Powered By Blogger

Sabtu, 27 November 2010

renungan


Keutamaan Shalat Fajr (Qabliyah Shubuh)

عن عائشة عن النبي قال (( ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها )). رواه مسلم. وفي رواية (( لهما أحب إلي من الدنيا جميعاً ))

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Dua raka’at Shalat Fajr lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” [HR. Muslim] dalam riwayat lain dengan lafazh : “Sungguh kedua raka’at tersebut lebih aku cintai daripada dunia semuanya.”

Makna Kalimat :

Shalat Fajr : yakni Shalat Sunnah Rawatib Qabliyah Shubuh.

lebih baik dari pada dunia : yakni lebih baik daripada perhiasan dunia. Ada juga yang berpendapat maknanya : lebih baik daripada menginfakkan harta dunia di jalan Allah. Makna pertama lebih tepat.

Pelajaran dari Hadits :

1. Keutamaan akhirat dibanding dunia. Karena perhiasan dunia, bagaimanapun indah dan mahalnya, maka itu semua akan hilang dan sirna. Adapun akhirat, maka kenikmatannya kekal selama-lamanya dan tidak akan sirna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ [النحل/96]

“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” [An-Nahl : 96]

Maka orang yang berakal sehat tidak akan menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang fana dengan meninggalkan yang kekal. Namun seorang yang berakal sehat adalah seorang yang senantiasa memperhatikan dan bersemangat terhadap sesuatu yang membawa kebaikan untuk akhiratnya, dengan tetap mencari kehidupan dunia sekadar mencukupi kebutuhannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا [القصص/77]

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kehidupan dunia.” [Al-Qashash : 77]

2. Betapa besar nilai pahala yang Allah berikan untuk dua rakaat shalat fajr (yakni shalat sunnah rawatib qabliyah shubuh), padahal dua raka’at tersebut adalah amalan yang ringan. Ini merupakan salah satu bentuk keutamaan dan keluasan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.

3. Jika seorang muslim telah mengetahui betapa besar nilai pahala shalat fajr, maka selayaknya dia untuk senantiasa menjaganya. Sungguh dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar menjaga shalat fajr tersebut dengan sebenar-benar penjagaan, sampai-sampai ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan : “Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan kedua rakaat tersebut.” beliau juga menuturkan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjaga amalan nafilah lebih kuat dibanding konsistensi beliau menjaga dua rakaat fajr.”

4. Tuntutan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melaksanakan dua rakaat ini dengan ringan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan pelaksanaan dua rakaat shalat yang dikerjakan sebelum shalat shubuh, sampai-sampai aku mengatakan, ‘Apakah beliau membaca Ummul Kitab‘?” [Muttafaqun ‘alaihi]

5. Tuntunan sunnah pada rakaat pertama setelah surat Al-Fatihah membaca surat Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua setelah surat Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlash (Qul huwallahu ahad).

Atau boleh juga pada rakaat pertama membaca ayat :

قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136) [البقرة/136]

Katakanlah (wahai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. [Al-Baqarah : 136]

Sedangkan pada rakaat kedua membaca :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (64) [آل عمران/64]

Katakanlah: “Wahai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, yaitu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan tidak kita persekutukan-Nya dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb-Rabb selain Allah”. Kika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Ali ‘Imran : 64]

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah :

أن رسول الله قرأ في ركعتي الفجر ( قل يا أيها الكافرون ) و (قل هو الله أحد) رواه أبو داود

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada shalat dua rakaat fajr surat “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan surat “Qul Huwallahu Ahad” [HR. Abu Dawud]

Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan :

كان رسول الله يقرأ في ركعتي الفجر (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا ) والتي في آل عمران ( تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ) رواه مسلم

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada dua rakaat fajr :

(قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا )

dan berikutnya ayat yang pada surat Ali ‘Imran

( تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ) [HR. Muslim]

6. Apabila seorang muslim mengerjakan shalat fajr tersebut di rumahnya, kemudian dia merasa ingin istirahat sejenak, seperti kalau sebelumnya ia telah mengerjakan shalat tahajjud dengan sangat panjang, maka dituntunkan baginya untuk berbaring pada bagian kanan, dengan syarat dia yakin bahwa ia tidak akan ketinggalan shalat shubuh berjama’ah di masjid. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila shalat dua rakaat fajr, beliau kemudian berbaring pada bagian kanannya.” [HR. Al-Bukhari]

7. Shalat sunnah fajr adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum shalat shubuh. Apabila dia sampai ke masjid ternyata iqamat sudah dikumandangkan (sementara dia belum sempat mengerjakan shalat fajr), maka ia tetap langsung shalat shubuh berjama’ah bersama imam. Kemudian dia bisa mengerjakan shalat sunnah fajr tersebut setelah shalat berjama’ah shubuh. Atau kalau dia mau, dia menunggu sampai matahari terbit dan mengerjakannya ketika matahari sudah tinggi.

Dari shahabat Qais bin ‘Amr :

رأى رسول الله رجلا يصلي بعد صلاة الصبح ركعتين، فقال رسول الله: ( صلاة الصبح ركعتان ) فقال الرجل : إني لم أكن صليت الركعتين اللتين قبلهما، فصليتهما الآن. فسكت رسول الله

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria shalat dua rakaat setelah shalat shubuh. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegurnya, “Shalat shubuh itu hanya dua rakaat.” Maka pria tersebut menjawab, “Aku tadi belum sempat mengerjakan shalat dua rakaat yang dikerjakan sebelumnya (yakni qabliyah shubuh), maka aku mengerjakannya sekarang.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam (tanda setuju). [HR. Abu Dawud. Dan Al-Imam Al-Mubarakfuri mentarjih hadits ini shahih, dalam kitab beliau Tuhfatul Ahwadzi Syarh At-Tirmidzi).



AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua, Agama Islam merupakan nikmat termulia yang Allah subhanahu wata’ala anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah agama yang diemban oleh penghujung dan pemimpin para nabi dan rasul yang tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, sehingga agama yang dibawa beliau adalah agama terakhir dan paripurna yang mencakup dan mengatur segala aspek kehidupan baik aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalah yang dibutuhkan umat manusia untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan benar dan sempurna.

Anugerah termulia ini Allah subhanahu wata’ala tegaskan di dalam Al Qur’an (yang tidak akan mengalami perubahan atau musnah sampai datangnya hari kiamat), sebagaimana dalam QS. Al Ma’idah ayat ke-3:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama (Islam) untuk kalian, dan telah aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”

Dalam ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wata’ala memberitakan bahwa agama Islam adalah agama yang telah sempurna. Artinya telah sampai pada tingkatan paripurna. Tidak butuh lagi terhadap penambahan dan pengurangan, relevan di setiap keadaan dan zaman tanpa butuh revisi dan koreksi. Karena memang agama ini turun dari Pencipta dan Pengatur alam semesta, yaitu Allah subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Sempurna.

Suatu ketika seorang Yahudi datang menemui shahabat Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, seraya berkata: “Kalian telah membaca sebuah ayat dalam kitab suci kalian yang kalau sekiranya ayat itu diturunkan kepada kami umat Yahudi, niscaya kami akan jadikan hari itu sebagai hari raya kami. Umar berkata: “Ayat apa itu?.” Mereka berkata:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Lalu Umar berkata: “Demi Allah sungguh aku tahu, kapan ayat itu diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan waktu turunnya ayat tersebut. Ayat itu diturunkan kepada Rasulullah subhanahu wata’ala pada Jum’at sore di hari Arafah.” (HR. Al Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017)

Al Hafizh Ibnu Katsir Asy Syafi’i rahimahullah -seorang ahli tafsir terkemuka- menjelaskan kandungan ayat tersebut: “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah subhanahu wata’ala terhadap umat ini. Karena Allah subhanahu wata’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga tidak butuh kepada suatu agama selain agama Islam dan tidak butuh pula kepada nabi selain nabi mereka Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, Allah subhanahu wata’ala jadikan beliau sebagai penutup para nabi dan diutus (sebagai rasul) kepada segenap umat manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali beliau menghalalkannya dan tidak ada yang haram kecuali beliau telah mengharamkannya, serta bukanlah termasuk dari agama kecuali apa yang beliau syari’atkan.

Setiap berita yang beliau sampaikan dari Allah adalah haq dan benar, tidak ada kedustaan dan penyelewengan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا

“Telah sempurna kalimat Rabb-Mu yang tegak di atas kebenaran dan keadilan.”

Yaitu benar dalam segala berita dan penuh keadilan dalam segala perintah dan larangan. Manakala Allah telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, berarti telah lengkap pula nikmat terhadap mereka.”

Tak lupa, Al Imam As Sa’di -salah seorang ahli tafsir terkemuka pada abad ke-13- mengatakan tentang ayat ini: “Yaitu dengan kesempurnaan pertolongan-Nya, dan kesempurnaan syariat-syari’at-Nya, baik yang bersifat zhahir maupun batin, pokok-pokoknya dan juga cabang-cabangnya. Oleh karenanya, Al Qur’an dan As Sunnah (sumber utama agama Islam, pen) merupakan dua pusaka yang mencakup seluruh hukum-hukum agama baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya.”

Kesempurnaan Islam pun sebenarnya telah diakui oleh kaum musyrikin sendiri, mereka menyatakan hal ini kepada shahabat Salman radhiallahu ‘anhu:

إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ ( وفي رواية: كُلَّ شَيْئٍ) حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ الْخِرَاءَةَ

“Sungguh shahabat kalian (yaitu nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam) telah mengajarkan segala sesuatu kepada kalian, hingga adab buang hajat pun beliau ajarkan.”

Seraya Salman berkata: “Ya, benar, sesungguhnya beliau subhanahu wata’ala telah melarang kami beristinja’ (membersihkan kotoran dari dubur atau qubul) dengan tangan kanan, dan buang hajat dengan menghadap kiblat (dalam riwayat lain; dan juga membelakanginya), serta melarang kami beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang. ” (HR. Muslim no. 262)

Ini hanya sekelumit dari adab buang hajat, disana masih banyak lagi rinciannya sebagaimana yang telah dimuat pada edisi sebelumnya. Masalah adab buang hajat saja telah diajarkan oleh Rasulullah subhanahu wata’ala dengan gamblang dan penuh hikmah, apalagi permasalahan yang lebih urgen (penting) dari pada itu. Islam berbicara bagaimana seseorang beradab dengan kedua orang tuanya, adab bertetangga, adab bermasyarakat dan bernegara, yang kalau kita mau jujur dan mau mengamalkannya niscaya akan masyarakat yang dinamis. Islam juga mengatur hukum jual beli, pinjam meminjam, pernikahan, warisan, penggadaian, dan semua aspek kehidupan manusia. Semuanya diatur dalam agama Islam dengan penuh hikmah dan keadilan serta jauh dari unsur kezhaliman. Tak heran bila Yahudi dan kaum musyrikin turut bersaksi atas kesempurnaan Islam tersebut.

Para pembaca yang mulia, demikian halnya dengan ibadah, yang tidak lain Allah subhanahu wata’ala menciptakan jin dan manusia kecuali untuk misi tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

“Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan untuk semata-mata beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Diutusnya Rasulullah subhanahu wata’ala dan diturunkannya kitab suci Al Qur’an tidak lain kecuali untuk menjelaskan secara gamblang bagaimana cara beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala secara benar dan sempurna. Maka sesuai dengan amanat yang diembannya, Rasulullah subhanahu wata’ala telah menyampaikan seluruh ibadah yang dapat mendekatkan kepada keridhaan-Nya dan jannah-Nya, dan telah menyampaikan pula semua perkara yang dapat menjauhkan dari kemurkaan-Nya dan dahsyatnya adzab neraka jahannam.

Shahabat Abu Dzar Al Ghifari radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah subhanahu wata’ala telah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah sebutkan ilmu tentangnya. Lalu beliau berkata: “Rasulullah subhanahu wata’ala telah bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada sesuatu pun yang dapat mendekatkan kepada jannah (surga) dan menjauhkan dari api neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Ath Thabarani dalam Mu’jamul Kabir 1647)

Para pembaca yang mulia, atas dasar itu, sungguh Islam telah sempurna. Ia tidak memerlukan adanya penambahan, pengurangan, ataupun revisi/koreksi. Justru yang perlu dikoreksi itu adalah amalan kita. Sudahkah kita beramal sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikah hidayah kepada kita semua.

Oleh karena wahyu dan syari’at ini telah disampaikan seluruhnya oleh Rasulullah subhanahu wata’ala kepada umatnya, maka amalan atau ibadah yang tidak ada contoh dari beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, berarti bukan dari Allah subhanahu wata’ala dan tergolong sebagai ajaran atau syariat baru. Padahal kita semua meyakini bahwa yang berhak membuat syariat adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh karenanya, Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam Al-Qur’anul Karim:

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura: 21)

Sebuah amalan yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya tidak akan diterima disisi-Nya, bahkan bisa menjadi sebuah kerugian yang amat besar bagi pelakunya. Allah subhanahu wata’ala menyebutkan akan hal ini dalam firman-Nya subhanahu wata’ala (artinya):

“Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?”

“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah beramal dengan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)

Ayat yang mulia di atas mengingatkan dan menegur kita, tentang kewajiban untuk belajar dan mendalami agama Islam. Agar kita bisa mengukur, apakah amalan yang selama ini kita lakukan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ataukah sebaliknya?

Sepatutnya kita selalu khawatir dan takut kepada Allah shalallahu ‘alaihi wasallam, karena semua amal perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan-Nya subhanahu wata’ala. Jangan sampai amalan yang selama ini kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Peringatan ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal tanpa ada dasarnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain beliau subhanahu wata’ala bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan perkara yang baru dalam urusan (syari’at) kami, padahal itu tidak termasuk bagian dari syari’at (kami), maka perkara/amalan (yang baru) itu tertolak.” (HR. Al Bukhari)

Islam adalah agama sempurna, inilah yang dipahami oleh para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka mencukupkan dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah subhanahu wata’ala saja tanpa menambah dengan amalan-amalan yang lainnya. Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:

اتَّبِعُوا وَلاَتَبْتَدِعُوا فَقَدْكُفِيْتُمْ

“Ikutilah (apa yang diajarkan oleh Rasulullah), jangan mengamalkan amalan-amalan baru (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), sungguh (petunjuk/sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam) telah cukup bagi kalian. (HR. Abu Khaitsamah dalam kitabnya Al Ilmu no. 45)

Serta inilah yang dipahami oleh para ulama kita. Al Imam Asy Syafi’i berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara yang tidak dicontohkan Rasulullah), maka sungguh ia telah membuat syariat (baru).”

Ucapan semacam ini telah masyhur dinukil oleh para ulama Syafi’iyyah (bermadzhab Syafi’i), seperti dalam kitab Al Mankhul hal. 347 dan Jam’ul jawami’ 2/395, dan juga bisa dirujuk dari karya Al Imam Asy Syafi’i sendiri dalam kitabnya Ar Risalah hal. 507 dan Al Um 7/297-304.

Al Imam Malik, guru dari Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Barangsiapa mengada-adakan amalan yang baru dalam agama Islam yang ia sangka itu adalah baik, berarti ia telah menuduh Rasulullah subhanahu wata’ala berkhianat dalam menyampaikan risalah/wahyu. Karena Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:

“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama bagi kalian.” (Al Ma’idah: 3)

Jika pada hari itu tidak termasuk dari agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk dari agama.” (Al I’tisham 1/49)

Demikianlah, semoga Allah subhanahu wata’ala membimbing kita semua agar selalu tetap di atas petunjuk-Nya, dan berpegang teguh dengan sunnah rasul-Nya. Amien Ya Rabbal ‘alamin




SHALATLAH, DIMANA DAN BAGAIMANAPUN KEADAANMU!


Shalat Adalah Ibadah Para Nabi
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya ibadah shalat bukanlah dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bahkan juga disyari’atkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Mereka pun memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan shalat. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.” (Maryam: 54-55)
“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaaha: 13-14)
Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rasul.

Kedudukan Shalat Dalam Islam
Setelah kita mengetahui bahwa shalat merupakan bagian dari agama para nabi dan rasul maka bagaimanakah kedudukan shalat itu sendiri menurut kaca mata Islam?
Shalat dalam agama Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita mencermati nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah. Di antaranya sebagai berikut:
1. Mendirikan shalat adalah tanda sebenar-benarnya orang mu’min. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka.” (Al Anfal: 2-3)
2. Shalat merupakan Rukun Islam yang ke dua. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ

“Islam dibangun di atas lima (rukun): Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah (Makkah).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
3. Shalat merupakan tiang agama. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ

“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)
4. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dan sebagai tolok ukur dari seluruh amal ibadah yang lainnya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani)
5. Turunnya perintah shalat tanpa melalui perantara Malaikat Jibril, bahkan Rasulullah ? sendiri menerima langsung dari Allah subhanahu wata’ala di atas langit yang ke tujuh.

Shalat Perintah Agung Dari Allah subhanahu wata’ala
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan secara tegas di dalam Al Qur’an tentang kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Terlebih lagi perintah shalat lima waktu diwahyukan secara langsung dari Allah ? tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihis salam. Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim keduanya meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihis salam datang menjemput beliau shalallahu alaihi wasallam untuk menghadap Allah subhanahu wata’ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang langkah kakinya sejauh mata memandang.
Kemudian Jibril membawa beliau menuju langit ke tujuh. Setiap kali melewati lapisan langit, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertemu dengan para rasul dan nabi. Sampai akhirnya beliau ? tiba di Sidratul Muntaha yang tidak ada satu makhlukpun yang mampu menggambarkan keindahannya. Di tempat inilah beliau shalallahu alaihi wasallam menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ Mi’raj.
Bahkan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa wasiat terakhir dari Rasulullah ? menjelang wafatnya, beliau shalallahu alaihi wasallam berkata: “Ash Shalatu, Ash Shalatu.” Dalam riwayat yang lain: “Bertakwalah kalian kepada Allah dengan shalat.” (lihat Irwaul Ghalil: 7/238)

Pelatihan Shalat Sejak Dini
Allah subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi-Nya (sekaligus untuk umatnya) supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban shalat. Allah subahanhu wata’ala berfirman (artinya): “Dan perintahkanlah keluargamu supaya mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …” (Thaaha: 132)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءٌ سَبْعُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءٌ عَشَرٌ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمَضَاجِعِ

“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat (mulai) pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka (yang enggan untuk shalat) setelah usia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad, lihat Irwaul Ghalil 2/7)

Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Shalat
Kewajiban menegakkan shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:
1. Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)
2. Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ : وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )
3. Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).
4. Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
5. Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah: 6)
Meskipun ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban shalat sesuai dengan kemampuannya. Karena Allah subhanahu wata’ala tidak memberikan beban kepada siapa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Ancaman Meninggalkan Shalat
Para pembaca yang mulia, setelah memahami uraian di atas tentang tingginya kedudukan shalat dalam agama dan keutamaan-keutamaan yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada orang-orang yang memenuhi kewajiban shalat. Lalu apakah orang yang melalaikan shalat dibiarkan begitu saja? Tentunya tidak. Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam benar-benar telah memberikan peringatan dan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan shalat.
Allah subhanahu wata’ala telah menyediakan neraka Saqar yang dikhususkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat …” (Al Muddatstsir: 42-43)
Dalam hadits-hadts yang shahih, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga telah memberikan peringatan keras terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Diantaranya:
1. Hadits Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

”Perbedaan antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah melakukan kekafiran.” (HR. At Tirmidzi, lihat Shahih At Targhib no. 564)
2. Hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
3. Hadits Tsauban radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلاَةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pembeda antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat, bila ia meninggalkannya berarti ia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Ath Thabari, lihat Shahih At Targhib no. 566)
4. Hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَلاَ تَشْرِبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ

“Janganlah kamu berbuat kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar, dan jangan pula meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya, serta jangan pula minum khamr (arak dan semisalnya –pent) karena sesungguhnya khamr itu pintu setiap kejelekan.”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”, sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”. (lihat Shahih At Targhib no. 567. 569)
Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi ?, diantaranya:
Umar radhiallahu anhu berkata:

لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:

مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni 3/355)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)
Abu Darda’ radhialallahu anhu berkata:

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ

“Tidak ada keimanan bagi yang tidak shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.” (Shahih At Targhib no. 575)
Wahai saudaraku yang mulia, walaupun ada sebagian para ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja belum sampai kafir selama masih meyakini kewajiban shalat. Tapi janganlah bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di atas bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diancam dengan kekufuran, tidak punya keimanan dan tidak punya bagian sedikit pun dari Islam, kecuali bagi orang yang mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dihadapan Allah subhanahu wata’ala.





MERAIH KHUSYU’ DALAM SHALAT (Bagian ke-1)


Khusyu’ merupakan kalimat yang tidak asing lagi bagi kita. Biasanya, kata khusyu’ ini digunakan sebagai sifat dari ibadah shalat. Walaupun khusyu’ ini sering disebut-sebut, namun dalam prakteknya tidaklah semudah mengatakannya ataupun membahasnya secara teori. Hal ini pun bisa kita rasakan sendiri, betapa susahnya menghadirkan khusyu’ dalam shalat. Sehingga masalah khusyu’ ini bukan perkara enteng (baca: ringan). Apalagi Rasulullah telah memberitakan bahwa pertama kali yang akan dicabut pada umat ini adalah khusyu’. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
أَوَّلُ شَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ الْخُشُوْعُ حَتَّى لاَ تَرَى فِيْهَا خَاشِعاً
“Pertama kali yang akan dicabut pada umat ini adalah khusyu’ sampai engkau tidak akan melihat lagi ada orang yang khusyu’.” (H.R Ath Thabrani dalam Al Kabir, dari sahabat Abu Dzar yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani).
Sudah menjadi maklum, bahwa shalat lima waktu merupakan rukun kedua dari rukun-rukun Islam. Menunjukkan ibadah shalat ini memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah . Selain itu, ibadah shalat merupakan tiang agama. Seseorang akan menjadi kokoh di atas agamanya bila ia telah menegakkan shalat dengan sebenar-benarnya. Rasulullah bersabda:
“Kepala dari seluruh perkara agama adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)
Oleh karena itu Allah menjadikan ibadah shalat ini sebagai barometer dari amalan-amalan ibadah lainnya. Maksudnya, bila shalat itu dikerjakan dengan baik sesuai petunjuk Rasulullah dan disertai khusyu’ maka amalan ibadah lainnya akan teranggap baik semua. Sebaliknya, bila shalatnya jelek maka amalan ibadah lainnya akan teranggap jelek semua. Sebagaimana Rasulullah menegaskan dalam haditsnya:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani).

Makna Khusyu’
Khusyu’ secara lughawi (etimonolgi) adalah semakna dengan khudhu’ yaitu ketenangan, akan tetapi khudhu’ ini berhubungan dengan badan sedangkan khusyu’ mencakup badan, pandangan, dan suara. Sedangkan khusyu’ secara syari’at (terminologi) ada beberapa definisi di antara para ulama’. Di antaranya; Al Imam Ibnul Qayyim, beliau berkata: “Khusyu’ adalah kokohnya hati di hadapan Rabb-Nya dengan penuh kerendahan.” (Madarijus Salikin 1/521)
Sehingga khusyu’ itu tempatnya di dalam hati yang akan membuahkan kekhusyu’an pada anggota badan. Anggota badan itu tergantung pada hati, jika hatinya kosong dari khusyu’ maka akan mempengaruhi kekhusyu’an pada anggota badan. Kalaupun timbul kekhusyu’an pada anggota badan tapi tanpa diiringi dengan kekhusyu’an hati, maka perlu diwaspadai. Barangkali itu bersumber dari sifat kemunafikan yang harus dijauhi. Shahabat Hudzaifah berkata: “Takutlah kalian dengan khusyu’ nifaq. Maka ada yang berkata kepada beliau : “Apa khusyu’ nifaq itu? Beliau menjawab: “Engkau melihat jasadnya khusyu’ padahal hatinya lalai. (Madarijus Salikin 1/521)
Sehingga khusyu’ dalam shalat adalah memusatkan kosentrasi dalam hati untuk menghayati setiap apa yang digerakkan dan diucapkan dalam shalat disertai perendahan diri dan pengagungan kepada Allah Rabbul ‘alamin.
Al Hasan Al Bashri berkata: “Khusyu’nya para sahabat itu bersumber dari hati. Oleh sebab itu dapat mempengaruhi ketundukan pandangan-pandangan mereka dan ketenangan anggota badan mereka. Sesungguhnya khusyu’ itu dihasilkan dari hati yang penuh kosentrasi dan mengalihkan semua perhatian selain shalat serta dapat berpengaruh baik kepada amalan-amalan ibadah selainnya. sehingga shalat itu bagaikan tempat istirahat dan penyejuk mata baginya. Sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, An Nasaa’i dan selainnya dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Nabi bersabda: “Dijadikan shalat itu sebagai penyejuk pandanganku.” (Lihat Al Mishbahul Munir hal. 908)

Peranan Khusyu’ Dalam Shalat
Shalat merupakan ibadah yang sangat agung di sisi Allah . Memang, pada dasarnya semua ibadah itu untuk mengingat Allah . Namun, terkhusus pada ibadah shalat, Allah menegaskan secara langsung di dalam Al Qur’an bahwa tujuan ditegakkannya shalat adalah dalam rangka untuk mengingat-Nya . Allah berfirman (artinya): “Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)
Tujuan shalat yang agung ini mustahil akan terwujud kecuali bila bisa menghadirkan khusyu’ dalam shalat. Khusyu’ dalam shalat ibarat ruh dalam jasad. Jasad yang ditinggal oleh ruhnya, maka jasadnya menjadi mati, sehingga tiada berguna lagi. Seperti itu pula shalat, bila kosong dari kekhusyukan, maka untuk siapa gerakan ruku’ dan sujudnya? Dan apa gunanya membaca bacaan-bacaan dalam shalat?
Shalat pada hakekatnya juga merupakan do’a dan bermunajat kepada Allah . Rasulullah bersabda:
اَلمُصَلِّى يُنَاجِى رَبَّهُ
“Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabb-Nya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Padahal Allah tidak akan menerima do’a dari hati yang lalai yaitu jauh dari kekhusyukan. Rasulullah bersabda:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
“Ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan menerima do’a dari hati yang lalai dan kosong.” (H.R. At Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Oleh karena itu khusyu’ sangat mempengaruhi besar kecilnya balasan bagi orang yang shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah :
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَتِهِ وَلَمْ يُكْتَبْ لَهُ مِنْهَا إِلاَّ نِصْفُهَا إِلاَّ ثُلُثُهَا إِلاَّ رُبُعُهَا إِلاَّ خُمُسُهَا إِلاَّ سُدُسُهَا إِلاَّ سُبُعُهَا إِلاَّ ثُمُنُها إِلاَّ تُسُعُهَا إِلاَّ عُشُرُهَا
“Sesungguhnya bila seorang hamba telah selesai dari shalatnya, maka tidak ditetapkan balasan dari shalatnya kecuali ada yang mendapat setengahnya, ada yang mendapat sepertiganya, ada yang mendapat seperempatnya, ada yang mendapat seperlimanya, ada yang mendapat seperenamnya, ada yang mendapat sepertujuhnya, ada yang mendapat seperdelepannya, ada yang mendapat sepersembilannya, dan ada yang mendapat seperesepuluhnya.” (H.R Ashhabus Sunan)
Sebagian ulama salaf berkata: “Shalat itu ibarat engkau menghadiahkan seorang wanita hamba sahaya kepada sang Raja. Bagaimana tanggapan sang Raja, bila yang engkau hadiahkan itu ternyata tangannya lumpuh, atau sebelah matanya buta, atau telinganya tuli, atau tangan dan kakinya buntung, atau (badannya) sakit atau perangainya jelek ataupun (rupanya) jelek, dan bahkan sudah jadi mayat? Maka bagaimana lagi tentang ibadah shalat, yang dijadikan hadiah dan taqarrub (mendekatkan diri) dari seorang hamba kepada Rabb-Nya? Padahal Allah itu baik, yang tidak menerima kecuali yang baik. Termasuk dari amalan yang tidak baik adalah shalat yang tidak ada ruhnya. Sebagaimana tidak teranggap pembebasan budak yang baik, jika ternyata budak itu sudah tidak ada ruhnya.” (Madarijus Salikin 1/526)
Para pembaca, sehingga menghadirkan khusyu’ dalam shalat itu memilki peranan sangat penting terhadap nilai ibadah shalat. Karena pada hakekatnya tiap gerakan dan bacaan dalam shalat menggambarkan bentuk dialog dan munajat dia kepada Rabb-Nya Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sungguh ironis, bila kita shalat tapi hati kita kosong/lalai dari menghayati apa yang kita gerakkan dan ucapkan dari ruku’, sujud dan seterusnya.
Lagi pula, sesungguhnya ibadah shalat itu bukanlah untuk Allah . Karena Allah itu adalah Dzat Yang Maha Kaya Yang tidak butuh kepada sesuatu apapun. Rasulullah bersabda:
يَا فُلاَنُ ! أَلاَ تُحْسِنُ صَلاَتَكَ ؟ أَلاِّ يَنْظُرُ المُصَلِّي إِذَا صَلَّى كَيْفَ يُصَلِّى ؟ فَإِنَّهَا يُصَلِّي لِنَفْسِِهَا
“Wahai fulan, tidakkah engkau membaikkan shalatmu? Tidakkah seseorang yang mengerjakan shalat melihat bagaimana ia shalat? Karena sesenguhnya ia shalat itu (manfaat/pahalanya kembali) untuk dirinya sendiri. (H.R Muslim no. 423, dari sahabat Abu Hurairah )

Kewajiban Khusyu’ Dalam Shalat
Khusyu’ dalam shalat merupakan perintah dari Allah . Sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dan tegakkanlah karena Allah (dalam shalat kalian) dengan qaanitiin.” (Al Baqarah: 238)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menerangkan makna qaanitiin adalah khusyu’ dan penuh kerendahan. (Lihat Al Mishbahul Munir)
Sehingga menjadi jelas makna ayat di atas yaitu Allah memerintahkan untuk menegakkan shalat yang harus (wajib) diiringi dengan khusyu’.
Al Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari sahabat Zaid bin Arqam , beliau berkata: “Dahulu ada seseorang yang berbicara ketika dalam shalat. Maka turunlah ayat ini (Al Baqarah: 238). Sehingga kami diperintahkan untuk diam (yaitu khusyu’).” (H.R. Ahmad 4/368).
Demikian pula, Allah berfiman (artinya): “Dan sesungguhnya shalat itu amatlah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Al Baqarah: 45)
Allah menjelaskan bahwa ibadah shalat itu merupakan ibadah yang amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Sehingga ayat diatas mengandung celaan kepada orang-orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya. Atas dasar ini walaupun ayat diatas bersifat khabar (berita) namun mengandung makna perintah wajibnya khusyu’ dalam shalat.
Yang menunjukkan kewajiban khusyu’ dalam shalat juga firman Allah (artinya):”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya. … Mereka itulah yang akan mewarisi jannatul firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (Al Mu’minun: 1,2-11).
Allah memberitakan bahwa diantara yang berhak mewarisi (menempati) jannatul firdaus adalah orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Sehingga tersirat dalam ayat ini adanya kandungan perintah khusyu’ dalam shalat. (Lihat penjelasan lebih lengkap dalam Majmu’ Fatawa 22/553)
Rasulullah juga memerintahkan untuk menjauhi perkara-perkara yang dapat mengganggu kekhusyu’an dalam shalat. Sebagaimana yang terdapat dalam sekian banyak hadits, diantaranya:
Ketika Rasulullah dalam keadaan shalat, datang Abdullah bin Mas’ud dan mengucapkan salam kepada beliau. Namun beliau tidak menjawab salam dari sabahat tersebut walaupun menjawab salam itu wajib. Seusai shalat, beliau menjelaskan:
إِنَّ فِي الصَّلاَةِ لَشُغْلاً
“Sesungguhnya shalat itu adalah (ibadah) yang amat menyibukkan.” (H.R. Muslim 1/381).
Dari Abdullah bin Al Arqam berkata: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَذْهَبَ إِلَى الْخَلاَءِ وَقَامَتِ الصَّلاَةُ فَلْيَبْدَأْ بِالْخَلاَءِ
“Jika salah seorang diantara kalian ingin membuang hajat padahal shalat (jama’ah) telah ditegakkan, maka hendaklah ia membuang hajatnya (terlebih dahulu).” (H.R. Abu Dawud)
Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Bari 2/128 berkata: “Sungguh benar perkataan sahabat Abu Darda’: “Termasuk kefaqihan seseorang adalah menyelesaikan hajatnya terlebih dahulu, sehingga ia menunaikan shalat dalam keadaan hatinya kosong (bersih) dari kesibukan-kesibukan dunia dan segala macam yang dapat menghalangi kekhusyukan.”

Keutamaan Khusyu’ Dalam Shalat
Diantara keutamaannya:
1. Tanda kesempurnaan iman.
2. Berhak mewarisi jannatul firdaus. Sebagiamana firman-Nya dalam surat Al Mu’minun: 1,2-11.
3. Penghapus dosa.
Dari sahabat Utsman bin Affan berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
مَاامْرِىءٍ مِنْ مُسْلِمٍٍٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَ وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَالَمْ يُؤْتِي كَبِيْرَةً
“Tidaklah seorang muslim, bila telah datang waktu shalat wajib lalu membaikkan wudhu’nya, khusyu’nya, dan ruku’nya, melainkan itu sebagai penghabus dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar.” (H.R Muslim no. 228)
Dari Abu Darda’ , ia berkata: aku mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ غَفَرَ لَهُ
“Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang berwudhu’ dengan dengan baik, kemudian berdiri shalat dua atau empat raka’at, dalam keadaan ia berdzikir dan khusyu’ lalu beristighfar kepada Allah , niscaya ia akan diampuni (dari dosa-dosanya). (Shahih At Targhib wat Tarhib no. 225).

Khusyu’ memilki peranan sangat penting dalam shalat, karena ia sebagai ruhnya. Atas dasar itu khusyu’ menjadi tolok ukur besar kecilnya nilai ats tsawab (pahala) di sisi Allah .
Karena orang yang shalat itu pada hakekat ia sedang berdo’a, bermunajat, dan berdzikir mengagungkan keagungan Rabb-nya. Allah berfirman (artinya): “Dan tegakkanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaha: 14)
Rasulullah juga menegaskan:
إِنَّ المُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّه فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِي بِهِ
“Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka hendaklah ia memperhatikan apa yang ia munajatkan kepada-Nya.” (H.R. Al Bukhari dalam Af’alul ‘Ibad, lihat Shifat Shalatin Nabi hal. 100, karya Asy Syaikh Al Albani)
Pada edisi kali ini, akan disebutkan secara ringkas sebab-sebab yang dapat mendatangkan khusyu’. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

I. Memperhatikan Kesiapan Shalat.
a. Pakaian shalat.
Hendaknya bagi orang yang shalat mengenakan pakain yang tidak mengganggu kekhusyu’an. Ummul mu’minin Aisyah berkata:
أَنَّ النَِّبيَّ صَلَّى في خَمِيْصِهِ لَهَا أَعْلاَمٌ فَنَظََرَ إِلىَ أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ: اِذْهَبُوا بِخَمِيْصَتِي هَذَهِ إِلَى أَبِى جَهْمٍ وَائْتُونِي بِأَنْبُجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنفا عَنْ صَلاَتِي
“Sesungguhnya Nabi pernah shalat dengan memakai khamishah (jenis pakain tertentu) yang bermotif/bercorak tertentu. Kemudian beliau melihat motif/coraknya dengan sekali lihatan. Seusai shalat, beliau berkata: ‘Pergilah kalian dengan membawa pakain ini kepada Abu Jahm, datangkan kepadaku anjubaniyah (jenis pakain polos). Karena khamishah itu dapat melalaikanku dalam shalat.” (H.R. Al Bukhari no. 373 dan Muslim no. 556)
b. Tempat shalat.
Hendaknya bagi orang yang shalat menyiapkan dan membersihkan tempat shalat dari segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyu’an. Shahabat Anas bin Malik berkata: “Aisyah memiliki qiram (sejenis klambu) yang terpasang disebelah rumahnya. Maka Rasulullah bersabda:
أَمِيْطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تَعْرِضُ فيِ صَلاَتي
“Jauhkan qiram (klambu)-mu dariku, karena corak/motifnya dapat mengganggu shalatku.” (Al Bukhari no. 374)
dalam riwayat lainnya, bahwasannya Nabi pernah masuk ke ka’bah untuk shalat di dalamnya dan melihat dua tanduk kambing kibas. Seusai shalat, beliau berkata kepada Utsman Al Hajiby:
إِنِّي نَسِيْتُ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تَخْمُرَ الْقَرْنَيْنِ فَإِنَّهُ لَيْسَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ يُشْغِلُ الْمُصَلِّي
“Sesungguhnya aku lupa menyuruhmu untuk menutup dua tanduk itu, karena tidak pantas ada sesuatu yang menyibukkan orang shalat dalam rumah Allah ini (Ka’bah).” (HR. Abu Dawud)
Inilah tauladan Rasulullah yang dicontohkan kepada umatnya. Beliau sebagai manusia yang paling bertaqwa dan khusyu’ ternyata masih tergangu kekhusyu’annya dengan perkara di atas, terlebih lagi kita.
Demikian pula hendaknya bagi orang yang shlalat mencari tempat yang tenang. Rasulullah melarang shalat dibelakang orang yang sedang ngobrol atau sedang tidur. Karena kedua hal tersebut bisa memalingkan perhatian dalam shalat.
لاَ تُصَلُّوا خَلْفَ النَّائِمِ وَلاَ الْمُتَحَدِّثِ لِأَنَّ الْمُتَحَدِّثَ يَلْهَى بِحَدِيْثِهِ، وَالنَّائِمُ قَدْ يَبْدُو مِنْهُ مَا يَلْهَى
“Janganlah kalian shalat di belakang orang yang sedang tidur dan orang yang sedang berbicara, karena orang yang berbicara bisa memalingkan(mu) dengan ucapannya dan orang yang sedang tidur terkadang menampakkan sesuatu yang bisa memalingkan(mu) darinya.” (H.R Abu Dawud)
c. Menghadirkan Kosentrasi.
Hendaknya bagi orang yang shalat, dalam keadaan siap (terkosentrasi), bukan masih dalam keadaan mengantuk. Karena rasa kantuk sangat mengganggu kosentrasi dalam shalat. Biasanya orang yang mengantuk kurang sadar apa yang sedang dibaca, apalagi menghayati kalimat ‘per’ kalimat. Bahkan terkadang, bisa menyebabkan lupa dari gerakan-gerakan atau bacaan-bacaan dalam shalat. Oleh karena itu bila rasa kantuk tidak bisa dihilangkan padahal dia dalam shalat, maka sebaiknya tidur untuk menghilangkan kantuknya, selama waktu shalat masih longgar dan bukan didasari malas. Rasulullah bersabda:
إِذَا نَعِسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ الْنَوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk maka hendaklah dia tidur sampai hilang rasa kantuknya, karena jika salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak sadar (mengira) sedang beristighfar (memohon ampunan) padahal dia sedang mencela dirinya sendiri.” (H.R Al Bukhari, dari Aisyah)
Demikian pula shalat dalam keadaan sudah siap dihadapannya makanan atau ia dalam keadaan menahan hadats (besar atau kecil. Maka sebaiknya, ia menyantap makanan itu dan membuang hajatnya. Rasulullah bersabda:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ اْلأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika sudah disiapkan makanan dan tidak dalam keadaan menahan dua hadats.” (H.R. Muslim no. 560, dari shahabat Aisyah)
Al Imam An Nawawi dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim menambahkan penjelasan yang sangat penting, beliau berkata: “Di dalam hadits-hadits ini mengandung hukum makruh (dibencinya) shalat bila telah siap dihadapannya makanan dalam keadaan ia pun ingin memakannya, karena hal itu dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyu’an. Demikian pula makruh (dibencinya) shalat bila dalam keadaan menahan dua hadats. Yaitu kencing dan buang air besar, atau sesuatu yang semakna dengan keduanya dari hal-hal yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyu’an. Pendapat ini adalah pendapat kebanyakan madzhab Asy Syafi’i dan selainnya. Akan tetapi (dengan syarat) waktu shalat masih longgar. Bila waktu shalat sempit, kalau dia makan atau bersuci (membuang kedua/salah satu hajatnya lalu berwudhu’) ternyata waktu tidak cukup (keluar dari waktu shalat), maka ia shalat walaupun keadaannya seperti itu.”
Dari Abdullah bin Al Arqam, beliau pernah keluar untuk haji atau umrah bersama orang banyak dan beliau sebagai imam mereka. Ketika ditegakkan shalat -shalat shubuh- beliau berkata: “Majulah (jadi imam) salah satu diantara kalian, lalu beliau pergi untuk buang hajatnya.” Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَذْهَبَ إِلَى الْخَلاَءِ وَقَامَتِ الصَّلاَةُ فَلْيَبْدَأْ بِالْخَلاَءِ
“Apabila salah seorang dari kalian hendak membuang hajatnya, sedangkan shalat sudah ditegakkan maka dahulukanlah buang hajatnya.” (H.R. Abu Dawud)
Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Bari 2/128 berkata: “Sungguh benar perkataan sahabat Abu Darda’: “Termasuk kefaqihan seseorang adalah membuag hajatnya terlebih dahulu, sehingga ia menunaikan shalat dalam keadaan hatinya kosong (bersih) dari kesibukan-kesibukan dunia dan segala macam yang dapat menghalangi kekhusyu’an.”
d. Menghilangkan Aroma Yang Dapat Mengganggu Shalat.
Aroma yang kurang enak, baik dari mulut, badan, ataupun pakain, hal ini tentunya dapat mengganggu kosentrasi orang yang shalat, dan juga mengganggu orang yang ada disampingnya. Rasulullah melarang orang yang habis makan bawang untuk menghadiri shalat jama’ah. Karena aroma bawang dapat mengganggu kekhusyu’an, kecuali bila bisa dipastikan sudah hilang aromanya. Rasulullah bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ - يَعْنِى الثَّوْمَ- فَلاَ يُقَرِّبُنَا وَلاَ يُصَلِّي مَعَنَا
“Barang siapa yang makan dari pohon ini -yaitu bawang putih, dalam riwayat lainnya bawang merah/bakung- maka janganlah dekat dengan kami dan janganlah shalat bersama kami.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Anas)

II. Memperhatikan Beberapa Hal Dalam Shalat.
Ada beberapa hal yang memudahkan untuk menghadirkan kekhusyu’an. Diantaranya;
a. Mengingat mati.
Rasulullah bersabda:
اُذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صِلاَتِكَ ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ
“Ingatlah mati dalam shalatmu, karena bila seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan berupaya untuk memperbaiki shalatnya.” (Ash Shahihah no. 1421)
Dalam riwayat lainnya; Rasulullah berkata kepada Ayub Al Anshari:
إِذَا قُمْتَ فِي صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ
“Jika kamu hendak shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah (meninggalkan dunia).” (H.R. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no.742)
b. Mendatangi Shalat Dengan Sakinah (Tidak Terburu-Buru).
Rasulullah bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوْهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوْهَا تَمْشُوْنَ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ فَمَاأَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَافَتَاكُمْ فَأَتِمُّوا
“Bila telah ditegakkan shalat, maka jangan mendatanginya dengan lari (terburu-buru), namun berjalanlah dengan sakinah (tenang). Apa yang kalian dapati dari shalat (jama’ah) maka shalatlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.” (H.R. Muslim no. 602)
b. Mengerjakan Shalat dengan Thuma’ninah.
Rasulullah bersabda:
أَسْوَأُ النَّاسِ سِرْقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ ، قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ : كَيْفَ يَسْرِقُ صَلاَتَهُ ، قَالَ : لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا
“Sejelek-jelek manusia adalah pencuri, yang mencuri shalatnya. (Ada seseorang yang berkata): ‘Wahai Rasulullah: ‘Bagaimana ia mencuri shalatnya? Rasulullah bersabda: “Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (Shahihul Jami’ no. 997)
c. Mengarahkan Pandangannya Ke Tempat Sujud dan Jangan Menoleh.
Aisyah berkata:
كَانَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ الأَرْضِ
“Apabila Rasulullah shalat, maka beliau, menundukkan pandangannya ke tanah (tempat sujud).” (Lihat Shifat Shalatin Nabi hal. 89) Rasulullah bersabda:
فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَتَلْتَفِتُوا فَإِنَّ اللهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَالَمْ يَلْتَفِتْ
“Jika kalian shalat maka janganlah kalian menoleh, karena sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya ke wajah hambanya dalam shalatnya selagi ia tidak menoleh.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
d. Menghayati Bacaan Al Qur’an, do’a-do’a dan dzikir- dzikir.
Shahabat Hudzaifah berkata:
إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَسْبِيْحٌ سَبَّحَ وَ إِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَ إِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
“Bila Rasulullah melewati ayat yang berkenaan dengan tasbih, maka beliaupun bertasbih. Dan bila melewati ayat yang berhubungan dengan kenikmatan (rahmat), maka beliau pun memohonnya. Serta bila melewati ayat yang berhubungan dengan adzab, maka beliau berlindung darinya.”(H.R. Muslim no. 772)
diantara sebab yang dapat membantu untuk dapat menghayati bacaan-bacaan shalat diantaranya; membaca al qur’an dengan tartil. Allah berfirman (artinya): “Dan Bacalah Al Qur’an dengan tartil.” (Al Muzammil: 4)
Demikian pula dengan suara yang indah. Karena Rasulullah bersabda:
زَيِّنُوا الْقُرآنَ بِأَصْوَاتِكُم فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا
“Perindahlah Al Qur’an dengan keindahan suara kalian. Karena suara yang indah dapat menambah keindahan Al Qur’an.”(H.R. Al Hakim, lihat Shahihul Jami’ no. 3581)




TASAWUF DAN WALI

Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin. Sehingga dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.

WALI MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAH
Adalah perkara yang lumrah bila kita mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain, terkadang menjadi suatu yang asing bila disebut kata wali setan. Itulah yang sering kita jumpai di antara kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yang aneh bagi mereka kalau mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Allah dan lawannya, wali setan. Padahal Allah telah menetapkan bahwa wali itu ada dua jenis yaitu:
? wali Allah
? wali setan
Allah berfirman (artinya): “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (Yunus:62-63)
Dia berfirman tentang wali setan (artinya): “Sesungguhnya Mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran:175)
Dari kedua ayat ini jelaslah bahwa wali Allah itu adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adalah lawan dari mereka.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah tentang mereka, sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/422). Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Wali Allah adalah orang yang berilmu tentang Allah dan dia terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.” (Fathul Bari 11/ 342).
Didalam ayat yang lainnya Allah menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara dari kesalahan). Dia berfirman (artinya): “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka kerjakan kemudian membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar: 33-35)
KARAMAH MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAH
Demikian juga halnya, Allah I dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada sebagian manusia yang bertakwa, baik dimasa dahulu maupun dimasa yang akan datang sampai hari kiamat. Diantaranya apa yang Allah kisahkan tentang Maryam didalam surat Ali Imran: 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman (H.R. Al Bukhari no. 7132 dan Muslim no. 2938). Selain itu, kenyataan yang kita lihat ataupun dengar dari berita yang mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.
Adapun definisi karamah itu sendiri adalah: kejadian diluar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
APAKAH WALI ALLAH ITU MEMILIKI ATRIBUT-ATRIBUT TERTENTU?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para petani. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/194)
APAKAH WALI ALLAH ITU HARUS MEMILIKI KARAMAH? LEBIH UTAMA MANAKAH ANTARA WALI YANG MEMILIKINYA DENGAN YANG TIDAK?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para sahabat, padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/283)
APAKAH SETIAP YANG DILUAR KEBIASAAN DINAMAKAN DENGAN ‘KARAMAH’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang diluar kebiasaan itu ada tiga macam:
? Mu’jizat yang terjadi pada para rasul dan nabi
? Karamah yang terjadi pada para wali Allah
? Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan
(Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).
Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah .” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193)
WALI DAN KARAMAH MENURUT KAUM SUFI
Pandangan kaum Sufi tentang wali dan karamah sangatlah rancu, bahkan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah . Diantara pandangan mereka adalah sebagai berikut:
1. Wali Adalah Gambaran Tentang Sosok Yang Telah Menyatu Dan Melebur Diri Dengan Allah .
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Manuufi (dedengkot Sufi) dalam kitabnya Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99 (lihat Firaq Mu’ashirah 2/ 699)
2. Gelar wali merupakan pemberian dari Allah I yang bisa diraih tanpa melakukan amalan (sebab), dan bisa diraih oleh seorang yang baik atau pelaku kemaksiatan sekalipun. (Lihat Firaq Mu’ashirah 2/701)
3. Wali Memiliki Kekhususan Melebihi Kekhususan Nabi .
Diantara kekhususan tersebut adalah:
a. Mengetahui apa yang ada di hati manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad Saifuddin Al Farutsi An Naqsyabandi.
b. Mampu menolak malaikat maut yang hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal ini diterangkan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
c. Mampu berjalan di atas air dan terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri Muhammad As Sarwi yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamaa’il.
d. Dapat menunaikan shalat lima waktu di Makkah padahal mereka ada di negeri yang sangat jauh. An Nabhani membela perbuatan wali-wali mereka tersebut.
e. Memiliki kesanggupan untuk memberi janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan Allah . Sekali lagi kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
(Dinukil dari buku-buku kaum Sufi melalui kitab Khashaa’ishul Mushthafa hal. 280-293).
Dan masih ada lagi keanehan-keanehan yang ada pada tokoh-tokoh atau wali-wali mereka. Subhanallah, semua itu adalah kedustaan yang nyata!! Sebelumnya Ibnu Arabi menyatakan kalau kedudukan wali itu lebih tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah syairnya dia mengatakan:
Kedudukan puncak kenabian berada pada suatu tingkatan
Sedikit dibawah wali dan diatas rasul
(Lathaa’iful Asraar hal.49)
Demikian juga Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan, yang para nabi hanya mampu di tepi-tepinya saja.” (Firaq Mu’ashirah 2/698)
4. Seorang Wali Tidak Terikat Dengan Syariat Islam
Asy Sya’rani menyatakan bahwa Ad Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian dapat dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yang sedang minum khamr (minuman keras), dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti menyangka ia seorang peminum khamr, namun sebenarnya ruhnya telah berubah bentuk dan menjelma seperti yang terlihat tersebut. (Ath Thabaqaatul Kubra 2/41)
5. Seorang Wali Harus Ma’shum (Terjaga Dari Dosa)
Ibnu Arabi berkata: “Salah satu syarat menjadi imam kebatinan adalah harus ma’shum. Adapun imam dhahir (syariat-pen) tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.” (Al Futuuhaat Al Makkiyah 3/183)
6. Seorang Wali Harus Ditaati Secara Mutlak
Al Ghazali berkata: “Apapun yang telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar mengajar maka hendaklah dia mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya. Karena, kesalahan syaikhnya itu lebih baik daripada kebenaran yang ada pada dirinya.” (Ihya’ Ulumuddin 1/50)
7. Perbuatan Maksiat Seorang Wali Dianggap Sebagai Karamah
Dalam menceritakan karamah Ali Wahisyi, Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu, bila sedang mengunjungi kami, dia tinggal di rumah seorang wanita tuna susila/pelacur.” (Ath Thabaqaatul Kubra 2/135)
8. Karamah Menjadikan Seorang Wali Memiliki Kema’shuman
Al Qusyairi berkata: “Salah satu fungsi karamah yang dimiliki oleh para wali agar selalu mendapat taufiq untuk berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan syari’at.” (Ar Risalah Al Qusyairiyah hal.150)
Para pembaca, dari bahasan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali menurut kaum sufi sangatlah rancu dan menyimpang, karena dengan pengertian sufi tersebut siapa saja bisa menjadi wali, walaupun ia pelaku kesyirikan, bid’ah atau kemaksiatan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah dan fitrah yang suci.
Wallahu a’lam bishshawaab.
HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DIKALANGAN UMAT
Hadits Ubadah bin Shamit
الأَبْدَالُ في هَذِهِ الأُمَّةِ ثَلاَثُوْنَ …
“Wali Al Abdaal di umat ini ada 30 orang…”
Keterangan:
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah banyak membawakan hadits tentang wali Al Abdaal didalam Silsilah Adh Dha’ifah hadits no. 936, 1392, 1474, 1475, 1476, 1477, 1478, 1479, 2993, 4341, 4779 dan 5248. Beliau mengatakan bahwa seluruh hadits tentang wali Al Abdaal adalah lemah, tidak ada satupun yang shahih. (Lihat pembahasan ini lebih detailnya didalam Majmu’ Fatawa 11/433-444)



TASAWUF DAN SHOLAWAT NABI

Shalawat Nabi bukanlah amalan yang asing bagi seorang muslim. Hampir-hampir setiap majlis ta’lim ataupun acara ritual tertentu tidak pernah lengang dari dengungan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad . Terlebih bagi seorang muslim yang merindukan syafa’atnya, ia pun selalu melantunkan shalawat dan salam tersebut setiap kali disebutkan nama beliau . Karena memang shalawat kepada beliau merupakan ibadah mulia yang diperintahkan oleh Allah .
Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya”. (Al Ahzab: 56)
Rasulullah bersabda (artinya): “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)
Demikianlah kedudukan shalawat Nabi dalam agama Islam. Sehingga di dalam mengamalkannya pun haruslah dengan petunjuk Nabi Muhammad . Sebaik-baik shalawat, tentunya yang sesuai dengan petunjuk Nabi dan sejelek-jelek shalawat adalah yang menyelisihi petunjuknya . Karena beliau lebih mengerti shalawat manakah yang paling sesuai untuk diri beliau .
Diantara shalawat-shalawat yang telah dituntunkan oleh Nabi kepada umatnya, yaitu:
اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi shalawat yang dituntunkan oleh Nabi . Adapun shalawat-shalawat yang menyelisihi tuntunan Nabi maka cukup banyak juga, diantaranya beberapa shalawat yang biasa dilantunkan oleh orang-orang Sufi ataupun orang-orang yang tanpa disadari terpengaruh dengan mereka.
BEBERAPA SHALAWAT ALA SUFI
1. Shalawat Nariyah
Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Dengan suatu keyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًا عَلَى سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الَّذِي تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كَلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah , berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Nabi Muhammad, yang dengannya terlepas semua ikatan kesusahan dan dibebaskan semua kesulitan. Dan dengannya pula terpenuhi semua kebutuhan, diraih segala keinginan dan kematian yang baik, dan dengan wajahnya yang mulia tercurahkan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih. Semoga shalawat ini pun tercurahkan kepada keluarganya dan para sahabatnya sejumlah seluruh ilmu yang Engkau miliki.”
Para pembaca, bila kita merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka kandungan shalawat tersebut sangat bertentangan dengan keduanya. Bukankah hanya Allah semata yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan semua ikatan kesusahan dan kesulitan, yang mampu memenuhi segala kebutuhan dan memberikan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih?!
Allah I berfirman (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula mampu menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan tertimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raf: 188)
Dan juga firman-Nya (artinya):
“”Katakanlah (wahai Muhammad): Panggillah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan kaum yang berdo’a kepada Al Masih, atau malaikat, atau sosok orang shalih dari kalangan jin. (Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
Seorang laki-laki datang kepada Nabi , lalu mengatakan: مَا شَاءَ اللهَُ وَ شِئْتَ
“Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا ؟!
“Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah? Ucapkanlah: مَا شَاءَ اللهَُ وَحْدَهُ “Berdasarkan kehendak Allah semata”. (HR. An-Nasa’i dengan sanad yang hasan) (Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah hal. 227-228, Muhammad Jamil Zainu)
Maka dari itu, jelaslah dari beberapa dalil diatas bahwasanya Shalawat Nariyah terkandung padanya unsur pengkultusan yang berlebihan terhadap diri Nabi hingga menyejajarkannya dengan Allah I. Tentunya yang demikian ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang dimurkai oleh Allah dan Nabi-Nya.
2. Shalawat Al Faatih (Pembuka) Nash shalawat tersebut adalah:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ …
“Ya Allah! berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka segala yang tertutup ….”
Berkata At-Tijani pendiri tarekat Sufi Tijaniyah - secara dusta - : “….Kemudian beliau (Nabi ) mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya, bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, menyamai dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan menyamai membaca Al Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.” (Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman)
Para pembaca, demikianlah kedustaan, kebodohan dan kekafiran yang nyata dari seorang yang mengaku berjumpa dengan Nabi , karena ia berkeyakinan bahwa perkataan manusia lebih mulia 6.000 kali lipat daripada firman Allah I. Bukankah Allah telah menegaskan dalam firman-Nya(artinya):
a. “Dan siapakah yang perkatannya lebih benar dari pada Allah? (An Nisaa’:122)
b. “Dan sungguh telah sempurna kalimat Tuhanmu(Al Qur’an),sebagai kalimat yang benar dan adil.”(Al An’aam:115)
Demikian pula Nabi telah menegaskan dalam sabdanya (artinya):
a. “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah “. (HR. Muslim)
b. “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an , maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif laam miim itu satu huruf, namun alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al-Albani)
Wahai saudaraku, dari beberapa dalil di atas cukuplah bagi kita sebagai bukti atas kebatilan shalawat Al Faatih, terlebih lagi bila kita telusuri kandungannya yang kental dengan nuansa pengkultusan terhadap Nabi yang dilarang dalam agama yang sempurna ini.
3. Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)
Nash adalah sebagai berikut:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ …
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah …”.
Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: “Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288)
Wahai saudaraku, mana mungkin shalat yang merupakan tiang agama dan sekaligus rukun Islam kedua pahalanya 600. 000 di bawah shalawat sa’adah ini?! Cukuplah yang demikian itu sebagai bukti atas kepalsuan dan kebatilan shalawat tersebut.
4. Shalawat Burdatul Bushiri
Nashnya adalah sebagai berikut:
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ
“Wahai Rabbku! Dengan perantara Musthafa (Nabi Muhammad ) penuhilah segala keinginan kami dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, wahai Dzat Yang Maha Luas Kedermawanannya.”
Shalawat ini mempunyai beberapa (kemungkinan) makna. Bila maknanya seperti yang terkandung di atas, maka termasuk tawasul kepada Nabi yang beliau telah meninggal dunia. Hal ini termasuk jenis tawasul yang dilarang, karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang melakukannya disaat ditimpa musibah dan yang sejenisnya. Bahkan Umar bin Al Khathab ketika shalat istisqa’ (minta hujan) tidaklah bertawasul dengan Nabi karena beliau telah meninggal dunia, dan justru Umar meminta Abbas paman Nabi (yang masih hidup ketika itu) untuk berdo’a. Kalaulah tawasul kepada Nabi ketika beliau telah meninggal dunia merupakan perbuatan yang disyari’atkan niscaya Umar melakukannya. Adapun bila mengandung makna tawasul dengan jaah (kedudukan) Nabi maka termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama, karena hadits: تَوَسَّلُوا بِجَاهِي “Bertawasullah dengan kedudukanku”, merupakan hadits yang tidak ada asalnya (palsu). Bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan disaat ada keyakinan bahwa Allah I butuh terhadap perantara sebagaimana butuhnya seorang pemimpin terhadap perantara antara dia dengan rakyatnya, karena ada unsur menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Lihat Al Firqatun Najiyah hal. 85)
Sedangkan bila maknanya mengandung unsur (Demi Nabi Muhammad) maka termasuk syirik, karena tergolong sumpah dengan selain Allah I.
Nabi bersabda (artinya):
“Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat kafir atau syirik.” ( HR At Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shahih)
Para pembaca, dari sekian makna di atas maka jelaslah bagi kita kebatilan yang terkandung di dalam shalawat tersebut. Terlebih lagi Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengamalkannya, apalagi mengajarkannya. Seperti itu pula hukum yang dikandung oleh bagian akhir dari Shalawat Badar (bertawasul kepada Nabi Muhammad, para mujahidin dan ahli Badar).
5. Nash shalawat seorang sufi Libanon:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ مِنْهُ الأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga Engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya).” Padahal Allah I berfirman (artinya): “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Nabi sendiri pernah bersabda: “Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al Bukhari).
Wallahu A’lam Bish Shawab

Hadits-Hadits Palsu Dan Dha’if Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Anas bin Malik :
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثَمَانِيْنَ مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوْبَ ثَمَانِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa bershalawat kepadaku pada malam Jum’at 80 kali, niscaya Allah akan mengampuni segala dosanya selama 80 tahun.”
Keterangan:
Hadits ini palsu, karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Wahb bin Dawud bin Sulaiman Adh Dharir. Al Khathib Al Baghdadi berkata: “Dia seorang yang tidak bisa dipercaya.” Asy Syaikh Al Albani berkata: “Sesungguhnya ciri-ciri kepalsuan hadits ini sangatlah jelas.” (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no. 215)



TASAWUF DAN PENGKULTUSAN RASULULLAH

Rasulullah adalah sebaik-baik manusia, tidak ada yang melebihi beliau dalam hal kemuliaan dan kehormatan. Oleh karena itu, Allah I menjadikan beliau sebagai suri tauladan terbaik bagi umat manusia. Allah berfirman artinya): “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan bagi kalian.” Al Ahzab: 21)
Beliaulah yang harus kita cintai melebihi kecintaan terhadap diri kita sendiri, orang tua, anak, istri dan seluruh umat manusia. Namun Rasulullah melarang umatnya dari sikap berlebihan, terkhusus sikap pengkultusan terhadap diri beliau . Sebagaimana beliau bersabda:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مِرْيَمَ ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” H.R Al Bukhari)
Sangatlah disayangkan ternyata kaum Sufi merupakan kaum yang paling gencar melanggar perintah Rasulullah tersebut. Sekian banyak bukti pengkultusan mereka terhadap Rasulullah terdapat dalam karya tulis tokoh-tokoh tersohor mereka. Sampai-sampai pengkultusan tersebut menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesyirikan, baik dalam hal rububiyah, uluhiyah, ataupun asma’ wa sifat.

DIANTARA BUKTI PENGKULTUSAN KAUM SUFI TERHADAP RASUL
Gambaran pengkultusan kaum Sufi terhadap Rasulullah sangatlah beraneka ragam, yang kesemuanya bermuara dari kedustaan, khayalan atau kebodohan. Dapatlah kita simak gambaran-gambaran tersebut melalui bukti-bukti berikut ini :
1. Rasulullah Diciptakan Dari Nur Cahaya) Allah
Diantara tokoh Sufi yang berpendapat demikian adalah Ibnu Arabi di dalam Al Futuhat Al Makkiyyah 1/119, Abdul Karim Al Jaili di dalam Al Insaanul Kaamil 2/46 dan beberapa yang lainnya.
Demi memudahkan penyebaran aqidah sesat ini, mereka memunculkan hadits yang tidak diketahui asal usulnya yang didustakan atas nama Rasulullah yaitu:
أَنَّ اللهَ تَعَالى خَلَقَ نُوْرِ نَبِيِّهِ مِنْ نُوْرِهِ
“Bahwasanya Allah menciptakan cahaya nabi-Nya dari cahaya-Nya”
Allah membantah keyakinan keji ini dengan menyatakan bahwa Rasulullah? adalah seorang manusia sedangkan manusia itu diciptakan dari tanah bukan dari cahaya. Allah berfirman artinya):
“Katakanlah wahai Muhammad) :” Maha Suci Tuhanku, aku tidak lain adalah seorang manusia dan rasul.” Al Israa’: 93)
Dia juga berfirman artinya): “Dan Allah menciptakan kalian manusia) dari tanah, kemudian nuthfah lalu menjadikan kalian berpasang-pasangan.” Faathir: 11)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa Nabi diciptakan dari unsur tanah dan tidak ada satupun manusia yang diciptakan dari cahaya. Disamping itu, keutamaan sebagian makhluk dibanding makhluk lainnya bukanlah karena unsur diciptakannya. Bahkan Nabi Adam beserta anak keturunannya yang shalih itu lebih utama dari malaikat walaupun malaikat tersebut diciptakan dari cahaya. Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/94-95)
2. Seluruh Alam Semesta Diciptakan Dari Nur cahaya) Muhammad Aqidah Nur Muhammadi)
Abdul Karim Al Jaili berkata: “Dan tatkala Allah menciptakan seluruh alam semesta ini dari nur Muhammad, maka hati Muhammad? itu merupakan bagian yang malaikat Israfil diciptakan darinya -lalu dia mengatakan- sesungguhnya Al Aqlu Al Awwal yaitu Muhammad?, Allah ciptakan darinya Jibril u sehingga Muhammad? adalah ayah Jibril dan asal usul dari seluruh alam.” Al Insaanul Kaamil 2/26-27).
Dari dua jenis keyakinan kufur ini, dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan Rasulullah? dari cahaya-Nya, kemudian dari cahaya tersebut terciptalah seluruh alam semesta. Sehingga tidaklah yang ada di alam semesta ini melainkan bagian dari Dzat Allah . Muncullah dari sini keterkaitan kedua keyakinan itu dengan aqidah Manunggaling Kawula Gusti. Sebuah skenario yang benar-benar keji. Wallahul Musta’an!!
3. Rasulullah? Memiliki Beberapa Sifat Ketuhanan Rububiyyah) Sehingga Berhak Diibadahi
Keyakinan kufur ini tidaklah terlepas dari konsekuensi yang diraih ketika mereka menyatakan tentang aqidah Manunggaling Kawula Gusti. Dan inilah yang ditegaskan sendiri oleh pujangga-pujangga syair tersohor mereka.
Al Bushiri berkata di dalam syairnya yang terkenal:
Maka sesungguhnya diantara kedermawananmu Muhammad) adalah adanya dunia dan akhirat
Dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfudh dan Al Qalam yaitu ilmu tentang segala takdir di alam semesta ini)
Burdatul Madiih hal. 35 yang terkenal dengan Qasidah Burdah).
Yusuf An Nabhani menukil perkataan Syamsuddin At Tuwaji Al Mishri:
Wahai utusan Allah, sesungguhnya aku ini lemah
Maka sembuhkanlah aku karena sesungguhnya engkau adalah pangkal kesembuhan
Wahai utusan Allah, bila engkau tidak menolongku
Maka pada siapa lagi menurutmu aku akan bersandar
Syawaahidul Haq hal. 352)
Betapa jauhnya penyimpangan mereka dari aqidah yang benar?!!, padahal Allah berfirman artinya):
“Katakanlah wahai Muhammad): “Aku tidaklah memiliki manfaat atau dapat mencegah bahaya dari diriku sendiri kecuali yang Allah kehendaki. Kalau seandainya aku mengetahui yang ghaib maka tentunya aku dapat memperbanyak kebaikan untukku dan tidak ada satupun bahaya yang menimpaku”. Al A’raaf:188)
“Dan bila Allah menimpakan kepadamu suatu kejelekan maka tidak akan ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia saja. Dan apabila Dia mendatangkan kebaikan kepadamu maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Al An’aam:17)
4. Rasulullah? Dapat Dilihat Di Dunia Dalam Keadaan Terjaga Setelah Beliau Meninggal Dunia)
Keyakinan ini mereka ambil berdasarkan hikayat-hikayat dusta yang berasal dari tokoh-tokoh tarekat mereka.
Asy Sya’rani menyatakan bahwa Abul Mawaahib Asy Syadzali berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah? lalu berkata kepadaku tentang diri beliau: “Aku sebenarnya tidaklah mati. Hanyalah kematianku sekarang ini) sebagai persembunyianku dari orang-orang yang tidak mengerti tentang Allah.” Maka akupun melihat beliau dan beliaupun melihat aku.” Thabaqatul Kubra 2/69 karya Asy Sya’rani).
Bahkan dengan tegas Abul Mawaahib membawakan sabda Nabi? dengan dusta bahwa barangsiapa yang tidak percaya dengan pertemuan dirinya dengan beliau, kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan sebagai seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi!! Thabaqatul Kubra 2/67)
Sebagian murid Khaujili bin Abdirrahman seorang tokoh Sufi jaman ini) menceritakan bahwa gurunya ini pernah melihat Rasulullah? sebanyak 24 kali dalam sehari sedangkan dia dalam keadaan sadar. Thabaqat Ibni Dhaifillah hal. 190)
Hikayat-hikayat yang mereka ceritakan ini sebenarnya mengandung beberapa perkara yang batil, diantaranya:
a. Jasad Rasulullah yang ada di kubur dapat kembali ke alam dunia. Padahal Allah berfirman artinya): “Dan di belakang mereka terdapat dinding pemisah antara alam kubur dengan alam dunia) sampai hari mereka dibangkitkan hari kiamat)”. Al Mu’minuun: 100)
b. Rasulullah? sekarang ini tidak meninggal dunia. Allah membantah hal ini dengan firman-Nya artinya): “Sesungguhnya engkau Muhammad) akan mati dan merekapun akan mati pula).” Az Zumar: 30)
Kedua kandungan ini cukuplah sebagai bukti tentang sikap berlebihan pengkultusan) mereka terhadap pribadi Rasulullah?.
Ketika aqidah rusak mereka ini mulai terkuak, maka muncullah beragam pendapat lagi di dalam mengkaburkan maksud kalimat “melihat Rasulullah? dalam keadaan terjaga”. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Rasulullah? bisa dilihat dengan menjelma sebagai seorang syaikh terekat mereka, bahwa Rasulullah? bisa dilihat dengan mata hati bukan mata kepala, Rasulullah? bisa dilihat dalam keadaan antara tidur dan terjaga ataupun yang dilihat itu adalah ruh beliau bukan jasadnya. Pendapat terakhir ini diucapkan oleh tokoh Sufi jaman sekarang yaitu Muhammad Alwi Al Maliki dalam kitab Adz Dzakhaa’ir Al Muhammadiyah hal. 259 Khasha’ishul Musthafa hal. 217-218).
Ternyata keyakinan ini -yang sebenarnya telah terkuak kebatilannya- dijadikan kaum Sufi sebagai salah satu jembatan untuk memunculkan ajaran-ajaran baru bid’ah) yang belum pernah diajarkan Rasulullah? di masa beliau masih bersama para sahabatnya dahulu. Satu lagi skenario jahat untuk menodai ajaran agama suci ini.
Demikian pula pernyataan sesat yang dilontarkan Umar Al Fuuti bahwa Ahmad At Tijani pendiri tarekat At Tijaniyah) pernah diijinkan Rasulullah? untuk mengajari manusia setelah bersemedi, kemudian beliau menetapkan sebuah wirid tertentu kepada dirinya, yang sebelumnya beliau mengabarkan tentang kedudukan Ahmad At Tijani yang tinggi, keutamaan wirid tersebut dan janji Allah kepada siapa saja yang mencintai Ahmad At Tijani dari kalangan pengikutnya Rimaahu Hizbirrahiim 1/191).
Muhammad As Sayyid At Tijani mengungkapkan bahwa Rasulullah bersama para Al Khulafaur Rasyidin pernah menghadiri majelis wirid Ahmad At Tijani. Lalu beliau? memberikan syafa’at kepada hadirin ketika itu. Al Hidayah Ar Rabbaniyah hal. 12)

WIRID-WIRID BID’AH KAUM SUFI
Mereka tidak hanya menuangkan pengkultusan Rasulullah? melalui pendapat ataupun untaian-untaian syair saja, tetapi juga melalui wirid dalam bentuk shalawat nabi. Bahkan, dengan shalawat inilah banyak sekali kaum muslimin -walaupun tidak terikat dengan ajaran mereka- terjatuh ke dalam jeratan mereka. Hal ini disebabkan beberapa perkara, diantaranya:
a. Mereka tidak jarang membawakan ayat-ayat ataupun hadits-hadits shahih yang masih bersifat umum yang menganjurkan seorang muslim untuk bershalawat atau berdzikir.
b. Hikayat-hikayat dusta yang menceritakan tentang keutamaan-keutamaan membaca shalawat tertentu.
Di antara shalawat yang sangat terkenal di tengah kaum muslimin adalah shalawat Al Faatih yang apabila membacanya mendapatkan keutamaan seperti membaca Al Qur’an sebanyak 6000 kali, shalawat Nariyah yang apabila membacanya sebanyak 4444 kali maka hajatnya akan terpenuhi atau terlepas dari kesulitan, dan juga beberapa shalawat lainnya yang kental dengan nuansa kesyirikan di dalam kitab Dalaailul Khairaat karya Muhammad bin Sulaiman Al Jazuli yang sering dibaca sebagian kaum muslimin terutama pada hari Jum’at.
Untuk lebih rincinya, insya Allah akan diangkat topik “Sufi dan Shalawat-shalawat Bid’ah Mereka” pada edisi-edisi mendatang)
HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ibnu Umar : مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ
“Barangsiapa yang menziarahi kuburku maka berhak baginya syafa’atku”
Keterangan:
Hadits ini mungkar karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Musa bin Hilal Al ‘Abdi. Beberapa ulama ahli hadits seperti Abu Hatim, Al Bukhari, An Nasai, Al Hakim, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Hajar dan Al Baihaqi sendiri yang meriwayatkan hadits tersebut) mengkritik perawi tersebut. Asy Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits tersebut mungkar. Irwa’ul Ghalil no. 1128)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas kerapkali dibawakan para tokoh Sufi didalam mengajak kaum muslimin untuk meyakini adanya keutamaan tertentu di dalam menziarahi makam beliau, sampai akhirnya mengkultuskan beliau seperti bertawasul atau berdoa kepada beliau dan mengkeramatkan makam beliau.
Adapun ziarah ke kubur beliau dan juga selain beliau maka hal ini diperbolehkan selama dengan tujuan dan cara yang diajarkan Rasulullah .



TASAWUF DAN ILMU LADUNI

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih - lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla - sampai dia berkata - maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.

Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas - dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya): “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul e adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya: “Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah e: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.

HADITS-HADITS DHO’IF DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)



TASAWUF DAN AQIDAH MANUNGGALING GUSTI

Tak jauh beda dengan keadaan syi’ah Rafidhah, kaum Sufi – yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan akidah dengan mereka – pun mengusung berbagai jenis kesesatan dan kekufuran, sebagai bahaya laten ditubuh kaum muslimin. Bahkan disaat kaum muslimin tidak lagi memperhatikan agamanya, muncullah mereka sebagai kekuatan spiritual yang mengerikan. Sehingga mereka tak segan-segan lagi menampilkan wacana kekufurannya ditengah-tengah kaum muslimin.
Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.
Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.

Bukti Bukti Nyata Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi
Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu mereka seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.
1. Al Hallaj berkata:
“Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya
Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum
Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata”
(Ath Thawaasin hal. 129)
“Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi
Maha suci Engkau Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku
Kemaksiatan kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku
Marah-Mu adalah marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku “
(Diwanul Hallaj hal. 82)
“Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu
Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya
Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami”
(Ath Thawaasin hal. 34)
2. Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:
Tidak ada shalat kecuali hanya untukku
Dan shalatku dalam setiap raka’at bukanlah untuk selainku
(Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi hal. 64)
3. Abu Yazid Al Busthami berkata: ”Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki)
Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!
Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur hal. 84) didalam hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah di miliki oleh seorang hamba”.
Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.
Ibnu Arabi berkata:
Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada
Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat?
Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati
Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat?
(Fushulul Hikam hal. 90)
Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata:
“Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami
Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja”
(Suufiyat hal. 27)

DALIL-DALIL YANG DIJADIKAN KAUM SUFI SEBAGAI PENOPANG AKIDAH MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya menurut sangkaan mereka?!
Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:
1. Surat Al Hadid: 5, yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”
2. Surat Qaaf: 16 yang artinya: “Dan kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.
3. Sabda Rasulullah diadalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)

BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT (KERANCUAN BERFIKIR) MEREKA DI DALAM MENGAMBIL DALIL-DALIL TADI
Dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.
1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid: 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada”. adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)
2. Yang dimaksud dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.
3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)
Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)

BEBERAPA UCAPAN BATIL YANG TERKAIT ERAT DENGAN AKIDAH INI
1. Dzat Allah ada dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?” Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu’ Fatawa 5/125)
2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba.
Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; “Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)

BEBERAPA AYAT AL QUR’AN YANG MEMBANTAH AKIDAH MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil. Allah ta’ala berfirman (artinya): “Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (Az Zukhruf: 15)
“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Asy Syura: 11)
Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia. Allah pun berfirman (artinya):
“Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al A’raf: 143)



HAKIKAT TASAWUF DAN SUFI

Bashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah ), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf/صُوْف). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuuf (صُوْف). Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah , karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi (صُفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah , karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi (صَفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah
(الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ) karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ) dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding petunjuk Al Masih), beliau biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11,hal.6,16 ).

Siapakah Peletak Tasawuf ?
Ibnu ‘Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah sendiri. Yang mana beliau –menurut Ibnu ‘Ajibah - mendapatkannya dari Allah melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib , kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).
Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah , ia menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah telah perintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya): “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67)
Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib , maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi kepadamu?” Maka Ali pun marah lalu mengatakan: “Nabi belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya saja beliau pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail berkata: “Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ?” Beliau menjawab: “Rasulullah bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).

Hakikat Tasawuf
Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib , maka dari manakah ajaran Tasawuf ini ?
Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28).
Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah di dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya . Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tashawwuf, hal. 19).2

Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf
1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).
Padahal Allah telah berfirman :
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura : 11)
“Berkatalah Musa : “Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di dunia-pen)………” (Al A’raaf : 143).
2. Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !” (Fushushul Hikam).? Betapa kufurnya kata-kata ini …, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!
3. Ibnu ‘Arabi juga berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah).4
Padahal Allah telah berfirman : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56).
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam : 93).
4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama … masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.” 5
Padahal Allah berfirman : “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85)
5. Pembagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah , oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, juz 11 hal. 401).
6. Dzikirnya orang-orang awam adalah لا إله إلا الله , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus “الله / Allah”, “هو / Huu”, dan “آه / Aah” saja.
Padahal Rasulullah bersabda :
أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلهِ إِلاَّ الله
“Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (H.R. Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah , dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1104).?
Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هو / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)
7. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah dustakan mereka dalam firman-Nya : “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Naml : 65)
8. Keyakinan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammad dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad . Padahal Allah berfirman : “Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al Kahfi : 110).
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shaad : 71)
Wallahu A’lam Bish Shawab

Hadits-hadits palsu atau lemah yang tersebar di kalangan umat
Hadits Abu Umamah
عَلَيْكُمْ بِلِبَاسِ الصُّوفِ، تَجِدُوْا حَلاَوَةَ الإيْمَانِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ
“Pakailah pakaian yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya keimanan di hati kalian”(HR Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman).
Keterangan : Hadits ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban berkata : “Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits”. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah Wal Maudhu’ah, no:90)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar