilmu) bahwa tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk ke dalam Al Jannah.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda pula sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :
من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة ، ومن لقيه يشرك به شيئا دخل النار
“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apapun, dia akan masuk Al-Jannah dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan bebruat syirik kepada-Nya, dia akan masuk An Nar.” (HR. Muslim)
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (65) [الزمر/65]
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan orang-orang (para nabi) sebelummu, bahwa jika kamu berbuat syirik, niscaya batallah segala amalanmu, dan pasti kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Syirik merupakan sebab batal alias tertolaknya semua amalan. Maka lawan syirik, yaitu Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan.
* * *
Dari penjelasan tentang keutamaan tauhid di atas, maka sangatlah jelas bahwa risalah para rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini beribadah hanya kepada-Nya saja.
Ini merupakan dakwah para Rasul sejak rasul yang pertama yaitu Nabi Nuh ‘alahis salam hingga rasul yang terakhir yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Para rasul tersebut tidak hanya menuntut dari manusia agar mengakui dan mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, akan tetapi para rasul tersebut juga menuntut dari umat manusia agar mereka mengakui dan mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan layak untuk diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hak peribadahan. Yakni mentauhidkan Allah dalam beribadah.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam sebagai suri tauladan yang baik bagi kita, memulai dakwah beliau dengan tauhid selama 13 tahun di Makkah dan mengingkari peribadahan kepada selain Allah, baik peribadahan kepada nabi, malaikat, wali, batu, pohon, dan sebagainya yang dilakukan oleh bangsa arab dan lainnya. Demikian pula setelah beliau hijrah, berdakwah di Madinah selama 10 tahun, beliau terus melanjutkan dakwah menuju kepada tauhid.
Begitu pula ketika beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengutus para shahabatnya untuk mendakwahi umat manusia, beliau memerintahkan kepada mereka untuk awal pertama kali yang harus disampaikan adalah dakwah tauhid Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:
فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله . وفي رواية- : إلى أن يوحدوا الله
“Maka pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Dan riwayat yang lain : dakwah agar mentauhidkan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya tauhid adalah kewajiban pertama dan utama untuk disampaikan kepada manusia, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu untuk memulai dalam berdakwah dengan hal yang pertama dan utama untuk mereka.
MENDULANG FAIDAH
DARI KITAB
AL-QAULUL MUFID ‘ALA KITABIT TAUHID
(Tulisan ke-2)
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa terjadinya perbuatan tasyabbuh itu tidak dipersyaratkan niat. Para ‘ulama menegaskan bahwa perbuatan tasyabbuh, meskipun pelakunya tidak meniatkan demikian, tetap dinyatakan terjadi tasyabbuh dengan adanya kesamaan secara mutlak. Suatu hukum yang diiringi dengan sebab tidak dipersyaratkan padanya niat. Kapan terdapat sebabnya, maka ketika itu hukumnya pun ada.
Perbuatan tasyabbuh tetap dilarang walaupun tanpa ada niat. Namun kalau diiringi dengan niat, maka dosanya lebih besar lagi. [1]
2. Makna (الطاعة ) : adalah mencocoki perintah, yakni engkau mencocoki Allah dalam perkara yang Dia kehendaki dari-Mu jika Dia memerintahkan kamu. Jadi makna taat adalah melaksanakan perintah. Apabila Allah melarangmu, maka bentuk ketaatan (terhadap-Nya) adalah dalam bentuk engkau meninggalkan larangan tersebut. Ini makna kalimat taat jika dalam konteks tersendiri.
Adapun jika disebutkan kata “taat” dan kata “maksiat” secara bersamaan, makna makna “taat” adalah melaksanakan perintah, sedangkan “maksiat” adalah melakukan larangan. [2]
3. Banyak dari ‘ulama yang berpendapat haramnya nadzar. Dan yang tampak dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau cenderung menyatakan haramnya nadzar. Karena Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah melarang dari nadzar, dan menyatakan bahwa nadzar tidak mendatangkan kebaikan.
Di antara yang menunjukkan kuatnya pendapat yang menyatakan haram, terutama nadzar mu’allaq, bahwa seorang yang bernadzar seakan-akan tidak percaya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seakan-akan dia meyakini bahwa Allah tidak akan memberikan kesembuhan kepadanya kecuali kalau dia memberikan kepada-Nya balasan. Oleh karena itu, ketika dia putus asa untuk bisa sembuh dia akhirnya bernadzar. Pada sikap ini terdapat sikap buruk sangka kepada Allah. Jadi pendapat yang menyatakan haramnya nadzar adalah pendapat yang kuat.
Kalau ada yang bertanya, Bagaimana engkau mengharamkan sesuatu yang Allah puji orang yang menunaikannya?
Maka jawabannya, bahwa kita tidak mengatakan bahwa yang haram adalah menunaikan nadzar, yang berarti kita melawan dalil. Namun kita katakan bahwa yang haram atau yang sangat dimakruhkan adalah membuat nadzar.
Jadi beda antara membuat nadzar dengan menunaikan nadzar. [3]
Membuat nadzar itu sifatnya memulai, adalah menunaikan adalah kondisi lanjutan yaitu merealisasikan apa yang telah ia nadzarkan.
4. Kuburan Al-Badawi dan Ad-Dasuqi berada di Mesir, sedangkan kuburan Ibnu ‘Arabi berada di Siria. Yang aneh adalah bahwa penduduk Iraq menyatakan bahwa kuburan Husain ada pada mereka, mereka menthawafi kuburannya dan meminta kepada, sementara itu penduduk Mesir mengklaim hal yang sama, demikian juga penduduk Siria juga mengklaim hal yang sama. Ini merupakan kedunguan pada akal, dan kesesatan dalam agama. [4]
5. Makna Al-’Asyirah adalah qabilah seseorang mulai dari kakek keempat terus ke bawah. [5]
6. “Quraisy” adalah Fihr bin An-Nadhar bin Malik, salah seorang kakek Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. [6]
7. Qunut Nazilah, apabila kaum muslimin tertimpa peristiwa/musibah besar, maka semestinya didoakan untuk mereka sampai hilang peristiwa/musibah besar tersebut. Yang tampak dari bimbingan As-Sunnah, Qunut (Nazilah) dituntunkan ketika terjadi peristiwa/musibah besar dari selain Allah, seperti gangguan terhadap kaum muslimin dan kesempitan yang menimpa mereka. Adapun musibah yang terjadi dari perbuatan Allah, maka untuk menghadapinya dituntunkan sebagaimana yang terdapat dalam As-Sunnah, misalnya peristiwa gerhana, maka disyari’atkan shalat gerhana, gempa bumi maka disyari’atkan pula shalat kusuf sebagaimana dilakukan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallah ‘anhuma, peristiwa paceklik maka disyari’atkan shalat istisqa`. [7]
8. Kemudian siapakah yang berqunut? Pimpinan negara, setiap imam masjid, ataukah setiap orang yang shalat?
Menurut madzhah hanbali, yang berqunut pimpinan negara saja, yaitu pimpinan tertinggi suatu negara.
Pendapat lain, setiap imam masjid boleh berqunut.
Pendapat lain, setiap orang yang shalat boleh berqunut. Inilah pendapat yang benar, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Sabda beliau ini juga mencakup qunutnya beliau tatkala terjadi peristiwa besar (yakni qunut nazilah). [8]
9. ‘Uzair adalah nama orang shalih, yang diklaim oleh orang-orang Yahudi sebagai anak Allah. [9]
10. Ruh menurut pendapat terkuat di kalangan Ahlus Sunnah, adalah dzat halus yang masuk dalam jasad. Ruh tersebut berada dalam jasad seperti keberadaan air dalam tanah kering. Oleh karena itu, malaikat bisa memegangnya, mengkafaninya, dan membawanya naik, serta seseorang bisa melihatnya tatkala maut menjemputnya. Jadi yang benar ruh adalah dzat, meskipun sebagaian orang mengatakan ruh adalah sifat, namun itu tidak benar. memang benar “hidup” adalah sifat, namun ruh adalah dzat. [10]
(bersambung Insya Allah )
[1] Bab XI : Bab Tidak boleh Menyembelih untuk Allah di tempat yang padanya disembelih untuk selain Allah, pembahasan masalah ke-9; Bab : Tentang Hukum Gambar,
[2] Bab : Termasuk Syirik : Bernadzar untuk selain Allah.
[3] Bab : Termasuk Syirik : Bernadzar untuk selain Allah.
[4] Bab : Termasuk Syirik, beristighatsah kepada selain Allah.
[5] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[6] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[7] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[8] Bab : Firman Allah Al-A’raf : 191-192.
[9] Bab : Tentang ucapan “Kehendak Allah dan kehendakmu.”, pembahasan hadits Ath-Thufail.
[10] Bab : Tentang ucapan “Kehendak Allah dan kehendakmu.”, pembahasan hadits Ath-Thufail.
MENDULANG FAIDAH
DARI KITAB
AL-QAULUL MUFID ‘ALA KITABIT TAUHID
Siapa yang tidak mengenal Kitabut Tauhid karya Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullah. Sangat tidak asing lagi bagi para salafiyyin terutama para thalabatul ‘ilmi.
Mengingat betapa penting isi dan kandungannya, para ‘ulama sangat besar perhatiannya terhadap kitab tersebut, baik dalam bentuk taklim, menghafal, penulisan syarh (penjelasan) terhadapnya, dll.
Di antara ‘ulama kibar Ahlus Sunnah masa ini yang tidak ketinggalan mensyarh Kitabut Tauhid adalah Faqihul ‘Ashr Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, dengan judul Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid.
Alhamdulillah, di Ma’had As-Salafy Jember kitab tersebut telah selesai dipelajari beberapa tahun yang lalu di bawah bimbingan Fadhilatul Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. Hingga kini, kitab tersebut masih senantiasa dipelajari oleh para murid baru yang dari tahun ke tahun terus berdatangan.
Kitab Al-Qaulul Mufid tersebut terkandung di dalam ribuan faidah ilmiah penting. Berikut kami sajikan kepada antum sekalian sebagian kecil dari ribuan faidah tersebut [1] :
1. Tauhid terbagi dalam 3 macam :
a. Tauhid Ar-Rububiyyah
b. Tauhid Al-Uluhiyyah
c. Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat
Ketiga jenis tauhid tersebut tergabung dalam firman Allah :
] رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (65) [ [مريم/65]
Rabb langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka ibadahilah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia? [Maryam : 65] [2]
2. Makna ( وعامرهن ) yakni : para penduduknya. [3]
3. Bahwa dari makna tersurat dalil-dalil, bahwa bumi itu bertingkat-tingkat sebagaimana halnya langit. [4]
4. Wajib untuk kita ketahui, bahwa pujian Allah terhadap salah seorang makhluk-Nya tidak dimaksudkan sekadar memberitakan kepada kita tentang pujian tersebut, namun dimaksudkan dengannya dua tujuan penting :
Pertama, Agar kita mencintai makhluk yang Allah puji dengan kebaikan tersebut.
Kedua, Agar kita mentauladani sifat-sifat yang Allah puji tersebut. [5]
5. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam takut dirinya terjatuh dalam kesyirikan, padahal beliau adalah Khalilur Rahman, Imamul Hunafa` (pimpinan orang-orang yang bertauhid). Maka bagaimana dengan kita?? Maka jangan engkau merasa aman dari Kesyirikan. Jangan engkau merasa aman dari Nifaq. Sesungguhnya tidaklah merasa aman dari nifaq kecuali seorang munafiq, dan tidaklah takut dari nifaq kecuali seorang mukmin sejati. [6]
6. Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya bertemu dengan 30 orang shahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, semua mereka mengkhawatirkan atas dirinya dari nifaq.” [7]
7. ( الأصنام ) Al-Ashnam adalah bentuk jamak dari kata ( صنم ) Shanam. Berhala yang dibentuk seperti bentuk manusia. Adapun ( الوثن ) Al-Watsan adalah berhala dalam bentuk apa saja. [8]
8. Al-Hadits adalah ucapan/perbuatan/berita yang disandarkan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam.
Al-Khabar adalah ucapan/perbuatan/berita yang disandarkan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan kepada selain beliau.
Al-Atsar adalah ucapan/perbuatan/berita yang disandarkan kepada selain Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. [9]
9. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (70) [الإسراء/70]
“dan Kami lebihkan mereka (manusia) dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” [Al-Isra` : 70]
Manusia lebih utama dibanding kebanyakan ciptaan Allah. Mereka bukanlah makhluk termulia di sisi Allah. Namun Allah memuliakan mereka. [10]
10. ( وسبحان الله ) I’rab kalimat (سبحان) : maf’ul muthlaq ‘amil-nya mafhdzuf, taqdirnya : أسبح [11]
11. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai pengajar, hakim, dan da’i. Beliau mengutus Mu’adz pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 10 H. ini riwayat yang masyhur. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallah ‘anhu ke negeri Yaman, Mu’adz ke Shan’a dan sekitarnya, sementara Abu Musa ke ‘Adn dan sekitarnya. Beliau memerintahkan keduanya dengan sabda beliau :
( أن اجتمعا وتطاوعا ولا تفترقا، ويسرا ولا تعسرا، وبشرا وذكرا ولا تنفرا )
“Untuk bersatu dan saling bekerja sama jangan saling berpecah, hendaknya kedunya memudahkan dan jangan mempersulit, memberi kabar gembira, mengingatkan, dan jangan membuat (umat) lari.” [12]
12. ( حُمْرُ النعم ) dengan sukun pada huruf mim, maknanya jamak ahmar, ( حُمْرُ النعم ) adalah onta merah. Adapun jika diharakati dhammah pada huruf mim, maknanya jamak himar. Yang dimaksud dalam hadits adalah makna pertama. [13]
13. At-Tafsir maknanya : menyingkap dan menjelaskan. Diambil dari ungkapan mereka : فسرت الثمرة artinya saya mengupas buah. Dan diambil pula dari ungkapan : فسرت ثوبي artinya saya menyingkap pakaianku, sehingga terlihat jelaslah apa yang dibaliknya. [14]
14. ( الحَِبر ) (’alim) huruf ha’-nya bisa diharakati fathah, bisa pula diharakati kasrah. [15]
15. Setiap orang yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab, baik secara syar’i maupun secara realita, maka ia telah menjadikan dirinya sekutu bersama Allah. [16]
16. Manusia dalam menyikapi sebab ada tiga golongan,
Pertama, Kelompok yang mengingkari sebab. Yaitu setiap yang mengingkari adanya hikmah Allah, seperti sekte Jabriyyah dan sekta Asy’ariyyah.
Kedua, Kelompok yang berlebihan dalam menetapkan adanya sebab, sampai-sampai menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Mereka adalah mayoritas ahli khurafat dari kalangan sufiyyah dan yang lainnya.
Ketiga, Kelompok yang meyakini adanya sebab dan pengaruhnya. Namun mereka tidak menetapkan sebab kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sebab syar’i maupun sebab alami (terbukti secara realita merupakan sebab yang berpengaruh).
Tidak diragukan lagi, kelompok ketiga ini adalah kelompok yang beriman kepada Allah dengan iman yang hakiki, dan beriman kepada hikmah-Nya. [17]
17. Seseorang yang memakai/mengenakan gelang/benang, bila ia meyakini bahwa gelang/benang tersebut berpengaruh dengan sendirinya, bukan dari Allah, maka berarti dia telah musyrik dengan syirik akbar dalam tauhid rububiyyah. Karena dia telah menyakini bahwa disamping Allah ada pencipta lainnya.
Jika seorang yang memakainya tersebut meyakininya sebagai sebab, tidak memberikan pengaruh dengan sendirinya, maka ia terjatuh pada syirik ashghar (syirik kecil), karena dengan ia meyakini sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab berarti telah menandingi Allah dalam menetapkan hukum atas sesuatu tersebut sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikan sesuatu tersebut sebagai sebab. [18]
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab tidak mengingkari sebab yang benar dalam menghilangkan atau menolak (bala’), namun yang beliau ingkari adalah sebab yang tidak benar. [19]
18. Jenis-jenis bergantung kepada selain Allah :
Pertama, Bergantung kepada selain Allah yang bisa menghilangkan pokok tauhid (yakni menghilangkan tauhid sama sekali). Yaitu bergantung kepada sesuatu yang tidak mungkin baginya memiliki pengaruh, dan bersandar kepadanya dengan bentuk penyandaran yang membuatnya berpaling dari Allah. Seperti bergantungnya para penyembah kubur terhadap orang yang sudah mati ketika terjadi musibah. Oleh karena itu apabila tertimpa musibah besar yang sangat genting, mereka berdo’a : “Wahai fulan, tolonglah saya!!” ini tidak diragukan merupakan syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama.
Kedua, Bergantung kepada selain Allah yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid. Yaitu bersandar kepada sebab syar’i dan benar, namun lalai kepada Sang Pembuat Sebab, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak menyandarkan hati kepada-Nya. Ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan, namun bukan syirik akbar. karena sebab tersebut memang sesuatu yang Allah jadikan sebagai sebab.
Ketiga, Bergantung kepada sebab karena itu sebagai sebab saja, dengan tetap bersandar kepada Allah. Dia yakin bahwa sebab tersebut datangnya dari Allah, dan Allah jika berkendak bisa saja menghilangkan pengaruh sebab tersebut, dan kalau Dia berkendaknya bisa saja menjadikannya tetap berpengaruh, jadi tidak ada pengaruh yang bisa dihasilkan oleh sebab kecuali berdasarkan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka jenis ini tidak menafikan/meniadakan tauhid, baik kesempurnaan maupun pokok tauhid. Atas dasar ini tidak ada dosa bagi orang yang berkeyakinan demikian.
Dengan adanya sebab-sebab syar’i dan benar seharusnya seseorang tidak menggantungkan dirinya kepada sebab, namun menggantungkan dirinya kepada Allah.
Seorang pegawai yang hatinya bergantung kepada gajinya dengan bentuk ketergantungan yang total, disertai ia lalai terhadap Sang Pencipta Sebab, maka dia telah terjatuh ke dalam bentuk kesyirikan.
Adapun kalau dia meyakini bahwa gaji tersebut hanya sebagai sebab, dan Pencipta Sebab adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tetap bersandar kepada Allah, dan ia merasa bahwa gaji hanya sebatas sebab, maka yang demikian tidak menafikan tauhid. [20]
19. Jika engkau meminta Al-Ghauts (penghilangan atas kesulitan/musibah genting) dari seseorang yang memiliki kemampuan untuk itu, maka wajib atasmu -dalam rangka meluruskan tauhidmu- untuk engkau tetap meyakini bahwa itu hanya sebatas sebagai sebab, yang dzatnya tidak bisa berpengaruh menghilangkan berbagai kesulitan/musibah genting. Karena bisa jadi engkau bersandar kepadanya dan lupa terhadap Dzat Pencinta Sebab. Ini tentunya mencacati kesempurnaan tauhid. [21]
20. Berita dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa syaithan telah berputus asa untuk bisa disembah di Jazirah ‘Arab, tidak berarti bahwa tidak akan terjadi penyembahan kepada syaithan di Jazirah ‘Arab. … hadits tersebut merupakan berita tentang apa yang terbetik pada diri syaithan pada waktu itu, namun tidak menunjukkan bahwa hal itu tidak akan terjadi. [22]
21. Hadits ( … لعن الله من آوى محدثا … ) (Laknat Allah atas orang yang melindungi orang yang mengada-ada). Mengada-ada, meliputi :
- mengada-ada dalam agama, seperti bid’ah yang dibuat oleh Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lainnya.
- dan mengada-ada dalam urusan, yakni urusan umat. Seperti berbagai pelanggaran dan yang serupa dengannya. …
.. Maka dalam hadits ini terdapat tahdzir (peringatan keras) dari bid’ah dan membuat hal-hal baru dalam agama. [23]
(bersambung Insya Allah )
[1] Tentu saja, kami tidak menyebutkan semua faidah yang terdapat dalam kitab tersebut. di sini kami hanya menyebutkan sepercik dari lautan faidah yang dikandung dalam kitab tersebut. tentu saja dengan segala kekurangan dan keterbatasan kami.
[2] Muqaddimah Al-Qaulul Mufid.
[3] Bab I : Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Bisa Terhapus dengannya, hadits Abu Sa’id Al-Khudri.
[4] Bab I : Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Bisa Terhapus dengannya, pembahasan masalah ke-10.
[5] Bab II : Barangsiapa yang Benar-Benar Merealisasikan Tauhid, maka Ia Akan Masuk Al-Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab, pembahasan Surat An-Nahl : 120.
[6] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan Surat Ibrahim : 35.
[7] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan Surat Ibrahim : 35.
[8] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan Surat Ibrahim : 35.
[9] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan hadits tentang Syirik Ashgar adalah Riya’.
[10] Bab IV : Takut dari Syirk, pembahasan tentang masalah kesembilan.
[11] Bab V : Dakwah Kepada Syahadah La ilaha illallah, pembahasan Surat Yusuf : 108
[12] Bab V : Dakwah Kepada Syahadah La ilaha illallah, pembahasan hadits Ibnu ‘Abbas tentang diutusnya Mu’adz ke Yaman.
[13] Bab V : Dakwah Kepada Syahadah La ilaha illallah, pembahasan hadits Sahl bin Sa’d
[14] Bab VI : Tafsir Tauhid
[15] Bab VI : Tafsir Tauhid, pembahasan surat At-Taubah : 31
[16] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.
[17] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.
[18] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.
[19] Bab VII : Termasuk Syirik mengenakan Gelang atau Benang atau semisalnya dalam rangka menghilangkan atau menolak bala’.
[20] Bab VIII : Tentang Ruqyah dan Tamimah, pembahasan hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim.
[21] Bab XIV : Termasuk Syirik beristighatsah kepada selain Allah atau berdo’a kepada selain-Nya.
[22] Bab IX : Bab Tentang Orang yang bertabarruk dengan pohon, batu, dan semisalnya, pembahasan masalah ke-12.
[23] Bab X : Bab Tentang Menyembelih untuk selain Allah, pembahasan hadits ‘Ali bin Abi Thalib.
KEUTAMAAN SHAHABAT RASULULLAH shalallahu ‘alaihi wasallam
Para pembaca, semoga Allah merahmati kita semua, merupakan salah satu pokok yang mendasar dari keyakinan Ahlus Sunnah adalah penghormatan terhadap kedudukan dan keutamaan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, serta selamatnya hati dari kebencian dan kemarahan, serta selamatnya lisan dari celaan, hinaan, dan perkataan yang tidak pantas terhadap mereka.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al Hasyr: 10)
Mereka hidup di masa yang terbaik, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya (generasi tabi’in[1]), kemudian yang setelahnya (generasi tabi’ut tabi’in[2]).” (HR. Al Bukhari no. 2458)
Keutamaan tersebut didapatkan karena mereka langsung berada di bawah bimbingan madrasah (pengajaran) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penerima wahyu dari Allah subhanahu wata’ala. Mereka memiliki keutamaan lebih di bidang ilmu dan amal shalih, serta kedudukan mereka sebagai pengemban dan penyampai syariah agama ini. Mereka adalah generasi yang saling bersaing di dalam kebaikan. Serta Islam jaya, tegak dan kokoh di masa mereka.
Masa para shahabat merupakan masa yang terbaik secara mutlak dibandingkan dengan masa umat-umat terdahulu maupun yang akan datang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diutus pada kurun (masa) yang terbaik dari Bani (keturunan) Adam.” (HR. Al Bukhari dari shahabat Abu Hurairah t)
Sehingga shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih mulia dari Hawariyyun (shahabat/penolong Nabi Isa ‘alaihissalam), 70 pemuda pilihan Nabi Musa ‘alaihissalam, dan shahabat para nabi-nabi yang terdahulu.
Para shahabat adalah perantara antara umat manusia dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Wahyu turun di masa mereka dan terkait dengan kondisi-kondisi mereka. Sehingga mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang makna-makna ayat-ayat Al Qur’an.
Merupakan kewajiban bagi kita untuk mencintai dan mengakui kedudukan mereka. Berlepas diri dari jalannya orang-orang yang ingin merendahkan kedudukannya. Seperti agama Syi’ah Rafidhah yang mereka mencela sebagian besar para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan melampaui batas dalam memuliakan keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Serta berlepas diri dari sekte An Nawashib, sebuah golongan yang membenci dan mencela keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Keutamaan yang ada di antara para shahabat bertingkat-tingkat sesuai dengan lebih dahulunya mereka masuk Islam, keterlibatan dalam jihad, hijrah, dan bergantung kepada amalan-amalan shalih lainnya, serta sejauh mana pembelaan mereka terhadap agama Allah subhanahu wata’ala dan Nabi mereka.
Pengertian shahabat
Siapakah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu? Mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. (Lebih lengkapnya lihat An Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar hal. 149, karya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah)
Keutamaan Muhajirin atas Anshar
Kaum Muhajirin adalah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka meninggalkan sanak saudara, kerabat, harta benda dan tempat tinggal, karena mereka lebih cinta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun kaum Anshar, mereka mempunyai keutamaan dengan pertolongan yang mereka berikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Muhajirin di Madinah.
Didahulukannya kaum Muhajirin daripada kaum Anshar di dalam Al Qur’an menunjukkan kaum Muhajirin lebih utama dari pada kaum Anshar. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan (artinya):
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (At Taubah: 100)
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar.” (At Taubah: 117)
Di antara deretan kaum Muhajirin tersebut adalah Abu Bakr, Umar bin Al Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu para shahabat yang memegang tampuk Khilafah Islamiyyah sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sekaligus sebagai orang-orang terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga kita diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka:
“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidun, gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Keutamaan para shahabat
Di antara keutamaannya adalah:
1. Mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah subhanahu wata’ala unruk menemani rasul-Nya. (lihat QS. Muhammad: 29)
2. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah subhanahu wata’ala. (lihat QS. At Taubah: 100)
3. Allah subhanahu wata’ala telah mengampuni para shahabat yang mengikuti perang Badar. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala kabarkan dalam hadits qudsi:
“Berbuatlah semau kalian, sungguh Aku telah mengampuni apa yang kalian perbuat.”
Jumlah para shahabat yang mengikuti perang Badar sekitar 300 orang. Mereka menghadapi pasukan Musyrikin yang berjumlah tiga kali lipat yaitu berjumlah 900 sampai 1000 pasukan. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/46)
4. Para shahabat yang mengikuti bai’at Ar Ridhwan, Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setiap kepadamu di bawah pohon.” (Al Fath: 18)
Dinamakan Bai’at Ar Ridhwan karena Allah subhanahu wata’ala telah ridha terhadap kaum mukminin ketika itu.
Jumlah para shahabat yang mengikuti Bai’at tersebut sekitar 1400, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim di dalam Shahihnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam salah satu haditsnya dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:
لاَ يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
“Tidak akan masuk An Naar insya Allah dari para shahabat pohon salah seorang dari yang berba’iat di bawah pohon” (HR. Muslim no.4552)
5. Allah subhanahu wata’ala telah menjamin beberapa shahabat sebagai penghuni Al Jannah (surga), jaminan dari Rabbul ‘Alamin bukan dari statemen perorangan. Diantaranya, 10 orang yang diberi kabar sebagai penghuni Al Jannah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Abu Bakr di Al Jannah, Umar di Al Jannah, Utsman di Al Jannah, Ali di Al Jannah, Thalhah di Al Jannah, Az Zubair di Al Jannah, Abdurrahman bin ‘Auf di Al Jannah, Sa’ad bin Abi Waqqash di Al Jannah, Sa’id bin Zaid di Al Jannah, Abu Ubaidah bin Al Jarrah di Al Jannah.” (HR. At Tirmidzi no.3748 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Shahabat ‘Ukkasyah bin Mihshan radhiallahu ‘anhu ketika meminta kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar dido’akan termasuk sebagai bagian dari 70.000 orang masuk Al Jannah tanpa hisab dan adzab, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan jawaban atas permintaannya tersebut bahwa dia termasuk salah satu di antaranya. (HR. Muslim no.320)
Shahabat Bilal bin Abi Rabbah radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
أًًًٌٌَََُُُرِيتُ الْجَنَّةَ فَرَأَيْتُ امْرَأَةَ أَبِي طَلْحَةَ ثُمَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَةً أَمَامِي فَإِذَا بِلاَلٌ
“Diperlihatkan kepadaku Al Jannah, maka aku melihat istri Abu Thalhah, dan aku mendengar suara terompah di depanku dan ternyata Bilal.” (HR. Muslim no. 4495)
Shahabat Tsabit bin Qais radhiallahu ‘anhu, ketika turun firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al Hujurat: 2), mengeluh kepada beberapa shahabat bahwa dirinya termasuk penghuni An Naar (neraka) kerena dia pernah berkata keras terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan kemudian menahan diri tidak bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau menyatakan bahwa Tsabit termasuk penghuni Al Jannah. (HR. Muslim no.170)
Al Hasan dan Al Husain, yang keduanya merupakan cucu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dinyatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin para pemuda penghuni Al Jannah (surga) dalam sabdanya:
الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya Al Hasan dan Al Husain adalah pemimpin para pemuda di Al Jannah.” (HR. At Tirmidzi no. 3701)
Shahabat Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu, sebagaimana hadits dari shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tidak ada satu pun penghuni bumi yang masih hidup telah dipastikan sebagai penghuni Al Jannah kecuali Abdullah bin Salam.(HR. Al Bukhari no.3528)
Masih banyak hadits-hadits lain yang tidak bisa dicantumkan seluruhnya karena terbatasnya tempat.
Larangan mencela shahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاََََََََتَسَُِبُّوا أَصَحَابِي, فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَنَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela shahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, walaupun salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai infaq mereka walaupun hanya satu mud maupun setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaih) (mud (Bhs. Arab): cakupan kedua telapak tangan yang disatukan, pen)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan tentang harta yang diinfakkan seseorang di jalan Allah subhanahu wata’ala, betapapun banyaknya tidak akan mampu untuk menyamai apa yang telah diinfakkan para shahabat walaupun sedikit, semua itu dikarenakan keimanan, ilmu, amal, dan kejujuran yang ada pada diri para shahabat. Barangsiapa yang mencintai para shahabat dan memuji mereka, maka telah menta’ati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan barangsiapa yang mencela mereka, maka telah bermaksiat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Asy Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkata: “Hadits di atas menunjukkan haramnya mencela shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam secara umum, terlebih lagi mencela mereka secara khusus.”(Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah II/253)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun untuk menyebutkan tentang kejelekan-kejelekan para shahabat, mencela salah seorang di antara mereka dengan menyebutkan berbagai aib atau kekurangannya, barangsiapa yang melakukannya maka dinasehati sampai dia bertaubat dan jika tidak maka dicambuk di dalam tahanan sampai dia meninggal atau bertaubat.”(Ash Sharimul Maslul hal. 573)
Penutup
Keutamaan para shahabat yang ada di atas, tidaklah menunjukkan bahwa yang tidak tercantum tidak mempunyai keutamaan dan keistimewaan, akan tetapi penyebutan tersebut cukup mewakili.
Banyak kitab-kitab yang menunjukkan tentang keutamaan mereka, baik secara perorangan maupun kaum.
Sedangkan secara umum, Allah subhanahu wata’ala telah memberikan pujian bagi mereka di dalam firman-Nya (artinya): “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Fath: 29)
Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang selamat hati dan lisannya dari segala sesuatu yang berkaitan dengan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga kita dipertemukan dengan mereka radhiallahu ‘anhum
di dalam Al Jannah.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
[1] Tabi’un yaitu murid-murid para shahabat
[2] Tabi’ut Tabi’in yaitu murid-murid para tabi’in
Mendulang Faedah dari Wasiat Dakwah Rasulullah
Dakwah merupakan amalan yang sangat besar nilainya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Seorang da’i yang menyeru dan mendakwahkan agama ini di tengah-tengah umat, dia akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang dinyatakan Allah I dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah, mengerjakan amalan shalih dan mengatakan: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
Namun terkadang yang menjadi kendala bagi seorang da’i adalah kurangnya ilmu yang cukup (sebagai bekal) dalam dakwahnya. Padahal ilmu merupakan bekal yang tidak boleh ditinggalkan dalam perjalanan dakwah seorang da’i di jalan Allah I. Allah I tegaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad) ini adalah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah di atas bashirah…” (Yusuf: 108)
Al Imam Abdurrahman As Sa’di menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “di atas bashirah” adalah di atas ilmu dan keyakinan tanpa ada keraguan padanya.
Dari ayat yang mulia tersebut kita bisa mengambil faedah bahwa berdakwah di atas ilmu merupakan prinsip Nabi r dan orang-orang yang mengikuti beliau r. Dakwah yang mereka lakukan senantiasa dilakukan di atas bimbingan ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r.
Para ulama telah merinci bahwasanya ilmu yang harus dimiliki oleh setiap da’i adalah ilmu tentang syari’at agama itu sendiri, ilmu tentang metode dalam berdakwah, dan ilmu (pengetahuan) tentang kondisi mad’u (orang-orang yang didakwahi).
Para pembaca yang mulia, pada edisi kali ini, kita akan mencoba untuk mengkaji salah satu hadits Rasulullah r yang di dalamnya sarat dengan faedah yang terkait dengan prinsip dan metode dalam berdakwah. Mudah-mudahan bisa menjadi bekal dalam perjalanan dakwah anda di jalan Allah I.
Bimbingan Nabi r Kepada Shahabatnya
Rasulullah r yang diberikan amanah oleh Allah I untuk menyampaikan risalah ini kepada umat telah memberikan bimbingan dan pengajaran tentang bagaimana seorang da’i berdakwah di jalan Allah I, beliau r mempraktekkan langsung ayat-ayat yang turun kepada beliau r sebagai pelajaran dan contoh bagi umatnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah r mengarahkan shahabatnya dalam berdakwah sebagaimana yang dituturkan shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas t berikut:
“Bahwasanya Rasulullah r ketika mengutus Mu’adz (bin Jabal) ke Yaman, beliau berkata: Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka: Syahadat L Ilha Illallh –dalam riwayat lain: menauhidkan Allah–, jika mereka telah menaatimu dalam perkara tersebut (tauhid), ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut (shalat lima waktu), ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shadaqah yang disalurkan dari orang-orang kaya kepada orang-orang miskin, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut (shadaqah), maka hati-hatilah dari (mengambil) harta yang terbaik (paling dicintai) mereka, takutlah kamu dari do’a orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara do’a mereka dengan Allah (terkabulkan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Apabila kita memperhatikan hadits tersebut, kita akan mendapati sekian banyak faedah yang sangat erat kaitannya dengan prinsip dan metode dalam berdakwah. Di antara faedah tersebut adalah:
Pertama, seorang da’i yang hendak berdakwah, hendaknya dia memulai dakwahnya dengan mengajarkan tauhid kepada umat. Ini dengan tegas dinyatakan oleh Nabi r dalam sabdanya (yang artinya): “Maka jadikanlah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah Syahadat L Ilha Illallh -dalam riwayat lain: menauhidkan Allah-.”
Mungkin sebagian pembaca akan bertanya-tanya, ‘Bukankah hadits ini berbicara tentang dakwah kepada Ahli Kitab? Mereka adalah orang-orang kafir, tentunya mereka harus diajari syahadat L Ilha Illallh. Sedangkan umat Islam tidak perlu untuk diajari lagi syahadat karena mereka sudah mengerti dan bahkan senantiasa mengucapkan syahadat tersebut dalam setiap dzikir dan wirid-wirid mereka.’
Para pembaca yang dirahmati Allah I, anggapan seperti itu hendaknya dicermati kembali. Mengikrarkan syahadat L Ilha Illallh tidak cukup baginya mengucapkannya dengan lisan saja. Tetapi dia harus mengetahui konsekuensi dari kalimat tersebut. Dia harus memahami maknanya, yakin akan kebenarannya, mengamalkan kandungan yang terdapat di dalamnya. Dan sekian banyak konsekuensi lain yang harus diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim.
Oleh karena itulah, umat ini butuh kepada bimbingan tauhid. Mengingat tidak jarang seseorang mengucapkan L Ilha Illallh sekian puluh kali, bahkan sekian ratus kali dalam sehari, tetapi ternyata dia masih saja menyekutukan Allah I dalam beribadah kepada-Nya! Dia masih meminta rizki dan keselamatan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Bagaimana mungkin Allah I akan menurunkan barakah-Nya kepada umat yang masih meyakini bahwa di sana ada kekuatan selain Allah I yang bisa mendatangkan musibah dan bencana?
Para pembaca sekalian, sungguh kondisi umat kita sekarang ini sangat jauh dari bimbingan iman dan tauhid. Sebagian mereka, ketika tertimpa musibah, gunung meletus, gempa, banjir lumpur, tsunami, dan yang lainnya justru menyembelih hewan atau memberikan sesajian yang kemudian dipersembahkan kepada “penguasa selain Allah” (bhs. Jawa: sing mbaurekso), yang menurut keyakinan mereka dapat menghilangkan musibah yang mereka alami.
Sungguh orang-orang musyrikin zaman dahulu, ketika mereka sedang ditimpa musibah, justru mereka kembali bertaubat kepada Allah I, mengikhlaskan ibadah dan do’a mereka hanya kepada-Nya. Allah I telah kisahkan keadaan mereka dalam firman-Nya (yang artinya): “Maka ketika mereka menaiki kapal (dan ditimpa musibah gelombang yang besar) mereka berdo’a dengan mengikhlaskannya kepada Allah, maka tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (Al Ankabut: 65)
Sekali lagi para pembaca yang mulia, khususnya bagi siapa yang hendak berkhidmat kepada umat, mengajarkan dan mendakwahkan agama ini kepada mereka, hendaklah mencontoh Nabi r sebagaimana dalam hadits tersebut. Diajarkan kepada mereka aqidah yang benar, membimbing mereka kepada tauhid yang murni, iman, dan kemudian diiringi dengan amalan shalih. Yang dengan itu umat ini akan mendapatkan janji Allah I dalam firman-Nya (yang artinya): “Jika seandainya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan membukakan kepada mereka barakah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)
Termasuk perkara penting yang harus diketahui umat –dan masih berkaitan dengan masalah tauhid– adalah keyakinan yang kokoh dan kuat bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah I. Allah I berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi-Nya adalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Dan Allah I juga telah berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa yang memilih selain Islam sebagai agamanya, maka sekali-kali Allah tidak akan menerima agama tersebut, dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Yakni kerugian mutlak dengan dimasukkan kedalam An Nr dan kekal di dalamnya.
Hendaknya dua ayat tersebut benar-benar dijadikan prinsip dan paham yang menghunjam kedalam hati sanubari setiap muslim. Seberat apapun ujian yang menimpanya, kemiskinan, kelaparan, kesempitan ekonomi, dan yang lainnya dari beratnya menjalankan roda kehidupan ini, dia tidak tergoyahkan oleh upaya pemurtadan yang dilakukan syaithan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin maupun manusia.
Dia tetap kokoh di tengah derasnya arus Kristenisasi, Hinduisasi, Paganisasi, Ahmadiyahisasi (upaya pemurtadan kaum muslimin dari agama Islam kepada agama Ahmadiyah), dan segala bentuk makar jahat yang dilancarkan oleh musuh-musuh Allah I dan Rasul-Nya r. Dia tetap sabar dan yakin bahwa Allah I pasti akan menolong dia dan memberikan pahala yang besar berupa kenikmatan di negeri akhirat yang kekal abadi. Wallahul Musta’an (hanya Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Faedah kedua, didahulukannya perkara tauhid sebelum perkara-perkara yang lain (dalam berdakwah) karena tauhid merupakan perkara pokok dan mendasar dalam agama ini. Tidaklah sah suatu amalan ibadah, shalat, zakat, puasa, dan yang lainnya jika pelakunya belum memurnikan tauhidnya dan mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah I. Allah I berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah tersebut kepada-Nya…” (Al Bayyinah: 5)
Faedah ketiga, seorang da’i harus mengetahui keadaan mad’u (yang didakwahi) dan metode yang tepat dalam berdakwah. Karena ucapan Rasulullah r kepada Mu’adz t:
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab.”
merupakan pembekalan untuk Mu’adz t tentang keadaan mad’u yang akan dihadapinya, bahwa mereka dari kalangan Ahli Kitab. Sehingga dapat ditempuh metode dakwah yang tepat sesuai dengan kondisi mad’u-nya.
Sebagimana umat manusia ini beraneka-ragam, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, tentunya berbeda-beda pula dalam tabi’at, watak dan pola pikir. Oleh karenanya, dibutuhkan sikap hikmah (bijak) dari seorang da’i. Tidak semua mad’u didakwahi dengan metode yang sama. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Allah I dalam firman-Nya (yang artinya): “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, mau’izhah hasanah, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (An Nahl: 125)
‘Ali bin Abi Thailb t berkata:
“Ajaklah bicara manusia itu sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka, apakah kamu suka akan didustakannya Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Bukhari no. 127)
Faedah keempat, perkara berikutnya yang hendaknya diajarkan kepada umat adalah kewajiban shalat lima waktu. Ini menunjukkan bahwa shalat merupakan perkara penting kedua setelah tauhid.
Jika diibaratkan Islam ini sebuah bangunan, maka pondasinya adalah tauhid dan tiangnya adalah shalat sebagaimana sabda Rasulullah r:
“Pokok dari perkara agama ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan atap (puncaknya) adalah jihad fi sabililah.” (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Bahkan shalat juga menjadi tolok ukur baik dan tidaknya amalan selainnya. Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya perkara pertama yang dihisab dari amalan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya, jika (shalatnya) baik, maka sungguh dia telah beruntung dan mendapatkan keberhasilan, jika (shalatnya) jelek maka sungguh dia celaka dan rugi.” (HR. At Tirmidzi)
Faedah kelima, penyebutan shadaqah pada hadits tersebut yang dimaksud adalah zakat. Oleh karena itulah zakat merupakan perkara penting berikutnya yang hendaknya ditekankan seorang da’i ketika berdakwah kepada umat.
Faedah keenam, peringatan dari perbuatan zhalim, karena do’a orang yang terzhalimi mustajab.
Mudah-mudahan Allah I senantiasa menjaga dan membimbing kita dalam mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Amïn Yن Rabbal ‘ؤlamïn…
YA ALLAH, LINDUNGILAH AKU DARI ADZAB NERAKA
Wahai saudaraku, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa mencurahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, ketahuilah…!!!, bahwa Al Jannah (surga) adalah tempat tinggal yang kekal, penuh dengan kenikmatan yang lezat yang tidak bisa dibandingkan dengan segala kenikmatan yang ada di dunia. Itulah negeri yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bagi yang tidak diizinkan memasukinya maka tiada tempat lagi baginya kecuali an naar (neraka). Suatu tempat tinggal yang penuh dengan kengerian yang tidak bisa digambarkan dengan kengerian di dunia. Sejelek-jeleknya tempat tinggal dan seburuk-buruknya tempat kembali.
Itulah tempat tinggal yang bakal dihuni oleh orang-orang yang tidak mau tunduk dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala dan itulah tempat kembali bagi orang-orang yang enggan terhadap petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bicara tentang negeri akhirat merupakan topik yang seharusnya dijadikan headline (kajian utama) bagi orang-orang yang beriman tentang hari akhir. Suatu kajian yang akan melembutkan hati, menundukkan pandangan, meneteskan air mata dan meredam hawa nafsu. Menjadikan sedikit ketawa dan canda. Mengingatkan tentang ajal (maut) yang datang secara tiba-tiba. Tidak membedakan tua dan muda. Sudahkah kita siap mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang kita lakukan di hari kiamat kelak? Inilah sebuah pertanyaan yang besar. Sebuah pertanyaan yang mesti membutuhkan jawaban. Maka siapkanlah jawabannya sebelum nanti ditanya di hari kiamat kelak!!! Ya, Allah selamatkanlah kami dari pedihnya adzab neraka!!!
Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ رَأَيْتُمْ مَا رَأَيْتُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا. قَالُوا: وَمَا رَأَيْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: رَأَيْتُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ.
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian melihat apa yang aku lihat, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Para shahabat bertanya: “Apa yang engkau lihat ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Saya melihat Al Jannah dan An Naar.” (HR. Muslim Kitab Sholat no. 426)
Edisi kali ini akan menyajikan topik yang berkaitan dengan sifat-sifat An Naar. Dengan harapan dapat menambah rasa takut kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Mendorong untuk berlomba-lomba memperbanyak amal kebajikan. Tiada benteng yang mampu menahan dahsyatnya api neraka melaikan benteng dari amal kebajikan.
Luas An Naar
An Naar (neraka) memiliki area yang amat luas yang daya tampungnya tidak akan penuh meskipun dimasuki oleh orang–orang durhaka sejak zaman Nabi Adam sampai hari kiamat. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Pada hari itu Kami bertanya kepada Jahannam: “Apakah kamu sudah penuh?” Jahannam menjawab: “Masihkah ada tambahan?” (Qoof: 30)
Ayat di atas menggambarkan betapa luas dan besarnya Jahannam itu. Meskipun Jahannam dilempari dari seluruh jin dan manusia (yang durhaka) dari masa nabi Adam sampai hari kiamat nanti, namun belum bisa memenuhinya.
Kedalaman An Naar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan tentang dalamnya An Naar dalam sebuah hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang jatuh, lalu beliau bersabda: “Tahukah kalian apakah itu?” Kami (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هَذَا حَجَرٌ رُمِيَ بِهِ فِي النَّارِ مُنْذُ سَبْعِينَ خَرِيفًا فَهُوَ يَهْوِي فِي النَّارِ الآنَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى قَعْرِهَا.
“Ini adalah sebuah batu yang dilemparkan dari atas An Naar sejak tujuh puluh tahun yang lalu, sekarang batu itu baru sampai di dasarnya.” (HR. Muslim no. 2844)
Masyaa Allah, betapa dalamnya An Naar!?!, sebuah batu yang dilemparkan dari tepi jurang/bibir An Naar, baru sampai ke dasarnya setelah 70 puluh tahun lamanya. Maka, jarak kedalaman An Naar itu hanya Allah subhanahu wata’ala lah yang tahu.
Pintu Jahannam
An Naar memiliki 7 pintu yang akan dilewati dari pintu-pintu tersebut oleh para penghuni neraka sesuai dengan kadar dosa dan maksiat yang mereka lakukan di dunia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengekor-pengekor setan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (Al Hijr: 43-44)
Belenggu An Naar
Allah subhanahu wata’ala juga menyediakan belenggu-belenggu yang sangat berat dan menyiksa. Sehingga para penghuni An Naar itu tidak bisa lari dan berkutik. Siap merasakan hukuman dan siksaan. Allah berfirman (artinya): “Karena sesungguhnya pada sisi kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala.” (Al Muzammil: 12)
“Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu.” (Ibrahim : 49)
Penjaga An Naar
Allah subhanahu wata’ala juga telah menyiapkan algojo yang siap mengawasi dan menyiksa para penghuni An Naar. Allah memilih algojo (penjaga) itu dari kalangan malaikat. Allah berfirman (artinya):
“Dan tiada Kami jadikan penjaga An Naar melainkan dari malaikat.” (Al Mudatstsir: 31)
Panas An Naar
Para pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, bahwa An Naar (neraka) itu adalah suatu tempat tinggal yang memiliki daya panas yang dahsyat. Kadar terpanas yang ada di dunia itu belum seberapa dibanding dengan panasnya api neraka. Allah berfirman (artinya):
“Maka, Kami akan memperingatkan kamu dengan An Naar yang menyala-nyala.” (Al Lail : 14)
Bagaimana gambaran dahsyatnya api neraka yang telah Allah subhanahu wata’ala sediakan itu? Hal itu telah digambarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya api neraka Jahannam.” Para sahabat bertanya: “Demi Allah, apakah itu sudah cukup wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Belum), sesungguhnya panasnya sebagian yang satu melebihi sebagian yang lainnya sebanyak enam puluh kali lipat.” (HR. Muslim no. 2843)
Api neraka itu juga melontarkan bunga-bunga api. Seberapa besar dan bagaimana warna bunga api tersebut? Allah subhanahu wata’ala telah gambarkan hal tersebut dalam surat Al Mursalat: 32-33 (artinya): “Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah seperti iringan unta yang kuning.”
Berkata Asy Syaikh As Sa’di dalam tafsir ayat ini: “Sesungguhnya api neraka itu hitam mengerikan dan sangat panas.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Bagaimana dengan suara api neraka itu? Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Apabila An Naar melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara yang menyala-nyala.” (Al Furqon : 12)
Berkata As Sa’di dalam tafsirnya: “Sebelum orang-orang penghuni sampai ke An Naar, dari jauh mereka sudah mendengar kengerian suaranya yang menggoncangkan dan menyempitkan hati, hampir-hampir seorang dari mereka mati karena ketakutan dengan suaranya. Sungguh api neraka itu murka kepada mereka karena kemurkaan Allah. Dan semakin bertambah murkanya disebabkan semakin besar kekufuran dan kedurhakaan mereka kepada Allah. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Lalu dari bahan bakar apakah yang dengannya Allah subhanahu wata’ala menjadikan api neraka itu dahsyat dan bersuara yang mengerikan? Ketahuilah, untuk menunjukkan semakin ngerinya dan pedihnya siksaan di neraka, maka Allah subhanahu wata’ala jadikan bahan bakar api neraka itu dari manusia dan batu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Jagalah dirimu dari (lahapan api) neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah: 24)
Makanan Dan Minuman Penghui An Naar
Apakah para penghuni jahannam juga mendapatkan hidangan makan dan minuman? Ya, tapi tidak seperti penjara di dunia yang masih menaruh belas kasih. Penjara di akhirat itu adalah tempat siksaan diatas siksaan dan kepedihan diatas kepedihan. Makanan dan minuman yang dihidangkan pun sebagai bentuk adzab dan siksaan.
a. Makanan Yang Berduri
Allah berfirman (artinya):
“Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar.” (Al Ghasiyah: 6-7)
“Dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.” Al Muzammil: 13
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan tentang ayat diatas: Bahwa “makanan yang menyumbat di kerongkongan” itu adalah duri yang nyangkut di kerongkongan yang tidak bisa masuk dan tidak pula keluar. Sehingga makanan itu hanya akan menambah kepedihan dan kesengsaraan.
b. Pohon Zaqqum
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya kalian wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, kalian benar-benar akan memakan pohon zaqqum. Dan kalian akan memenuhi perutmu dengannya.” (Al Waqi’ah: 51-53)
Apakah pohon zaqquum itu? Apakah pohon itu enak lagi lezat? Tentu tidak, justru pohon itu hanya akan menambah kepedihan dan kesengsaraan pula.
Allah subhanahu wata’ala mensifati lebih lanjut tentang pohon zaqqum dalam ayat lainnya (artinya): “Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. Maka sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu. Maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum tersebut.” (Ash Shaffat : 64-66)
Tatkala para penghuni neraka haus karena terbakar. Maka Allah subhanahu wata’ala sudah siapkan hidangan minuman bagi mereka yang akan menambah pedih siksaan mereka. Minuman berupa nanah dan air panas yang dapat memotong usus-usus mereka. Allah berfirman (artinya): “Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas..” (Ash Shaffat: 67-68)
“… dan mereka diberi minuman air yang mendidih sehingga memotong usus-usus mereka.” (Muhammad: 15)
“Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah.” An Naba’ : 24-25
Pakaian Penghuni An Naar
Mereka juga akan dikenakan pakaian. Tentu pakaian itu tidak dibuat untuk kenyamanan. Justru pakaian itu sengaja disiapkan untuk menambah kesengsaraan bagi para penghuni nereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka ditutup oleh api neraka.” (Ibrahim : 50)
“Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka…,” (Al Haj : 19)
Tempat Tidur Penghuni An Naar
Demikian juga mereka telah disiapkan tempat tidur dan selimut. Yang sengaja dibuat untuk menambah kepedihan adzab bagi mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang zhalim.” (Al A’raf: 41)
Pembaca yang dimuliakan Allah, setelah kita mengetahui kengerian dahsyatnya adzab neraka, maka banyak-banyaklah kita berdo’a, bertaubat dan beramal shalih. Karena Allah dengan rahmat-Nya hanya akan menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya dan takut dari adzab neraka. Yatiu dengan melaksakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi laranga-larangan-Nya. Ya Allah, tunjukilah kami ke dalam jalan-Mu yang lurus yang menghantarkan ke dalam Al Jannah (surga) dan jauhkanlah kami dari jalan-jalan yang menghantarkan ke dalam api neraka.!!! Amiin, Ya Rabbal alamiin.
BAGAIMANA MENGAMALKAN KANDUNGAN ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAH
Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wata’ala, sebenarnya ikrar dua kalimat syahadat yang sering kita ucapkan itu tidak cukup sekedar di lisan saja. Namun di dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipenuhi. Bila seseorang tidak sanggup memenuhi kosekuensi- konsekuensi apa yang telah diikrarkan maka ibarat sebuah pengakuan tanpa bukti. Sehingga sia-sialah (percuma) pengakuannya itu. Bahkan hal itu justru menambah hina bagi dirinya, ia telah mengikrarkan sesuatu yang pada kenyataannya justru amalannya menyelisihi apa yang ia ikrarkan. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan peringatan kepada kita kaum mukminin yang tidak mau beramal dengan perkara yang telah kita ucapkan dan kita ikrarkan? Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengucapkan apa-apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh besar kemurkaan Allah jika kalian mengucapkan perkara-perkara yang kalian sendiri tidak mau mengamalkannya.” (Ash Shaff: 2-3) Kita semua telah tahu bahwa dua kalimat syahadat merupakan kalimat yang mulia yang dengannya akan terbedakan antara muslim dan kafir. Ketika seseorang telah menyatakan Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah maka di antara konsekuensi yang harus dia lakukan adalah dia harus mengikhlaskan dan mempersembahkan seluruh peribadatannya hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Berdo’a, istighotsah, tawakkal, meminta rizki, takut, menyembelih hewan kurban, dan seluruh jenis ibadah lainnya harus dipersembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala semata.
Demikian juga dengan syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah, di dalamnya terkandung beberapa konsekuensi yang harus kita perhatikan dan kita amalkan. Dan Insya Allah pada buletin edisi kali ini, bahasan kita lebih terfokus pada kalimat yang kedua dari Asy Syahadatain tersebut. Karena hal ini merupakan perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan kita amalkan.
Dua Pokok Penting
Ketahuilah, wahai saudaraku seislam dan seiman, kalimat syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah (atau dengan redaksi yang lebih lengkap: Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa Rasuluhu) itu terkandung padanya dua pokok penting yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dua pokok penting itulah yang Allah subhanahu wata’ala ingatkan dalam ayat-Nya (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diberikan wahyu kepadaku bahwa sesungguhnya sesembahan kalian itu adalah sesembahan Yang Esa.” (Al Kahfi: 110)
Demikian pula Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam juga ingatkan dalam haditsnya. Dari shahabat ‘Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ …
“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya ….” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dari ayat dan hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa dua pokok penting tersebut adalah:
Pokok pertama; bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita. Beliau mengalami apa yang selayaknya dialami pada seorang manusia. Mengalami sakit, luka, haus, lapar dan selainnya dari sifat-sifat manusia. Beliau pun tidak memiliki sifat-sifat ilahiyyah. Beliau mengajarkan kepada para shahabatnya untuk memohon kepada Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka butuhkan. Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a sebelum salam pada shalat shubuh dengan do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا وَرِزْقًا طَيِّبًا
Demikian pula ketika datang musim kemarau yang berkepanjangan, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala supaya diturunkan hujan dan juga pernah shalat istisqa’ bersama para shahabatnya.
Ini semua adalah pengajaran Nabi kepada umatnya bahwa yang berhak dimintai pertolongan itu hanyalah Allah subhanahu wata’ala semata. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu adalah seorang hamba yang menghamba kepada Allah subhanahu wata’ala.
Lalu pantaskah kita meminta rizki, berdo’a, meminta untuk dihilangkan kesulitan kita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan (artinya):
Katakanlah (wahai Muhammad ?): aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al An’am: 50)
Pokok kedua; bahwa beliau adalah Rasulullah (utusan Allah subhanahu wata’ala). Allah subhanahu wata’ala telah memilih Muhammad bin ‘Abdillah sebagai utusan-Nya. Allah subhanahu wata’ala berhak memilih siapa di antara hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikan risalah dan syari’at-Nya ini kepada umat manusia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al An’am: 124)
Dalam kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul maka kedudukannya itu tidak boleh disamakan dengan hamba Allah subhanahu wata’ala yang lain. Perintah beliau harus ditaati, nasehat dan petuah beliau harus didengarkan dan diamalkan, sabda-sabda dan kabar yang beliau sampaikan haruslah diterima dan tidak boleh didustakan, karena setiap ucapan yang keluar dari lisan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan wahyu sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An Najm: 3-4)
Dua pokok inilah yang seyogyanya dipahami oleh setiap muslim sehingga dia tidak terjatuh ke dalam perbuatan Ifrath (berlebihan dalam mengkultuskan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sehingga memposisikan beliau melebihi posisi dan kedudukannya sebagai hamba Allah), dan tidak pula terjatuh ke dalam perbuatan Tafrith (meremehkan dan merendahkan kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul sehingga dia cenderung untuk menolak atau meragukan tentang kebenaran risalah beliau).
Perbuatan seperti inilah yang pernah diperingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya:
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ, إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ.
“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku adalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah: (Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
Konsekuensi yang Harus Diperhatikan
Di antara konsekuensi dari pernyataan Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah adalah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama, yaitu:
1. Mentaati Seluruh Perintahnya
Sudahkah kita berupaya untuk mendengar dan mentaati seluruh nasehat dan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul-Nya sebagai qudwah (teladan) bagi umatnya? Meneladani prilaku dan akhlaknya, mengikuti petunjuknya, mematuhi perintahnya, dan menelusuri jejak dan sunnahnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah.” (An Nisa’: 64)
“Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka ambillah (laksanakanlah) …” (Al Hasyr: 7)
Demikian pula sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
“Dan setiap apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Inilah bukti kasih sayang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka melainkan perintah itu dibatasi dengan kemampuan yang mereka miliki.
Tetapi, tahukah anda bahwa siapa saja dari umat beliau yang berupaya untuk mengikuti dan mentaati Nabinya dengan ikhlas, maka sungguh dia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya ??
Bukankah anda ingin untuk mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala? Kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala itu hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mau mengikuti dan mentaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman-Nya (artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya: Siapa orang yang enggan itu wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau bersabda: Barangsiapa yang mentaatiku, dia akan masuk Al Jannah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.” (HR. Al Bukhari)
2. Membenarkan Seluruh Berita yang Disampaikan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah kita membenarkan seluruh berita yang disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Pernahkah terbetik di benak kita perasaan ragu akan berita yang disampaikan beliau ??
Pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala memuliakan kita, jangan ada sedikitpun perasaan ragu apalagi sampai mengingkari berita-berita yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tidaklah beliau bersabda melainkan itu merupakan sebuah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala wahyukan kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam . Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An Najm: 3-4)
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Ash Shadiqul Mashduq (yang jujur dan bisa dipercaya), setiap kabar dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, baik kabar tentang kejadian umat terdahulu maupun kejadian yang dialami Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri seperti Isra’ dan Mi’raj, dan juga kejadian yang akan datang seperti akan datangnya hari kiamat, akan adanya hari pembalasan, dan yang lainnya, maka wajib bagi kaum mukminin untuk membenarkan dan mengimaninya.
Pantaskah bagi seorang muslim untuk meragukan dan apalagi mendustakan segala berita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau pernah bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟ يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً.
“Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (Allah)? Senantiasa datang kepadaku kabar dari langit pagi dan petang.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
3. Menjauhi Semua Larangannya
Sudahkah kita meninggalkan dan menjauhi setiap perkara yang dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Berapa banyak peringatan dan larangan dari beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang kita langgar dan kita selisihi? Pertanyaan ini hendaknya menjadi renungan bagi kita semua karena sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan dalam Al Qur’an (artinya):
“… dan apa yang dilarangnya (Rasulullah), maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Demikian pula sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ …
“Setiap yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah …” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Para pembaca yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita, kalau masihkah ada di antara kita yang menyelisihi apa-apa yang dilarang oleh junjungan kita shalallahu ‘alaihi wasallam , maka hendaknya segera bertaubat dan beristighfar sebelum ajal menjemputnya. Rahmat Allah itu luas, pintu taubat masih terbuka lebar-lebar. Padahal Allah subhanahu wata’ala itu benar-benar mencintai hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya. Karena dikhawatirkan kalau sekiranya kita menyelisihi dan melanggar sabda Rasul-Nya, Allah akan menurunkan adzab-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) takut akan ditimpa fitnah (bencana) dan adzab yang pedih.” (An Nur: 63)
4. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala Sesuai dengan Tuntunan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan beliau ?? Sudahkah amal ibadah yang kita lakukan sesuai dengan bimbingan beliau ?? Tentunya kita khawatir akan terjerumus ke dalam apa yang pernah diingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Wahai saudaraku yang mulia, seyogyanya bagi kita semua selalu berupaya untuk menyesuaikan segala amal ibadah kita dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tujuan utama diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ke muka bumi ini adalah dalam rangka mengajari umat manusia bagaimana cara ibadah yang benar kepada Allah subhanahu wata’ala. Itulah hikmah kenapa syahadat Muhammadar Rasulullah diletakkan syahadat Laa Ilaaha Illallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Amien, ya Rabbal ‘alamin.
MEMETIK BUAH KEIKHLASAN
Beberapa keutamaan dan buah yang bisa dipetik dari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala, di antaranya adalah:1. Mendapatkan syafa’at Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at engkau pada hari kiamat nanti?” Beliau menjawab:
مَنْ قَالَ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dengan ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR. Al Bukhari)
Makna ikhlas di sini adalah dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan sekaligus menjalankan konsekuensi-konsekuensi dari kalimat tersebut, yakni dia harus benar-benar mempersembahkan amal ibadahnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan engkau menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An Nisa’: 36)
2. Dibukakan baginya pintu-pintu langit
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَا قَالَ عَبْدٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله قَطٌّ مُخْلِصًا, إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ, حَتَّى يُفْضِيَ إِلَى الْعَرْشِ, مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas, kecuali pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu langit, sampai dia dibawa ke ‘Arsy (tempat beristiwa’nya Allah), selama dia menjauhi perbuatan dosa-dosa besar.” (HR. At Tirmidzi)
3. Diharamkan baginya An Nar (Neraka)
Sesungguhnya An Nar itu haram dimasuki oleh orang-orang yang ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا, بِدَعْوَتِهِمْ, وَصَلاَتِهِمْ, وَإِخْلاَصِهِمْ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menolong umat ini dengan adanya kaum yang lemah di antara mereka, dengan doa mereka, dengan shalat mereka, dan dengan keikhlasan yang ada pada mereka.” (HR. An Nasa’i)
7. Dilapangkan dari masalah yang sedang menghimpitnya
Terkadang seorang muslim dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik yang terkadang menjadikan dia berputus asa dalam mengatasinya. Tetapi, tahukah anda bahwa amalan-amalan yang dilakukan dengan ikhlas dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) dalam berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala untuk dihilangkannya berbagai masalah yang sedang menghimpitnya?
Hal ini pernah menimpa tiga orang pada zaman dahulu ketika mereka terperangkap di dalam sebuah goa. Kemudian Allah subhanahu wata’ala selamatkan mereka karena do’a yang mereka panjatkan disertai dengan penyebutan amalan-amalan shalih yang mereka lakukan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala.
Kisah selengkapnya bisa anda baca di kitab Riyadhush Shalihin hadits no. 12.
8. Husnul Khatimah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seseorang yang telah membunuh 99 bahkan 100 orang. Kemudian orang tersebut hendak bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi akhirnya orang tersebut meninggal sebelum beramal kebajikan sedikitpun.
Namun Allah subhanahu wata’ala terima taubatnya karena keikhlasan dia untuk benar-benar bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan dia pun tergolong orang yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah.
Kisah selengkapnya juga bisa anda baca di kitab Riyadhush Shalihin hadits no. 20.
9. Benteng dari godaan setan
Setan dan bala tentaranya akan senantiasa menggoda umat manusia seluruhnya sampai hari kiamat. Namun hanya orang-orang yang ikhlaslah yang akan selamat dari godaan mereka ini. Hal ini diakui sendiri oleh pimpinan para setan yaitu iblis, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala sebutkan pengakuannya itu dalam Al Qur’an (artinya):
“Iblis berkata: “Wahai Tuhanku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka.” (Al Hijr: 39-40)
10. Selamat dari jurang kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala
Tercatat dalam sejarah, bagaimana dahsyatnya godaan yang dialami Nabi Yusuf ? ketika diajak berzina oleh seorang istri pejabat negeri waktu itu. Namun Allah subhanahu wata’ala selamatkan dia dan Allah subhanahu wata’ala palingkan dia dari perbuatan tersebut. Allah subhanahu wata’ala kisahkan peristiwa ini di dalam Al Qur’an (artinya):
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.” (Yusuf: 24)
Apa sebabnya?
“Sesungguhnya dia (Yusuf) itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.” (Yusuf: 24)
11. Senantiasa di atas kebaikan
Diriwayatkan oleh Ja’far bin Hayyan dari Al Hasan, bahwa beliau berkata: “Senantiasa seorang hamba itu berada dalam kebaikan, jika berkata, (ikhlas) karena Allah subhanahu wata’ala, dan jika beramal, (ikhlas) karena Allah subhanahu wata’ala.”
KEUTAMAAN IKHLAS DALAM MENJALANKAN RUKUN ISLAM
Agama Islam itu memiliki lima rukun berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ
“Islam itu dibangun di atas lima rukun: Syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melakukan ibadah haji ke Baitullah Al Haram.” (HR. Al Bukhari, Muslim).
Barangsiapa yang melaksanakannya dengan keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala, maka dia telah membangun bangunan Islam ini dengan pilar-pilar yang sangat kuat sehingga dia tetap istiqamah di atas agama Islam sampai dia dipanggil ke haribaan-Nya.
Di samping itu ada beberapa keutamaan khusus yang terdapat pada masing-masing amalan rukun Islam tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut:
1. Ikhlas dalam syahadat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ نَفْسٍ تَمُوْتُ وَهِيَ تَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَنِّيْ رَسُولُ اللهِ, يَرْجِعُ ذَلِكَ إِلَى قَلْبِ مُؤْمِنٍ, إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ
“Tidaklah ada satu jiwa pun yang meninggal dalam keadaan bersyahadat Laa Ilaaha Illallah dan aku adalah Rasulullah yang itu semua kembali kepada hati seorang mukmin (ikhlas dari lubuk hatinya), kecuali Allah akan beri ampunan kepadanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, lihat Ash Shahihah, no. 2278)
2. Ikhlas dalam Shalat
Keutamaannya sebagaimana yang disabdakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ, فَيُحْسِنُ الْوُضُوْءَ, ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ, يُقْبِلُ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ, إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian menegakkan shalat dua rakaat dengan menghadirkan hati dan wajahnya (ikhlas), kecuali wajib bagi dia untuk masuk Al Jannah.” (HR. Muslim)
3. Ikhlas dalam Menunaikan Zakat
Pernah salah seorang shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam datang kepada beliau dan menanyakan tentang Islam. Beliau pun menjawabnya dengan menyebutkan beberapa perkara, di antaranya adalah kewajiban membayar zakat. Kemudian shahabat tadi pergi dan mengatakan:
وَاللهِ! لاَ أَزِيْدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ مِنْهُ
“Demi Allah, aku tidak akan menambah (dari yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) dan tidak akan menguranginya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
“Sungguh dia beruntung jika benar-benar jujur dalam ucapannya.”
Di antara konsekuensi kejujuran seseorang adalah hendaknya dia benar-benar ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala dalam amalannya tersebut.
4. Ikhlas dalam Menjalankan Puasa Ramadhan
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا, غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata ikhlas mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
5. Ikhlas dalam Ibadah Haji
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَجَّ لِلّهِ, فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji semata-mata ikhlas karena Allah, dan dia tidak melakukan perbuatan kotor dan dosa dalam hajinya tersebut, maka dia kembali dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya (suci dan bersih dari dosa).” (HR. Al Bukhari, Muslim)
MUTIARA HADITS
Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Tidak akan kalian masuk jannah (surga) sampai kalian beriman, tidak akan kalian beriman sampai terjalin kasih sayang diantara kalian, maukah aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian melakukannya niscaya akan terjalin kasih sayang diantara kalian, tebarkan salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Saudaraku, keharmonisan dan kedamaian merupakan dambaan setiap insan. Dambaan ini akan terwujud bila terjalin kasih sayang sesama kita. Diantara jalan termudah untuk merealisasikan hal itu adalah menebarkan salam diantara kita sesama muslim, baik yang kita kenal ataupun tidak. Salam itu merupakan do’a keselamatan, kerahmatan dan keberkahan. Bila kita mengucakan salam:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
lalu dijawab dengan jawaban semisalnya atau yang lebih sempurna:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Maka akan terasa jalinan ukhuwah (persaudaran) dan mahabbah (kecintaan) diantara kita. Jika sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini diterapkan di keluarga, masyarakat, pasar-pasar, kantor-kantor dan dimanapun kita berada, niscaya kita semua akan merasakan kemuliaan sy’iar agama Islam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar