Dahsyatnya Sakaratul Maut
Allah subhanahu wata’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala.
Sementara hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.
Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wata’ala berfiman (yang artinya):
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umarradhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah no. 135)
Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan, dengan sebab yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah subhanahu wata’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)
Allah subhanahu wata’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya):
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.
‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu.
‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah subhanahu wata’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim)
Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.
Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR. Al-Bukhari no. 4446)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)
Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:
1. Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)
Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ
“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668)
Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah melanjutkan:
2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah subhanahu wata’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ
“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”
Maka jawabannya adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143)
Maka Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allahsubhanahu wata’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)
Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah subhanahu wata’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)
Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari hafizahullah berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah subhanahu wata’ala beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah subhanahu wata’ala, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)
Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah subhanahu wata’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)
Wallahu a’lam bish showabMerasakan Manisnya Iman
الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه ، كما يكره أن يقذف في النار » .
وفي رواية : « لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله » إلى آخره .
“Dan dalam riwayat keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dari Anas, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ada tiga perangai atau sifat yang jika ada pada diri seseorang, maka orang tersebut akan mendapatkan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali karena Allah, (3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.”
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafazh: “Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai dia mencintai seseorang, dan tidaklah kecintaannya itu kecuali karena Allah …” -sampai akhir hadits-.
Penjelasan hadits
Tidak semua orang yang beriman akan merasakan kelezatan imannya. Sebagaimana seseorang yang memiliki makanan, belum tentu dia bisa merasakan lezatnya makanan itu. Iman yang dimiliki seseorang akan bisa dirasakan lezatnya oleh orang tadi sehingga iman itu akan bisa menyenakan hati dia, dan dia bisa merasakannya nikmatnya ketaatan, meskipun kelihatannya lelah dan habis waktunya untuk melakukan ibadah.
Manisnya iman adalah sesuatu yang didapati oleh manusia dalam hatinya berupa ketenangan dan kelapangan dada, dia merasa senang dengan iman tersebut dan tidak merasa terbebani.
Dan rasa manis (حَلاَوَة) di sini bukanlah sesuatu yang bisa dirasakan oleh lisan ini. Akan tetapi yang dimaksud halawah ini adalah halawah qalbiyyah. Jika seseorang ingin mendapatkan halawah iman ini, maka dia harus mempunyai tiga sifat/perangai sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut.
Yang Pertama
Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada selain keduanya. Ini adalah perkara yang berat kecuali bagi orang yang mau bersungguh-sungguh untuk mengorbankan dirinya demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Seseorang yang mencintai istri ataupun orang tuanya, ketika dihadapkan pada kepentingan Allah dan Rasul-Nya, maka dia harus mendahulukan kepentingan Allah dan Rasul-Nya tersebut, ini membutuhkan mujahadah (kesungguhan).
Dan di antara tanda seseorang mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah dia mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan dia membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, dia mengutamakan keridhaan Allah daripada selain-Nya, dia juga mengikuti jejak Rasul-Nya, melaksanakan perintah beliau dan menjauhi larangannya.
Taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, sebagaiman disebutkan dalam ayatul mihnah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ.
“Katakanlah wahai Muhammad, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Yang Kedua
Mencintai seseorang, dan tidaklah dia mencintai orang tersebut kecuali karena Allah, bukan karena kepentingan duniawi. Mencintai seseorang karena dia adalah orang yang taat kepada Allah, atau karena dia adalah orang yang beriman, meskipun orang yang dicintai tadi adalah orang yang fakir.
Mencintai seseorang banyak sebabnya, mungkin karena kekerabatan, teman, atau karena ingin mendapatkan kepentingan duniawi. Barang siapa yang mencintai sesorang karena Allah, maka ini akan menjadi sebab untuk bisa merasakan manisnya iman. Sehingga kita hendaknya bisa mengoreksi diri kita, apakah kecintaan kita kepada orang lain itu disebabkan karena Allah atau karena adanya kepentingan lainnya.
Yang Ketiga
Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.
Kebencian kembali kepada kekufuran disamakan dengan kebencian untuk dilemparkan ke dalam api neraka. Ini menunjukkan sangat bencinya dia kepada kekufuran dan tentunya benci pula kepada pelaku kekufuran. Orang yang merasakan kenikmatan dan manisnya iman tidak akan senang kembali kepada kekufuran setelah dia mendapatkan hidayah.
Inilah tiga sifat/perangai yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, barang siapa yang tiga sifat tersebut ada pada diri seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Dan ini dipahami bahwa seseorang tidak akan bisa merasakan manisnya iman kecuali dengan adanya tiga sifat ini. Sebagaimana dalam hadits yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah setelahnya yaitu
لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله.
“Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai dia mencintai seseorang, dan tidaklah kecintaannya itu kecuali karena Allah.”
Faedah yang bisa dipetik dari hadits ini, di antaranya[1]:
1. Menetapkan adanya manisnya iman yang bisa dirasakan, dan setiap mukmin belum bisa merasakan manisnya iman sampai dia memiliki tiga sifat tersebut.
2. Keutamaan dan kewajiban mendahulukan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada kecintaan kepada selain keduanya.
3. Mencintai seseorang karena Allah merupakan tanda keimanan.
4. Wajibnya membenci kekufuran dan juga sekaligus orang kafir, karena orang yang membenci sesuatu, maka dia juga harus membenci orang yang melakukan sesuatu tersebut.
5. Barangsiapa yang memiliki tiga sifat ini, maka dia lebih utama dari orang yang tidak memilikinya, walaupun orang yang memilikinya ini dulunya kafir yang kemudian masuk Islam, atau dulunya bergelimang dengan kemaksiatan kemudian bertaubat darinya. Ini lebih utama daripada yang tidak memiliki tiga sifat tersebut sama sekali.
[1] Dinukil dari kitab Al-Jadid Fi Syarhi Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz Al-Qar’awi rahimahullah dan kitab Al-Mulakhkhash Fi Syarhi Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah.
Kusandarkan Hidupku Kepada-Mu
Hakekat Tawakkal
Menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa dibarengi dengan usaha yang nyata bukanlah termasuk perangai orang yang bertawakkal dengan sebenarnya.
Secara bahasa, tawakkal bermakna الاعتماد (bersandar) dan التفويض (berserah diri). Bertawakkal kepada Allah ta’ala berarti menyandarkan dan menyerahkan segala urusan dia hanya kepada-Nya.
Seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah dengan dia benar-benar menyandarkan dirinya kepada Allah saja, dan dia tahu bahwa kebaikan itu datang hanya dari Allah ‘azza wajalla semata, Allah ta’ala sajalah satu-satunya Dzat yang mengatur segala urusannya. Dan dia pun juga memahami apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
يا غُلامُ إنِّي أعلِّمُكُ كَلماتٍ : احفَظِ الله يَحْفَظْكَ ، احفَظِ الله تَجِدْهُ تجاهَكَ ، إذا سَأَلْت فاسألِ الله ، وإذا استَعنْتَ فاستَعِنْ باللهِ ، واعلم أنَّ الأُمَّةَ لو اجتمعت على أنْ ينفعوك بشيءٍ ، لم ينفعوك إلاَّ بشيءٍ قد كَتَبَهُ الله لكَ ، وإنِ اجتمعوا على أنْ يَضرُّوكَ بشيءٍ ، لم يضرُّوك إلاَّ بشيءٍ قد كتبهُ الله عليكَ.
“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapatkan (pertolongan dan karunia) Dia berada di hadapanmu. Jika Engkau meminta, maka mintalah hanya kepada Allah. Jika Engkau meminta pertolongan, maka mintalah tolong hanya kepada Allah. Ketahuilah, kalu saja manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, maka tidaklah mereka bisa memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang Allah tulis bagimu, dan kalaulah mereka berkumpul untuk menimpakan mudharat kepadamu, maka tidaklah mereka mampu untuk memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang memang telah Allah tulis bagimu.” [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi. Lihat penjelasan Ibnu Rajab di dalam kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal.174]
Tawakkal merupakan kewajiban bagi seorang hamba yang dituntut untuk menunaikannya dengan ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal jika memang kalian mengaku beriman.” (Al-Maidah 23).
Dan firman-Nya:
إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ
“Jika kalian mengaku beriman kepada Allah, maka hanya kepada-Nya lah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian memang benar-benar orang-orang yang berserah diri.” (Yunus: 84)
Pada dua ayat ini, Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat keimanan dan keislaman seseorang. Hal ini menunjukkan tentang pentingnya permasalahan tawakal ini bagi seorang hamba. Tawakal merupakan wujud realisasi tauhid yang paling tinggi dan mulia yang dimiliki oleh seorang hamba. Segala yang dikerjakan dan diamalkan oleh seorang hamba, baik yang berhubungan dengan permasalahan dunianya maupun akhiratnya, dia kembalikan dan dia sandarkan semuanya hanya kepada Allah ‘azza wajalla semata, bukan kepada yang lain.
Namun yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa sikap tawakkal itu tidaklah kemudian mengabaikan upaya untuk melakukan sebab-sebab (yakni beramal dan berusaha) dengan sesuatu yang bisa mengantarkan kepada yang dia inginkan. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertawakkal dan sekaligus beramal mencari sebab-sebab teraihnya sesuatu yang dikehendaki tersebut. Ini merupakan bentuk tawakkal yang paling sempurna. Hanya saja jangan sampai seseorang bersandar sepenuhnya kepada sebab-sebab yang dia kerjakan tersebut dan kemudian melupakan ketergantungan dan bersandarnya diri kepada Allah subhanahu wata’ala.
Allah ta’ala berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (Al-Anfal: 60)
Dan firman-Nya:
خُذُوا حِذْرَكُمْ
“Bersiap siagalah kalian.” (An-Nisa’: 71)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling mulia dan paling sempurna tawakkalnya kepada Allah ‘azza wajalla, walaupun demikian beliau berusaha mencari dan melakukan sebab-sebab sebagai wujud dari tawakkal beliau kepada Rabbnya. Salah satunya adalah ketika berperang, beliau menyiapkan dan membawa senjata, memakai pakaian perang, memakai pelindung kepala dan yang lainnya dari perlengkapan perang. Tidak kemudian beliau pergi berperang dengan tanpa perlengkapan dengan alasan bergantung kepada Allah ta’ala. [Lihat Zaadul Ma’aad karya Ibnul Qayyim (I/130-133) dan (III/380-481)].
Dikisahkan bahwa sebagian kaum muslimin yang hendak pergi menunaikan ibadah haji namun tanpa membawa perbekalan. Bahkan mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah’. Ini adalah keliru, sehingga kemudian Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada mereka perintah untuk menyiapkan perbekalan. Allah ‘azza wajalla berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Dan berbekallah kalian. Maka sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
Bersandar sepenuhnya kepada sebab-sebab merupakan bentuk kesyirikan. Namun meninggalkan sebab-sebab dan pasrah begitu saja merupakan sikap yang tercela dalam syariat. Maka, janganlah tawakkal ini menjadikan seseorang malas dan lemah, pasrah begitu saja tanpa mau berusaha mencari sebab. Dan juga janganlah kemudian seseorang berusaha mencari sebab-sebab namun tidak bersandar kepada Allah subhanahu wata’ala. Wajib bagi seseorang untuk menunaikan keduanya: mencari sebab dan bersandar kepada Allah.
Jika ada yang berkata: ‘Saya akan bertawakkal saja kepada Allah untuk mendapatkan rezeki. Saya akan tinggal di rumah saja dan tidak perlu repot-repot mencari rezeki’.
Maka kita katakan kepadanya bahwa ini tidak benar dan bukan merupakan bentuk tawakkal yang sesungguhnya. Karena Allah subhanahu wata’ala -Dzat yang telah memerintahkan untuk bertawakkal- juga telah berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dibangkitkan.” (Al-Mulk: 15)
Dan juga jika ada seseorang yang hendak meminum racun, kemudian berkata: ‘Saya bertawakkal kepada Allah agar racun ini tidak memudharatkan saya’. Inipun bukan merupakan bentuk tawakkal yang benar dan bahkan menyelisihi larangan Allah subhanahu wata’ala, karena Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa: 29).
Walhasil, bahwa mencari sebab-sebab yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan tidaklah meniadakan kesempurnaan tawakkal. Bahkan hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan tawakkal itu sendiri.
الله المستعان وألله أعلم
[Diterjemahkan dengan ringkas dari kitab Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan (I/33-37)Jika Engkau Lebih Cinta Dunia
وقوله : { قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ
تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ } [ التوبة : 24
“Katakanlah (wahai Nabi Muhammad): Jika bapak-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik. ” (At-Taubah: 24)
Kalau kita perhatikan, dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar menerangkan kepada umatnya bahwasanya barangsiapa yang mengutamankan kecintaan kepada delapan hal tersebut[1] daripada kecintaannya kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah, maka Allah ‘azza wajalla akan memberikan ‘iqab kepadanya. Dan yang dimaksud jihad di sini adalah berjihad untuk meninggikan kalimat dan agama Allah subhanahu wata’ala.
Dalam ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan kepada delapan hal ini, walaupun bukan termasuk mahabbah ibadah, ketika kecintaannya melebihi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya maka, kecintaannya ini akan mendatangkan adzab dari Allah ta’ala:
Faidah yang bisa dipetik dari ayat ini di antaranya[2]:
1. Kewajiban mencintai Allah subhanahu wata’ala dan mencintai apa yang diwajibkan kepada kita.
2. Wajibnya mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Mencintai Allah dan Rasul-Nya merupakan dua hal yang saling berkaitan, tidak sah mencintai salah satu dari keduanya tanpa disertai yang lainnya. Ini adalah dua keharusan yang tidak bisa dilepas. Oleh karena itulah, Allah ‘azza wajalla menurunkan Ayatul Mihnah (ayat ujian).
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), maka Allah akan mencintai kalian.”
Sebagian salaf mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan suatu kaum yang mengaku cinta kepada Allah. Maka kemudian Allah subhanahu wata’ala menurunkan Ayatul Mihnah ini. Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah, maka dia harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan hakekat dari kecintaan itu adalah bagaimana seseorang bisa melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan kecintaan dan keridhaan yang dicintainya. Seseorang yang mencintai Allah ‘azza wajalla, dia harus melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan kecintaan dan keridhaan-Nya, yaitu dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itulah, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya perkaranya (yang penting) adalah bukan (sekedar) kalian mencintai, tetapi yang penting adalah bagaimana kalian dicintai (yakni bagaimana agar bisa mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah).”
Bisa jadi seseorang mencintai orang lain, akan tetapi ternyata orang tersebut tidak mencintainya karena dia tidak bisa berbuat sesuatu yang bisa menumbuhkan kecintaan orang yang dicintainya tadi. Maka kecintaan orang tersebut percuma dan hanya menimbulkan kesengsaraan.
Sehingga yang terpenting adalah bagaimana kita bisa merealisasikan kecintaan kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Dan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan dalil dan bukti kecintaan dia kepada Allah ‘azza wajalla.
4. Haramnya mendahulukan kecintaan kepada delapan hal ini (dan juga hal-hal lain yang bersifat duniawi) daripada kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah.
5. Hidayatut taufiq itu khusus milik Allah, hanya Allah ‘azza wajalla sajalah yang mengaturnya, bukan yang lainnya. Faidah ini diambil dari potongan ayat:
وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ
“Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik.”
6. Ancaman terhadap orang yang mencintai delapan hal ini melebihi kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah.
Bersambung insya Allah …
[1] Yakni cinta kepada (1) bapak-bapak, (2) anak-anak, (3) saudara-saudara, (4) istri-istri, (5) keluarga, (6) harta, (7) perdagangan, dan (8) tempat tinggal.
[2] Sebagian faidah ini merujuk kepada kitab Al-Jadid fi Syarhi Kitab At-Tauhid.
Dukun dan Tukang Ramal Budak Setan
Sangatlah mengherankan, ternyata dari kalangan manusia ini ada yang menjadi murid sekaligus kaki tangan setan, siap menuruti segala petuahnya serta siap menjadi hamba dan budaknya. Dengan sikap ini, dia lancarkan segala manuver penyesatan yang dilakukan oleh musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan musuh kaum mukminin, pemimpin kejahatan, iblis la’natullah. Mereka adalah dukun dan tukang ramal.
Melalui murid, sang guru mendapatkan banyak peluang untuk melakukan penipuan dan penyesatan. Bahkan sang guru telah menciptakan kondisi yang seolah-olah umat ini tergantung dan tidak bisa terlepas dari dukun dan tukang ramal. Rumah panggung yang sudah reot dipadati pengunjung dari berbagai penjuru, yang semuanya ingin mengadukan nasib hidupnya. Padahal si dukun atau tukang ramal itu sendiri tidak mengetahui nasib dirinya. Karena jika dia mengetahui nasib hidupnya niscaya dia akan bisa mengubah nasibnya sendiri serta istri dan anaknya. Kedustaan menjadi senjatanya yang paling ampuh. Kekufuran menjadi baju dan selimutnya. Ilmu ghaib menjadi sandaran petuahnya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Al-Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang paling besar dalam merincikan luasnya ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang mencakup seluruh perkara ghaib. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan sebagiannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Namun kebanyakan perkara ghaib itu disembunyikan ilmunya dari malaikat yang dekat maupun para rasul yang diutus, lebih-lebih dari selain mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segala yang ada di daratan berupa berbagai macam hewan, pohon, pasir, kerikil, dan debu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui segala yang ada di lautan berupa berbagai macam hewan laut, segala macam tambang, ikan dan segala yang terkandung di dalamnya serta air yang meliputinya…
Jika semua makhluk dari yang pertama sampai yang terakhir, berkumpul untuk mengetahui sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya mereka tidak akan sanggup dan tidak akan mencapainya. Maka Maha Suci Allah Rabb yang Mulia, Maha Luas, Maha mengetahui, Maha terpuji, Maha Mulia, dan Maha menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesembahan selain-Nya. Tidak ada seorang pun yang sanggup memuji-Nya. Dia adalah sebagaimana Dia puji Diri-Nya, dan di atas segala pujian hamba-hamba-Nya. Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala mencakup segala sesuatu dan bahwa kitab-Nya (Lauh Al-Mahfuzh) yang tertulis mencakup segala kejadian.” (Tafsir As-Sa’di, 1/259)
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada beliau agar menyerahkan semua urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga memerintahkan agar beliau memberitakan tentang dirinya bahwa dia tidak mengetahui perkara ghaib. Tidaklah beliau mengetahui perkara yang ghaib melainkan apa yang telah diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang ghaib. Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27) [Tafsir Ibnu Katsir, 3/523]
Jika imam para nabi dan rasul, Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib, apakah kemudian selain beliau patut untuk mengilmuinya dan menjadikannya sebagai sandaran petuah? Apakah selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menguasainya sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak? Tentu ini adalah bentuk kedangkalan akal dan kerusakan fitrah.
Mengenal Lebih Dekat Dukun dan Arraf
‘Arraf merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata ‘arif. Ada sebagian ulama mengatakan bahwa ‘arraf itu sama dengan kahin (dukun) yaitu orang yang memberitahukan tentang sesuatu yang akan datang. Sebagian yang lain mengatakan ‘arraf adalah nama umum dari kata kahin, dukun, munajjim, rammal, dan selainnya, yaitu orang yang berbicara tentang sesuatu yang ghaib dengan tanda-tanda yang dia pergunakan.
Di antara alat yang dipergunakan untuk mengetahui perkara yang ghaib adalah: pertama, melalui kasyf (baca: terawangan); dan kedua, melalui setan. Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu mengatakan: “Arraf adalah orang yang mengaku mengerti suatu benda atau barang yang dicuri, tempat hilangnya, atau selainnya, dengan tanda-tanda tertentu.”
Kahin (dukun) adalah orang yang memberitahukan tentang terjadinya suatu perkara ghaib pada waktu yang akan datang. Atau dengan kata lain, orang yang memberitahukan apa yang ada di dalam hati. (Lihat Majmu’ Fatawa, 35/173)
Walhasil, ‘arraf dan kahin adalah orang yang mengambil ilmu dari mustariqus sama’ (para pencuri berita dari langit) yaitu para setan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan dalam sebuah hadits tentang cara pengajaran ilmu perdukunan oleh setan:
إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ -وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ
Apabila Allah memutuskan sebuah urusan di langit, tertunduklah seluruh malaikat karena takutnya terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan suara rantai tergerus di atas batu. Tatkala tersadar, mereka berkata: “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri pendengaran (setan). Demikian sebagian mereka di atas sebagian yang lain -Sufyan menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu menjarakkan antara jari jemarinya-. (Pencuri berita) itu mendengar kalimat yang disampaikan, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya. Yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai dia menyampaikannya ke lisan tukang sihir atau dukun. Terkadang mereka terkena bintang pelempar sebelum dia menyampaikannya, namun terkadang dia bisa menyampaikan berita tersebut sebelum terkena bintang tersebut. Dia menyisipkan seratus kedustaan bersama satu berita yang benar itu. Kemudian petuah dukun yang salah dikomentari: “Bukankah dia telah mengatakan demikian pada hari demikian?” Dia dibenarkan dengan kalimat yang didengarnya dari langit itu.” (HR. Al-Bukhari no. 4522 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menandaskan sebuah kedok dan sekaligus topeng mereka yang dipergunakan untuk menipu umat, yaitu satu kali benar dan seratus kali berdusta. Dengan satu kali benar itu, dia melarismaniskan seratus kedustaan yang diciptakannya. Dan kedustaannya itu tidak dibenarkan melainkan karena satu kalimat tersebut. (Lihat Tafsir As-Sa’di, 1/700 dan Al-Qaulus Sadid hal. 71)
Inilah sesungguhnya tujuan setan mencuri kebenaran dari langit, yaitu menipu manusia dan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan serta mengaburkan kebenaran tersebut dengan kebatilan. Jika mereka membawa kebatilan yang murni, niscaya tidak ada seorang pun membenarkannya. Namun jika mereka mencampurkan kebatilan itu dengan sedikit kebenaran, akan menjadi fitnah (ujian) bagi orang yang lemah iman dan akalnya. (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid 1/408)
Ada tiga keadaan terkait dengan guru-guru dukun dan tukang ramal, yaitu para pencuri kebenaran dari langit:
Pertama: Sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jumlah mereka banyak sekali.
Kedua: Setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kondisi ini, tidak pernah terjadi pencurian berita dari langit. Kalaupun terjadi, itu jarang dan bukan dalam hal wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga: Setelah beliau meninggal dunia. Kondisinya kembali kepada kondisi pertama, namun lebih sedikit dari kondisi sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tamhid Syarah Kitab At-Tauhid, 1/447)
Benarkah Dukun dan Tukang Ramal Mengetahui Nasib alias Hal Ghaib?
Permasalahan perkara ghaib, ilmunya hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak ada sedikit pun ilmunya di tangan manusia. Jika ada orang yang mengaku mengerti ilmu ghaib berarti dia telah berdusta dan telah melakukan kekafiran yang nyata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (Luqman: 34)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا. لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا
“(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang ghaib. maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Rabbnya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” (Al-Jin: 26-28)
Masih banyak lagi dalil yang menjelaskan masalah ini, baik di dalam Al-Qur’an atau di dalam hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ilmu ghaib … sebuah sifat yang khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara ghaib adalah pemberitahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan semata-mata dari beliau.” (Fathul Bari, 9/203)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari ketika diri beliau dianggap mengetahui perkara ghaib, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dari Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra radhiyallahu ‘anaha. Dia berkata: “Tatkala Rasulullah walimatul ‘urs denganku, beliau duduk seperti duduknya dirimu (maksudnya perawi, red.) di hadapanku. Mulailah budak-budak wanita memukul (duff/semacam rebana) dan berdendang tentang ayah-ayah mereka yang terbunuh pada perang Badr. Di saat itu, salah seorang mereka berkata: ‘Dan di tengah kami ada seorang Nabi, yang mengetahui perkara esok hari.’ Beliau lalu berkata: ‘Tinggalkan ucapan ini! Katakanlah seperti ucapan yang telah engkau ucapkan’.”
Hadits ini menunjukkan, tidak benar jika seseorang berkeyakinan bahwa seorang nabi, wali, imam, atau syahid, mengetahui perkara ghaib. Sampai pun di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keyakinan ini tidak boleh terjadi.” (Risalatut Tauhid, 1/77)
Pembaca yang budiman. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam para nabi dan rasul tidak mengerti perkara ghaib, apakah masuk akal jika selain mereka dapat mengetahuinya? Dari sini jelaslah bahwa pengakuan mengetahui perkara ghaib adalah sebuah kedustaan yang nyata. Tampilnya para dukun dan tukang ramal yang mengaku mengerti hal itu merupakan dajjal.
Bolehkah Mendatangi Dukun dan Tukang Ramal?
Telah jelas dalam pembahasan di depan tentang hakikat dukun, siapa dia dan bagaimana kiprahnya di tengah umat sebagai “jagoan dalam berpetuah” tentang nasib seseorang. Lalu bagaimanakah hukum mendatangi mereka dan bertanya dalam berbagai persoalan kelangsungan hidup, susah atau senang, beruntung atau gagal, celaka atau selamat, dan sebagainya? Telah dibahas oleh para ulama hukum mendatangi mereka:
Pertama: Mendatanginya untuk bertanya tentang sesuatu tanpa membenarkan apa yang dikatakan. Ini termasuk sesuatu yang haram dalam agama. Ancamannya, tidak akan diterima shalatnya 40 malam, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu dia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim no. 2230 dari istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Kedua: Mendatangi mereka untuk bertanya kepadanya dan dia membenarkannya, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا -قَالَ مُوسَى فِي حَدِيثِهِ: فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ؛ ثُمَّ اتَّفَقَا- أَوْ أَتَى امْرَأَةً -قَالَ مُسَدَّدٌ: امْرَأَتَهُ حَائِضًا- أَوْ أَتَى امْرَأَةً -قَالَ مُسَدَّدٌ: امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا- فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَى مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa mendatangi dukun -Musa (perawi hadits) berkata: lalu dia membenarkan petuah dukun tersebut; kemudian mereka berdua sepakat dalam periwayatannya- atau mendatangi istrinya -Musaddad berkata: istrinya dalam keadaan haid- atau dia mendatangi istrinya -Musaddad berkata: istrinya pada duburnya- maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad.” (HR. Abu Dawud no. 9304 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Ketiga: Mendatangi mereka untuk mengujinya apakah dia benar atau dusta sekaligus untuk membongkar kedoknya, memperlihatkan kelemahannya. Tentunya dia memiliki ilmu untuk menilai benar atau dusta. Ini dibolehkan, bahkan terkadang hukumnya wajib, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 1289) dan Muslim (no. 2930) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Ibnu Shayyad: “Apa yang telah datang kepadamu?” “Telah datang kepadaku orang yang jujur dan pendusta.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang kamu lihat?” Dia berkata: “Aku melihat Arsy di atas air.” Beliau bertanya: “Sesungguhnya aku telah merahasiakan sesuatu apakah dia?” Dia berkata: “Dukh, dukh (asap).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Diamlah. Engkau tidak memiliki kemampuan melainkan apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya engkau tidak lebih dari dukun seperti teman-temanmu.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 4/186 dan Al-Qaul Al-Mufid, 1/397)
Jaringan Dukun dan Tukang Ramal serta Silsilah Ilmu Mereka
Telah lewat bahwa perdukunan dan peramalan itu sebuah kekufuran. Untuk mengerti berita tentang orang yang datang bertanya dan tentang barangnya yang dicuri, siapa yang mencurinya, barangnya yang hilang dan di mana tempat hilangnya, di sinilah letaknya kerja sama yang baik antara setan di satu pihak dengan dukun atau tukang ramal di pihak yang lain. Muhammad Hamid Al-Faqi berkata dalam komentarnya dalam kitab Fathul Majid (hal. 353): “Adanya hubungan intim antara qarin dari jin dengan qarin dari manusia, keduanya saling menyampaikan dan mencari berita yang disukai. Qarin dukun dan tukang ramal ini mencari berita dari qarin orang yang datang bertanya, karena setiap manusia memiliki qarin dari kalangan setan, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lalu qarin orang yang bertanya itu memberitahukan kepada qarin dukun atau tukang ramal tersebut segala sesuatu yang merupakan perihal kebiasaan orang yang datang bertanya, dan perihal di rumahnya.”
Orang-orang jahil menduga bahwa ini terjadi dari buah keshalihan atau ketakwaan dan karamah. Dengan kebaikannya, dia telah membuka tabir tentang semuanya. Ini termasuk kesesatan yang paling tinggi dan kehinaan yang paling rendah, meskipun banyak orang telah tertipu bahkan orang yang dikatakan berilmu dan baik.”
Wallahu a‘lamMenduakan Cinta
باب قول الله تعالى
{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ } [ البقرة : 165 ]
Bab Tentang Firman Allah Ta’ala: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah menjadikan ayat ini sebagai judul bab, dan mungkin yang dimaksudkan dari judul tersebut adalah Bab Mahabbah.
Asal dari semua amalan itu besumber dari mahabbah (kecintaan), manusia tidaklah berbuat (beramal) kecuali karena ada sesuatu yang dia cintai dan diinginkan. Bisa jadi sesuatu yang dia senangi itu berupa berhasilnya untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat, atau bisa jadi pula tertolak dan terlepaskannya dia dari mudharat.
Apabila seseorang beramal dengan suatu amalan tertentu, maka ini disebabkan karena dia menyukai (mencintainya)nya. Bisa jadi dia menyukai dzat (jenis) amalan tersebut, dan bisa pula karena lainnya. Misalnya seseorang yang makan buah-buahan, dia makan karena senang dengan dzat (jenis buah)nya itu sendiri. Ada pula orang yang melakukan perbuatan (amalan) tertentu bukan karena senang dengan dzatnya, tetapi karena ada sesuatu lain yang dia senangi. Misalnya obat, obat itu pahit (dan tentunya merupakan sesuatu yang tidak disukai), akan tetapi seseorang memakan obat itu bukan karena dia senang dengan dzat (obat)nya, akan tetapi dia melakukan itu karena ada sesuatu lain yang dia senangi, yaitu kesembuhan.
Ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala itu harus dibangun di atas mahabbah kepada-Nya, bahkan mahabbah ini merupakan hakekat ibadah. Jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah ‘azza wajalla tanpa adanya mahabbah, maka ibadahnya tersebut seperti kulit saja yang tidak ada ruh padanya. Kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala itu mengandung konsekuensi harus melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ruh ibadah itu adalah mahabatullah, dan mahabatullah ini merupakan hakekat dari ibadah itu sendiri. Jika manusia memiliki kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala dan memiliki kecintaan untuk sampai kepada jannah-Nya, pasti dia akan menempuh jalan yang bisa menyampaikan kepada itu semuanya. Itulah kecintaan yang jujur pada dada manusia. Jika tidak ada kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala, maka mustahil dia akan sampai kepada jannah Allah subhanahu wata’ala.
Mahabbah itu terbagi menjadi dua:
1. Mahabbah ibadah, yaitu kecintaan yang mengandung konsekuensi perendahan diri dan pengagungan terhadap Dzat yang dicintainya. Mahabbah ibadah yang ada di dada manusia ini mengandung konsekuensi untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mahabbah ini disebut juga oleh para ulama dengan Mahhabah Khashshah. Dan mahabbah seperti ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Sehingga barangsiapa yang menujukan mahabbah ini kepada selain Allah subhanahu wata’ala (yakni mencintai selain-Nya dan menyekutukan Allah dalam ibadah ini), maka dia telah menjadi musyrik dan terjatuh ke dalam syirik akbar.
2. Mahabbah yang bukan termasuk ibadah secara dzatnya. Dan ini banyak macamnya seperti:
a. Mahabbah Lilllahi wa Fillah. Yakni yang menjadikan kecintaan terhadap sesuatu adalah kecintaan dia kepada Allah. Seperti kecintaan kepada para nabi dan kepada orang shalih karena cintanya kepada Allah.
b. Mahabbah Isyfaq Wa Rahmah. Yakni mahabbah yang timbul dari sikap kasih sayang, seperti mencintai anak.
c. Mahabbah Ijlal Wa Ta’zhim. Yakni kecintaan dan pemuliaan yang bukan dalam bentuk ibadah. Seperti kecintaan seseorang terhadap orang tua, kecintaan terhadap orang yang berilmu.
d. Mahabbah Thabi’iyyah. Yaitu kecintaan yang timbul dari tabi’at dan sifat dasar manusia, seperti senang pada makanan, minuman, tempat tinggal, dan pakaian.
Yang paling baik dan paling mulia dari keempat macam mahabbah ini adalah jenis yang pertama, adapun ketiga jenis yang lain hukumnya mubah, tetapi kalau diniatkan ibadah[1], maka bernilai ibadah, dan kalau diniatkan maksiat maka bernilai maksiat.
Ayat pertama yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab dalam bab ini adalah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Penjelasan beberapa kalimat
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
yaitu sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan yang mereka menyetarakannya dengan Allah.
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
yaitu mereka mencintai tandingan selain Allah tersebut seperti mencintai Allah, yakni mereka menyamakan kecintaan kepada selain Allah dengan kecintaan kepada Allah, bahkan mereka menyamakan antara kecintaan kepada selain Allah dengan penuh rasa ta’zhim dan tadzallul (pengagungan dan perendahan diri)
وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
yaitu orang-orang mukmin lebih cinta kepada Allah dibandingkan kecintaan kaum musyrikin kepada Allah karena cintanya orang mukmin murni kepada Allah, sedangkan orang musyrikin kecintaannya terbagi-bagi, cinta kepada Allah, dan juga cinta kepada tandingan selain Allah. Dan ketahuilah bahwa kecintaan orang mukmin kepada Allah itu lebih besar daripada kecintaan musyrikin kepada-Nya.
Faedah yang bisa diambil dari ayat ini:
1. Orang yang menjadikan tandingan bagi Allah, yang kecintaan kepadanya sama dengan kecintaan kepada Allah, maka dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Dan mahabbah seperti ini adalah mahabbah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah.
2. Bahwasanya kesyirikan itu akan membatalkan amalan, dan faedah ini diambil dari kelanjutan ayat tersebut[2].
3. Bahwasanya di antara kaum musyrikin ada yang sangat mencintai Allah. Akan tetapi kecintaan tersebut tidak memberikan manfaat kepadanya karena masih adanya unsur kesyirikan padanya, kecuali kalau dia mengikhlaskan kecintaannya hanya kepada Allah.
4. Ikhlasnya kecintaan kepada Allah adalah termasuk tanda-tanda keimanan. Dan orang-orang yang beriman itu benar-benar cinta dan mengikhlaskan kecintaannya hanya kepada Allah.
[1] Seperti makan dengan maksud untuk membantu menguatkan ibadahnya kepada Allah, dan yang semisalnya.
[2] Yaitu rangkaian ayat yang akhir lafazhnya:
كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ.
“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al-Baqarah: 168)
Rebo Wekasan
Bukan Bagian dari Syari’at Yang Dituntunkan
Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun ini (1431 H) bertepatan dengan tanggal 10 Februari 2010). Di sebagian daerah, hari ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.
Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara / ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah[1] bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyari’atkannya’ ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
[1] Istilah ulama ‘arifin (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang bisa menyingkap) inipun juga tidak dikenal di kalangan salaf. Istilah ini dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai penamaan bagi orang-orang ‘khusus’ yang mengerti sesuatu tanpa melalui proses belajar, dalam bahasa jawa disebut ngerti sakdurunge winarah. Mereka -yakni ulama ‘arifin dan ahli mukasyafah itu- juga diyakini bisa bertemu langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bahkan bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala di dunia maya, sehingga mereka bisa menyingkap sesuatu (dari perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui oleh selain mereka. Ini semua tentunya adalah keyakinan yang batil, dan pembahasan seperti ini sangatlah panjang. Yang penting bagi kita adalah berupaya menjalankan agama ini -beraqidah, beribadah, berakhlak, bermu’amalah, dan lainnya dari urusan diniyyah- benar-benar bersumber dan sesuai dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih, bukan pemahaman selain mereka. Wallahu a’lam
Kiamat 2012 Dalam Sorotan
Akhir-akhir ini, umat islam dikejutkan oleh ramalan akan datangnya kiamat pada tahun 2012. Beberapa headline pada media masa akhir-akhir ini tak ketinggalan turut meramaikannya. Sejatinya berita ini berasal dari sebuah film yang diangkat dari ramalan bangsa Maya kuno paganis dari Meksiko. Film ini bercerita tentang akan terjadinya kiamat pada 21 Desember tahun 2012. Walaupun sebenarnya ramalan kiamat dari bangsa Maya masih diperselisihkan di kalangan mereka sendiri, ibarat dongeng atau hikayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Namun berita ini terlanjur menjadi isu di mana-mana, apalagi film ini laris bak kacang goreng dikunjungi oleh khalayak ramai di gedung-gedung bioskop.
Isu seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Mengingat sebelumnya telah banyak isu-isu seputar kiamat yang dijajakan oleh para paranormal dan tukang ramal.
Masih hangat di ingatan kita ramalan hari kiamat yang terjadi pada tanggal 9 bulan 9 tahun 1999, demikian pula ramalan-ramalan lainnya. Toh, ternyata semua ramalan itu hanyalah dusta dan tidak pernah terbukti.
Walau demikian, tak bisa dipungkiri pengaruh berbagai ramalan tersebut terhadap umat islam. Bahkan diantara mereka ada yang gantung diri (setelah melihat tayangan film 2012 tersebut), di saat masih belum punya bekal untuk menghadapinya.
Bagaimanakah bimbingan islam dalam menyikapi isu tersebut? Bagaimana pula tinjauan syari’at tentang permasalahan tersebut?
Rahasia Alam Ghaib Hanya Milik Allah subhanahu wa ta’ala
Segala sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari termasuk dari alam/ilmu ghaib. Ilmu ghaib merupakan rahasia Allah subhanahu wa ta’ala, yang tiada seorang pun sanggup menyingkap tabir rahasia tersebut. Seperti jodoh, karier, bisnis, ajal (kematian), atau seluruh yang akan terjadi di kemudian hari (meliputi peristiwa yang baik ataupun yang buruk), semuanya tersembunyi di alam ghaib, yang tidak ada yang mengetahui kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah salah satu aqidah atau prinsip seorang muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.” (An Naml: 65)
Dan dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan (artinya):
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri.” (Al An’am: 59)
Malaikat, Manusia, dan Jin Tidak Mengetahui yang Ghaib
Suatu pengakuan para malaikat bahwa diri mereka tidak mengetahui sesuatu kecuali yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ajarkan kepada mereka. Perhatikanlah bagaimana pengakuan mereka sendiri, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat, lalu (Allah) berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kalian (wahai para malaikat) memang benar!’ mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah: 31-32)
Begitu pula pengakuan para Nabi, bahwa mereka tidak mengetahui yang ghaib. Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang ghaib.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengatakan:
“Katakanlah: “Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tiada lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Jika para malaikat yang dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan para nabi yang merupakan utusan Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui yang ghaib, maka tentunya manusia secara umum, lebih tidak mengetahui alam ghaib.
Bangsa jin pun, juga tidak mengetahui yang ghaib. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka tentang kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau seandainya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap berada dalam siksa yang menghinakan (bekerja keras untuk Sulaiman, pen).” (Saba‘: 14)
Para pembaca rahimakumullah, kunci-kunci alam ghaib hanya berada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Namun, ada beberapa perkara ghaib yang Allah subhanahu wa ta’ala beritakan kepada rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Dia-lah Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkannya kepada siapa pun kecuali yang Dia ridhai dari kalangan rasul.” (Al Jin: 26-27)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang hal tersebut (artinya):
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara para rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Dengan demikian, kita kaum muslimin wajib meyakini kebenaran berita yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang ghaib karena itu adalah bersumber dari wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Dan sebaliknya, kita wajib tidak mempercayai berita tentang perkara ghaib yang datang dari selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti berita tentang akan datangnya kiamat maupun kejadian yang sangat dahsyat tahun 2012, dan yang lainnya. Karena itu adalah kedustaan belaka.
Hari Kiamat Tidak Ada Satu Makhluk pun yang Mengetahuinya
Hari kiamat termasuk dari alam ghaib. Tidak ada satu makhluk pun yang Allah subhanahu wa ta’ala beritakan kepadanya kapan terjadinya. Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan kepada para rasul-Nya untuk menyampaikan peringatan kepada manusia akan datangnya hari kiamat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Mereka bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah disisi Allah. Dan tahukah (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya.” (Al Ahzab: 63)
Kiamat itu pasti akan terjadi, bahkan termasuk dari rukun-rukun iman yang enam yang wajib diimani oleh setiap muslim.
Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang dikenal dengan hadits Jibril. Suatu riwayat yang cukup panjang, memuat pertanyaan-pertanyaan Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya, pertanyaan tentang rukun Iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وِمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“(Rukun) Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, (beriman kepada) hari akhir (kiamat), dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ditanya, kapan datangnya hari kiamat? Beliau menjawab:
مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.”
Artinya kedua-duanya sama-sama tidak mengetahui kapan hari kiamat itu akan terjadi.
فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ هُوَ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم :
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “…Lima perkara tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah”, Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat (artinya):
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah tentang pengetahuan terjadinya kiamat, Dia-lah yang menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, tidak ada satu jiwa pun mengetahui apa yang dikerjakan esok harinya, dan tidak ada yang mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seseorang untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut (sebagaimana dalam surat Luqman).
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ilmu tentang kapan datangnya hari kiamat tidak ada yang mengetahuinya, sekalipun nabi yang diutus dan malaikat yang paling dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Kemudian beliau menyebutkan ayat Al A’raf: 187):
لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ
“Tidak ada yang mampu menjelaskan waktu datangnya (hari kiamat) kecuali Dia (semata).”
Oleh karena itu, datangnya hari kiamat dan penentuan waktunya merupakan ketetapan dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala Hanya Memberitakan Tanda-tanda Hari Kiamat
Kita wajib mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat sebelum hari kiamat tiba.
Di antara tanda-tanda kiamat kubro (besar) adalah sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga terjadi sebelumnya sepuluh tanda; terbitnya matahari dari sebelah barat, keluarnya binatang (yang bisa berbicara), keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya Dajjal, turunnya ‘Isa bin Maryam, munculnya dukhan (asap yang meliputi manusia), terjadinya tiga longsor besar (dibenamkannya penduduk bumi) di timur, barat, dan jazirah Arab, dan yang berikutnya adalah keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka.” (Lihat HR. Muslim no. 2901, dan Abu Dawud no. 4311)
Hadits ini sekaligus sebagai contoh perkara ghaib yang diberitakan (diwahyukan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum terjadinya tanda-tanda kiamat tersebut.
Di antara aqidah yang harus diyakini oleh umat Islam adalah meyakini akan turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam ke dunia untuk menegakkan syari’at agama Islam. Beliau akan tinggal di bumi selama 40 tahun. (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, Ash Shahihah no. 2182)
Oleh sebab itu, jelaslah bagi kita bahwa tidaklah kiamat itu terjadi kecuali setelah muncul (terjadi) tanda-tandanya yang besar tersebut. Sehingga ramalan yang disandarkan kepada Bangsa Maya bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012 merupakan kedustaan dalam pandangan islam. Mengingat, ilmunya hanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan sekian banyak dari tanda- tandanya kiamat yang besar tersebut belum terjadi, seperti turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam dan akan tinggal di bumi selama 40 tahun.
Demikian pula, diangkatnya Imam Mahdi sebagai pemimpin tunggal kaum muslimin yang akan berkuasa selama 7 atau 8 tahun, dan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam turun pada masa kepemimpinan beliau (sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Hakim dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 711).
Hari Kiamat Hanya Akan Dirasakan oleh Sejelek-jelek Manusia
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلَى شِرَارِ الْخَلْقِ هُمْ شَرٌّ مِنْ أَهْلِ الْجَاهِلية
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidak akan tegak hari kiamat melainkan pada sejelek-jelek makhluk dan mereka lebih jelek daripada kaum jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1924)
Maka dari itu, di antara aqidah umat Islam pula hari kiamat tidak akan dialami oleh kaum muslimin. Ketika sudah dekat terjadinya hari kiamat, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan angin untuk mematikan seluruh manusia yang masih ada dalam hatinya keimanan. (sebagaimana dalam riwayat Muslim no. 1924)
Nasehat
Para pembaca rahimakumullah, dari pembahasan di atas tadi kita dapat mengetahui bahwa kiamat pasti terjadi, dan tidak ada yang mengetahui tentang waktu terjadinya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, semua ramalan tentang waktu terjadinya kiamat tersebut adalah batil dan dusta dalam pandangan islam yang suci ini. Namun demikian, kita semua harus berbekal dengan amalan yang diridhoi Allah subhanahu wa ta’ala. Guna mempersiapkan diri untuk menghadapinya, hari di saat semua amalan dihisab dan diberi balasan.
Akan tetapi persiapan kita bukan karena percaya atau setengah percaya terhadap ramalan tersebut diatas. Akan tetapi persiapan kita karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita yang kemudian setelah itu kita tidak bisa beramal lagi. Sehingga kita tidak boleh sedikitpun percaya terhadap ramalan tersebut diatas atau menganggap baik karena menyebabkan orang ingat kepada Allah dan beramal. Wallahu a’lam.
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan adanya seorang Arab dusun yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , kapan terjadinya hari kiamat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
مَا أَعْدَدْتَ لَهَا
“Apa yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?”
Orang tersebut menjawab: “Kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ مَعَ مَن أَحْبَبْتَ
“Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al Bukhari dan Muslim no. 2639)
Wallähu ta’älä a’lam bish showäb.
Tentang Sebab Turunnya Ayat dalam Surat Al-Waqi’ah: 75-82
ولهما من حديث ابن عباس معناه ، وفيه : قال بعضهم : ” لقد صدق نوء كذا وكذا ، فأنزل الله هذه الآية (( فَلَا أُقْسِمُ
بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ (75) وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ (76) إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80) أَفَبِهَذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ (81) وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ (82) ))
Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang semakna dengan hadits sebelumnya (hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani). Di dalamnya terdapat lafazh: “Sebagian mereka berkata: Bintang ini dan bintang itu telah benar, maka Allah menurunkan ayat (artinya): ‘Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpilihara (Al-Lauh Al-Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Rabb semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini? Kamu (mengganti) rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah).’ (Al-Waqi’ah: 75-82).
Penjelasan beberapa lafazh hadits:
ولهما من حديث ابن عباس معناه
Telah lewat penjelasan tentang dhamir (kata ganti) لهما. Lihat pembahasan KUFUR NIKMAT KARENA MENYANDARKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA SELAIN ALLAH. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah memberikan sebuah faidah terkait dengan lafazh لهما pada hadits Ibnu ‘Abbas ini, beliau berkata: “Nampaknya penulisan lafazh لهما pada hadits ini ada kesalahan tulis, karena hadits tersebut hanya terdapat dalam Shahih Muslim saja, dan tidak pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim).” (Al-Qaulul Mufid II/32, cet. Dar Ibnil Jauziyyah).
فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ
huruf laam pada ayat di atas adalah laam at-taukid artinya huruf laam yang berfungai sebagai penekanan. Allah subhanahu wata’ala telah bersumpah dalam ayat tersebut. Hal ini menunjukkan besarnya perkara yang akan disebutkan. Perkara tersebut adalah tentang kemuliaan Al-Qur’an. Allah ‘azza wajalla bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya, yaitu tempat terbenam dan terbitnya bintang-bintang. Hal ini Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam kitab-Nya agar menjadi pengingat bagi manusia bahwa tidak ada yang mampu menciptakan tempat terbit dan terbenamnya bintang-bintang kecuali Allah subhanahu wata’ala saja.
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang karim yaitu bacaan yang mengandung kebaikan dan ilmu yang banyak. Setiap kebaikan dan ilmu berasal dari Kitabullah (Al-Qur’an). Dan Al-Qur’an disebut sebagai bacaan / perkataan yang mulia karena Al-Qur’an itu adalah Kalamullah.
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ
Maksud lafazh (kitab) di sini adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an yang berada di sisi Allah subhanahu wata’ala terjaga dari perubahan. Isi Al-Qur’an tidak ada yang mampu mengubahnya walaupun satu huruf disebabkan Al-Qur’an itu telah mendapatkan penjagaan langsung dari Dzat yang Maha berkuasa yaitu Allah ‘azza wajalla.
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidaklah menyentuh Al-Qur’an yang ada di sisi Allah kecuali para malaikat. Adapun mushaf-mushaf yang ada di dunia ini disentuh oleh para makhluk.
تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan Al-Qur’an ini diturunkan oleh Rabb semesta alam. Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan kalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ
Dan kalian telah menjadikan rezeki Allah -di antaranya hujan- dengan sebuah kedustaan disebabkan kalian telah menisbahkan (menyandarkan) turunnya hujan kepada bintang-bintang, bukan kepada yang menciptakan bintang-bintang itu, yaitu Allah subhanahu wata’ala.
Penjelasan secara global hadits ini
Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan tempat terbit dan tenggelamnya bintang-bintang untuk menunjukkan kepada makhluk-Nya tentang kebesaran Allah ‘azza wajalla. Selain itu, Allah subhanahu wata’ala menetapkan kebesaran dan barakah Al-Qur’an. Al-Qur’an itu terjaga di dalam kitab yang ada di sisi Allah dan tidak disentuh kecuali oleh malaikat yang disucikan, karena memang malaikat ini tidak pernah berbuat durhaka kepada Allah subhanahu wata’ala. Al-Qur’an itu diturunkan dari sisi Allah subhanahu wata’ala Dzat yang memiliki alam semesta, tidak sebagaimana anggapan orang-orang kafir bahwasanya Al-Qur’an itu adalah sihir dan sebuah bentuk perdukunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Allah subhanahu wata’ala mengingkari mereka-mereka yang membantu dan condong terhadap orang-orang kafir dengan mengubah hukum-hukum Al-Qur’an. Dan di antara sikap mudahanah (cari muka) terhadap orang-orang kafir adalah mencocoki mereka dalam menetapkan rezeki, yaitu hujan. Mereka menyandarkannya kepada bintang-bintang. Dan ini merupakan pendustaan terhadap Allah subhanahu wata’ala yang menurunkan hujan secara hakiki.
Faidah yang terkandung dalam hadits ini:
1. Allah subhanahu wata’ala berhak untuk bersumpah dengan sesuatu yang Allah kehendaki. Allah bersumpah dengan tempat jatuhnya bintang, Allah bersumpah dengan waktu, sedangkan manusia tidak boleh bersumpah kecuali dengan nama Allah atau sifat-sifat-Nya.
2. Penetapan keagungan Al-Qur’an dan jaminan penjagaan Al-Quran dari perubahan. Karena ada sebagian pihak yang berupaya mengubah hukum dan makna Al-Qur’an, dan biasanya pihak-pihak tersebut mempunyai pendukung dan pembela. Tapi situasi seperti ini tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah subhanahu wata’ala. Allah ‘azza wajalla akan menggerakkan Ahlussunah beserta para ulamanya untuk melawan orang-orang jahat tersebut dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan.
3. Bahwasanya Al-Qur’an itu diturunkan dari sisi Allah subhanahu wata’ala. Bukan produk manusia dan bukan ucapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan manusia tidak akan mampu mendatangkan satu ayat pun atau bahkan yang kurang dari itu. Bila Al-Qur’an itu ucapan manusia -walaupun orangnya sangat pintar-, maka suatu saat akan terjadi perubahan.
4. Penetapan sifat Al-’Uluw (tinggi). Ini diambil dari ayat tanzilumirrabbilalamin (diturunkan dari sisi Rabb semesta alam). Kalau Al-Qur’an diturunkan, berarti Allah subhanahu wata’ala berada di atas.
5. Diharamkan bermanis muka terhadap orang-orang yang merendahkan dan melecehkan Al-Qur’an.
6. Haramnya menisbahkan (menyandarkan) turunnya hujan kepada bintang-bintang.
KUFUR NIKMAT KARENA MENYANDARKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA SELAIN ALLAH
ولهما عن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه ، قال : « صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح بالحديبية على
إثر سماء كانت من الليل ، فلما انصرف أقبل على الناس فقال : ” هل تدرون ماذا قال ربكم ” ؟ . قالوا : الله ورسوله أعلم ، قال : ” قال : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر ، فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته ، فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب ، وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا ، فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب. » .Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami ketika shalat shubuh di Hudaibiyyah setelah turunnya hujan tadi malam. Tatkala selesai salam beliau menghadap ke arah para shahabat kemudian bersabda: Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian? Para shahabat mengatakan: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi bersabda: Allah berfirman: Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir, adapun orang-orang yang mengatakan: Kami diberi hujan dengan sebab keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, maka dia telah berman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Dan adapun orang yang mengatakan: Kami diberikan hujan dengan sebab bintang ini dan bintang itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.
Penjelasan beberapa lafazh hadits:
ولهما عن زيد بن خالد الجهني رضي الله عنه
Maksudnya adalah hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari shahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Dhamir (kata ganti) lahuma (yang maknanya bagi keduanya) yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Penggunaan kata ganti dalam konteks seperti ini sering digunakan oleh para ulama.
صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح
Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami kami ketika shalat shubuh.
بالحديبية
Kata ini dalam bahasa Arab bermakna nama sebuah sumur atau terkadang digunakan juga untuk penyebutan sebuah tempat tertentu. Kenyataanya yang lebih dikenal dan sering digunakan adalah untuk penyebutan sebuah tempat tertentu.
على إثر سماء كانت من الليل
Maksudnya adalah setelah turun hujan malam harinya.
فلما انصرف أقبل على الناس
Yaitu tatkala selesai salam, beliau menghadap ke arah para shahabatnya yang saat itu ikut shalat bersama beliau.
فقال : ” هل تدرون ماذا قال ربكم ” ؟
Kemudian belau bersabda: “Apakah kalian tahu apa yang telah difirmankan Rabb kalian?” Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Beliau ingin memberikan faidah ilmiah kepada umatnya dengan apa yang telah beliau ketahui. Bersemangat untuk memberikan faidah kepada saudaranya merupakan perilaku yang patut dicontoh. Tanamkan pada diri kita bagaimana kita bisa memberikan faidah kepada saudara kita, mungkin di antara kita ada yang tidak mampu memberikan faidah yang sifatnya duniawi (materi) kepada saudaranya, maka sebagai gantinya kita upayakan apa yang kita dapatkan dari majelis ilmu berupa faidah ilmiyyah untuk disampaikan kepada saudara kita yang belum mendapatkan (mengetahuinya).
Dan thariqah (metode) pengajaran yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah thariqah tanya jawab. Metode seperti ini menarik sekali dan merupakan thariqah yang jitu dalam pengajaran serta lebih bermanfaat daripada mengajar tetapi tidak pernah ada tanya jawab padanya.
قالوا : الله ورسوله أعلم
Para shahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Jawaban para shahabat yang demikian menunjukkan tingginya kemuliaan adab para shahabat, karena ketika mereka tidak mengetahui suatu perkara agama, maka permasalahan tersebut dikembalikan kepada ahlinya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mulianya adab para shahabat ini tidak lepas dari didikan langsung dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
قال : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر ، فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته ، فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب ، وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا ، فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب.
Allah subhanahu wata’ala berfirman: Pada pagi hari ini, ada di antara hamba-hamba-Ku yang beriman dan adapula yang kafir. Adapun orang-orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan tadi malam kepada kita karena keutamaan dan rahmat Allah’, maka merekalah yang telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Sedangkan orang yang telah mengatakan: ‘Telah turun hujan tadi malam disebabkan bintang yang demikian dan demikian’, maka dia telah kafir kepada-Ku dan telah beriman kepada bintang-bintang.
Penjelasan secara global hadits ini
Dalam hadits ini, shahabat Zaid bin Khalid memberitakan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau selesai mengimami shalat fajar bersama para shahabatnya di Hudaibiyah beliau ingin memberikan faidah dan pelajaran kepada para shahabat, maka beliau menanyakan: ‘Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan Rabb kalian?’ Maka para shahabat yang mereka sangat baik adabnya, ketika tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan Rasulullah tersebut, mereka menyerahkan ilmu tentang permasalahan ini kepada ahlinya. Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa Allah subhanahu wata’la telah mewahyukan kepada beliau bahwasanya manusia itu terbagi menjadi dua setelah turunnya hujan, yaitu orang yang bersyukur (beriman) dan orang yang kufur. Barang siapa yang menisbahkan (menyandarkan) turunnya hujan kepada Allah, maka dia telah bersyukur (beriman) dan barang siapa yang menisbahkan hujan kepada bintang-bintang, berarti dia telah kufur kepada Allah. Dan yang mengimani bahwa bintang itu sendiri yang menurunkan hujan, maka dia telah kafir. Dan adapun yang menisbahkan hujan itu kepada bintang dan dia tetap meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala yang menurunkan hujan, maka ini masuk ke dalam syirik ashgar kerena dia telah menjadikan sesuatu sebagai sebab yang padahal sesuatu itu bukan sebagai sebab secara syar’i maupun kauni (hukum alam).
Faidah yang terkandung dalam hadits ini:
1. Disunnahkan bagi imam shalat untuk menoleh dan menghadapkan wajahnya ke arah makmum ketika selesai salam.
2. Disunnahkan untuk membuat rindu atau penasaran kepada ilmu dengan thariqah (metode) tanya jawab, sebagaimana hal ini telah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebetulnya Rasulullah mampu untuk menyampaikan langsung pokok permasalahan yang akan menjadi objek pembicaraan, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyengaja tidak melakukanya untuk menciptakan rasa penasaran para shahabat agar mereka lebih perhatian ketika menerima ilmu. Banyak juga hadits yang menyebutkan thariqah seperti ini.
3. Menetapkan sifat berbicara bagi Allah. Berbicaranya Allah tentu berbeda dengan bicaranya makhluq. Bicaranya Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan kemuliaan-Nya.
4. Gambaran adab yang baik bagi orang yang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui, yaitu dengan mengatakan Allahu a’lam atau yang semisal dengannya.
5. Haramnya kufur terhadap nikmat Allah.
6. Penetepan sifat Rahmah bagi Allah ta’ala, yaitu sifat kasih sayang. Makhluk mempunyai sifat kasih saying, tapi berbeda dengan kasih sayang Allah.
7. Menisbahkan (menyandarkan) nikmat kepada selain Allah adalah salah satu bentuk kufur nikmat kepada-Nya.
8. Haramnya ucapan seseorang: ‘Kami diberi hujan karena bintang ini dan bintang itu.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar