Powered By Blogger

Sabtu, 27 November 2010

renungan


Bolehkah Membongkar Kuburan Muslimin atau Kuburan Orang-Orang Kafir?

Jawab:

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu

Dalam hal ini tentunya ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir. Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

كَسْرُ عَظْمِ الَْـمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.”[1]

Maka seorang mukmin tetap terhormat setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya. Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.
Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka:

ثَامِنُونِي حَائِطَكُمْ

“Hargailah kebun kalian untukku.”

Yakni, juallah kebun kalian untukku. Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Karena di situ terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka (dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.

Jadi, membongkar kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara kuburan orang-orang kafir diperbolehkan.

Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana mayat tetap utuh di dalamnya -masya Allah- sampai sekian tahun. Ada pula tanah yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin meletakkan patokan untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad. Dan sebagaimana diistilahkan “orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana” maka orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan. (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 53)

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah

Pada asalnya tidak boleh membongkar kubur mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur tersebut adalah wakaf untuknya. Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan telah lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.

Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan mayit itu dan mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak menuntut itu, atau ada maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para ulama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.



Hukum Bertasbih dan Bertakbir

Ketika Melewati Jalan Menurun dan Menanjak di Selain Safar

Di antara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bertakbir ketika melewati jalanan yang menanjak dan bertasbih ketika melewati jalanan yang menurun ketika sedang safar. Namun ketika sedang tidak dalam keadaan safar, apakah takbir dan tasbih ini juga disunnahkan?

Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika melewati jalanan yang menanjak dan bertasbih ketika melewati jalanan yang menurun, apakah ucapan tasbih dan takbir ini dikhususkan ketika safar? Ataukah bertakbir dan bertasbih ini juga dilakukan ketika -misalnya- di rumah (tidak dalam keadaan safar, pent) saat menaiki lantai kedua dan ketiga? Beliau rahimahullah menjawab: Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam safarnya, ketika melewati jalanan yang menanjak, beliau bertakbir, dan ketika melewati jalanan yang menurun, beliau bertasbih. Yang demikian itu karena seseorang yang berada di ketinggian (berada di atas sesuatu) terkadang merasa dirinya lebih dan melihat dirinya besar, oleh karena itulah sangat tepat bagi dia untuk bertakbir (membesarkan nama) Allah ‘azza wajalla. Dan adapun ketika melewati jalanan yang menurun, tentunya ketika itu dia berada pada posisi yang rendah, maka sangat tepat baginya untuk bertasbih (mensucikan) Allah ‘azza wajalla dari sifat kerendahan. Inilah bentuk keterkaitan antara ucapan tasbih dan takbir dengan keadaan-keadaan tersebut.

Dan di dalam As-Sunnah, tidak disebutkan bahwa amalan-amalan tersebut (bertakbir dan bertasbih, pent) juga dilakukan ketika tidak safar, segala bentuk ibadah itu sifatnya tauqifiyyah (tetap/paten), cukup ditunaikan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam dalil-dalil (baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah).

Oleh karena itulah, seseorang yang naik ke lantai atas di rumahnya, dia tidak perlu bertakbir, dan ketika turun darinya, juga tidak perlu bertasbih. Amaliyah seperti itu khusus dilakukan ketika safar.





BULAN SHAFAR BULAN SIAL??

Banyak orang yang beranggapan bahwa bulan ke-2 dalam kalender hijriyah ini sebagai bulan sial. Yang sangat disesalkan, anggapan tersebut banyak diyakini oleh kaum muslimin juga. Sehingga, karena bulan sial, maka tidak boleh punya hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting pada bulan tersebut, …dsb, karena akan mendatangkan bencana, atau ketidakberhasilan dalam pekerjaan.

Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena adanya peristiwa atau mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan belaka. Itu merupakan keyakinan kufur, menunjukkan dangkal aqidah tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.

Termasuk anggapan bulan Shafar sebagai bulan sial, sebenarnya merupakan warisan dari adat istiadat jahiliyyah para penyembah berhala sekaligus pelaku kesyirikan. Segala keyakinan-keyakinan syirik tersebut telah diberantas oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam dengan agama tauhid yang beliau bawa.

Berikut penjelasan para ‘ulama tauhid dan sunnah tentang permasalahan ini.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

(Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa)

Kerajaan Saudi ‘Arabia

Pertanyaan : Sungguh kami telah mendengar tentang keyakinan-keyakinan bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya. Kami memohon penjelasan dalam masalah tersebut sesuai bimbingan syari’at islam. Semoga Allah menjaga anda sekalian.

(Fatwa no. 10.775)

Jawab : Keyakinan tersebut, yaitu tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya pada bulan Shafar merupakan salah satu bentuk perbuatan menganggap sial bulan tersebut. Perbuatan menganggap sial bulan-bulan tertentu, hari-hari tertentu, burung atau hewan-hewan tertentu lainnya adalah perbuatan yang tidak boleh. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda :

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” [HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327)]

Menganggap sial bulan Shafar sekaligus termasuk salah satu jenis tathayyur yang terlarang. Itu termasuk amalan jahiliyyah yang telah dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota : Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan

Wakil Ketua : Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Ketua : Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

$ $ $

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

(Mufti Umum Kerajaan Saudi ‘Arabia)

Pertanyaan : “Banyak orang berkata bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Sebagian orang awam menganggap sial bulan tersebut dalam banyak perkara. Contohnya mereka meyakini tidak boleh melakukan akad nikah pada bulan tersebut. Demikian sebagian orang meyakini bahwa dalam acara akad nikah tidak boleh mematahkan kayu, atau mengikat tali, atau menyilangkan jari-jemari, karena hal-hal tersebut bisa menyebabkan kesialan pada pernikahan tersebut dan tidak akurnya kedua mempelai.

Karena permasalahan ini sangat terkait dengan aqidah, maka kami memohon nasehat dan penjelasan hukum syar’i.

Semoga Allah memberi taufiq kita semua kepada apa yang Ia cintai dan Ia ridhai.

Jawab : Menganggap sial bulan Shafar termasuk kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan (Shafar) tersebut seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau telah membatalkan keyakinan sialnya bulan Shafar tersebut. Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” [HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327)]

Hadits ini telah disepakati keshahihannya.

Demikian juga menganggap sial perbuatan menyilangkan jari-jemari, atau mematahkan kayu, atau semisalnya ketika akad nikah, merupakan perbuatan yang tidak ada dasarnya, tidak boleh meyakini hal tersebut. Bahkan itu merupakan keyakinan yang batil. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.





BIMBINGAN DALAM MENYIKAPI BERBAGAI PERISTIWA PENTING DAN TRAGEDI BESAR

YANG MENIMPA KAUM MUSLIMIN

Termasuk Tragedi Jalur Gaza Palestina

bersama :

Asy-Syaikh DR. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari hafizhahullah

Pengantar : Alhamdulillah, berkat rahmat dan taufiq Allah serta kemudahan dari-Nya Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari hafizhahullah berkesempatan menyampaikan muhadharah (ceramah) dan nasehat kepada kaum muslimin. Muhadharah tersebut disampaikan via telepon di Ma’had As-Salafy Jember pada 24 Muharram 1430 H bertepatan dengan 21 Januari 2009.

Alhamdulillah rekaman muhadharah tersebut telah kami tampilkan dan mendapat sambutan yang sangat hangat dari para pembaca sekalian. Kami mohon maaf jika pada rekaman tersebut terdapat suara atau kalimat yang kurang jelas.

Untuk membantu segenap pembaca sekalian memahami isi muhadharah tersebut, kami berupaya menerjemahkannya. Namun karena ada bagian dari rekaman yang kurang jelas, di samping adanya banyak kekurangan pada kami, mohon ma’af jika ada bagian yang terpaksa tidak kami terjemahkan sehingga kami beri titik-titik saja, atau bahkan mungkin ada yang kurang jelas atau salah dalam menerjemahkan.

Semoga upaya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Saran dan kritik membangun kami harapkan dari pembaca sekalian.

NB : untuk bagian tanya jawab belum kami terjemahkan.

Penerjemah

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن نبينا محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم،

أما بعد؛ فأن أصدق الحديث كتاب الله تعالى وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار، وبعد :

Wahai saudara-saudaraku yang mulia.

Saya memuji Allah Jalla wa ‘Azz, Dzat yang tidak ada sesuatupun yang berhak diibadahi selain Dia dan tidak ada Rabb kecuali Dia, Yang telah menyiapkan pertemuan ini untuk kami dan antum semua. Dia adalah Dzat yang kita memohon kepada-Nya agar memberikan barakah dalam segala urusan yang bermanfaat untuk kita semua, dari apa yang ucapkan dan kita dengar. Sesungguhnya Dia Jawadun Karim.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri kemudian saudara-saudaraku semua, dengan satu hadits yang mulia dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini merupakan satu jawami’il kalim (penjelasan yang ringkas namun sangat padat dan luas maknanya) dari beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah alahish shalatu was salam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya masing-masing, hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ »

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya.” [1])

Permasalahan yang ingin aku jelaskan tentangnya dari hadits agung dan mulia di atas adalah kalimat pertama dari sabda beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam.”

Hadits yang agung ini sebagaimana aku katakan tadi termasuk jawami’il kalim Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara yang tersebut dalam hadits tersebut, yaitu berucap dengan kata yang baik atau diam, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu, semuanya termasuk prilaku iman.

Suatu yang sudah diketahui, wahai saudaraku, bahwa di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa makna Iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan. Amalan-amalan tersebut, yakni amal-amal iman,

- terkadang terkait dengan hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla seperti melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan serta yang semisalnya,

- terkadang terkait dengan hak-hak Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, seperti mengagungkan berbagai sunnah beliau dan berittiba’ (mengikuti) sunnah-sunnah tersebut serta membela dan menegakkanya, kemudian berdakwah kepadanya,

- terkadang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti memuliakan tamu, memuliakan tetangga, menghilangkan gangguan, dan yang semisalnya.

Dari penjelasanku bahwa amal terkadang terkait dengan hak-hak manusia, maka itu juga meliputi hak-hak kedua orang tua, hak tetangga, hak tamu, hak anak-anak, hak-hak isteri, dan lain-lain.

- Di antaranya juga ada yang berkaitan dengan hak seseorang terhadap dirinya, yaitu sikap istiqamah pada lisannya sebagaimana terdapat hadits dalam kitab Al-Musnad dan yang lainnya :

لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

Tidak akan bisa istiqamah iman seorang hamba sampai hatinya istiqamah, dan tidak akan bisa istiqamah hatinya sampai lisannya istiqamah. [2])

Meskipun tentang derajat hadits ini masih ada perbincangan (di kalangan para ‘ulama pakar hadits) namun ada hadits (lain) yang menunjukkan pada makna tersebut, yang (hadits lain tersebut) lebih utama untuk dijadikan dalil, yaitu hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim :

« إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَنْزِلُ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »

Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat, ia tidak mengerti tentang kandungan ucapannya tersebut ternyata kalimat itu menggelincirkannya ke dalam neraka sejarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. [3]

Dalam Shahih Al-Bukhari sabda Rasulullah r :

« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ«

Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat yang mendatangkan keridhaan Allah, sehingga Allah pun mengangkatnya beberapa derajat. Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah namun ia tidak mempedulikan kandungan ucapannya tersebut sehingga menggelincirkannya ke dalam neraka. [4])

Jadi termasuk hak-hak iman adalah hak-hak yang wajib ia penuhi terkait antara dirinya dan Rabbnya Jalla wa ‘Ala.

Kalau kita telah mengerti hal ini, maka jelasnya bagi kita nilai penting hadits ini, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam.

Seseorang apabila ia merenungkan makna hadits yang agung ini dengan penuh keadilan dan pemahaman yang sempurna, maka akan jelas baginya hal-hal berikut :

Pertama : bahwa seorang hamba itu diperintahkan untuk berucap dengan kata-kata yang baik.

Kedua : seorang hamba itu diperintahkan untuk berdakwah kepadanya

Ketiga : seorang hamba dilarang dari berbicara dengan kebatilan

Keempat : dilarang untuk berbicara membela kebatilan

Kelima : diperintah untuk diam dari

Sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama ketika mereka beristinbath (mengambil kesimpulan hukum) dari hadits yang agung ini, mereka (para ‘ulama tersebut) berkata :

Yaitu ada dua jenis ucapan dan dua jenis diam

1. a. Ucapan yang pengucapnya diberi pahala

b. Ucapan yang pengucapnya berdosa

2. a. Diam yang pelakunya diberi pahala

b. Diam yang pelakunya diberi dosa

1. a. Ucapan yang pengucapnya diberi pahala adalah barangsiapa yang mengucapkan kata-kata yang baik. Kebaikan di sini maknanya umum, termasuk di dalamnya adalah menjelaskan al-haq (kebenaran) kepada umat, membela kebenaran tersebut, dan orang-orang pendukung kebenaran serta para pengusungnya. Termasuk juga mengajarkan al-haq kepada umat manusia, amar ma’ruf nahi munkar, dan berbagai upaya menunjukkan pada kebaikan lainnya yang dinyatakan oleh Allah Jalla wa ‘Ala :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ [آل عمران/110]

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,

Barangsiapa yang mengucapkan perkataan yang baik, yang ditegakkan di atas ilmu dan keadilan maka sungguh ia telah memenuhi sifat-sifat dan prilaku-prilaku iman, dan sungguh ia telah menyerupai para nabi dan menyerupai hamba-hamba Allah yang shalihin dengan ia memerintahkan kepada yang haq dan mencegah dari kebatilan.

1. b. Jenis kedua adalah orang yang berbicara dengan kebatilan. Inilah yang pengucapnya diberi dosa. Bisa jadi ia berbicara namun ia berbicara dengan kebatilan ……………………. Menentang syari’at dan menolak kebenaran. Mereka inilah orang-orang yang diancam oleh Allah Jalla wa ‘Ala. Hadits ini mengandung ancaman tersebut. Barangsiapa yang mengucapkan kejelekan -wal’iyyadzu billah- maka ia terkena ancaman dalam hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam yang sedang kita bahas ini. Barangsiapa melakukan yang bertentangan dengan sifat-sifat yang (tersebut dalam hadits yang agung) ini maka ia telah menghilangkan sifat-sifat yang tersebut dalam hadits ini.

Aku katakan, bahwa Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ، إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا، فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا، وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (135) [النساء/135]

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri, atau kedua orang tua kalian, maupun kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan. [An-Nisa` : 135]

Ayat ini sangat agung dalam menjaga kehormatan dan harta seorang hamba, yaitu dengan melaksanakan perintah Allah untuk berbuat adil dan persaksian yang hak walaupun terhadap diri sendiri, kedua orang tua, dan karib kerabat, serta kebenciannya terhadap perkara-perkara yang dilarang …………….. . Oleh karena itu Allah melarangnya. Allah Jalla wa ‘Azz berfirman : Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Allah melarang mereka dari mengikuti hawa nafsu, penyebab ditinggalkannya keadilan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.[5])

Adapun firman Allah : Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam karya besarnya, yaitu kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah [6]) :

ذكر سبحانه السببين الموجبين لكتمان الحق محذرا منهما ومتوعدا عليهما

أحدهما : اللي

والآخر : الاعراض

فإن الحق اذا ظهرت حجته ولم يجد من يروم دفعها طريقا إلى دفعها أعرض عنها وأمسك عن ذكرها

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua sebab yang mengantarkan kepada perbuatan menyembunyikan (menutup-nutupi) kebenaran, seraya Allah memperingatkan dan mengancam kedua perbuatan :

Pertama : Memutarbalikkan (kata-kata

Kedua : Enggan menjadi saksi

Karena kebenaran itu, apabila telah tampak hujjahnya dan tidak ada orang yang … .”

Aku katakan : Maka ini termasuk

2. b. sikap diam yang pelakunya berdosa karenanya, sebab dia mengetahui kebenaran namun ia menyembunyikannya.

Ini penjelasan bagian kedua dari pembagian di atas, bahwa diam itu ada yang diberi pahala, dan yang kedua ada diam yang mendapat dosa.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan :

أعرض عنها وأمسك عن ذكرها فكان شيطانا أخرس وتارة يلويها ويحرفها

“Berpaling darinya dan menahan dari menyebutkan kebenaran tersebut, maka ia menjadi syaithan bisa yang terkadang ia memutarbalikkan dan membolakbalikkan kebenaran tersebut.”

Bisa jadi ia mau menyebutkan kebenaran, namun dengan ia memutarbalikkan kebenaran tersebut. Ini termasuk mengucapkan kebatilan yang pelakunya juga berdosa.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan :

اللي مثال الفتل وهو التحريف

وهو نوعان : لي في اللفظ ولي في المعنى

فاللي في اللفظ أن يلفظ بها على وجه لايستلزم الحق إما بزيادة لفظه أو نقصانها أو إبدالها بغيرها

ولي في كيفية أدائها وإيهام السامع لفظا ومراده غير ذلك، كما كان اليهود يلوون السنتهم بالسلام على النبي r وغيره، فهذا أحد نوعي اللي

والنوع الثاني منه : لي المعنى وهو تحريفه وتاويل اللفظ على خلاف مراد المتكلم به وتحميله مالم يرده أو يسقط منه بعض ما أراد به، ونحو هذا من لي المعاني؛ فقال تعالى : وان تلووا او تعرضوا فان الله كان بما تعملون خبيرا

ولما كان الشاهد مطالبا باداء الشهادة على وجهها فلا يكتمها ولا يغيرها كان الاعراض نظير الكتمان، واللي نظير تغييرها وتبديلها

فتأمل ما تحت هذه الاية من كنوز العلم

“Memutarbalikan merupakan contoh pemalingan, yaitu at-tahrif (memalingkan al-haq tersebut dari makna sebenarnya). Pemutarbalikkan itu ada dua jenis :

- Pemutarbalikan lafazh

- Pemutarbalikkan makna

Pemutarbalikan lafazh, adalah mengucapkan kata-kata yang tidak bermakna al-haq. Bisa jadi dengan melakukan penambahan atau pengurangan kata, atau bisa jadi menggantinya dengan kata-kata lainnya. Termasuk juga pemutarbalikan dalam penyampaikan dengan mengesankan pada pendengar pada suatu lafazh tertentu padahal yang dimaukan bukan itu. Seperti perbuatan kaum Yahudi yang mengesankan bahwa lisan mereka menyucapkan salam kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan lainnya. Inilah jenis pertama dari dua jenis pemutarbalikan.

Adapun jenis kedua adalah, pemutarbalikan makna, yaitu memalingkan dan menafsirkan makna lafazh dengan tidak sesuai dengan yang dimaukan oleh sang pengucapnya atau membawanya kepada pengertian yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh sang pengucap, atau menghilangkan sebagian makna yang dimaksudkan, dan berbagai bentuk pemutarbalikkan makna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ” Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.”

Apabila seorang saksi dituntut untuk memberikan persaksiannya dengan benar, tidak menyembunyikan atau mengubahnya, maka sikap berpaling/tidak mau (memberikan kesaksian) sama dengan menyembunyikan (persaksian/kebenaran), sedangkan memutarbalikkan kata/makna itu sama dengan mengubah atau menggantinya.

Maka renungkanlah apa yang dikandung oleh ayat ini berupa perbendaharaan ilmu.

-sekian penjelasan Ibnul Qayyim semoga Allah merahmati dan mengampuni beliau-

Maka ucapan apabila dengan kebatilan maka itu termasuk pemutarbalikkan (kebenaran) dan sikap berpaling dari upaya menjelaskan kebenaran kepada umat.

Jenis Kedua, sikap diam -sebagaimana telah aku sebutkan bahwa ada dua bentuk sikap diam, yaitu diam yang diberi pahala dan diam yang mendapat dosa. Adapun diam yang mendapat pahala adalah menahan dari berbicara dengan kebatilan -

Adapun jenis kedua diam yang mendapat dosa, adalah diam dari menjelaskan kebenaran atau ada kebatilan namun ia diam. Wal’iyyadzubillah.

Oleh karena itu, seorang hamba harus menyadari bahwa Allah kelak akan menghisabnya, dan tidaklah terucap satu patah kata pun kecuali di sisinya ada malaikat pengawas yang selalu hadir. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18) [ق/17، 18]

(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf : 17-18]

Seorang yang senantiasa menghitung dirinya dan senantiasa berpikir jernih maka dia akan senantiasa mencari kekurangan dirinya, senantiasa merenungkan kandungan hadits-hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak bersikap seperti orang-orang dungu yang membuatnya berbicara dengan kebatilan atau diam dari kebenaran ketika ia mampu menjelaskannya.

Dari hadits ini kita mengetahui bahwa kalimat yang bukan merupakan kebaikan maka diam darinya lebih utama dari berbicara dengannya, kecuali apabila ada keperluan yang mengharuskan untuk mengucapkannya. Oleh karena itu terdapat riwayat dari shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallah ‘anhu bahwa beliau berkata :

« إياكم وفضول الكلام، حسب امريء ما بلغ حاجته »

“hati-hati kalian dari ucapan-ucapan yang berlebih. Cukuplah seseorang itu sekadar kebutuhannya.” [7])

Oleh karena diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa manusia binasa dengan sebab kelebihan harta dan pembicaraannya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam An-Nakha’i rahimahullah. [8]) Termasuk dalam hal ini seorang yang hendak berbicara dengan sesuatu yang tidak ada keperluan atau menfaatnya, yaitu dia akan tertimpa kekerasan (hati) dan akan banyak tergelincir. Lahaula wala Quwwata illa billah.

Oleh karena itu para ‘ulama memuji sikap diam. Mereka mengatakan :

الصمت حكمة وقليل فاعله

Diam itu hikmah, namun sedikit sekali yang mau melakukannya. [9])

Wahb bin Munabbih juga berkata :

أجمعت الحكماء على أن رأس الحكمة الصمت

Para ahli hikmah sepakat bahwa hikmah yang paling utama adalah sikap diam. [10])

Sikap diam dengan pengertian yang telah kami jelaskan, yaitu :

- diam dari berbicara dengan kebatilan atau sesuatu yang tidak ada perlunya,

- dan sikap diam dari menjelaskan kebenaran, maka jenis ini mendapat dosa.

Maka berbicara itu tidaklah diperintahkan secara mutlak, demikian juga tidaklah sikap diam itu diperintahkan secara mutlak. Namun yang wajib adalah berbicara dengan kebaikan, dan diam dari berucap dengan kejelekan.

Semoga sampai di sini penjelasan tentang hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam di atas sudah mencukupi dalam menjelaskan maksud hadits tersebut dalam konteks ini.

# # #

Saya katakan wahai saudara-saudaraku yang mulia,

Di antara yang termasuk dalam hadits ini, yaitu hadits Abu Hurairah di atas, bahwa banyak orang yang berani berbicara dalam permasalahan-permasalahan yang mereka sebenarnya tidak mengetahuinya. Maka ini termasuk berbicara dengan kebatilan, dan pelakunya mendapat ancaman. Inilah yang mengantarkanku untuk menyampaikan peringatan ini, bahwa banyak orang pada hari ini -walahaula wal quwwata illa billah- yang berani ikut-ikutan banyak bicara, namun -wal’iyyadzu billah- sedikit dari mereka yang sukses dan selamat ucapannya dari ancaman yang terdapat dalam hadits tersebut. Bahkan banyak dari mereka yang terkenai ancaman. Karena dia telah menjerumuskan dirinya, berani berkata atas nama (agama) Allah sesuatu yang tidak ia ketahui, tidak menahan dirinya …. Bahkan sebagiannya berani lancang terhadap syari’at. Padahal dalil-dalil syariat menunjukkan pada suatu yang berbeda dengan ucapannya, baik secara lafazh maupun secara istinbath.

Maka hendaknya umat manusia malu dari (perbuatan) tersebut, hendaknya mereka takut kepada Allah. Karena kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban dari mereka semua atas segala perkataan dan ucapannya. Hendaknya mereka takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

Oleh karena itu Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, sebagaimana dalam kitab karya beliau Ar-Risalah yang sangat terkenal :

الناس في العلم طبقات موقعهم من العلم بقدر درجاتهم في العلم به، فحق على طلبة العلم بلوغ غاية جهدهم في الاستكثار من علمه، والصبر على كل عارض دون طلبه، وإخلاص النية لله في استدراك علمه نصا واستنباطا، والرغبة إلى الله في العون عليه فإنه لا يدرك خير إلا بعونه، فإن من أدرك علم أحكام الله في كتابه نصا واستدلالا ووفقه الله للقول والعمل بما علم منه فاز بالفضيلة في دينه ودنياه، وانتفت عنه الريب، ونورت في قلبه الحكمة، واستوجب من الدين موضع الامامة

“Umat manusia dalam hal ilmu bertingkat-tingkat. Kedudukan mereka terhadap ilmu sesuai dengan kadar mereka dalam ilmu tersebut. Maka wajib atas para penuntut ilmu :

- menempatkan puncak tujuan keseriusannya (dalam menuntut ilmu) adalah dalam rangka memperbanyak ilmunya,

- sabar atas setiap ganggungan/penghalang dalam upayanya menuntut ilmu,

- mengikhlashkan niatnya karena Allah dalam memahami ilmunya baik secara nash (teks) maupun istinbath (kesimpulan),

- dan senantiasa berharap kepada Allah agar senantiasa mendapat pertolongan-Nya dalam menuntut ilmu karena kebaikan itu tidak akan bisa diraih kecuali dengan pertolongan-Nya.

Sesungguhnya barangsiapa yang mendapatkan ilmu tentang hukum-hukum Allah dalam kitab-Nya baik secara nash (teks) maupun pendalilan dan Allah memberikan taufiq kepadanya untuk berucap dan beramal dengan ilmu tersebut, maka ia telah sukses dengan keutamaan dalam agama dan dunianya, sirnalah darinya berbagai keraguan, hikmah bercahaya dalam hatinya, dan mengantarkannya meraih posisi imamah (kepemimpinan).”

Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأَقَاوِيلِ (44) لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ (47) [الحاقة/44-47]

“Seandainya dia (Muhammad) membuat-buat sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” [Al-Haqqah : 44 - 47]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

يقول تعالى: { وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا } أي: محمد r لو كان كما يزعمون مفتريا علينا، فزاد في الرسالة أو نقص منها، أو قال شيئا من عنده فنسبه إلينا، وليس كذلك، لعاجلناه بالعقوبة. ولهذا قال { لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ } قيل: معناه لانتقمنا منه باليمين؛ لأنها أشد في البطش، وقيل: لأخذنا منه بيمينه.

{ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ } قال ابن عباس: وهو نياط القلب، وهو العِرْقُ الذي القلب معلق فيه.

وقوله: { فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ } أي: فما يقدر أحد منكم على أن يحجز بيننا وبينه إذا أردنا به شيئا من ذلك. والمعنى في هذا بل هو صادق بار راشد؛ لأن الله، عز وجل، مقرر له ما يبلغه عنه، ومؤيد له بالمعجزات الباهرات والدلالات القاطعات.

Allah Ta’ala berfirman : “Seandainya dia membuat-buat atas (nama) Kami.” yakni Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam kalau seandainya ia berbuat kedustaan atas nama Kami, sehingga dia menambah atau mengurangi risalah, atau ia mengucapkan sesuatu dari dirinya sendiri kemudian menisbahkannya kepada Kami padahal tidak demikian, maka niscaya Kami segerakan hukuman untuknya.

Oleh karena itu Allah berfirman : “niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.” Dikatakan bahwa maknanya adalah : Niscaya Kami siksa dia dengan tangan kanan, karena tangan kanan lebih kuat siksanya. Adapula yang mengatakan bahwa maknanya adalah : Niscaya Kami siksa dia dari kanannya.

“Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Ibnu ‘Abbas berkata : itu adalah tali jantung. Yaitu urat yang jantung bergantung padanya.

Firman Allah : “Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” Yakni tidak ada seorangpun dari kalian yang mampu untuk menghalangi antara Kami dan dia apabila Kami telah menghendaki sesuatu dari itu.

Makna ayat ini : bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang jujur, baik, dan berakal jernih. Karena Allah Ta’ala telah menyetujui segala yang beliau sampai dari-Nya dan menyokong beliau dengan berbagai mukjizat yang jelas dan bukti-bukti yang meyakinkan.

-selesai Ibnu Katsir rahimahullah -

Jadi, berucap tanpa atas dasar ilmu merupakan kedustaan dan kebohongan atas nama syari’at, sekaligus kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Jalla wa ‘Ala tidak memperkenankan kepada seorang pun untuk membuat-buat perkataan atas nama-Nya, dan Allah tidak membolehkan perbuatan tersebut bahkan meskipun terhadap Rasul-Nya sekalipun, dan sama sekali tidak, maka bagaimana dengan orang yang tingkatannya di bawah Rasulullah?

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ [الأنعام/93]

“Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya.” [Al-An’am : 93]

Al-’Allamah Ibnu Sa’di rahimahullah berkata :

يقول تعالى: لا أحد أعظم ظلما، ولا أكبر جرما، ممن كذب [على] الله. بأن نسب إلى الله قولا أو حكما وهو تعالى بريء منه، وإنما كان هذا أظلم الخلق، لأن فيه من الكذب، وتغيير الأديان أصولها، وفروعها، ونسبة ذلك إلى الله -ما هو من أكبر المفاسد.

“Allah Ta’ala berfirman : Tidak ada seorang pun yang lebih besar kezhalimannya dan lebih besar kejahatannya daripada orang yang berdusta atas nama Allah, yaitu dengan ia menisbahkan kepada Allah suatu perkataan atau hukum padahal Allah Ta’ala berlepas diri darinya. Orang tersebut menjadi makhluk yang paling zhalim karena pada perbuatannya tersebut terdapat kedustaan dan mengubah agama baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, kemudian menisbahkannya kepada Allah. Tidaklah perbuatan tersebut kecuali merupakan kerusakan yang paling besar.”

Wahai saudara-saudaraku yang mulianya,

Permasalahan ini merupakan permasalahan yang besar, namun banyak orang yang berani ikut-ikutan berbicara, masuk dalam perkara yang tidak ia ketahui, dan berbicara atas nama agama Allah tanpa dasar ilmu, serta berani ikut berbicara dalam perkara-perkara besar dan peristiwa-peristiwa yang rumit. Padahal yang wajib atas mereka untuk berpegang kepada al-haq, kalau memang ada kebaikan maka dia berbicara berdasarkan ilmu dan pengetahuan namun kalau dia tidak tahu maka hendaknya dia diam dan mengembalikannya kepada para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di antaranya adalah tragedi sekarang ini, yang membuat kacau akal banyak orang. Muncul orang-orang yang berani ikut berbicara dan menjelaskan tragedi tersebut dengan penjelasan yang sangat jauh dari bimbingan syari’at, baik secara nash maupun secara istinbath (kesimpulan-kesimpulan hukum).

Peristiwa dan tragedi yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin penduduk Jalur Gaza di Palestina.

Saya katakan, permasalahan yang sangat jelas bahwa :

C Kehormatan Darah satu orang mukmin sangat besar di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Banyak terdapat nash/dalil tentang hal tersebut, yang sangat menjunjung tinggi kehormatan darah seorang mukmin. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab Jami’-nya, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

« يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ »

“Wahai segenap orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”

Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah) : “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah dibanding kamu.”

Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits tersebut : “Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah. [11])

Dalil-dalil dalam permasalahan ini sangat beraneka dan sangat banyak, yaitu tentang kehormatan darah satu orang mukmin.

Tidak diragukan bahwa permasalahan ini apabila sudah tertanam, yaitu merasakan besarnya nilai kehormatan darah seorang mukmin, maka akan sangat menyedihkan dia peristiwa yang ia dapatkan berupa perbuatan yang sangat besar dan kezhaliman yang sangat kejam yang dilakukan oleh bangsa Yahudi, umat yang dimurkai, yaitu kejahatan, kezhaliman, dan kebengisan mereka.

Kita, wahai saudara-saudaraku, tidak merasa aneh terhadap mereka atas berbagai kejahatan dan kezhaliman mereka. Karena mereka memang bangsa yang durhaka dan zhalim. Allah telah menyebutkan bahwa Yahudi adalah pembunuh para nabi Allah tanpa alasan yang benar. Maka apa yang bisa diharapkan dari bangsa yang zhalim itu, yang berani membunuh para nabi Allah tanpa alasan yang benar? Apa yang bisa diharapkan dari suatu bangsa yang tidak mencegah kemungkaran yang mereka lakukan?

Bangsa (Yahudi) tersebut adalah bangsa yang dimurkai, yang kita (Umat Islam) senantiasa berdo’a kepada Allah dalam setiap rakaat shalat kita agar Allah menjauhkan kita dari jalan mereka, yaitu dengan ucapan kita :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة/6، 7]

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [Al-Fatihah 6-7]

mereka yang dimurkai adalah bangsa Yahudi. Sedangkan mereka yang sesat adalah Nashara.

Ini yang pertama

C Kedua : Bahwa bentuk pertolongan kita terhadap saudara-saudara kita yang terzhalimi di segenap penjuru bumi wajib ditentukan berdasarkan hukum syari’at yang suci. Kita adalah umat yang dihukumi dan dirahmati dengan syari’at yang murni. Tidaklah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam wafat kecuali beliau telah meninggalkan kita di atas cahaya yang putih bersih, kondisi malam sama dengan kondisi siangnya, tidaklah menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.

Maka kita harus mengetahui sebab-sebab yang benar yang wajib kita menempuhnya dalam rangka kita memberikan pertolongan kepada orang-orang yang terzhalimi dari kalangan ahlul haq ahlus sunnah di mana pun mereka berada. Karena pertolongan syari’iyyah terhadap mereka saudara-saudara kita di sana terwujudkan dalam beberapa perkara :

  • Mendo’akan untuk mereka fi zhahril ghaib (tanpa sepengetahuan mereka). Kita berdo’a kepada Allah Jalla wa ‘Azza untuk mereka agar Allah memberikan keteguhan dan hidayah, maghfirah, serta bersatu di atas al-haq dan dengan al-haq. Kita berdo’a kepada Allah pada sepertiga malam terakhir. Kita berdo’a kepada Allah dalam sujud sebagaimana sabda Nabi ‘alaihish shalatu was salam :

« وأما السجود فأكثروا فيه الدعاء؛ فإنه قمن أن يستجاب لكم »

Adapun ketika sujud, maka perbanyaklah do’a padanya. Karena itu lebih terjamin untuk terkabulnya do’a kalian. [12])

Kita berdo’a kepada Allah untuk mereka ketika waktu-waktu mustajab dikabulkannya do’a, sebagaimana diterangkan oleh dalil-dalil syar’i.

Akan sampai nanti jawaban untuk pertanyaan tentang masalah qunut dalam shalat. Benar kita berdo’a kepada Allah dalam qunut pada shalat wajib. Namun hal itu sangat terkait dengan izin waliyyul amr (pemerintah), sebagaimana akan datang penjelesannya biidznillah.

Maka kita memohon kepada Allah Jalla wa ‘Azza agar menolak dari kita, mereka, dan segenap kaum mukminin, berbagai kezhaliman dan yang semisalnya. Semoga Dia mengokohkan kita dan mereka di atas kebenaran, Islam, dan Sunnah.

  • Juga kita membantu saudara-saudara kita tersebut, baik di Palestina atau pun lainnya, memberikan hal-hal yang mereka butuhkan dalam bentuk menjelaskan al-haq (kebenaran) kepada mereka, membimbing mereka kepada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) [العصر/1-3]

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-’Ashr : 1 - 3]

  • Di antara bentuk bantuan kita terhadap mereka juga, mengulurkan tangan untuk mereka bagi barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk melakukannya, dalam bentuk sumbangan dana dan semisalnya yang disalurkan melalui jalur yang resmi dan terpercaya yang telah ditunjuk dan dipercaya oleh waliyyul amr (pemerintah) muslim serta diizinkan untuk menyampaikan dana bantuan ke sana. Ini bagi barangsiapa yang memiliki kemampuan, dan Allah tidaklah memberikan beban pada seseorang kecuali sebatas kemampuan yang ada padanya.

Maka cara menolong dan membantu mereka (kaum muslimin di Palestina) dilakukan dengan cara-cara di atas. Itulah bentuk-bentuk pertolongan dan bantuan untuk saudara-saudara kita di Palestina.

C Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan mereka bersabar, karena kesabaran merupakan ibadah sebagaimana jihad merupakan ibadah, sebagaimana pula shalat merupakan ibadah. Allah menuntut kita beribadah kepada-Nya dalam bentuk kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10) [الزمر/10]

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar : 10]

Oleh karena itu juga terdapat hadits dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi ‘alaihish shalatu was salam ketika beliau diutus sebagai rasul, lalu berimanlah orang-orang beriman, yang itu terjadi di Makkah. Ketika orang-orang kafir menyiksa kaum muslimin dengan siksaan yang sangat kejam, baik dalam bentuk pemukulan, penyiksaan, atau pun lainnya, namun hal itu tidak mendorong Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam untuk melakukan perlawanan. Maka berkatalah Khabbab bin Al-Arat Radhiyallah ‘anhu :

شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ r وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ : أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ -وفي رواية : بالمئشار- فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

Kami mengadu kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kami? Berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”

Maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam [13]) berkata : “Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa. [14])

Maka kesabaran merupakan salah satu ibadah yang besar. Kita sampaikan kepada saudara-saudara kita yang lemah di Palestina dan di semua tempat bimbingan untuk berpegang kepada al-haq (kebenaran). Kita harus tahu bahwa kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti, lebih wajib untuk diterangkan, terkhusus dalam kondisi seperti ini. …………

Barangsiapa yang mengira dengan berbagai emosi dan tindakan yang ada bahwa dirinya akan bisa menang maka dia telah salah. Aku tegaskan : dia telah salah.

Karena agama Islam ini, barangsiapa yang ingin membelanya maka ia harus tahu bagaimana cara dan metode Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menolong agama Allah tersebut, sehingga Allah pun menolong beliau. Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]

Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7]

Al-Imam Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullah berkata dalam kitab Adhwa`il Bayan tentang tafsir ayat di atas :

ذكر الله جل وعلا في هذه الآية الكريمة، أن المؤمنين، إن نصروا ربه نصرهم على أعدائهم، وثبت أقدامهم، أي عصمهم من الفرار والهزيمة .

وقد أوضح هذا المعنى في آيات كثيرة، في بعضها صفات الذين وعدهم بهذا النصر كقوله تعالى { وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ } [ الحج : 40 ] ثم بين صفات الموعودين بهذا النصر في قوله تعالى بعده { الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف وَنَهَوْاْ عَنِ المنكر وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمور } [ الحج : 41 ] وكقوله تعالى : { وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نصرالمؤمنين } [ الروم : 47 ] ، وقوله تعالى : { إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا والذين آمَنُواْ فِي الحياة الدنيا } [ غافر : 51 ] وقوله تعالى : { وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا المرسلين إِنَّهُمْ لَهُمُ المنصورون وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الغالبون } [ الصافات : 171 - 173 ] إلى غير ذلك من الآيات . وقوله تعالى في بيان صفات من وعدهم بالنصر في الآيات المذكورة : { الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف } [ الحج : 41 ] الآية . يدل على أن الذين لا يقيمون الصلاة ولا يؤتون الزكاة ولا يأمرون بالمعروف ولا ينهون عن المنكر ، ليس لهم وعد من الله بالنصر ألبتة .

فمثلهم كمثل الأجير الذي لم يعمل لمستأجره شيئاً ثم جاءه يطلب منه الأجرة .

فالذين يرتكبون جميع المعاصي ممن يتسمون باسم المسلمين ثم يقولون : إن الله سينصرنا مغرورون لأنهم ليسوا من حزب الله الموعدين بنصره كما لا يخفى .

ومعنى نصر المؤمنين لله، نصرهم لدينه ولكتابه، وسعيهم وجهادهم، في أن تكون كلمته هي العليا، وأن تقام حدوده في أرضه ، وتتمثل أوامره وتجتنب نواهيه، ويحكم في عباده بما أنزل على رسوله r.

“Allah Jalla wa ‘Ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini, bahwa kaum mukminin apabila mereka menolong (agama) Rabbnya, niscaya Allah menolong mereka atas musuh-musunya dan Allah kokohkan kedudukan mereka, yakni Allah jaga mereka dari terpukul mundur dan kekalahan.

Allah telah menjelaskan makna ini dalam banyak ayat-Nya. Pada sebagiannya Allah menjelaskan tentang sifat orang-orang yang Allah janjikan kepada mereka dengan kemenangan tersebut, seperti firman Allah Ta’ala :

{ وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ } [ الحج : 40 ]

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj : 40]

Kemudian Allah menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang mendapat janji dengan kemenangan tersebut pada ayat berikutnya :

{ الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف وَنَهَوْاْ عَنِ المنكر وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمور } [ الحج : 41 ]

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. [Al-Hajj : 41]

Juga seperti firman Allah Ta’ala :

{ وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نصرالمؤمنين } [ الروم : 47 ]

dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. [Ar-Rum : 47]

juga firman Allah Ta’ala :

{ إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا والذين آمَنُواْ فِي الحياة الدنيا } [ غافر : 51 ]

Sesungguhnya Kami benar-benar menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia [Ghafir : 51]

{ وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا المرسلين إِنَّهُمْ لَهُمُ المنصورون وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الغالبون } [ الصافات : 171 - 173 ]

Dan Sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. [Ash-Shaffat : 171-173]

Dan ayat-ayat lainnya.

Firman Allah Ta’ala tentang penjelasan sifat-sifat orang yang Allah janjikan kepada mereka kemenangan dalam ayat-ayat di atas, :

{ الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف } [ الحج : 41 ] الآية

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf [Al-Hajj : 41]

Menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak mau mendirikan shalat, tidak membayar zakat, tidak memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan tidak mencegah kemungkaran, maka tidak ada untuk mereka janji kemenangan dari Allah sama sekali.

Permisalan mereka adalah seperti seorang pekerja yang tidak mau bekerja untuk orang yang memperkerjakannya sedikitpun, namun tiba-tiba ia datang kepada orang yang memperkerjakannya tersebut untuk minta upah/bayaran.

Maka orang-orang yang berbuat segenap kemaksiatan dari kalangan orang-orang yang menamakan diri sebagai muslimin, kemudian mereka mengatakan ‘bahwa Allah akan menolong kami’, maka mereka adalah orang-orang yang tertipu, karena mereka bukanlah hizbullah (golongannya Allah) yang mendapat janji kemenangan dari-Nya.

Makna pertolongan kaum mukminin terhadap Allah adalah : pembelaan mereka terhadap agama dan kitab-Nya, serta usaha dan jihad mereka dalam rangka menjadikan kalimat Allah itulah yang tinggi, tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi, terealisasinya segala perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-Nya, serta diterapkan hukum terhadap hamba-hamba-Nya dengan hukum yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya Shallahu ‘alaihi wa Sallam.

- sekian penjelasan Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullah -

Banyak dari umat ini yang berani tampil dan berbicara tanpa ilmu berdasarkan dengan semata-mata semangat dan perasaan dengan mengira bahwa semangat semata bermanfaat, emosi bermanfaat, namun mereka tidak menimbang berbagai ucapan tersebut dengan timbangan syari’at yang suci. Mereka itu seperti orang-orang rendahan …………………………

Berbagai bentuk demonstrasi yang terjadi, yang bukan merupakan bagian dari agama Allah sedikitpun, itu merupakan perbuatan yang sia-sia saja, …. Yang sangat jauh dari akhlaq hamba-hamba Allah yang mencari pertolongan dari sisi Allah. Mereka (pada demonstran tersebut) adalah orang-orang yang tertipu dan menentang syari’at. Tidak satu hari pun mereka membela al-haq (kebenaran). Sungguh demi Allah, mereka tidak akan menang dan tidak akan mampu mengalahkan musuh-musuhnya, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Maka kita harus mengetahui batas-batas syari’at dalam menyikapi peristiwa-peristiwa besar seperti ini. Dulu pada masa Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab, apabila terjadi nazilah (peristiwa-peristiwa besar) menimpa para shahabat maka Khalifah ‘Umar mengumpulkan para shahabat veteran perang Badr untuk bermusyawarah menentukan jawaban, sikap dan penyelesaian.

Adapun pada masa kini maka masing-masing orang berani berbicara bukan atas dasar ilmu namun di atas kekacauan. …. dalam sebagian besar peristiwa dan kejadian, aku tidak mengatakan semuanya, namun aku katakan sebagian besar besar peristiwa dan kejadian.

Adapun perasaan, sungguh kasihan dia kalau tidak dibimbing dengan bimbingan syari’at. Sebagian manusia menyerukan jihad, bahwa jihad dan jihad .. dan banyak lagi berbagai seruan dan ajakan. Di antara seruan dan ajakan tersebut -sebagaimana telah aku katakan- adalah demonstrasi yang itu sama sekali tidak ada dalam syari’at Islam, bahkan engkau lihat wanita-wanita pun ikut keluar bersama kaum pria dalam kondisi mereka membuka auratnya pada sebagian negeri mirip telanjang, meneriak-neriakkan perang dan mengharap pertolongan dan kemenangan. Apa tindakan ini? Tindakan yang menentang syari’at? Apa tindakan yang menentang agama Allah ini? Kemudian mereka mengharap datangnya pertolongan dan kemenangan. Mana pengamalan kita terhadap (syari’at) sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syinqithi di atas. Apa kita adalah orang-orang yang pantas mendapat janji Allah berupa datangnya pertolongan? Padahal kita belum membela Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan kita belum membela agama Allah??! Kita belum menerapkan syari’at pada diri-diri kita masing-masing, dan kita belum memimpin diri kita, keluarga kita, dan semua yang dibawah tanggung jawab kita, dengan bimbingan Islam dan Sunnah. Bahkan sebagian mereka apabila datang kepada mereka ketentuan Islam dan Sunnah, mereka malah melemparkannya ke belakang punggung mereka.

Sungguh demi Allah, kalau seandainya umat ini mau merealisasikan segala yang diwajibkan oleh Allah atas mereka, niscaya mereka akan melihat pertolongan turun kepada mereka. Simak penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in ketika beliau menjelaskan kesempurnaan dan kelengkapan syari’at :

وَهَذَا الأَصْلُ مِنْ أَهَمِّ الأُصُولِ وَأَنْفَعِهَا ، وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى حَرْفٍ وَاحِدٍ؛ وَهُوَ عُمُومُ رِسَالَتِهِ r، بِالنِّسْبَةِ إلَى كُلِّ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ الْعِبَادُ فِي مَعَارِفِهِمْ وَعُلُومِهِمْ وَأَعْمَالِهِمْ ، وَأَنَّهُ لَمْ يُحْوِجْ أُمَّتَهُ إلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ ، وَإِنَّمَا حَاجَتُهُمْ إلَى مَنْ يُبَلِّغُهُمْ عَنْهُ مَا جَاءَ بِهِ.

فَلِرِسَالَتِهِ عُمُومَانِ مَحْفُوظَانِ لا يَتَطَرَّقُ إلَيْهِمَا تَخْصِيصٌ :

عُمُومٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى الْمُرْسَلِ إلَيْهِمْ.

وَعُمُومٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى كُلِّ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مَنْ بُعِثَ إلَيْهِ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ.

فَرِسَالَتُهُ كَافِيَةٌ شَافِيَةٌ عَامَّةٌ، لا تُحْوِجُ إلَى سِوَاهَا، وَلا يَتِمُّ الْإِيمَانُ بِهِ إلاَّ بِإِثْبَاتِ عُمُومِ رِسَالَتِهِ فِي هَذَا وَهَذَا.

فَلا يَخْرُجُ أَحَدٌ مِنْ الْمُكَلَّفِينَ عَنْ رِسَالَتِهِ، وَلا يَخْرُجُ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْحَقِّ الَّذِي تَحْتَاجُ إلَيْهِ الأُمَّةُ فِي عُلُومِهَا وَأَعْمَالِهَا عَمَّا جَاءَ بِهِ.

وَقَدْ تُوُفِّيَ رَسُولُ الله r وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي السَّمَاءِ إلاَّ ذَكَرَ للأُمَّةِ مِنْهُ عِلْمًا.

وَعَلَّمَهُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى آدَابَ التَّخَلِّي وَآدَابَ الْجِمَاعِ وَالنَّوْمِ وَالْقِيَامِ وَالْقُعُودِ، وَالأَكْلِ وَالشُّرْبِ، وَالرُّكُوبِ وَالنُّزُولِ، وَالسَّفَرِ وَالإِقَامَةِ، وَالصَّمْتِ وَالْكَلاَمِ، وَالْعُزْلَةِ وَالْخُلْطَةِ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرِ، وَالصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ، وَجَمِيعِ أَحْكَامِ الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ، وَوَصَفَ لَهُمْ الْعَرْشَ وَالْكُرْسِيَّ وَالْمَلائِكَةَ وَالْجِنَّ، وَالنَّارَ وَالْجَنَّةَ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَا فِيهِ حَتَّى كَأَنَّهُ رَأْيُ عَيْن.

وَعَرَّفَهُمْ مَعْبُودَهُمْ وَإِلَهَهُمْ أَتَمَّ تَعْرِيفٍ حَتَّى كَأَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ وَيُشَاهِدُونَهُ بِأَوْصَافِ كَمَالِهِ وَنُعُوتِ جَلالِهِ.

وَعَرَّفَهُمْ الأَنْبِيَاءَ وَأُمَمَهُمْ وَمَا جَرَى لَهُمْ ، وَمَا جَرَى عَلَيْهِمْ مَعَهُمْ حَتَّى كَأَنَّهُمْ كَانُوا بَيْنَهُمْ.

وَعَرَّفَهُمْ مِنْ طُرُقِ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ دَقِيقَهَا وَجَلِيلَهَا مَا لَمْ يُعَرِّفْهُ نَبِيٌّ لأُمَّتِهِ قَبْلَهُ.

وَعَرَّفَهُمْ r مِنْ أَحْوَالِ الْمَوْتِ وَمَا يَكُونُ بَعْدَهُ فِي الْبَرْزَخِ وَمَا يَحْصُلُ فِيهِ مِنْ النَّعِيمِ وَالْعَذَابِ لِلرُّوحِ وَالْبَدَنِ مَا لَمْ يُعَرِّفْ بِهِ نَبِيٌّ غَيْرُهُ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أَدِلَّةِ التَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ وَالرَّدِّ عَلَى جَمِيعِ فِرَقِ أَهْلِ الْكُفْرِ وَالضَّلاَلِ مَا لَيْسَ لِمَنْ عَرَفَهُ حَاجَةٌ مِنْ بَعْدِهِ ، اللَّهُمَّ إلاَّ إلَى مَنْ يُبَلِّغُهُ إيَّاهُ وَيُبَيِّنُهُ وَيُوَضِّحُ مِنْهُ مَا خَفِيَ عَلَيْهِ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ مَكَايِدِ الْحُرُوبِ وَلِقَاءِ الْعَدُوِّ وَطُرُقِ النَّصْرِ وَالظَّفْرِ مَا لَوْ عَلِمُوهُ وَعَقَلُوهُ وَرَعَوْهُ حَقَّ رِعَايَتِهِ لَمْ يَقُمْ لَهُمْ عَدُوٌّ أَبَدًا.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ مَكَايِدِ إبْلِيسَ وَطُرُقِهِ الَّتِي يَأْتِيهِمْ مِنْهَا وَمَا يَتَحَرَّزُونَ بِهِ مِنْ كَيْدِهِ وَمَكْرِهِ وَمَا يَدْفَعُونَ بِهِ شَرَّهُ مَا لاَ مَزِيدَ عَلَيْهِ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أَحْوَالِ نُفُوسِهِمْ وَأَوْصَافِهَا وَدَسَائِسِهَا وَكَمَائِنِهَا مَا لاَ حَاجَةَ لَهُمْ مَعَهُ إلَى سِوَاهُ، وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أُمُورِ مَعَايِشِهِمْ مَا لَوْ عَلِمُوهُ وَعَمِلُوهُ لَاسْتَقَامَتْ لَهُمْ دُنْيَاهُمْ أَعْظَمَ اسْتِقَامَةٍ .

وَبِالْجُمْلَةِ فَجَاءَهُمْ بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ بِرُمَّتِهِ، وَلَمْ يُحْوِجْهُمْ اللهُ إلَى أَحَدٍ سِوَاهُ، فَكَيْفَ يُظَنُّ أَنَّ شَرِيعَتَهُ الْكَامِلَةَ الَّتِي مَا طَرَقَ الْعَالَمَ شَرِيعَةٌ أَكْمَل مِنْهَا نَاقِصَةٌ تَحْتَاجُ إلَى سِيَاسَةٍ خَارِجَةٍ عَنْهَا تُكَمِّلُهَا ، أَوْ إلَى قِيَاسٍ أَوْ حَقِيقَةٍ أَوْ مَعْقُولٍ خَارِجٍ عَنْهَا ؟

وَمَنْ ظَنَّ ذَلِكَ فَهُوَ كَمَنْ ظَنَّ أَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إلَى رَسُولٍ آخَرَ بَعْدَهُ، وَسَبَبُ هَذَا كُلِّهِ خَفَاءُ مَا جَاءَ بِهِ عَلَى مَنْ ظَنَّ ذَلِكَ وَقِلَّةُ نَصِيبِهِ مِنْ الْفَهْمِ الَّذِي وَفَّقَ اللهُ لَهُ أَصْحَابَ نَبِيِّهِ الَّذِينَ اكْتَفَوْا بِمَا جَاءَ بِهِ، وَاسْتَغْنَوْا بِهِ عَمَّا مَا سِوَاهُ، وَفَتَحُوا بِهِ الْقُلُوبَ وَالْبِلاَدَ، وَقَالُوا : هَذَا عَهْدُ نَبِيِّنَا إلَيْنَا، وَهُوَ عَهْدُنَا إلَيْكُمْ.

“Prinsip ini merupakan di antara prinsip terpenting dan paling bermanfaat, prinsip tersebut ditegakkan di atas satu hal, yaitu umum risalah Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam terkait dengan segala yang dibutuhkan oleh hamba dalam hal pengetahuan, ilmu, dan amalan mereka, dan beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjadikan umatnya masih butuh kepada seorang pun sepeninggal beliau, namun kebutuhan mereka adalah kepada Nabi yang telah menyampaikan risalah kepada mereka.

Maka pada risalah (agama) beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat dua keumuman yang sama sekali tidak bisa dijadikan khusus :

- Umum dalam kaitannya dengan Nabi yang diutus kepada mereka.

- Umum dalam kaitannya dengan segala yang dibutuhkan oleh umat yang menjadi objek risalah, dalam hal prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.

Jadi risalah (agama) beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam lengkap, mencukupi, dan umum, yang umat sudah tidak perlu lagi kepada selain agama tersebut. Tidak akan sempurna keimanan (seorang hamba) kecuali dengan meyakini tentang keumuman agama beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kaitannya dengan yang ini (pertama) maupun yang itu (kedua).

Tidak ada seorang mukallaf pun yang (boleh) keluar dari risalah (agama) beliau, juga tidak boleh keluar dari salah satu cabang dari berbagai cabang kebenaran yang sangat dibutuhkan oleh umat dalam berbagai ilmu dan amalan mereka.

Ketika Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah wafat, maka tidak ada satu burung pun yang mengepakkan sayap di langit, kecuali beliau telah menyebutkan untuk umat beliau ilmu tentangnya.

Bahkan beliau telah mengajari umatnya segala sesuatu, sampai permasalahan adab buang hajat, berjima’, tidur, berdiri, duduk, makan dan minum, berkendaraan dan berjalan, bepergian dan mukim, sikap diam dan berbicara, ber‘uzlah (menyendiri) dan bergaul (dengan manusia), ketika kaya dan ketika miskin, ketika sehat dan ketika sakit, serta seluruh hukum-hukum terkait dengan kehidupan dan kematian. Beliau juga menjelaskan sifat-sifat al-’arsy, al-kursi, para malaikat, para jin, neraka dan al-jannah serta Hari Kiamat sampai seakan-akan hari tersebut terlihat dengan mata.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajari umatnya tentang ma’bud dan ilah (Dzat yang diibadahi) dengan penjelasan yang sempurna sehingga seakan-akan mereka melihat dan menyaksikan-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kemuliaan-Nya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajari umatnya tentang para nabi dan umat mereka serta berbagai peristiwa yang dialami oleh para nabi, dan berbagai musibah yang menimpa para nabi tersebut bersama umatnya, sampai-sampai seakan-akan mereka berada di tengah-tengah para nabi dan umatnya tersebut.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajari umatnya tentang berbagai kondisi kematian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya di alam barzakh, serta yang akan didapati padanya berupa kenikmatan atau adzab terhadap ruh dan badan, dengan penjelasan yang belum pernah disampaikan oleh seorang nabi pun selain beliau.

Demikian juga, Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengajari umatnya berbagai dalil dan bukti tentang (kebenaran) tauhid, kenabian, dan Hari Pembalasan, serta bantahan terhadap seluruh kelompok orang-orang kafir dan sesat, dengan penjelasan yang jika seorang telah memahaminya maka dia tidak butuh lagi pada seorang pun, kecuali kepada orang yang bisa menyampaikan kepadanya, menjelaskan, dan menjabarkan kepadanya hal-hal yang tersembunyi atasnya.

Demikian juga, Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada umatnya berbagai tipu daya peperangan dan berhadapan dengan lawan, serta cara-cara mendapatkan pertolongan dan kemenangan, dengan penjelasan yang kalau seandainya umat ini mengetahui, memahami, dan memperhatikannya dengan penuh keseriusan, maka mereka tidak akan ditindas oleh musuh selamanya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan kepada umatnya berbagai makar Iblis dan cara-caranya yang menimpa mereka dari cara-cara tersebut, sekaligus (mengajarkan kepada umatnya) segala hal yang bisa menjaga dari berbagai tipu daya dan makar Iblis dan segalah yang bisa menolak kejelekannya, dengan penjelasan yang (cukup) tidak perlu ditambah lagi.

Demikian juga Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada umatnya kondisi jiwa-jiwa mereka, sifat-sifatnya … dengan penjelasan yang umat sudah tidak perlu lagi pada selainnya. Demikian juga Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada mereka tentang permasalahan penghidupan mereka, yang kalau mereka mengetahui dan mengamalkannya niscaya tegaklah dunia mereka dengan sangat kokoh.

Kesimpulannya, Nabi telah datang kepada umat (dengan membawa) kebaikan dunia dan akhirat dengan sempurna. Allah menjadikan mereka tidak butuh lagi kepada selain (agama beliau). Maka syari’at-Nya yang sempurna yang tidak pernah ada di alam ini syari’at yang lebih sempurna darinya, bagaimana bisa disangka bahwa syari’at-Nya tersebut kurang, masih perlu ada siasat di luar syari’at tersebut agar bisa menyempurnakannya, atau masih butuh pada qiyas atau hakekat atau pemahaman di luar syari’at tersebut?

Barangsiapa yang mengira demikian, maka dia seperti orang yang mengira bahwa umat manusia masih membutuhkan adanya rasul lain sepeninggal Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebab ini semua adalah kurangnya ilmu pada orang yang menyangka dengan persangkaan tersebut dan sedikit pemahamannya. Allah telah memberikan taufiq pemahaman tersebut kepada para pengikut Nabi-Nya, orang-orang yang merasa cukup dengan agama yang dibawa oleh Nabi tersebut serta tidak butuh pada selainnya. Sehingga dengannya mereka bisa membuka hati-hati manusia dan membuka berbagai negeri. Mereka mengatakan : ini merupakan wasiat nabi kami terhadap kami, maka ini pulalah wasiat kami terhadap kalian.”

- sekian Ibnul Qayyim rahimahullah wa ghafara lahu -

C Adapun jihad, maka kita tidak mengingkari jihad. Namun jihad tersebut harus merupakan jihad yang syar’i. Semua pihak mengklaim jihad, namun apakah itu sudah merupakan jihad yang syar’i?? Inilah pertanyaan yang hakiki.

كل يدعي وصلا بليلى … وليلى لا تقر لهم بذاكا

Semua pihak mengaku punya hubungan dengan Laila

Padahal Laila tidak mengakui yang demikian itu

Jihad Syar’i memiliki hukum-hukum, ketentuan-ketentuan, serta rukun-rukun. Mayoritas syarat-syarat tersebut -kalau aku tidak mengatakan semua- pada masa ini belum terpenuhi.

(Di antara syaratnya ) : Al-Qudratu ‘alal Muwajahah (Kemampuan untuk menghadapi musuh). Apakah kita sudah mempersiapkan persiapan iman yang syari’i? yang bisa tegak untuk kita Al-Jihad … Hari ini tidak ada kemampuan pada sebagian besar umat dan sebagian besar negeri (muslimin) untuk melawan kekuatan musuh. Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas apa yang ada padanya.

Oleh karena itu para ‘ulama telah berfatwa dan menjelaskan, di antaranya Al-Imam Ibnul Qayyim dan lainnya dalam masalah (bolehnya) perdamaian dengan kaum Yahudi. Mereka (para ‘ulama tersebut) berdalil dengan perdamaian (yang dilakukan oleh) Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Yahudi Madinah, yang berarti menunjukkan bolehnya berdamai dengan Yahudi. Dalam masalah ada perinciannya, apakah perdamaian yang bersifat abadi atau perdamaian yang sementara/dibatasi waktunya. Ada beberapa pendapat di kalangan para ‘ulama. Namun yang dipilih oleh sejumlah besar ‘ulama adalah perdamaian dengan Yahudi hukumnya boleh, baik terbatas waktunya maupun selamanya. Inilah perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Maka kita mempertimbangkan antara bolehnya berdamai dengan kemampuan. Oleh karena itu Samahatul Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menfatwakan bolehnya melakukan perdamaian dengan Yahudi, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin yang telah tertumpahkan pada waktu itu.

Demikian juga persiapan jihad yang berupa fisik maupun maknawi.

Kewajiban adanya kemampuan tersebut harus ditimbang dengan qaidah syar’iyyah yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama, yaitu qaidah global utama yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama, serta telah dijelaskan oleh mereka dengan penjelasan yang gamblang dan terang. Di antaranya oleh Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan murid utamanya Ibnul Qayyim serta Al-Hafizh Al-’Allamah Asy-Syathibi rahimahullah dan lainnya. Qaidah tersebut adalah :

لا واجب مع عجز ولا محرم مع ضرورة

Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu), dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harrani rahimahullah berkata [15]) :

ومن الأصول الكلية أن المعجوز عنه فى الشرع ساقط الوجوب، وأن المضطر إليه بلا معصية غير محظور، فلم يوجب الله ما يعجز عنه العبد، ولم يحرم ما يضطر إليه العبد

“Di antara prinsip-prinsip yang menyeluruh adalah bahwa seorang yang lemah (dari suatu kewajiban) maka dia gugur kewajibannya, dan bahwa seorang yang terdesak/terpaksa/darurat namun bukan dalam kemaksiatan, maka dia tidak dilarang. Allah tidak mewajibkan atas hamba sesuatu yang dia tidak mampu, dan tidak mengharamkan sesuatu yang seorang hamba terpaksa/terdesak/darurat (melakukannya).”

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam karya besarnya I’lamul Muwaqqi’in [16]) :

ومن قواعد الشرع الكلية أنه لا واجب مع عجز ولا حرام مع ضرورة

“Termasuk kaidah syari’at yang bersifat menyeluruh adalah bahwa tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu) dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.”

Beliau berkata juga dalam permasalahan lain pada tempat lain dari kitab I’lamul Muwaqqi’in[17]) :

ولا واجب في الشريعة مع عجز ولا حرام مع ضرورة

“Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu) dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.”

Qaidah : Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu)”, dipetik dari qaidah ini bahwa seluruh kewajiban, syarat, dan rukun terkait dengan kondisi sanggup dan mampu melaksanakannya. Adapun jika dalam kondisi lemah dan tidak ada kemampuan, maka (kewajiban, syarat, dan rukun tersebut) gugur dari seorang mukallaf, baik dengan cara digantikan dengan yang lain atau gugur secara mutlak. Karena syarat pembebanan (suatu kewajiban) adalah adanya kemampuan, yaitu kemampuan sang mukallaf untuk melaksanakannya. Maka apabila sang mukallaf tidak memiliki kemampuan, maka tidak sah pembebanan kewajiban atasnya secara syar’i.

Kaidah ini memiliki asal yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at. Di antaranya :

Firman Allah Ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]

Bertaqwalah kalian semaksimal kemampuan kalian [At-Taghabun : 16]

Juga firman Allah :

وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا [الطلاق/7]

Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. [Ath-Thalaq : 7]

Allah memerintahkan untuk memberi nafkah sebatas kesanggupan dan kemampuannya.

Allah Jalla wa ‘Azz juga berfirman :

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. [Al-An’am : 152]

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata [18]) :

فأمر بالعدل المقدور وعفا عن غير المقدور

“Allah memerintahkan melakukan keadilan yang sanggup untuk dilakukan, dan Allah memaafkan keadilan yang tidak sanggup dilakukan.”

Di antaranya juga sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim :

« دَعُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ »

“Biarkanlah (jangan bertanya) permasalahan-permasalahan yang aku biarkan [19]) Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Maka apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah, dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah perintah tersebut semaksimal kemampuan kalian.” [20])

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah ketika menjelaskan hadits yang agung ini, yaitu yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa para ‘ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini :

أنَّ النَّهيَّ أشدُّ من الأمر؛ لأنَّ النَّهيَّ لم يُرَخَّصْ في ارتكاب شيء منه، والأمر قُيِّدَ بحسب الاستطاعة، ورُوي هذا عن الإمام أحمد .

“Larangan itu lebih kuat daripada perintah. Karena larang tidak diberi keringanan untuk seseorang melakukannya sedikitpun. Adapun perintah maka diberi batasan sesuai dengan tingkat kemampuan. Kesimpulan ini diriwayatkan pula dari Al-Imam Ahmad.” [21])

Kemudian beliau menjelaskan juga sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam : ” dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah perintah tersebut semaksimal kemampuan kalian.”

دليلٌ على أنَّ من عَجَزَ عن فعل المأمور به كلِّه، وقدرَ على بعضه، فإنَّه يأتي بما أمكنه منه.

“Hadits ini merupakan dalil bahwa barang siapa yang lemah/tidak sanggup melakukan semua perintah Rabb-nya, sementara dia hanya sanggup/mampu melaksanakan sebagiannya saja, maka dia melaksanakan (kewajiban) yang memungkinkan/mampu dia laksanakan saja.” [22])

Kemudian beliau menyebutkan beberapa misal.

Demikianlah Allah telah menjelaskan kepada kita, dan menjadikannya syari’at yang suci dan bersih. Demikian juga para ‘ulama telah menjelaskan dan memaparkan kaidah umum ini dengan perinciaan yang sangat detail. Di antaranya Al-Hafizh Asy-Syathibi rahimahullah -sebagaiamana telah aku katakan- dalam karya besarnya Al-Muwafaqat. Maka kita harus memahami makna dan permasalahan ini.

Bahkan meskipun dalam jihad difa’ (defensif), tetap berupaya membela sesuai dengan batas kemampuan, selama memungkinkan untuk melakukannya. Oleh karena itu Al-’Allamah Al-Fauzan mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang hanyalah tindakan nekad tanpa perhitungan. Mereka beraksi dan berhasil membunuh satu orang namun akibatnya terbunuhlah ribuan. Hendaklah sekarang kalian berpikir, berapa sudah jumlah yang terbunuh dalam peperangan yang penuh kezhaliman dan kecerobohan ini, yang sudah mencapai di atas 1.300 orang lebih, selain sekitar 6.000 korban luka, dan lain-lain. Sementara jumlah yang terbunuh dari pihak Yahudi umat yang dimurkai itu -sebatas yang diberitakan oleh mereka dan yang diberitakan oleh pihak lainnya - hanya sekitar 13 orang saja, 10 orang dari kalangan militer dan 3 orang selain militer. Kalau pun jumlah yang terbunuh 20 atau 30 orang. Maka lihatlah hasil ini, apakah seimbang antara ini dan itu?

Oleh karena itu, kesimpulannya adalah wajib menimbang segala sesuatu dengan timbangan syari’at bukan dengan timbangan perasaan.

Semoga sampai di sini sudah mencukupi. Kita memohon kepada Allah agar memberikan barakah pada ilmu yang kita ucapkan dan kita dengar kemudian memberikan taufiq pada kita kepada segala yang Dia cintai dan Dia ridhai.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم


[1] HR. Al-Bukhari no. 5158, 6018, 6019, 6136, 6138, 6475. Muslim no. 47, 48.

[2] HR. Ahmad (III/198), Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shamt no. 9, Al-Khara`ithi dalam Al-Makarim no. 442; dari shahabat Anas bin Malik. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah no. 2841.

[3] HR. Al-Bukhari no. 6477, Muslim 2988.

[4] HR. Al-Bukhari no. 6478.

[5] Ar-Risalah At-Tabukiyyah hal. 34

[6] Hal. 34-35.

[7] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4789. Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam - syarh hadits no. 15.

[8] Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam - syarh hadits no. 15.

[9] Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu secara marfu’. Namun sanadnya dha’if (lemah), sebagaimana didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 2424. yang benar bahwa perkataan itu merupakan ucapan Luqman Al-Hakim yang dinukilkan oleh shahabat Anas bin Malik.

[10] Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

[11] HR. At-Tirmidzi no. 2032. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).

[12] Dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 578. adapula dengan lafazh :

« وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ »

“Adapun (ketika) sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka lebih terjamin terkabulnya (do’a) untuk kalian.” HR. Muslim 479, Abu Dawud 876, Ahmad I/219, Ibnu Khuzaimah 529, 578. dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallah ‘anhu.

[13] Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafazh disebutkan bahwa : Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda : … .

[14] HR. Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).

[15] Majmu’ul Fatawa XX/559

[16] I’lamul Muwaqqi’in II/41

[17] I’lamul Muwaqqi’in III/20

[18] I’lamul Muwaqqi’in I/321

[19] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari : “Selama aku biarkan (hukum permasalahan tersebut) dengan tidak ada perintah atau pun larangan sedikitpun.”

[20] HR. Al-Bukhari 7288, Muslim 1337. ini adalah lafazh Al-Bukhari.

[21] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam syarh hadits no.9

[22] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam syarh hadits no.9




PERINGATAN TERHADAP YAHUDI

AKAN KEHANCURANNYA DI TANGAN TENTARA NABI MUHAMMAD Shallallahu ‘alaihi wa Sallam !!

DAN NASEHAT TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah

Kepada umat yang dimurkai (Yahudi), yang Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang mereka :

﴿ فَبَاؤُواْ بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Karena itu mereka (Yahudi) mendapat murka di atas kemurkaan (yang mereka dapatkan sebelumnya). Dan untuk orang-orang kafir adzab yang menghinakan. [Al-Baqarah : 90]

Kepada umat yang hina dan rendah, yang telah Allah timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan akibat kekufuran mereka dan perbuatan mereka membunuh para nabi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ

“Telah ditimpakan kepada mereka (Yahudi) kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah serta ditimpakan kepada mereka kerendahan. Yang demikian itu (yakni: ditimpa kehinaan, kerendahan, dan kemurkaan dari Allah) karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu (yakni: kekafiran dan pembunuhan atas para nabi-nabi) disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” [Ali ‘Imran : 112]

Inilah sebagian sifat-sifat kalian yang mengharuskan kalian senantiasa berada dalam kehinaan, kerendahan, dan selalu mendapat kemurkaan dari Allah. Kalian tidak akan pernah bisa tegak dalam kebaikan kecuali dengan berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, hingga hari ini dan sampai Hari Kiamat kelak. Kalian tidak memiliki sandaran sejarah keimanan dan aqidah, kalian tidak memiliki sandaran sejarah sifat kejantanan dan keberanian. Kalian hanya berani berperang dari balik tembok, sementara permusuhan (perselisihan) di antara kalian sendiri sangat sengit. Sungguh sifat-sifat keji kalian sangat banyak, di antaranya :

- khianat,

- melanggar,

- menebar fitnah,

- menyalakan api peperangan,

- dan berbuat kerusakan di muka bumi.

Setiap kalian menyalakan api peperangan niscaya Allah memadamkannya. Sungguh sejarah kalian sangat kelam, kondisi dan sifat jelek kalian tersebut sudah sangat dikenal oleh segenap umat.

Terhadap umat yang mendapat murka (Yahudi) tersebut aku katakan - dan ini juga dikatakan oleh setiap muslim yang jujur- :

Janganlah kalian sombong! Janganlah kalian berbuat kejahatan! dan janganlah kalian terpesona dengan apa yang telah kalian peroleh berupa kemenangan yang menipu! Sesungguhnya, demi Allah, kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam! dan kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap aqidah Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, aqidah tauhid lâ ilâha illallâh. Kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Amr bin Al-’Ash, Nu’man bin Muqrin Radhiyallah ‘anhum yang tertarbiyyah (terdidik) di atas aqidah Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan manhaj Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yang mereka (para panglima tersebut) mentarbiyah pasukannya di atas aqidah tersebut, memimpin pasukannya untuk meninggikan Kalimatullah. Sungguh kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan kalian sekarang, seperti tentara Kisra (Persia) dan tentara Kaisar (Romawi), tidak mampu mengalahkan mereka (tentara Nabi Muhammad tersebut),

Kalian tidak akan pernah menang menghadapi pasukan yang demikian kondisinya, demikian kondisi aqidahnya, demikian kondisi manhajnya, dan demikian kondisi tujuannya yaitu dalam rangka meninggikan Kalimatullah. Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang terdiri dari generasi yang telah menyimpang. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” [Maryam : 59]

Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang mayoritasnya tidak meyakini aqidah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, tidak meyakini manhaj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tentaranya, dan tidak meyakini tujuan yang dulu mereka (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tentaranya) berjihad karenanya. (Pasukan yang nilainya sekadar) buih itulah yang bisa kalian kalahkan. Disebabkan ketidakberdayaan dan kelemahan pasukan tersebut negara kalian bisa berdiri, kalian bisa tampil di muka bumi, dan kalian bisa menebar kerusakan padanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا . فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً . ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا . إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

“Kami telah tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab (yang telah Allah turunkan pada mereka) itu : “Sesungguhnya kamu pasti akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”.

Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, pasti Kami datangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka akan menguasai kampung-kampung (kalian) tersebut, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.

Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak, serta Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar.

Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian telah berbuat baik untuk diri kalian sendiri, dan jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu untuk diri kalian sendiri. Apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” [Al-Isra` : 4-7]

Inilah sejarah perjalan kalian. Demikianlah Allah memperlakukan kalian. Meskipun (kehancuran pertama kalian) tersebut telah berlalu melalui tangan bangsa Majusi, maka bagi kalian akan ada lagi kehancuran yang lebih dahsyat lagi melalui tangan tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tentara Islam sebagaimana telah Allah janjikan untuk kalian karena kehinaan dan kerendahan kalian di hadapannya (tentara Islam). Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

﴿ وَإِنْ عُدتُّمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا

“Jika kalian kembali kepada (kedurhakaan) niscaya Kami pun kembali (mengadzab kalian). Kami telah menjadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” [Al-Isra` : 8]

Sekarang ternyata kalian kembali (melakukan kedurhakaan), maka pasti akan kembali pula kepada kalian adzab Allah yang sangat keras, (Dia Allah adalah) Dzat yang tidak akan pernah mengingkari janji. Melalui tangan tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bukan tentara yang telah menjadi kaki tangan kalian atau kaki tangan Barat dan Nashara, serta kaki tangan harta duniawi. Jangan kalian sombong dan jangan tertipu. Demi Allah, kalian tidak akan pernah menang terhadap Islam, kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, serta kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu), atau tentara Khalid (bin Al-Walid Radhiyallah ‘anhu), dan saudara-saudaranya dari kalangan tentara-tentara Allah dan tentara-tentara Islam.

Kepada seluruh kaum muslimin secara umum,

baik pemerintah maupun rakyat, kelompok-kelompok maupun partai-partai, ‘ulama maupun cendekiawan : Sampai kapan kalian cenderung mengutamakan kehidupan (dunia) yang hina ini? Sampai kapan kalian hidup sebagai buih? Sampai kapan?! Sampai kapan?! Sampai kapan?! Mana orang-orang yang berakal jernih di tengah-tengah kalian?! Mana para ‘ulama kalian?! Mana para cendekiawan kalian?! Mana para panglima perang kalian?!

Kalian telah mendirikan ribuan sekolah dan universitas, mana hasilnya? Demi Allah, kalau seandainya ada sepuluh sekolah dan universitas yang tegak di atas manhaj nubuwwah, baik dalam aqidah, akhlaq, maupun penerapan syari’at yang bijaksana, niscaya dunia akan terang dengan cahaya iman dan tauhid dan akan sirnalah kegelapan kebodohan, kesyirikan, dan kebid’ahan, dan musuh tidak akan bisa menguasai (menjajah) kalian seperti ini. Kalau ada sebagian universitas yang tegak di atas manhaj yang benar, maka menyelinaplah orang-orang yang tidak suka dengan manhaj (yang haq) tersebut, kemudian merusak perjalanannya serta merusak para akademisi dan lulusannya. Hanya kepada Allah sajalah tempat kita mengeluh.

Tidakkah kenyataan pahit ini mendorong kalian untuk meninjau kembali kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas-universitas kalian, serta metode pendidikan kalian. Tidakkah sudah tiba masanya untuk memikirkan baik-baik dalam rangka melakukan perbaikan terhadap sistem tersebut? Menggantinya secara total, memberlakukan kurikulum Islamiyyah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam serta manhaj as-salafush shalih. Demi Allah, tidak akan baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik kondisi generasi awal umat ini.

Gantilah kurikulum-kurikulum tersebut yang tidak menghasilkan kecuali buih, berlakukanlah manhaj rabbani, yang tidak ada kebaikan, kesuksesan, maupun keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengannya. Jika kalian memang benar-benar menginginkan untuk diri kalian dan untuk umat kalian kesuksesan, kebaikan, dan kemenangan terhadap musuh-musuhnya, terutama (kemenangan) terhadap suatu kaum yang telah Allah timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan (yaitu kaum Yahudi).

Kepada Pemerintah Muslimin secara khusus,

Sungguh di atas pundak kalian terdapat tanggung jawab yang sangat besar sekali :

Tanggung Jawab Pertama, Kewajiban kalian untuk senantiasa berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan sirah para al-khulafa`ur Rasyidin baik dalam aqidah, ibadah, maupun politik kalian, serta dalam mengemban tanggung jawab rakyat dan pendidikan mereka.

Kewajiban dari Allah atas kalian -secara pasti- adalah :

- Kalian enyahkan segala undang-undang (buatan manusia) yang membuat mundur dan terbelakangnya umat (dalam hal keimanan dan aqidah mereka).

- Hendaknya kalian melakukan siasat dalam mengatur umat (rakyat) kalian dalam segala urusan kehidupan mereka, baik kehidupan keagamaan maupun kehidupan dunia mereka, berdasarkan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta bimbingan para al-khulafa`ur Rasyidin.

Karena sesungguhnya kalian hanyalah hamba-hamba Allah, yang di atas bumi-Nya kalian hidup, dari rizki-Nya lah kalian makan, minum, dan berpakaian, maka sudah merupakan hak Allah atas kalian adalah kalian beribadah hanya kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan kalian merasa mulia dengan agama dan syari’at-Nya. Maka berpegangteguhlah kepadanya dan perintahkan rakyat kalian agar juga berpegang teguh kepadanya. Kondisi keagamaan rakyat sangat bergantung dengan kondisi para pimpinan mereka. Sesungguh Allah akan mencabut (kezhaliman atau kerusakan) melalui tangan sulthan (penguasa) yang tidak bisa dicabut melalui (nasehat-nasehat) Al-Qur`an, sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah ar-Rasyid ‘Utsman (bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu).

Tanggung Jawab Kedua, hendaknya kalian membentuk sebuah pasukan yang Islami yang terdidik di atas bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta terdidik di atas pondasi tentara Islam, dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan dan target tentara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sungguh, wajib atas kalian untuk mendidik (tentara tersebut) di atas bimbingan aqidah dan manhaj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, serta aqidah dan manhaj Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab), dan Khalid (bin Al-Walid), serta mendidik (tentara tersebut) di atas tujuan yang telah digariskan oleh Allah untuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, agar mereka menjadi junudullah (tentara Allah) sejati. Maka jika kondisi mereka seperti itu, sungguh mereka (junudullah tersebut) tidak akan pernah terkalahkan. Allah berfirman :

﴿ وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ الصافات : 173

Sesungguhnya tentara Kami-lah yang pasti menang. [Ash-Shaffat : 173]

Bukan di atas tujuan-tujuan duniawi dan syi’ar-syi’ar jahiliyyah, baik syi’ar nasionalisme, atau syiar kebangsaan, atau syi’ar kedaerahan, ataupun syai’ar-syi’ar lain yang lebih jelek dari itu semua. Sungguh telah cukup (sebagai pelajaran) bagi kalian dan rakyat kalian apa yang selama ini menimpa kalian dan rakyat kalian, yaitu pelecehan oleh umat yang paling rendah dan paling hina (yaitu Yahudi), serta tantangan mereka terhadap kalian, kesombongannya, ketakaburannya, dan sikap ekstrim mereka terhadap kalian. Demi Allah, tidak akan bisa menghilangkan berbagai kejahatan dan kesombongan (Yahudi) tersebut kecuali dengan cara berpegang teguh kepada Islam, serta mentarbiyyah rakyat dan tentara kalian di atas prinsip-prinsip (aqidah) dan ideologi Islam, serta menghilangkan segala bentuk syi’ar, pemikiran, dan ideologi yang mengantarkan umat kepada kenyataan yang sangat pahit ini.

Kepada rakyat Palestina secara khusus :

Wajib atas rakyat Palestina untuk mengetahui tahu, bahwa :

Negeri Palestina tidaklah dimerdekakan kecuali dengan Islam, di bawah kepemimpinan Faruqul Islam (’Umar bin Al-Khaththab) dan bala tentaranya yang Al-Islamiyyah Al-Faruqiyyah.

Tidak mungkin pula negeri Palestina dibebaskan dari kenajisan Yahudi kecuali dengan Islam yang benar, yang denganya negeri Palestina telah berhasil direbut melalui kepemimpinan Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu). Sungguh kalian telah berupaya membela diri dengan sekuat tenaga. Aku tidak mengetahui suatu bangsa yang bisa bersabar seperti kesabaran kalian, namun sayang banyak di antara kalian yang tidak beraqidah dengan aqidahnya Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu) dan tidak bermanhaj dengan manhajnya. Kalau seandainya jihad kalian ditegakkan di atas aqidah dan manhaj tersebut, niscaya berbagai problem kalian akan teratasi, dan niscaya kalian akan meraih kemenangan dan kesuksesan.

Maka wajib atas kalian menegakkan aqidah, manhaj, dan jihad kalian di atas bimbingan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, wajib pula atas kalian semuanya untuk berpegang berpegang teguh kepada tali (agama) Allah dan tidak berpecah belah. Terapkanlah ini semua dengan penuh keseriusan dan keikhlasan baik di masjid-masjid kalian, sekolah-sekolah kalian, maupun di universitas-universitas kalian. Jujurlah kepada Allah dalam semua itu Insya Allah demi terwujudnya kemenangan yang gemilang terhadap bangsa (Yahudi) saudara-saudara kera dan babi.

Sesungguhnya bagi kaum muslimin penduduk Syam ada janji yang pasti melalui lisan (Rasululullah) sang Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan), yaitu janji kemenangan atas kaum Yahudi dan Nashara. Maka bangkitlah kalian dengan penuh kesungguhan menyongsong terwujudnya janji tersebut. Tanpa itu pasti kalian tidak akan memperoleh kecuali kegagalan dan kerugian. Sungguh, demi Allah, tidak bermanfaat bagi kalian ikut campurnya Amerika, atau PBB, serta tidak memberi manfaat kepada kalian semangat nasionalisme, atau pun semangat kebangsaan yang sangat dibenci (oleh Allah). Maka bersegeralah, bersegeralah merealisasikan sebab-sebab terwujudnya kemenangan yang hakiki dan pasti. Sungguh telah cukup bagi kalian (sebagai pelajaran) berbagai pengalaman yang sangat banyak, yang semuanya tidak bermanfaat dan tidak akan bermanfaat untuk kalian sedikitpun (selain merealisasikan sebab-sebab kemenangan yang hakiki dan pasti). Janganlah kalian menjadi seperti kondisi yang diungkapkan dalam syair :

كالعيس في البيداء يقتله الظمأ … والماء فوق ظهورها محمول

Seperti onta yang berjalan di gurun, ia terbunuh (mati) oleh dahaga

Padahal air senantiasa terbawa di atas punggungnya

Ya Allah, wujudkan untuk umat ini dalam perkara yang benar, yang dengannya para wali-Mu menjadi mulia dan musuh-musuh-Mu menjadi hina. Ya Allah tinggikanlah kalimat-Mu, muliakanlah agama-Mu, dan muliakanlah dengannya kaum muslimin, giringlah (bimbinglah) mereka kepada-Mu dan kepada agama-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar (mengabulkan) do’a.




SHAUM ‘ÂSYÛRÂ`

Hukum, Keutamaan, Sejarah, dan Cara Pelaksanaannya

Shaum ‘âsyûrâ` adalah shaum (puasa) hari âsyûrâ`, yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Shaum pada hari ini memiliki keutamaan yang sangat besar. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shaum pada hari Asyura`, maka beliau menjawab :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

“(Shaum tersebut) menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim 1162)

Shaum ini merupakan shaum sunnah. Dulu Nabi shalallahu’alaihi wa sallam biasa melakukannya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ummul Mu`minin Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُهُ.

“Dulu kaum Quraisy biasa bershaum hari ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam juga terbiasa bershaum pada hari tersebut (yakni sebelum beliau berhijrah ke Madinah).” [HR. Al-Bukhâri 2002, Muslim 1125]

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah berhijrah dan tiba di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah ternyata juga bershaum pada hari tersebut. Maka beliau bertanya kepada mereka. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ r « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r : « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ r وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

Bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapat Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya (kepada mereka) : “Hari apakah ini yang kalian bershaum padanya?” Maka mereka menjawab : “Ini merupakan hari yang agung, yaitu pada hari tersebut Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun bersama kaumnya. Maka Musa bershaum pada hari tersebut dalam rangka bersyukur (kepada Allah). Maka kami pun bershaum pada hari tersebut” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari tersebut. [HR. Al-Bukhari 2004, 3397, 3943, 4680, 4737. Muslim 1130]

Maka awal setiba beliau di Madinah, beliau memerintahkan para shahabatnya untuk melaksanakan shaum pada hari ‘Asyura. Bahkan menjadi shaum wajib bagi kaum muslimin. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Dulu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari ‘Asyura. Namun ketika diwajibkan shaum Ramadhan, maka jadilah bagi siapa yang mau boleh bershaum (’Asyura`) dan barangsiapa yang mau boleh juga tidak bershaum.” [Al-Bukhari 2001, Muslim 1125]

Kewajiban tersebut diperkuat dengan adanya seruan umum atas perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam , sebagaimana dikisahkan oleh Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu :

أَمَرَ النَّبِىُّ r رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِى النَّاسِ « أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ ، فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ »

Nabi shalallahu’alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari Aslam untuk mengumumkan kepada manusia : “Bahwa barangsiapa yang telah terlanjur makan, maka hendaknya ia bershaum pada sisa hari tersebut. Barangsiapa yang masih belum makan, hendaknya ia bershaum. Karena sesungguhnya hari ini adalah hari ‘Asyura` “. [HR. Al-Bukhari 2007, Muslim 1135]

Demikianlah, pada awal mula hijriah shaum ‘Asyura` merupakan kewajiban atas kaum muslimin.

Namun kemudian kewajiban tersebut dihapus dengan turunnya perintah shaum Ramadhan. Hal ini berdasarkan penegasan shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma :

صَامَ النَّبِىُّ r عَاشُورَاءَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ

“Nabi shalallahu’alaihi wa sallam melaksanakan shaum ‘Asyura, dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum juga pada hari tersebut. Namun ketika shaum Ramadhan diwajibkan, maka (shaum ‘Asyura) ditinggalkan.” [HR. Al-Bukhari no. 1892]

Juga sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha :

فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ رَمَضَانُ الْفَرِيضَةَ، وَتُرِكَ عَاشُورَاءُ ، فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ لَمْ يَصُمْهُ

“Ketika turun perintah shaum Ramadhan, maka shaum Ramadhan menjadi kewajiban, dan ditinggalkanlah (kewajiban) shaum ‘Asyura`. Jadinya barangsiapa yang mau boleh bershaum pada hari tersebut dan barangsiapa yang mau boleh tidak bershaum pada hari tersebut” [HR. Al-Bukhari 4504]

Maka dihapuslah kewajiban shaum ‘Asyura`, dan hukumnya berubah menjadi mustahab (tidak wajib).

Namun dalam pelaksanaanya, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tidak suka kalau hanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram saja. Beliau menginginkan untuk berbeda dan menyelisihi kaum Yahudi yang juga punya kebiasaan bershaum ‘Asyura`. Maka beliau menginginkan untuk melaksanakannya pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ r يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ».

قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللهِ r.

Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bershaum pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk bershaum pada hari itu, para shahabat shahabat berkata : “Itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Bila tiba tahun depan Insya Allah kita (juga) akan bershaum pada hari ke-9 (bulan Muharram).”

Ibnu ‘Abbas berkata : Namun belum sampai tahun depan kecuali Nabi shalallahu’alaihi wa sallam telah wafat terlebih dahulu. [HR. Muslim no. 1134]

Oleh karena itu shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menegaskan :

صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ.

“Bershaumlah pada hari ke-9 dan ke-10, selisihilah kaum Yahudi!” [HR. ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf­- nya 7839, Al-Baihaqi IV/287. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya di bawah hadits no. 755]

Dalam riwayat lain, disebutkan agar bershaum pada tanggal 9 dan 10, atau 10 dan 11, atau 9, 10, 11.

« صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً »

“Bershaumlah kalian pada hari ‘Asyura, dan selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9 dan 10 Muharram, atau 10 dan 11 Muharram

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

« صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا »

“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” [HR. Al-Baihaq IV/287]

Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Namun tentang kedudukan hadits tersebut, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa sanadnya dha’if (lemah). Karena adanya perawi yang lemah, yaitu Ibnu Abi Laila. Dia adalah perawi yang jelek hafalannya. Ibnu Abi Laila yang jelek hafalannya ini meriwayatkan hadits tersebut secara marfu’ (sampai kepada Nabi), yang riwayatnya tersebut berbeda dengan riwayat perawi lain yang lebih kuat hafalannya, yaitu ‘Atha` dan lainnya, yang mereka meriwayatkan hadits tersebut secara mauquf (hanya ucapan) shahabat Ibnu ‘Abbas. Riwayat yang mauquf ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi. Demikian penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ta’liq Shahih Ibni Khuzaimah no. 2095.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :

“Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada kita untuk bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.

- bershaum pada hari ke-9 dan ke-10 ini yang paling utama.

- kalau bershaum pada hari ke-10 dan 11 maka itu sudah mencukupi, karena (dengan cara itu sudah) menyelisihi Yahudi.

- kalau bershaum semuanya bersama hari ke-10 (yaitu 9, 10, dan 11) maka tidak mengapa. Berdasarkan sebagian riwayat : “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

- Adapun bershaum pada hari ke-10 saja maka makruh.”

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/403, fatwa no. 158]

Jadi, yang paling utama adalah shaum hari ke-9 dan ke-10.

Namun, para ‘ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah bershaum tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim (dalam Zadul Ma’ad II/76) dan Al-Hafizh (dalam Fathul Bari).

Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata :

Shaum ‘Asyura` memiliki empat tingkatan :

Tingkat Pertama : bershaum pada tanggal 9, 10, dan 11. Ini merupakan tingkatan tertinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad : Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Selisihilah kaum Yahudi.” Dan karena seorang jika ia bershaum (pada) 3 hari (tersebut), maka ia sekaligus memperoleh keutamaan shaum 3 hari setiap bulan.

Tingkat Kedua : bershaum pada tanggal 9 dan 10. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Kalau saya hidup sampai tahun depan, niscaya aku bershaum pada hari ke-9.” Ini beliau ucapkan ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi juga bershaum pada hari ke-10, dan beliau suka untuk berbeda dengan kaum Yahudi, bahkan dengan semua orang kafir.

Tingkat Ketiga : bershaum pada tanggal 10 dan 11.

Tingkat Keempat : bershaum pada tanggal 10 saja. Di antara ‘ulama ada yang berpendapat hukumnya mubah, namun ada juga yang berpendapat hukumnya makruh.

Yang berpendapat hukumnya mubah berdalil dengan keumuman sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shaum ‘Asyura`, maka beliau menjawab “Saya berharap kepada Allah bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” Beliau tidak menyebutkan hari ke-9.

Sementara yang berpendapat hukumnya makruh berdalil dengan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam : “Selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” Dalam lafazh lain, “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Sabda beliau ini berkonsekuensi wajibnya menambahkan satu hari dalam rangka menyelisihi (kaum Yahudi), atau minimalnya menunjukkan makruh menyendirikan shaum pada hari itu (hari ke-10) saja. Pendapat yang menyatakan makruh menyendirikan shaum pada hari itu saja merupakan pendapat yang kuat.”

[Liqa`at Babil Maftuh]

Sementara itu, ketika Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`ditanya apakah boleh melaksanakan shaum ‘Asyura` satu hari saja? Maka lembaga tersebut menjawab :

Boleh melaksanakan shaum hari ‘Asyura` satu hari saja. Namun yang afdhal (lebih utama) adalah bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Ini merupakan sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau “Kalau saya masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan bershaum pada hari ke-9.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Yakni bersama hari ke-10.”

Wabillahit Taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Shahbihi wa Sallam.




HUKUM MANDI JANABAH

Para ulama sepakat bahwa seorang yang junub wajib melakukan mandi wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):

Dan jika kalian junub, maka bersucilah (mandilah).” (QS. Al-Maidah: 6)

Begitu juga dengan wanita yang telah suci dari haidh atau nifasnya, diwajibkan mandi seperti mandinya orang yang junub. Berkata Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah : “Mandi seorang wanita dari haidh dan nifas seperti mandinya karena junub.” (Al-Hawi Al-Kabir, 1/226)

TATA CARA MANDI JANABAH

Mandi janabah/mandi wajib memiliki dua cara:

1. Cara yang sederhana.

2. Cara yang sempurna.

Pertama: Cara yang sederhana

Cara mandi janabah yang sederhana namun mencukupi/sah adalah cukup dengan berniat dalam hati, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuh secara merata hingga mengenai seluruh rambut dan kulitnya. (Lihat Al-Minhaj, 3/228)

Kedua: Cara yang sempurna

Mandi janabah/wajib yang sempurna terdiri dari:

1. Niat

Sebelum memulai mandi janabah, maka wajib berniat dalam hati. Karena niat merupakan pembeda antara mandi biasa dengan mandi wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 3530 dari ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu)

2. Mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air

Hal ini sebagaimana diceritakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak mandi karena junub, memulai dengan mencuci kedua telapak tangan.” (HR Al-Bukhari no. 240, Muslim no. 474)

Mencuci kedua telapak tangan dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Disebutkan dalam riwayat lain dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:

فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencuci kedua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau memasukkannya ke dalam wadah air.” (HR. Muslim no. 476)

3. Mencuci kemaluan dengan tangan kiri

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:

ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ

Kemudian Rasulullah menuangkan air pada kemaluannya lalu mencucinya dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 476)

4. Menggosokkan telapak tangan kiri ke tanah

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ اْلأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا

Kemudian beliau menggosokkan telapak tangan kirinya ke tanah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Muslim no. 476)

5. Berwudhu

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berwudhu saat mandi junub hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berpandangan bahwa berwudhu saat mandi junub semuanya hanyalah diriwayatkan dari perbuatan Nabi. Sedangkan semata-mata perbuatan nabi, tidaklah menjadikan sebuah hukum menjadi wajib. Demikian pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Batthal, Asy-Syaukani dan para ulama lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/273)

Adapun tata cara berwudhu ketika hendak mandi janabah, para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat sunnahnya mengakhirkan pencucian kedua telapak kaki saat berwudhu ketika mandi janabah. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Nailul Authar, 1/271)

Namun jika menilik berbagai hadits yang ada, maka kita dapati bahwa ternyata berwudhu ketika mandi janabah memiliki beberapa cara, yaitu:

Pertama: Berwudhu secara sempurna seperti wudhu ketika hendak shalat. Dalilnya adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ

Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat.” (HR. Muslim no. 476)

Kedua: Berwudhu seperti ketika hendak shalat, dengan mengakhirkan mencuci kedua kaki setelah mandi. Juga dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ

Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat, tanpa mencuci kedua telapak kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 272)

Ketiga: Berwudhu seperti wudhu ketika hendak shalat, tanpa mengusap kepala. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلاَثًا وَيَسْتَنْشِقُ وَيُمَضْمِضُ وَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ رَأْسَهُ لَمْ يَمْسَحْ

Kemudian beliau berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu memasukkan air ke dalam hidung sekaligus ke dalam mulut dengan berkumur-kumur, lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya masing-masing sebanyak tiga kali, hingga ketika sudah masuk bagian kepala beliau tidak mengusapnya.” (HR. An-Nasa’i no. 419. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa’i no. 420 bab tidak mengusap kepala dalam wudhu ketika mandi janabah).

Nampak dari hadits-hadits di atas, bahwa ketiga cara tersebut semuanya sunnah untuk dilakukan. Karena masing-masingnya didasari oleh hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah salah satu bentuk penggabungan (jama’) terhadap hadits-hadits diatas yang dilakukan Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa’i (1/225), karya beliau.

6. Menyela-nyela pangkal rambut dengan jari-jemari hingga kulit kepala terasa basah

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِه

Kemudian beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jari-jari tersebut (hingga terasa basah).” (HR. Al-Bukhari no. 240)

7. Menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ

Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 240)

Caranya, tuangan air yang pertama untuk bagian kanan kepala, kemudian tuangan yang kedua untuk bagian kiri kepala, lalu yang ketiga untuk bagian tengah kepala. Cara ini disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ

Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya, yang pertama beliau tuangkan air pada bagian kanan kepalanya, kemudian setelah itu bagian yang kiri, lalu terakhir bagian tengah kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 250, Muslim no. 478)

Inilah cara yang dipilih oleh sebagian ulama besar seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Qurthubi, As-Sinji, Asy-Syaukani, dan yang lainnya (Lihat Nailul Authar, 1/270)

8. Mengguyurkan air ke seluruh tubuh

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ

Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau.” (HR. Muslim no. 474)

9. Mencuci kedua kaki

Jika air sudah diguyurkan secara merata ke seluruh tubuh, maka yang terakhir adalah mencuci kedua kaki. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Kemudian terakhir beliau mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 474)

Demikian urutan tata cara mandi janabah yang sempurna. Jika seorang yang junub, atau wanita yang selesai dari haidh atau nifas telah selesai melakukannya, maka ia telah suci dari hadats besar.

Hendaknya orang yang mandi janabah memperhatikan bagian-bagian tubuh yang rawan tidak terkena air, seperti ketiak, pusar, bagian dalam telinga, dan bagian-bagian lainnya.

MANDI BAGI WANITA YANG TELAH SUCI DARI HAIDH DAN NIFAS

Mandi bagi wanita yang telah suci dari haidh dan nifas tata caranya sama dengan tata cara mandi janabah. Namun disunnahkan bagi mereka untuk mewangikan bagian/daerah mengalirnya darah, baik dengan minyak wangi atau dengan jenis wewangian lainnya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:

وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ

Dan sungguh kami diberi keringanan ketika salah seorang dari kami mandi dari haidh untuk memakai wangi-wangian.” (HR. Al-Bukhari no. 302)

Mewangikan bagian tubuh tempat mengalirnya darah berlaku untuk semua wanita, baik wanita yang berstatus sebagai istri atau gadis. Hal ini tujuannya adalah untuk menghilangkan aroma yang tidak sedap. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan juga An-Nawawi (Lihat Fathul Bari 3/239, Al-Minhaj 4/14)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Bila wanita yang mandi haidh tidak memakai wewangian pada daerah tempat mengalirnya darah padahal memungkinkan baginya untuk memakainya, maka hukumnya makruh.” (Lihat Al-Minhaj 4/14)

HUKUM MENGURAI RAMBUT YANG DIIKAT/DIJALIN SAAT MANDI

Tidak wajib bagi wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika mandi janabah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ

Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan. Kemudian menyiramkan air secara merata ke seluruh tubuhmu. Maka dengan begitu engkau telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Namun beda halnya ketika mandi haidh atau nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh. Sebagian ulama berpendapat wajib. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Ibnu Hazm, Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/275)

Adapun mayoritas ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. Disebutkan dalam riwayat lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ قَالَ لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ

Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi haidh dan janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Namun cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 497)

Adapun hadits yang memerintahkan wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika bersuci, dihukumi dha’if (lemah) oleh ulama pakar hadits. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian pendapat yang dipilih Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Baz, dan yang lainnya (Lihat Taudhihul Ahkam, 1/401)

Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Bila si wanita memiliki rambut yang diikat, maka tidak wajib baginya melepaskan ikatan rambutnya tersebut saat mandi janabah. Mandi wajib dari haidh sama hukumnya dengan mandi janabah, tidak berbeda.” (Lihat Al-Umm, 1/56)

HUKUM BERWUDHU SETELAH MANDI JANABAH

Seorang yang telah selesai dari mandi janabah tidak wajib baginya berwudhu, baik ia melakukan mandi janabah dengan cara yang sederhana atau cara yang sempurna. Karena ia telah suci dari hadats besar, maupun dari hadats kecil. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu setelah selesai mandi (janabah).” (HR. At-Tirmidzi no. 107. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah no. 445)

Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah: “Ulama sepakat, seseorang yang telah selesai melakukan mandi janabah, tidak perlu mengulangi wudhu.” (Lihat Al-Istidzkar, 1/303)

Hal ini jika tidak batal wudhunya sewaktu ia mandi. Jika batal, maka wajib mengulangi wudhunya.

Wallahu a’lam




Siapa Saja Mahram Itu?

Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.

Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).

Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)

Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu’:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas),

keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233)

Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.
Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ

“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (An-Nisa: 23)
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)



Pelajaran

KITAB BULUGHUL MARAM

Karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah

Disusun oleh :

Tim thullab Ma’had As-Salafy Jember

Muqaddimah Al-Hafizh Ibnu Hajar

Segala puji khusus bagi Allah atas segala kenikmatan-Nya yang zhahir (terlihat) maupun yang bathin (tidak tampak), baik dulu maupun sekarang. Shalat dan salam kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau yang membela agama beliau dengan pembelaan yang sangat besar. Juga shalat dan salam kepada para pengikut mereka yang mewarisi ilmu mereka.”Para ‘ulama itu adalah pewaris para nabi” sungguh betapa mulia pihak yang mewariskan dan pihak yang mewarisi.

Amma Ba’d :

Ini merupakan kitab yang ringkas meliputi dasar-dasar dalil yang bersumber dari hadits tentang hukum-hukum syari’at. Aku menyusunnya dengan gaya penyusunan yang bagus supaya orang yang menghafalnya menjadi orang yang menonjol di antara teman-teman sejawat/seangkatannya. Dan supaya seorang pelajar pemula bisa menjadikannya sebagai sarana, namun di sisi lain seorang yang senior pun masih tetap butuh/tidak bisa lepas darinya.

Aku jelaskan pada tiap-tiap akhir hadits para imam yang meriwayatkan hadits tersebut, dalam rangka memberikan penjelasan kepada umat.

Maksud dari As-Sab’ah (imam yang tujuh) adalah : Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

As-Sittah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Ahmad. [1]

Al-Khamsah (imam yang enam) adalah : semua nama di atas kecuali Al-Bukhari dan Muslim. [2]

Terkadang saya istilahkan juga dengan Al-Arba’ah dan Ahmad.

Al-Arba’ah (imam yang empat) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama. [3]

Ats-Tsalatsah (imam yang tiga) adalah : nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama dan satu nama terakhir. [4]

Muttafaq ‘alaihi adalah : Al-Bukhari dan Muslim. Terkadang kalau aku sudah menyebutkannya, tidak aku sebutkan yang lain (meskipun hadits tersebut juga diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, ed).

Adapun para periwayat hadits selain nama-nama para imam di atas, maka akan disebutkan secara jelas siapa yang meriwayatkannya.

Aku beri judul kitab ini :

بلوغ المرام من أدلة الأحكام

Aku memohon kepada Allah agar tidak menjadikan ilmu yang kita ketahui malah menjadi bumerang atas diri kita sendiri, dan semoga Allah memberikan rizki kepada kita berupa amalan yang Dia ridhai. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi.

* * *

كتاب الطهارة

Kitabuth Thaharah

Sebagaimana kitab-kitab fiqh karya para ‘ulama lainnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memulai kitabnya Bulughul Maram ini dengan Kitabuth Thaharah.

Kitab

Secara etimologi : kumpulan. Dinamakan dengan kitab karena merupakan kumpulan huruf, kata, dan kalimat. Kitab di sini maknanya adalah maktub (sesuatu yang ditulis).

Secara terminologi : sesuatu yang ditulis di atas kertas untuk disampaikan kepada pihak lain atau ditulis agar tidak lupa. Para ‘ulama fiqh mempergunakan istilah kitab untuk pembahasan yang luas, yang terdiri dari beberapa bab dan pasal.

Thaharah (Bersuci)

Secara etimologi : Kebersihan dan kesucian dari kotoran, baik bersifat hissi (nampak) maupun ma’nawi (abstrak).

Secara terminologi : Terangkatnya hadats atauh hilangnya najis.

Hadats adalah suatu kondisi pada badan yang menyebabkan seseorang terhalangi/tidak boleh mengerjakan ibadah yang dipersyaratkan thaharah (bersuci) padanya, seperti shalat, thawaf, menyentuh mush-haf, dll.

Hadats ada dua jenis :

- Hadats Ashghar (kecil), seperti kentut, kencing, tidur, dll. Cara menghilangkannya adalah dengan berwudhu`

- Hadats Akbar (besar), seperti ihtilam (mimpi basah), jima’, haidh, dan nifas. Cara menghilangkannya adalah dengan mandi janabah.

Thaharah dari hadats sifatnya ma’nawi (abstrak). Sehingga thaharah dari hadats tidak mencuci/membasuh tempat keluarnya hadats, namun membasuh anggota badan tertentu yang telah ditentukan oleh syari’at. Misalnya orang yang berthaharah dari kentut, maka dia tidak membasuh atau mencuci tempat keluarnya kentut. Namun ditentukan dalam syari’at dia harus membasuh anggota badan lainnya, yaitu dia harus berwudhu`.

Najis adalah kotoran yang wajib atas setiap muslim untuk membersihkan diri darinya atau mencuci sesuatu yang terkenainya. Contoh najis : kencing, kotoran manusia.

Thaharah dari najis

Perbedaan antara thaharah (bersuci) dari hadats dengan thaharah (bersuci) dari najis :

Thaharah dari hadats termasuk dalam pelaksanaan perintah, oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus ada niat -menurut pendapat yang lebih benar di kalangan ‘ulama–. Jadi kalau berwudhu` harus ada niat, kalau mandi janabah harus ada niat.

Adapun thaharah dari najis tidak dipersyaratkan padanya niat. Sehingga kalau seseorang mencuci bajunya dari noda dan padanya terdapat najis, namun ketika mencuci itu dia tidak meniatkan menghilangkan najis, maka dengan itu bajunya menjadi suci. Demikian pula kalau pakaian najis kehujanan, sehingga menjadi bersih, maka baju tersebut hukumnya suci. Atau misalnya wujud najis menjadi hilang dengan sebab bensin atau yang lainnya, maka dinyatakan suci. Karena najis merupakan sesuatu yang bersifat konkrit, dengan apa pun dan cara apa pun najis tersebut bisa hilang, maka sudah dihukum suci.

Perlu diketahui, bahwa thaharah itu ada dua makna :

  1. Thaharah ma`nawi , yaitu thaharah hati dari syirik, kekufuran, nifaq, hasad, khianat, ragu, dan berbagai penyakit hati dan akhlaq tercela lainnya. Tema ini dibahas dalam bidang tauhid dan aqidah. Demikian juga dibahas dalam bidang akhlaq.
  2. Thaharah hissi, thaharah yang bersifat tampak, yaitu thaharah dari hadats dan najis. Tema inilah yang dibahas dalam kitab-kitab fiqh.

Kenapa dimulai dengan thaharah?

Para ‘ulama dari kalangan para muhadditsin dan para fuqaha’, dalam menyusun kitab-kitab karya mereka, pada umumnya memulainya dengan pembahasan tentang thaharah. Hal itu karena dua alasan :

Pertama : thaharah merupakan syarat shalat yang paling penting. Berdasarkan firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة/6]

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kaian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, [Al-Ma`idah : 6]

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ

Allah tidak menerima ibadah shalat seorang dari kalian apabila dia berhadats, sampai dia berwudhu’ [HR. Al-Bukhari (135, 6954), Muslim (225)]

Kedua : thaharah merupakan pembersihan (takhliyah). Pembersihan itu dilakukan sebelum menghias (tahliyah). Sebagaimana halnya rumah -misalnya- bersihkan terlebih dahulu, baru kemudian di tata supaya indah dan rapi.

باب المياه

BAB : AIR-AIR

Bab :

Secara etimologi : Pintu, yakni pintu masuk menuju suatu tempat atau ruangan.

Secara terminologi : bagian dari pengklasifikasian untuk pembahasan-pembahasan yang sama, yang tingkatannya di bawah “kitab”.

Al-Miyah :

Al-Miyah merupakan bentuk jama’ dari kata al-ma`(air). Air merupakan benda cair yang sudah sangat dikenal oleh umat manusia. Sebenarnya air itu sama semua dan satu jenis saja. Namun penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) menyebutkannya di sini dalam bentuk jama’, karena meninjau sumber atau asalnya yang berbeda-beda. Ada air laut, air hujan, air sumur, air sungai, air telaga, dan berbagai macam lainnya.

Dalam bab ini penulis hendak membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan air, yakni kapan air itu dinyatakan tetap suci dan kapan air itu dinyatakan telah menjadi najis, serta berbagai hukum lainnya. Penulis mengawali Kitabuth Thaharah ini dengan pembasan tentang air, karena air merupakan alat utama dalam thaharah.

[Hadits Pertama]

[Hukum Air Laut]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللهِ صلى الله عليه وسلم فِي اَلْبَحْرِ: (( هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ )) أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ؛ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَافِعِيُّ وَأَحْمَدُ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (air) laut : “Laut itu airnya thahur, bangkainya pun halal.”

Diriwayatkan oleh Al-Arba’ah, Ibnu Abi Syaibah -lafazh hadits ini riwayat beliau (Ibnu Abi Syaibah) [5]) -. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.

# Takhrijul Hadits :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 83; An-Nasa`i no. 332, 4350; At-Tirmidzi no. 69; dan Ibnu Majah no. 386; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya bab no. 158, hadits no. 15. Malik dalam Al-Muwaththa` no. 37; Asy-Syâfi’i dalam Musnad-nya no. 1; Ahmad dalam Musnad-nya no. 7192, 8518, 8695, 8855.

Hadits ini merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : (( هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ))

Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami mengarungi lautan dan ketika itu kami hanya membawa air sedikit saja. Jika kami berwudhu dengan air tersebut, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu` menggunakan air laut?”. Maka Rasulullah menjawab : “Dia itu ath-thahûr airnya, bangkainya pun halal.”

Ath-Thahûr artinya : suci dan mensucikan, yakni suci pada dzatnya dan bisa mensucikan benda yang lainnya.

# Kedudukan Hadits :

Shahih. Al-Hafizh telah menyebutkan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (dalam Shahih-nya no. 111) dan At-Tirmidzi (dalam Sunan-nya no. 69), beliau berkata : “Hadits ini adalah hadits yang hasan shahih.”.

Sebelumnya, para ‘ulama besar telah menshahihkan hadits ini, antara lain : Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Al-Hakim, Al-Imam Ibnu Hibban, Al-Imam Ibnul Mundzir, Al-Imam Ath-Thahawi, Al-Imam Al-Baghawi, Al-Imam Al-Khaththabi, dan selain mereka.

Hadits ini juga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 480 dan Irwa`ul Ghalil no. 9.

# Fiqhul Hadîts :

1. Air laut suci secara mutlak tanpa terkecuali, suci pada dzatnya dan dapat mensucikan benda lainnya. Sehingga air laut boleh dan sah digunakan untuk thaharah (bersuci/menghilangkan najis) dan berwudhu`, bahkan mandi janabah.

2. Bangkai hewan laut hukumnya halal. Yang dimaksud dengan hewan laut adalah semua hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah -pada hadits nomor : 480- mengatakan : “Halalnya semua hewan yang mati di laut jika memang hewan tersebut tempat hidupnya di laut, walaupun sudah mengapung di atas air.

Betapa baiknya sebuah atsar yang diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Umar, bahwasanya beliau ditanya : “Apakah boleh aku memakan (hewan laut) yang telah terapung di atas air?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya segala yang terapung di atas air (laut) adalah bangkainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya air laut itu suci mensucikan, dan bangkainya halal (dimakan.” Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni 538.

Sementara hadits yang berisi larangan memakan hewan yang terapung di atas air (laut) adalah hadits yang tidak sah, sebagaimana telah dipaparkan pada kitab yang lain. [6] — selesai Asy-Syaikh Al-Albani –

Di antara yang memperkuat dalil di atas adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوت، و أما الدمان : فالكبد و الطحال

Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai adalah serangga dan ikan. Adapun dua jenis darah adalah hati dan jantung”. HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 3218, 3314.

Hadits ini mauquf (yakni hanya dari ucapan shahabat Nabi) jika ditinjau dari lafazhnya, akan tetapi dihukumi marfu (yakni sumber asalnya adalah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) jika ditinjau dari sisi hukumnya. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihah no 1118.

Hukum ini mencakup semua bangkai hewan yang hidup di laut, sekalipun penamaanya menyerupai hewan darat yang haram dimakan, misalnya: anjing laut, ular laut, babi laut, dan sebagainya. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, dan Al-Imam Asy-Syaukani.

# Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jawabannya menyebutkan juga tentang hukum bangkai hewan laut, padahal sang penanya hanya menanyakan tentang hukum berwudhu menggunakan air laut, tidak bertanya tentang hukum bangkai hewan laut?

Jawab : Karena orang yang mengarungi lautan sangat mungkin menghadapi permasalahan terkait bangkai hewan laut -boleh dimakan atau tidak- terlebih di tengah lautan sangat memungkinkan kehabisan bekal, dan di tengah laut tidak ada tempat bertanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melengkapkan jawabannya ketika itu.

Al-Imam Ar-Rafi’i rahimahullah berkata : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa penanya tidak mengetahui tentang hukum air laut, maka sangat mungkin penanya juga tidak mengetahui hukum bangkai hewan yang hidup di laut. Terkadang orang yang mengarungi lautan dihadapkan dengan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan jawabannya mengenai hukum memakan bangkai hewan yang hidup di laut.

Al-Imam Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata : “Di antara bentuk fatwa yang baik adalah memberikan jawaban lebih banyak dari sekadar yang ditanyakan dalam rangka menyempurnakan pengetahuan, sekaligus memberikan pengetahuan ilmu yang tidak ditanyakan oleh si penanya.”

# # #


[1] Yakni : Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[2] Yakni Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[3] Yakni Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.

[4] Yakni Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i.

[5] Pernyataan penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) bahwa lafazh yang beliau nukil adalah lafazh yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah perlu ditinjau ulang. Karena setelah kami merujuk kembali kepada kitab Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, lafazh yang kami temukan dari shahabat Abu Hurairah adalah : ( البحر الطهور ماؤه الحلال ميتته ). Letak perbedaannya pada kata : البحر dan الحلال .

Kami juga mendapati pada kitab Mushannaf tersebut dengan lafazh sama dengan yang dinukil oleh Al-Hâfizh, namun dari seorang shahabat yang berasil dari Bani Mudlaj, bukan Abû Hurairah. Kami juga mendapati lafazh : ( هو الطهور ماؤه والحلال ميتته ) dari shahabat Abu Bakr Ash-Shiddiq, bukan dari Abu Hurairah. itu pun terdapat perbedaan pada lafazh : الحلال .

Justru lafazh yang dinukilkan oleh Al-Hafizh adalah lafazh yang diriwayatkan oleh Al-Arba’ah (Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah) dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu . Wallahu A’lam.

[6] Hadits yang beliau maksud adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Jabir dengan lafadz :

ما ألقى البحر أو جزر عنه فكلوه و ما مات فيه و طفا فلا تأكلوه

Segala terdampar di laut (di pantai) silakan kalian makan. Sementara yang mati di laut dan terapung maka jangan kalian makan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3815 dan Ibnu Majah 3247.




KHUSYU’ DALAM SHALAT

oleh Fadhilatul ‘Allamah DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Segala puji khusus bagi Allah, yang telah memerintahkan untuk beristi’anah (meminta tolong kepada-Nya) dengan kesabaran dan shalat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Dia memberitakan bahwa hal itu merupakan suatu yang berat kecuali bagi para hamba-Nya yang khusyu’ . Allah juga menyifati kaum mukminin dengan khusyu’ dalam shalat mereka. Allah menjadikannya sebagai sifat-sifat mereka. Allah berfirman :

﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]

Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, sang juru dakwah kepada keridhaan-Nya, shalat Allah atasnya dan atas keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik. Amma ba’d :

Wahai umat manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah. Ketahuilah bahwa khusyu’ dalam shalat merupakan ruh ibadah shalat tersebut sekaligus maksud utama ditegakkannya ibadah shalat tersebut. Allah telah menyifati para rasul-Nya dan para hamba-Nya yang shalihin dengan sifat tersebut (khusyu’). Allah berfirman :

﴿ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [1], dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya` : 90]

Allah juga berfirman :

﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]

Allah juga menyifati para ‘ulama dengan sifat khasy-yah (takut) kepada-Nya dan khusyu’ tatkala mendengar Firman-Nya. Allah berfirman :

﴿ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fathir : 28]

Allah juga berfirman :

﴿ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]

Asal makna khusyu’ adalah kelembutan dan ketenangan hati, serta ketundukannya. Apabila hati telah khusyu’ maka akan diikuti oleh khusyu’ anggota badan. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

« أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ »

“Ketahuilah, bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad, namun apabila ia jelek maka jelek pulalah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Apabila seseorang membuat-buat khusyu’ pada anggota badannya tanpa diiringi kekhusyu’an hati, maka yang demikian adalah khusyu’ nifaq. ‘Umar Radhiyallah ‘anhu pernah melihat seorang pemuda menundukkan kepalanya, maka ‘Umar pun berkata, “Wahai kamu, angkat kepalamu, karena khusyu’ itu letaknya bukan di leher. Sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang terdapat dalam hati.”

Khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain dihasilkan dari ma’rifah (pengenal dan ilmu) tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan ma’rifah tentang keagungan-Nya. Barangsiapa yang semakin mengenal dan berilmu tentang Allah, maka dia makin khusyu’ terhadap-Nya. Di antara sebab terbesar tercapainya khusyu’ adalah mentadabburi Kalamullah. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman :

﴿ لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ

“Kalau seandainya Kami turunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan itlah perumpamaan-perumpamaan kami buat untuk manusia agar mereka berfikir.” [Al-Hasyr : 21]

Allah telah menyifati para ‘ulama dari kalangan Ahlul Kitab dengan sifat khusyu’ ketika mendengar Al-Qur`an ini. Allah Ta’ala berfirman :

﴿ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]

Allah telah mencela orang yang tidak khusyu’ ketika mendengar Firman-Nya. Allah berfirman :

﴿ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Hadid : 16]

Bahkan Allah mengancam pemilik hati yang keras dengan firman-Nya :

﴿ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah mengeras hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. [Az-Zumar : 22]

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’ , sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :

Bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berdo’a :

« اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا »

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”

Allah telah mensyari’atkan berbagai jenis ibadah yang menampakkan kekhusyu’an hati dan badan. Di antaranya yang terbesar adalah ibadah shalat. Dan Allah telah memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dengan firman-Nya :

﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]

Mujahid berkata : “Dulu para ‘ulama, apabila salah seorang dari mereka berdiri dalam shalatnya, maka mereka taku kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla untuk melirikkan pandangannya, atau menoleh, atau memainkan pasir, atau melakukan sesuatu, atau mengajak berbicara dirinya tentang urusan dunia kecuali jika lupa, selama ia berada dalam shalatnya.”

Dalam Shahih Muslim dari shahabat ‘Utsman Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ »

“Tidaklah seorang muslim yang telah tiba kepadanya waktu shalat wajib, kemudian dia membaikkan wudhu`nya, khusyu’nya, dan ruku’nya kecuali itu menjadi kaffarah (penebus) atas dosa yang telah lalu, selama tidak dilakukan dosa besar. dan itu berlaku sepanjang tahun.”

Wahai para hamba,

Untuk tercapainya khusyu’ ada sebab-sebabnya,

di antara sebab yang terbesar : Seorang hamba mengingat akan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla yang dia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwasanya Dia dekat dengannya, melihat, dan mendengarnya, serta mengetahui segala apa yang terbesit dalam hatinya, sehingga mendorongnya untuk malu kepada-Nya ‘Azza wa Jalla .

Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : meletakkan tangan yang satu di atas tangan yang lain (bersedekap), yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada. Makna sikap yang demikian adalah menunjukkan pengrendahan diri dan berkeping-kepingnya hati di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang maksud dari sikap (bersedekap) tersebut, maka beliau menjawab : “Itu merupakan bentuk pengrendahan diri di hadapan Dzat Yang Maha Perkasa.”

Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : menghentikan segala gerakan dan segala yang tidak bermanfaat, serta senantiasa diam. Oleh karena itu, ketika seorang ‘ulama salaf melihat seorang pria bermain-main dengan tangannya dalam shalatnya, maka ‘ulama salaf tersebut berkata, “Kalau seandainya hati orang ini khusyu’, niscaya akan khusyu’ pula anggota badannya.” Peristiwa ini diriwayatkan juga secara marfu’ sampai kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagian orang apabila dia berdiri menunaikan shalatnya, terkadang mereka masih bermain-main, menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, atau bermain-main dengan jenggot dan hidungnya, sampai-sampai tingkah lakunya untuk mengganggu orang yang di sebelahnya. Ini menunjukkan tidak adanya khusyu’ dalam shalat.

Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat : menghadirkan hati dalam shalat, dan tidak menyibukkan dengan berbagai kesibukan dan pekerjaan duniawi. Ia konsentrasi penuh menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan hatinya. Dan tidak menyibukkan dengan sesuatu selain shalat.

Telah ada larangan untuk menoleh dalam shalat. Dijelaskan oleh para ‘ulama, bahwa menoleh itu ada dua macam :

Pertama, berpalingnya hati dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu hati berpaling kepada dunia dan berbagai kesibukkannya, dan sama sekali tidak konsentrasi menghadap Rabbnya.

Dalam Shahih Muslim, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda tentang keutamaan dan pahala wudhu’ :

« … فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِى هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ للهِ إِلاَّ انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »

“Jika kemudian dia berdiri menunaikan shalat, seraya memuji, menyanjung, dan memuliakan Allah dengan pujian yang sesuai bagi-Nya, dan hatinya konsentrasi penuh kepada Allah, maka ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti kondisinya pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”

Kedua, menoleh dengan pandangan ke kanan atau ke kiri. Yang dituntunkan dalam syari’at adalah membatasi pandangan hanya pada tempat sujudnya saja, karena itu merupakan di antara konsekuensi kekhusyu’an, yang dengannya terputuslah darinya segala pemandangan di sekitarnya yang bisa menyibukkannya.

Dalam Shahih Al-Bukhari dari shahabat ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha : “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dari menoleh/berpaling dalam shalat? Maka beliau menjawab :

« هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ »

“Itu adalah curian, yang dicuri oleh syaithan dari shalat kalian.”

Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari shahabat Al-Harits Al-Asy’ari, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam : Bahwa Allah memerintahkan Nabi Yahya bin Zakariyya ‘alaihis salam untuk menegakkan shalat.

فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَ تَلْتَفِتُوا

Sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Maka jika kalian sedang shalat jangalah berpaling/menoleh.”

Al-Imam Ahmad juga meriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr Radhiyallah ‘anhu, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Allah senantiasa menghadap kepada seorang hamba dalam shalat-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Jika sang hamba tersebut berpaling/menoleh, maka Allah pun akan berpaling darinya.”

Wahai para hamba Allah,

Sesungguh ibadah shalat, dalam semua gerakannya menunjukkan ketundukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti berdiri, ruku’, sujud, serta bacaan dzikir yang diucapkan dalam masing-masing gerakan tersebut. Allah berfirman :

﴿ وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ

“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah : 238]

Allah berfirman :

﴿ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “ [Al-Baqarah : 43]

Karena ruku’ merupakan bentuk ketundukan kepada Allah dan menghinakan diri di hadapan-Nya dengan sikap badan. Sungguh orang-orang yang mutakabbir (sombong) menolak untuk sujud kepada Allah, maka Allah pun mengancam mereka dengan firman-Nya :

﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لا يَرْكَعُونَ . وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah kalian, niscaya mereka tidak mau ruku’. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” [Al-Mursalat : 48-49]

Di antaranya juga adalah sujud, yang itu merupakan gerakan terbesar yang tampak padanya kehinaan seorang hamba terhadap Rabb-nya ‘Azza wa Jalla. Yaitu ketika sang hamba menjadikan anggota badan yang paling utama dan paling mulia serta paling tinggi, menjadi paling rendah di hadapan Rabb-nya. Sang hamba meletakkan wajahnya ke tanah, diiringi dengan berkeping-keping hati, merendah, dan kekhusyu’an kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu balasan bagi seorang mukmin apabila ia melakukan hal tersebut, maka Allah mendekatkannya kepada-Nya. Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ »

“Sesungguh kondisi terdekat seorang hamba kepada Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud.”

Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya :

﴿ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

“dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” [Al-’Alaq : 19]

Iblis telah sombong dari sujud, maka ia menuai laknat dan kehinaan. Demikian kaum musyrikin dan munafiqin telah sombong dari sujud, maka Allah ‘Azza wa Jalla ancam mereka bahwa mereka akan Allah haramkan dari sujud kepada-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya, karena mereka tidak mau sujud kepada-Nya di dunia. Allah Ta’ala berfirman :

﴿ يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu melakukannya, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diajak untuk bersujud, dalam keadaan mereka sejahtera.” [Al-Qalam : 42-43]

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallah ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ ، وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِى الدُّنْيَا رِئَاءً وَسُمْعَةً ، فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا »

“Rabb kita menyingkap betis-Nya, maka sujudlah kepada-Nya seluruh mukmin dan mukminah, namun tinggal orang-orang yang dulu sujud di dunia karena riya’ atau sum’ah. Dia berupaya hendak bersujud, namun ternyata punggungnya hanya satu tulang saja (sehigga tidak bisa digerakkan untuk sujud).”

Al-Imam Ibnu Katsir berkata : “Hadits diriwayatkan dalam dua kitab shahih (yakin Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dan kitab-kitab lainnya dari banyak jalur periwayatan dan berbagai macam lafazh, itu adalah hadits yang panjang dan terkenal.”

Di antara kesempurnaan kekhusyu’an seorang hamba dalam ruku’ dan sujudnya, bahwa apabila dia menghinakan diri dihadapan Rabbnya dengan ruku’ dan sujud, hendaknya dia menyifati Rabb-nya ketika itu dengan sifat Kemuliaan, Kebesaran, Keagungan, dan Ketinggian. Seakan-akan dia berkata : “Kehinaan dan kerendahan adalah sifatku, sementara Ketinggian, Keagungan, dan Kebesaran adalah sifat-Mu.” Oleh karena itu disyari’atkan kepada hamba dalam ruku’ untuk membaca :

( سبحان ربي العظيم )

“Maha Suci Rabbku yang Maha Agung”

Dan ketika sujud membaca :

( سبحان ربي الأعلى )

“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi”

Wahai kaum muslimin,

Sesungguhnya merenungkan rahasia-rahasia dan faidah-faidah shalat adalah di antara yang bisa menjadikan seorang hamba mudah mengerjakannya dan bisa merasakan lezatnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَة

“Telah dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.”

Allah telah berfirman :

﴿ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” [Al-Baqarah : 45]

Allah juga berfirman :

﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ

“Minta tolonglah kalian (kepada Allah) dengan cara sabar dan shalat.” [Al-Baqarah : 45]

Allah juga berfirman :

﴿ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

“dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah-ibadah lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-’Ankabut : 45]

Namun tatkala seorang hamba lalai dari berbagai faidah dan rahasia shalat, maka shalat menjadi berat atasnya. Apabila dia masuk padanya, seakan-akan dia berada dalam penjara sampai ia selesai darinya. Oleh karena itu kebanyakan motivasi pendorongnya untuk masuk dalam shalat, hanyalah dalam rangka sebagai suatu rutinitas belaka, atau sekadar membagus-baguskan diri.

Maka bertaqwalah kalian wahai para hamba Allah dalam shalat-shalat kalian. Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang agama, bisa mencegah dari berbagai perbuatan keji dan dosa. Dan shalat merupakan wasiat terakhir Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau meninggalkan dunia ini, sekaligus amalan terakhir yang hilang dari agama. Maka tidak ada agama lagi setelah hilangnya shalat.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar