Laman

Jumat, 10 Desember 2010

renungan


AL-'ARIYAH

Konsep Dasar

Kata al-‘Âriyyah itu dengan tasydid huruf “ي ” dan tanpa tasydid, seperti (judul) di atas. Dan dikatakan juga “ ‘Âratun ”, diambil dari kata ‘Âra, (misalnya pada kalimat) ‘Âra al-Farasu apabila Kuda itu pergi. Dikatakan seperti itu, karena العارية (utang) itu (bermakna) pergi/hilangnya sesuatu yang dipinjamkan dari tangan yang meminjamkan. Atau kata al-‘Âriyah itu diambil dari kata al-‘Âru (orang yang membutuhkan), karena setiap orang tidak akan berutang (meminjam) kepada orang lain kecuali ketika dia membutuhkan sesuatu (pinjaman). Sedang dalam pengertian agama (al-‘Âriyah) ialah: ungkapan tentang pembolehan untuk menggunakan manfaat (pinjaman) tanpa memiliki sesuatu yang dimanfaatkan (dipinjam) itu.

Teks Hadis

(Hadis Riwayat Bukhari-Muslim dari Zaib ibn Tsabit, Subûl al-Salâm, Hadis Nomor: 867) dan Hadis Riwayat Ahmad dan Empat Ahli Hadis dari Samurah ibn Jundub Subûl al-Salâm, Hadis Nomor: 911)

1- عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهْ وَسَلّمَ رَخَّصَ فِى الْعَرَايَا: أَنْ تُبَاعَ بِخَرْصِهَا كَيْلاً, وَ لِمُسْلِمٍ رَخَّصَ فَى العَرِيَّةِ يَأْخُذُهَا أَهْلُ الْبَيْتِ بِخَرْصِهَاتَمْرًا يَاْكُلُوْنَهَا رُطَبًا.

2- عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ -صَلّى اللّهُ عَلَيْهْ وَسَلّمَ-: (عَلَى الْيَدِ مَا أَخذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ). رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالأَرْبَعَةُ، وَصَحّحَهُ الْحَاكِمُ .

Terjemah

  1. Dari Zaid bin Tsabit, katanya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memberikan kelonggaran pada transaksi ‘ariyah, yaitu hasilnya dijual dengan dilakukan penaksiran melalui penakaran. Sedang menurut lafal Muslim: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. memberikan kelonggaran pada ‘ariyah, yaitu pemilik rumah menukarkan kurma kering yang mereka makan dengan kurma basah dengan ukuran yang sama”.
  2. Dari Samurah bin Jundub, katanya, Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Tangan tetaplah bertanggung jawab terhadap sesuatu yang diambil sehingga dikembalikan”.

Pengertian Lafal

رَخَّصَ

Memudahkan, meringankan, memberi kemudahan atau keringanan. Dari kata ini muncullah kata rukhshah, yaitu kemudahan yang diberikan karena adanya halangan atau hambatan untuk melakukan sesuatu yang ideal. Dalam kaitannya dengan ‘ariyah, Rasulullah s.a.w. memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk melakukan tindakan darurat, karena tidak atau kurang memungkinkannya untuk melakukan tindakan yang ideal dalam memenuhi ketentuan syari’at Islam dengan cara mempertukarkan barang yang dipinjamkan dengan “memperkirakan” kesamaan kuantitas dan kualitasnya.

ِخَرْصِهَا

Dengan taksiran; maksudnya dengan mengukur kualitas dan kuantitas barang (dalam hal ini dicontohkan dengan kurma). Kurma yang kering bisa ditukarkan dengan kurma yang basah dengan nilai yang sepadan, menurut prakiraan (masing-masing) orang yang bertransaksi.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخذَتْ

Menjadi kewajiban tangan; maksudnya setiap orang yang memegang amanah untuk menunaikan sesuati memiliki kewajiban untuk menunaikan sesuatu yang diamanahkan kepadanya.

حَتَّى تُؤَدِّيَهُ

Sehingga ia menunaikannya; maksudnya kewajibannya itu belum dianggap selesai sebelum dirinya menunaikan amanah yang diberikan kepadanya secara sempurna.

Maksud Hadis

  1. ‘Ariyah, dalam hal ini ketika seseorang meminjam buah-buahan kepada orang lain atau seseorang meminjamkan pohon buah-buahannya kepada orang lain untuk diambil buahnya pada musim panen buah-buahan, baik sekali maupun beberapa kali adalah perbuatan “mubah” (diperkenankan untuk dilakukan oleh umat Islam), tetapi harus dilakukan secara transparan, dengan timbangan dan takaran yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga pemerolehan dan pengembaliannya pun harus adil, dengan tidak menimbulkan kerugian antarpihak yang bertransaksi.
  2. Seseorang yang melakukan sesuatu tindakan, harus bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakan yang dilakukannya. Demikian juga dalam kasus ‘ariyah, seseorang yang meminjam, ia pun harus bertanggung jawab untuk mengembalikan apa yang dipinjamnya atau diutangnya kepada orang yang memberikan pinjaman atau utang sesuai dengan hak masing-masing.

Penjelasan dan Istinbath Hukum

Hadis ini memberi isyarat kepada kita bahwa syari’at Islam memberikan kemudahan bagi setiap muslim yang melakukan transaksi ‘araya dengan mereduksi pengertian “riba”. Dengan rukhshah yang dijelaskan di dalamnya.

Pada dasarnya setiap transaksi ‘araya hukumnya “mubah”, selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat mengubahnya menjadi haram, baik pada barang yang dipinjamkannya, prosedur atau pun dampak yang ditimbulkan olehnya.

Dalam hal tertentu, penyimpangan-penyimpangan yang formatnya mirip dengan “riba” atau “muzabanah” tetapi substansinya berbeda, selama tidak mengindikasikan adanya ketidakadilan (kezaliman) antarpihak yang bertransaksi diperbolehkan, seperti mempertukarkan barang yang dipinjam dengan barang yang berbeda wujudnya, tetapi memiliki kesamaan nilai.

Oleh karenanya, penimbangan, penakaran atau prakiraan kain yang bisa dipertanggungjawabkan, boleh dilakukan untuk mengembalikan barang pinjaman kepada pemiliknya, dengan tetap mengindahkan kerelaan antar pihak yang bertransaksi.

Dalam ini, setiap orang yang melakukan transaksi (‘ariyah) harus menunjukkan i’tikad baiknya, dengan menunjukkan sikap “bertanggungjawab”nya atas semua tndakannya dalam bertransaksi ‘ariyah.




PENIMBUNAN BARANG

Dalam praktik jual-beli, kadang-kadang manusia lupa bahwa semua aktivitas yang dilakukannya seharusnya dikerjakan dalam kerangka “ibadah”, Sehingga masing-masing orang harus berpikir untuk dapat berbuat sesuatu dalam rangka menciptakan mashlahah timbal-balik (antarsesama manusia). Salah satu indikator “lupa”-nya manusia dalam berjual-beli adalah ketika “dia” hanya berorientasi untuk mencari untung bagi dirinya (sendiri) atau kelompoknya tanpa peduli terhadap kepentingan orang lain. Sehingga sangat mungkin dia akan berusaha untuk hanya mencari untung bagi diri sendiri atau kelompoknya dengan cara merugikan orang lain. Salah satunya dengan cara melakukan ihtikâr (menimbun barang). Apa pengertian ihtikâr, bagaimana modus-operandinya, dan apa tujuannya? Tulisan ringkas ini disusun untuk memaparkannya.

Teks Hadis:

صحيح مسلم مشكول – (ج ٨ / ص ٣١۲)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Terjemah:

“Barangsiapa (yang) melakukan ihtikâr (penimbunan barang dagangan), maka ia (dianggap) bersalah.”

Maksud Hadis:

Setiap orang yang melakukan ihtikâr (penimbunan barang dagangan) – dengan sengaja – untuk menunda penjualan barang (dagang) itu ke pasar, dengan maksud untuk mendapatkan kenaikan harga barang, dengan cara memanfaatkan kelangkaan barang (dagangan) dan kebutuhan konsumen (pembeli), maka orang tersebut dianggap bersalah (berdosa karena tindakannya).

Penjelasan dan Istinbath Hukum:

Ihtikâr berasal dari kata hakara yang arti azh-zhulm (aniaya) dan isâ’ al-mu’âsyarah (merusak pergaulan). Secara istilah berarti: “menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga”.

Menurut Imam Asy-Syaukani (wafat 1834 h.) ahli hadis dan usul fikih, ihtikâr adalah penimbunan barang dagangan dari peredarannya. Imam al-Ghazali mengartikan sebagai penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harganya melonjak. Adapun menurut ulama mazhab Maliki, ihtikâr adalah menyimpan barang oleh produsen, baik berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang dapat merusak pasar.

Semua pendapat tersebut secara esensi mempunyai pengertian yang sama, yaitu menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak, namun dari jenis barang yang disimpan atau ditimbun terjadi perbedaan. Imam asy Syaukani dan mazhab Maliki tak merinci barang apa saja yang disimpan tersebut. Berbeda dengan pendapat keduanya, Imam al-Ghazali mengkhususkan ihtikâr kepada jenis makanan.

Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikâr yang dikemukakan oleh para ulama dan memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya, Fathi ad-Duraini seorang Guru Besar bidang fikih dan usul fikih di Fakultas Syariah Universitas Damaskus, memberikan suatu pengertian. Menurutnya, ihtikâr adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta enggan untuk menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain, sehingga harga pasar melonjak secara drastis karena persediaan terbatas atau stok hilang sama sekali dari pasar, sementara kebutuhan masyarakat negara atau hewan amat mendesak untuk mendapatkan barang, manfaat atau jasa tersebut.

Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para ahli fikih menghukumkan ihtikâr sebagai perbuatan terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan al-Quran yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya kegiatan ihtikâr, diharamkan oleh agama (QS al-Baqarah [2]: 279; al-Mâidah [5]: 2 dan 6; dan al-Hajj [22]: 78).

Di samping itu banyak hadis Rasulullah SAW tidak membenarkan perbuatan ihtikâr, misalnya, ”Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.” (HR at-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar).

Kemudian sabda Rasulullah yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, ”Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.”

Dalam riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW juga mengatakan, ”Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan denga)-nya.”

Berdasarkan al-Quran dan hadis di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang atau haram. meskipun demikian, terdapat sedikit perbedaan pendapat diantara mereka tentang cara menempatkan hukum tersebut, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang mereka miliki.

Menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah dan Imam al-Kasani (ahli fikih mazhab Hanafi), ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat-ayat dan hadis-hadis di atas. Ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hadis di atas mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan al-khata’ dengan sengaja berarti telah mengingkari ajaran syara’ (hukum Islam) dan syariat. Kalangan mazhab Hanbali juga mengatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan yang diharamkan syara’, karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara.

Apabila penimbunan suatu barang telah terjadi di pasar, maka pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjualnya dengan harga normal pada saat itu. Bahkan menurut ulama fikih, para pedagang menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumannya, karena mereka tidak berhak mengambil untung. Disamping bertindak tegas, pemeritah sejak semula seharusnya dapat mengantisipasi agar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditi, manfaat atau jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban pemerintah untuk menjadi regulator aktivitas bisnis masyarakat, para ulama mendasarkan pendapatnya pada kaedah fikih:

[الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ( تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ[1]

(tindakan pemimpin/penguasa [pemerintah] terhadap rakyat harus selalu berorientasi pada kemashlahatan [orang banyak]).





AL-HAWALAH WA AL-DHAMAN

Konsep Dasar

Pengalihan dan penjaminan utang merupakan pranata sosial yang dikenal pada masa Rasulullah s.a.w., yang oleh Rasulullah s.a.w. dikenalkan dengan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah utang-piutang dengan misi utama: “membangun semangat solidaritas pertanggung jawaban sosial”, yang hingga saat ini pun masih relevan untuk dieksperimentasikan dalam kompleksitas relasi-sosial modern. Karena problem utang-piutang merupakan problem abadi umat manusia, yang pada saatnya memerlukan solusi yang tepat. Dalam hal ini, Islam menawarkan konsep al-hawâlah wa al-dhaman, sebagai salah satu alternatif.

Teks Hadis

(HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, Subûl al-Salâm, Hadis Nomor: 898; HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, Subûl al-Salâm, Hadis Nomor: 900;)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ)
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمَيِّتِ عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ وَإِلَّا قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ)

Terjemah

  • Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka hendaklah dia menerimanya.
  • Sesungguhnya pernah ada seorang laki-laki yang sudah meninggal dunia dan ia (dalam keadaan) memiliki utang dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. Kemudian Rasulullah s.a.w. pun bertanya: “Apakah ia meninggalkan harta untuk melunasi utangnya itu?” Seandainya diceriterakan bahwa dirinya memiliki harta untuk melunasinya, maka Rasulullah s.a.w. pun (pasti akan) menshalatkan jenazahnya, tetapi bila tidak (memiliki harta untuk melunasinya), beliau pun bersabda: “Shalatkanlah jenazah sahabatmu ini”. Tatkala Allah memberikan kemenangan atas kota Mekkah, beliau pun bersabda: “Sayalah yang menjadi penanggung jawab atas orang-orang yang beriman mengenai utang-utang mereka. Barangsiapa yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang, maka akulah yang bertanggung jawab untuk melunasinya; sedang siapa pun yang meninggalkan harta warisan, maka seluruh harta warisannya menjadi hak ahli warisnya”.

Pengertian Lafal

مَطْلُ الْغَنِيِّ

:

Al-Mathlu berarti memanjangkan. Ibnu Fâris menyatakan: mathalat al-hadîdah, umthiluhâ, berarti aku mengulurnya (besi itu) agar menjadi panjang. Al-Ghaniy adalah orang yang memiliki kemampuan untuk membayar utangnya, karena cukupnya harta. Yang dimaksud dengan rangkaian kata “mathlul ghaniyyi” di dalam hadis tersebut ialah: menunda-nunda kewajibannnya untuk memenuhi hak (pembayaran utang) tanpa alasan yang sah. Kata “mathlul ghaniyyi”, menurut sebagian ulama, bermakna idhafah mashdar pada fa’ilnya. Sehingga dapat diartikan: orang kaya menunda-nunda pembayaran utangnya pada yang berpiutang. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa rangkaian kata “mathlul ghaniyyi” bermakna idhafah mashdar pada maf’ulnya. Sehingga dapat diartikan: penundaan pemberian hak orang berpiutang oleh orang kaya yang berutang.

أُتْبِعَ

:

Dialihkan utangnya. Pembicaraan ini berlaku pada orang yang diminta untuk mengalihkan utang yang harus dibayar. Dalam ini orang yang berpiutanglah yang disebut sebagai Nâib al-Fâ’ilnya.

مَلِيٍّ

:

Maliyyin” dapat juga dibaca “malîin”. Maknanya adalah: orang kaya yang mampu membayar utang. Para (ulama) Fikih memahaminya sebagai “orang yang memiliki kemampuan dari sisi harta, badan dan perkataannya.” Dari sisi hartanya, dia mempunyai kemampuan untuk melunasi utangnya; dari sisi badannya, dia dapat dihadirkan di depan majelis hakim (pengadilan); dari sisi perkataan, dia tidak lagi menunda-nunda.

فَلْيَتْبَعْ

:

Hendaklah (ia) mengalihkan utangnya. Dhamir huwa, pada kata falyathba’, kembali kepada orang yang berpiutang, agar ia mengambil inisiatif untuk segera memindahkan penagihan utang pada orang yang menanggung (pembayaran utang) orang yang berutang kepadanya.

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمَيِّتِ

:

Maksudnya seseorang yang telah meninggal dunia, dalam keadaan berutang itu, dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. di masjid untuk memohon kepada beliau agar beliau bersedia menshalatkan jenazahnya.

هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ

:

Inilah pertanyaan Rasulullah s.a.w. kepada para sahabatnya yang telah menghadapkan jenazah itu kepadanya. “Apakah dia (jenazah) itu memiliki harta untuk melunasi utang-utangnya?”

فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ

:

Kalau yang bersangkutan (jenazah itu) memiliki harta untuk melunasinya, Rasulullah s.a.w. bersedia menshalatkannya

وَإِلاَّ

:

Tetapi, jika yang bersangkutan tidak memiliki harta untuk melunasi utang-utangnya

صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

:

Inilah perintah Rasulullah s.a.w. kepada para sahabatnya, agar mereka mau menshalatkan jenazah itu. Dan, dikarenakan yang bersangkutan tidak memiliki harta untuk melunasi utang-utangnya, Rasululllah s.a.w. tidak bersedia menshalatkannya.

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ

:

Pernyataan Rasulullah s.a.w., bahwa sebagai seorang pemimpin, beliaulah yang paling bertanggung jawab untuk melunasi utang-utang umatnya yang tidak terbayar oleh mereka.

فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

:

Akulah yang bertanggung jawab untuk melunasi utang-utang siapa pun yang tidak mampu melunasi utang-utangnya. Maksudnya, sebagai seorang pemimpin umat, Rasulullah s.a.w. bertanggung jawab untuk menyelesaikan urusan utang-piutang siapa pun yang belum terselesaikan ketika mereka meninggal dunia.

مَنْ تَرَكَ مَالًا فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

:

Apa pun bentuk harta warisan seseorang yang telah meninggal dunia adalah menjadi hak bagi ahli warisnya yang sah. Di sini Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa beliau tidak akan pernah ingin mengambil sesedikit apa pun harta warisan umatnya yang telah meninggal dunia, karena beliau bukanlah ahli warisnya.

Maksud Hadis

  1. Orang kaya yang menunda atau enggan membayar utangnya adalah tercela, dan perbuatannya dianggap merupakan perbuatan yang tidak layak dilakukan. Sedang bagi fakir-miskin, yang karena ketidakmampuannya untuk membayar utang-utangnya, diperbolehkan untuk meminta bantuan orang lain – yang mampu – untuk melunasi utang-utangnya.
  2. Rasulullah s.a.w. pernah tidak bersedia untuk menshalatkan ‘pengemplang’ utang, meskipun tetap mempersilakan para sahabatnya untuk menshalatkannya. Tindakan Rasulllah s.a.w. Ini dianggap menjadi pelajaran bagi siapa pun agar berhati-hati di dalam masalah utang-piutang, dengan satu penekanan bahwa siapa pun yang berutang, hendaklah ia membayarnya.
  3. Dalam hadis kedua, juga dinyatakan bahwa pemimpin – baik secara pribadi maupun kolektif (atau juga bisa dipahami, secara “institusional”) memiliki kewajiban untuk membantu setiap orang yang dipimpinnya dalam melunasi utang-utangnya, karena ketidakmampuannya untuk membayar utang-utang mereka.

Penjelasan dan Istinbath Hukum

Di dalam hadis ini terkandung tata-krama utang-piutang (dalam konteks mu’amalah duniawiyah). Rasulullah saw mengajarkan kepada orang yang berutang untuk melunasi utang sesuai dengan akad utang-piutang yang pernah disepakatinya, di samping memberi saran kepada orang yang berpiutang (pemberi utang) untuk menagih utangnya dengan cara yang baik. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperoleh mashlahât dan menghindari mafsadât.

Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya yang mampu melunasi utangnya, tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan merupakan kezaliman. Kezaliman itu akan dapat disiasati (untuk tidak terjadi), bila orang yang berutang mengalihkan utangnya kepada orang (kaya) yang mampu dan bersedia untuk melunasi (utang) nya. Dalam keadaan seperti itu, hendaklah orang yang memberi utang (berpiutang) menerima pengalihan (tanggungan) utang tersebut. Hal ini akan lebih memudahkan pelunasan utang dan menghindari terjadinya kezaliman atas sesama orang yang telah menyepakati transaksi utang-piutang, meskipun utang dapat dinyatakan tetap ada karena adanya tanggungan orang yang berutang dengan penundaan pelunasannya.

Ketidaksediaan Rasulullah s.a.w. untuk menshalatkan jenazah seorang ‘pengemplang’ utang, tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang “haram”, karena Rasulullah s.a.w. tetap meminta kepada para sahabat untuk menshalatkannya. Demikian juga bukan sesuatu yang “makruh”, karena Rasulullah s.a.w. tidak melarangnya. Dan tentu saja bukan sesuatu yang bernilai sunnat, apalagi wajib. Tetapi bisa dipahami sebagai sesuatu yang bernilai mubah: meskipun tetap mempersilakan para sahabatnya untuk menshalatkannya. Tindakan Rasulullah s.a.w. ini dianggap menjadi pelajaran bagi siapa pun agar berhati-hati di dalam masalah utang-piutang, dengan satu penekanan bahwa siapa pun yang berutang, hendaklah ia membayarnya.

Pemimpin – baik secara pribadi maupun kolektif (atau juga bisa dipahami, secara “institusional) memiliki kewajiban untuk membantu setiap orang yang dipimpinnya dalam melunasi utang-utangnya, karena ketidakmampuannya untuk membayar utang-utang mereka.

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh:

1. At-Tirmidzi: (Hadis, nomor: 1229)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَالشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدٍ الثَّقَفِيّ

2. An-Nasa’i: (Hadis, nomor: 4612)

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ وَالظُّلْمُ مَطْلُ الْغَنِيِّ

3. Abu Dawud: (Hadis, nomor: 2903)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

4. Ibnu Majah: (Hadis, nomor: 2394)

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّلْمُ مَطْلُ الْغَنِيِّ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

5. Ahmad: (Hadis, nomor: 7034)

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قِيلَ لِسُفْيَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ الْمَطْلُ ظُلْمُ الْغَنِيِّ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

6. Malik:: (Hadis, nomor: 1181)

حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

7. Ad-Darimi: (Hadis, nomor: 2473)

حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

Kesimpulan:

  1. Hadis tersebut mengisyaratkan keharaman bagi orang kaya (yang memiliki kemampuan untuk membayar utang) untuk menunda pembayaran utangnya kepada pihak yang berpiutang (memberi utang) kepadanya tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan.
  2. Kata “mathlu” dapat dipahami dengan pengertian: penundaan pelunasan tersebut tidak diharamkan, selama dia belum mampu dan pihak berpiutang mengizinkan untuk menundanya sehingga orang yang berutang mampu untuk membayarnya.
  3. Orang yang berpiutang disunnahkan untuk memberikan tenggang-waktu pelunasan utang, berupa penundaan pembayaran utang setelah jatuh tempo, karena ketidakmampuan orang yang berutang, agar pada saat yang tepat keduanya dapat menyelesaikan transaksi pelunasan utang tanpa adanya unsur kezaliman pada masing-masing pihak.
  4. Di dalam hadis ini ada anjuran (sunnah) bagi orang yang berutang untuk segera melunasi utangnya sesuai dengan transaksi yang telah disepakatinya dengan cara yang baik, demi kemashlahatan bersama.
  5. Menurut hadis ini, jika orang orang yang berutang mengalihkan utangnya kepada orang lain yang mampu dan bersedia menanggung pembayaran atau pelunasan utangnya, maka disunnahkan bagi orang yang berpiutang untuk menerima pengalihan tersebut.
  6. Dalam hal pengalihan utang tersebut, orang yang berpiutang boleh menolaknya, apabila orang yang ditunjuk untuk membayar utang atau melunasinya adalah orang yang diperhitungkan tidak atau kurang mampu untuk membayar atau melunasinya, atau sulit/diragukan bersedia untuk membayar atau melunasi utangnya.
  7. Sebagai bentuk pembelajaran untuk umat, boleh saja sorang pemimpin tidak melaksanakan sesuatu yang sebaiknya dilakukan untuk kepentingan umatnya yang bersifat parsial, untuk menggapai kemashlahatan universal. Dalam hal ini selaras dengan kaedah: “al-mashâlih al-‘âmmah muqaddam ‘alâ al-mashâlih al-khâshshhah”.
  8. Para pemimpin — baik secara individu, kolektif maupun institusional –- memiliki tanggung jawab sosial untuk melunasi utang-utang umat atau rakyat yang dipimpinnya.






JUAL BELI 'INAH

Dalam dunia bisnis, banyak cara yang bisa dilakukan oleh setiap orang untuk memperoleh keuntungan. Antara lain dengan pola bai’ al-‘înah” (jual-beli ‘inah). Yaitu: “seseorang (penjual) menjual barang dagangannya kepada orang lain dengan harga (pembayaran) yang ditangguhkan, kemudian orang orang yang membeli itu menjual lagi (barang yang baru dibelinya itu) kepada penjualnya dengan harga tunai, (tetapi) dengan harga lebih rendah daripada harga pembeliannya semula. Kiat ini dipakai dalam rangka untuk menyiasati jebakan “riba” yang – secara legal-formal – diharamkan dalam al-Quran maupun as-Sunnah, sehingga seolah-olah orang yang bertransaksi jual-beli itu – dengan pola ‘înah itu — (telah) terlepas sama sekali dari tindakan “riba”.

Teks Hadis

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ علَيْكُمْ ذُلاً لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ). رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ مِنْ رِوَايَةِ نَافِعٍ عَنْهُ، وَفِى إِسْنَادِهِ مَقَالٌ، وَلأَحْمَدَ نَحْوَهُ مِنْ رِوَايَةِ عطَاءٍ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ القَطَّانِ.

Terjemah:

Dari Ibnu ‘Umar r.a., dia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda”: Apabila kamu sekalian berjual-beli dengan cara ‘inah, (hanya) mengambil ekor-ekor sapi (sibuk mengurus ternak peliharaan), senang dengan tanaman (puas dengan hasil panen) dan (seraya, karena kesibukan duniawi) meninggalkan jihad (tugas keagamaan dalam rangka menegakkan agama Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinanaan menguasaimu, dan tidak akan pernah mencabutnya (kehinaan) sehingga kamu sekalian kembali kepada agamamu. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari (riwayat) Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan pada sanadnya ada persoalan (disangsikan keshahihannya). Dan Ahmad meriwayatkan hadis serupa dari Atha’, dengan periwayat-periwayat yang tsiqah (terpercaya), dan dinilai shahih oleh Ibnu al-Qaththan.

Pengertian Lafal

تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ

: Berjual-beli dengan ‘inah. Maksudnya: “melakukan transaksi jual-beli dengan cara seseorang penjual menjual barang kepada orang lain (pembeli) dengan harga yang ditangguhkan, kemudian orang yang membeli itu menjual lagi (barang yang baru dibelinya itu) kepada penjualnya dengan harga tunai (tetapi) dengan harga lebih rendah daripada harga pembeliannya”

أَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ

: Kamu sekalian mengambil ekor-ekor sapi. Maksudnya: “sebagai kiasan bagi orang yang menjadikan “kenikmatan duniawi” sebagai tujuan hidup, sehingga pekerjaannya (dapat) menjadikannya lalai untuk mengingat Allah (beribadah)”. Dalam konteks jual-beli, seseorang dikatakan “mengambil ekor-ekor sapi”, artinya: “dia melakukan jual-beli semata-mata hanya untuk mencari keuntungan (duniawi), tanpa mempertimbangkan halal-haramnya, sehingga cenderung untuk melakukan kecurangan demi (untuk) memperoleh keuntungannya, meskipun – misalnya — dengan cara mezalimi orang lain”

وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ

: Senang dengan tanaman (puas dengan hasil panen) dan (seraya, karena kesibukan duniawi) meninggalkan jihad (tugas keagamaan dalam rangka menegakkan agama Allah). Maksudnya: “ia cukup puas dengan hasil jual-belinya (keuntungannya), meskipun harus dengan dilakuan dengan cara melanggar peraturan yang sah (aturan-aturan yang terkandung di dalam al-Quran maupun as-Sunnah)”

سَلَّطَ اللهُ علَيْكُمْ ذُلاَ لاً يَنْزِعُهُ

: Niscaya Allah akan menjadikan kehinanaan menguasaimu, dan tidak akan pernah mencabutnya (kehinaan itu). Maksudnya: “sebagai sindiran bahwa Allah menjadikan orang-orang yang melakukan jual-beli ‘inah menjadi orang yang hina, karena (mereka) telah dikuasai oleh hawa nafsunya, dengan memberikan azab, mungkin di dunia saja atau di akhirat saja, dan mungkin juga di dunia dan akhirat”

لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

: Allah tidak akan pernah mencabutnya (kehinaan) itu, sehingga kamu sekalian kembali kepada agamamu. Maksudnya: “kehinaan itu tidak akan pernah sirna (tercabut) dari kehidupan mereka (para pelaku bai’ al-‘înah), sehingga (sampai) mereka menyadarinya, dan berhenti untuk melakukannya (bertobat)”

Maksud Hadis

Rasulullah s.a.w. — pada prinsipnya – melarang bai’ (jual-beli) ‘înah. Yaitu jual-beli komoditas apa pun dengan cara seseorang atau sekelompok orang menjualnya kepada seseorang atau sekelompok pembeli dengan harga tertentu dan masa pembayaran kemudian, kemudian pembelinya menjual barang tersebut kepada penjualnya semula dengan harga yang lebih murah supaya ada sisa utangnya. Disebut ‘înah, karena mendapatkan kembali barangnya dengan pembelian kembali barangnya, dan karena zat hartanya kembali lagi kepada penjualnya.

Penjelasan dan Istinbath Hukum

Jual-beli dengan cara ‘înah ialah: penjualan komoditas dengan cara seseorang atau sekelompok menjualnya kepada seseorang atau sekelompok pembeli dengan harga tertentu dan masa pembayaran kemudian, kemudian pembelinya menjual barang tersebut kepada penjualnya semula dengan harga yang lebih murah supaya ada sisa utangnya. Disebut ‘inah, karena mendapatkan kembali barangnya dengan pembelian kembali barangnya, dan karena zat hartanya kembali lagi kepada penjualnya.

Dalam hadis tersebut terkandung dalil tentang pengharaman jual-beli semacam itu. Orang yang berpendapat demikian ialah: Malik, Ahmad dan sebagian ulama Syafi’iyah berdasarkan hadis tersebut. Alasan mereka ialah, karena dengan cara demikian itu tidak tercapai tujuan agama Islam dalam (rangka) mencegah riba dan menutup kemungkinan dari praktik riba itu.

Kata al-Qurthubi cara jual-beli demikian itu mengakibatkan terjadi penjualan kurma dengan kurma dengan berlebihan/tidak sama ukurannya, dan harganya menjadi mahal. Menurut pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi’i: “Boleh melakukan jual beli ‘inah itu berdasarkan sabda Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah: بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيباً (Juallah semua kurma itu dengan dirham, kemudian belilah kurma yang baik dengan dirham itu). Menurut pendapat asy-Syafi’i, hadis tersebut menunjukkan kebolehan jual-beli ‘inah. Jadi, sahlah penjualnya membeli kembali barangnya sehingga zat hartanya dapat kembali lagi kepadanya, karena tidak adanya rincian kemungkinan yang dilakukan, menunjukkan sahnya jual-beli itu secara mutlak baik dari sisi penjual atau pihak lainnya. Sesungguhnya tanpa permintaan rincian kemungkinan itu, jual-beli berlaku umum. Imam asy-Syafi’i menguatkan pendapatnya dengan argumentasi bahwa terdapat ijma’ ulama tentang kebolehan penjualan kepada penjualnya (semula) setelah beberapa lama bukan karena dengan tujuan mencapai harga tinggi dengan penjualan kembali tersebut.

Ulama Hadawiyah berpendapat bahwa jual-beli itu “boleh”, jika bukan diniatkan untuk menipu, dan tidak ada perbedaan antara pembayaran kontan dan kredit. Sesungguhnya yang patut diperhatikan ialah ada atau tidaknya syarat pada saat terjadi akad jual-beli pada saat pertama. Jika ada persyaratan sewaktu akad atau sebelumnya agar barang itu kembali lagi kepada pemiliknya (penjual semula), maka jual beli itu batal (demi hukum). Jika dalam hati saja (tanpa adanya persyaratan), maka jual-beli itu sah. Mungkin mereka menyatakan: Hadis yang menjelaskan penjualan secara ‘inah itu masih dipersoalkan. Oleh karena itu, tidak dapat dijadikan sebagai dalil “pengharaman”.

Sabda Rasulullah saw: “وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ”, itu sebagai sindiran atas kesibukan mereka dengan pekerjaannya, sehingga melalaikan tugas jihad. Dan sabda beliau: “وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ”, sebagai sindiran mengenai keadaan senangnya tersebut menjadi sesuatu yang mereka anggap paling penting dan menjadi tujuan hidup mereka. Dan kalimat: “سَلَّطَ اللهُ”, sebagai sindiran bahwa Allah menjadikan mereka orang yang hina-dina karena (mereka) telah dikuasai oleh orang-orang yang hina dengan jalan mengalahkan mereka dan tindakan kekerasan dan paksaan dari penguasa yang hina tersebut.

Sedang sabda Rasulullah saw: “ُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ”, yaitu kembalinya dirimu kepada pelaksanaan semua ajaran agama Islam. Dalam ungkapan tersebut terkandung peringatan keras, teguran yang sangat hebat, sehingga peringatan itu dipandang setingkat dengan peringatan kepada orang yang murtad, dan dalam hadis tersebut terkandung anjuran untuk berjihad, termasuk di dalamnya berjihad dalam bidang mu’amalah, yang antara lain dengan cara berjuang untuk “menegakkan aturan-aturan Islam dalam transaksi bisnis”.






AL-MUSAQAH

Konsep Dasar

Di dunia modern — sebagaimana pada masa kenabian — kebutuhan manusia untuk saling membantu (bermitrausaha) menjadi sesuatu yang tidak boleh tidak harus dilakukan. Termasuk di dalamnya akad (kontrak) kerjasama dalam pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan. Aplikasinya dalam lembaga keuangan syariah dikenal dengan sebutan al-musâqah. Akad ini merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas maintenance (pengolahan dan pemeliharaan) ladang yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang dalam kurun waktu tertentu untuk kedua belah pihak (pemilik dan penggarap lahan).

Teks Hadis

(Hadis Riwayat al-Bukhari-Muslim dari Ibnu ‘Umar, Subûl al-Salâm, Hadis Nomor: 930)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ (رواه البخاري و مسلم)

Terjemah

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a.(katanya): “Sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah bermitrausaha dengan penduduk Khaibar dengan (cara) memberikan separuh hasil (kebun) kurma atau biji-bijian (yang menjadi miliknya).”

Pengertian Lafal

عَامَلَ

: Saling bekerja atau bekerjasama. Maksudnya bermitrausaha secara sinergis, dengan cara melakukan upaya pengembangan modal yang dapat menghasilkan keuntungan bagi kedua pihak yang bermitra.

أَهْلَ خَيْبَرَ

: Penduduk Khaibar. Yaitu anggota masyarakat yang ditunjuk atau diminta oleh Nabi s.a.w. untuk mengolah lahan produktif yang dimiliki olehnya (Nabi s.a.w.) dalam perjanjian (akad) kemitrausahaan (asy-syirkah atau al-musyârakah) dalam bentuk al-musâqah itu.

بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

: Dengan separuh dari yang keluar darinya. Maksudnya: dengan (cara) berbagi hasil. Dalam hal ini Nabi s.a.w, memberikan separuh dari hasil panennya kepada pengolah lahan, sedang separuh lainnya untuk Nabi s.a.w. sendiri sebagai pemilik lahan pertaniannya.

مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

: Berupa kurma atau biji-bijian. Maksudnya: hasil panen yang dibagi hasilnya adalah kurma atau biji-bijian, yang merupakan prodok pertanian yang dihasilkan dari usaha pengolahan lahan pertanian tersebut.

Maksud Hadis

Rasulullah s.a.w. pernah melakukan kegiatan kemitrausahaan dengan para pengolah lahan pertanian, yaitu para penduduk Khaibar, yang diberi tugas olehnya untuk mengolah lahan pertanian yang dimiliki olehnya, berupa pembudidayaan kurma dan biji-bijian. Akadnya adalah: ketika panen, masing-masing pihak (pemilik lahan dan pengolahnya) mendapatkan bagian separuh (50 %) dari hasilnya.

Penjelasan dan Istinbath Hukum

Al-Musâqah berasal dari kata as-saqyu (penyiraman atau pengairan). Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkannya (penyiraman atau pengairan) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama al-musâqah (penyiraman atau pengairan).

Di dalam pengertian syara’, al-musâqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. Ia merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon. Di mana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan prosentase yang mereka sepakati. Misalnya, setengah, sepertiga, atau lainnya.

Penggarap disebut al-Musâqi (pengolah) dan pihak yang lain disebut Shâhib al-Syajarah (pemilik pohon). Yang dimaksud kata pohon dalam masalah ini adalah semua yang ditanam agar dapat bertahan di tanah selama satu tahun ke atas. Tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam pemotongan atau penebangan, baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk pohon yang tidak berbuah imbalan untuk al-musâqi adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya.

Al-Musâqah disyariatkan berdasarkan sunah nabi. Para ahli fikih sependapat boleh (mubâh)-nya al-musâqah ini karena melihat hal ini sangat dibutuhkan. Para ulama berargumentasi bolehnya al-musâqah ini kepada hadis nabi yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa Nabi s.a.w. pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dan memberi imbalan berupa separuh dari hasil yang keluar, berupa buah kurma atau tanaman biji-bijian.

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa orang Anshar pernah berkata kepada Nabi saw: ”Bagilah antara kami dan saudara-saudara kami kurma”. Rasulullah menjawab: ”Tidak”. Lalu mereka berkata: ”Biarkanlah urusan pembiayaannya kepada kami dan kami bersama-sama kamu bersekutu dalam memperoleh buah.” Mereka (kaum Muhajirin) berkata: ”Kami dengar dan kami taati.”

Hadis ini mengandung arti orang-orang Anshar menginginkan melakukan kerjasama dengan orang-orang Muhajirin dalam mengelola pohon kurma, lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah, kemudian beliau tidak bersedia. Lalu mereka mengajukan usul bahwa merekalah yang mengelola persoalannya dan mereka berhak sebagian hasilnya. Maka Rasulullah s.a.w. pun mengabulkan permohonan mereka.

Untuk terjadinya al-musâqah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi kedua belah pihak.

Pertama, pohon yang dijadikan objek al-musâqah diketahui dengan jalan melihat atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas.

Kedua, masa yang diperlukan itu diketahui dengan jelas. Karena al-musâqah adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharar.

Ketiga, akad itu dilangsungkan sebelum tampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti ini, pohon memerlukan penggarapan. Apabila sudah kelihatan hasilnya, menurut ahli fikih, al-musâqah tidak dibolehkan, karena tidak membutuhkan lagi hal itu. Kalau pun tetap dilakukan, namanya ijarah (sewa-menyewa) dan bukan al-musâqah.

Keempat, imbalan yang diterima penggarap berupa buah, itu diketahui dengan jelas. Apalagi satu syarat dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, akad dinyatakan fasakh dan al-musâqah menjadi fasad (rusak/batal). Apabila pohon atau tanamannya tanamannya tumbuh dan membesar karena hasil kerja si penggarap, maka ia berhak mendapatkan upah semisalnya. Sedangkan soal pohon yang membesar atau tanaman yang tumbuh itu tetap menjadi hak si pemilik.






ISLAM SEBAGAI MABDA'(ideologi)

Mabda’ merupakan istilah bahasa Arab yang dapat diterjemahkan sebagai ideologi, namun bukan ideologi dalam pengertian yang sempit, sebagaimana dalam pandangan sekularisme. Menurut Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya, Al-Fikr al-Islâmi (hlm. 9–11), yang disebut dengan mabda’ adalah akidah/keyakinan yang digali dari proses berpikir, yang kemudian melahirkan sistem atau aturan-aturan (‘aqîdah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anhâ nizhâm). Menurut definisi ini, sebuah akidah/keyakinan disebut sebagai mabda’ (ideologi) jika memiliki dua syarat: (1) bersifat ‘aqliyyah; (2) memiliki sistem/aturan.

Akidah, dalam hal ini, bisa dimaknai sebagai pemikiran yang bersifat integral (menyeluruh) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan ini; mengenai keadaan sebelum dan setelah kehidupan dunia; juga mengenai hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudah dunia.

Sedangkan sistem aturan yang dimaksud mencakup berbagai pemecahan atas berbagai problem kehidupan (baik pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara; menyangkut persoalan ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya); juga mencakup cara untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut serta cara memelihara sekaligus menyebarkan akidah tersebut.

‘Aqîdah ‘aqliyyah plus berbagai pemecahannya disebut dengan fikrah (ide/konsep). Sedangkan cara untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut serta cara untuk memelihara sekaligus menyebarkan akidah tersebut disebut dengan tharîqah (metode operasional)—untuk menerapkan fikrâh yang dimaksud. Walhasil, yang dimaksud dengan mabda’ (ideologi), dalam hal ini, bukan semata-mata berupa pemikiran teoritis, melainkan pemikiran yang dapat dijelmakan secara operasional dalam realitas kehidupan.

Merujuk pada pengertian di atas, agama-agama selain Islam tidak dapat dikategorikan sebagai mabda’ (ideologi). Alasannya: (1) Agama-agama di luar Islam bukanlah akidah/keyakinan yang bersifat ‘aqliyyah tetapi lebih bersifat taslîmiyyah (semata-mata didasarkan pada kepasrahan/ketundukan tanpa reserve [tidak digali dari proses berpikir]); (2) Agama-agama di luar Islam tidak memiliki sistem/aturan untuk mengatur kehidupan manusia, kecuali semata-mata menyangkut masalah ritual, spiritual, dan moral belaka. Karena itu, Islam tidak layak disejajarkan—apalagi disamakan—dengan agama-agama lain yang hanya berkutat dalam masalah ritual, spiritual, dan moral belaka. Sebagai mabda’ (ideologi), Islam hanya layak disejajarkan—meskipun jelas tidak bisa disamakan—dengan dua ideologi lain yang ada di dunia, yakni: kapitalisme-sekular dan sosialisme-komunis. Bedanya, Islam satu-satunya mabda’ (ideologi) yang sahih, karena bersumber dari Allah sang Pencipta, sedangkan dua ideologi lainnya adalah sesat karena semata-mata lahir dari akal manusia yang serba lemah.

Akidah, Islam menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah SWT (QS Thaha [20]: 14; QS al-Baqarah [2]: 22). Allah SWT tidak hanya menciptakan aturan bagi alam semesta (berupa hukum alam/sunatullah), melainkan juga menurunkan aturan (berupa hukum Islam) untuk mengatur kehidupan manusia, sebagaimana yang termaktub di dalam wahyu-Nya. Karena Allah telah menentukan hukum-Nya untuk mengatur kehidupan manusia, jelas manusia tidak boleh membuat lagi aturan lain sekehendak hawa nafsunya. Hanya Allah sajalah yang berhak menentukan hukum dan aturan bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 2; QS al-Qadr [97]: 1, QS an-Nahl [16]: 103; QS Yusuf [12]: 40), yang dibawa oleh Rasulullah (QS al-Fath [48]: 28-29; QS ash-Shaf [61]: 9). Karena itu, semua yang terdapat di dalam al-Quran harus diikuti (QS al-Hasyr [59] : 7; QS al-Baqarah [2] : 4). Apalagi, sebab utama (raison d’ etre) dari penciptaan manusia sendiri (termasuk jin) adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Muhammad Quthub dalam bukunya, Mafâhîm Yanbagi an Tushahah, memaknai ibadah dalam pengertian luas ini sebagai ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah dengan mengikatkan diri dengan syariat-Nya (hukum Islam) dalam segala aspek kehidupan.

Memang, manusia bebas memilih untuk mengikuti ataupun melanggar aturan yang Allah turunkan (QS al-Balad [90]: 10). Akan tetapi, pada Hari Kiamat nanti manusia akan dibangkitkan dan dihisab atas pilihannya itu. (QS al-Mukminun [23]: 16; QS ar-Ra’du [13]: 40-41; QS al-Insyiqaq [84]: 8; QS al-Ghasiyah [88]: 26). Ujung-ujungnya, ada manusia yang dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga, ada pula yang ke neraka (QS al-Baqarah [2]: 25; QS ad-Dukhan [44]: 51-55; QS al-Waqi’ah [55]: 41-43).

Berdasarkan bahasan di atas, jelaslah, akidah Islam menetapkan bahwa sebelum ada kehidupan dunia ini ada Allah Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan; bahwa Allah Pencipta manusia telah menurunkan aturan-aturan-Nya ke dunia ini untuk mengatur kehidupan manusia; dan bahwa manusia akan menuju alam akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga atau neraka—begantung pada terikat-tidaknya dirinya dengan aturan-aturan-Nya. Itulah realitas akidah Islam yang harus diyakini oleh setiap Muslim.

Karena itu, agama Islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan. Seorang Muslim diperintahkan untuk menaati Allah SWT di rumah, di pasar, di mal, di kendaraan, di kantor, di masjid, di ruang pertemuan, di mess, di hotel, dan di setiap tempat. Demikian juga ketika makan, minum, berpakaian, berakhlak, beribadah, dan berbagai muamalah.

Berdasarkan hal ini, jelas sekali, seorang Muslim diperintahkan untuk selalu melakukan perbuatannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Semua itu tidak lain semata-mata dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati berupa keridhaan Allah SWT yang salah satu wujudnya adalah surga yang penuh kenikmatan, yang telah dijanjikan-Nya. Seorang Muslim akan merasa tenteram dan bahagia saat berhasil melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia akan bersedih jika melanggar hukum-hukum Allah SWT. Beginilah akidah Islam sebagai qiyâdah fikriyyah, yang memimpin penganutnya untuk senantiasa menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang selalu patuh dan taat kepada-Nya.

Pada sisi lain, akidah Islam juga menjelaskan berbagai pemecahan masalah kehidupan yang dapat digali dari sumber-sumber hukum Islam: al-Quran, Hadis Nabi saw., Ijma Sahabat, dan Qiyas syar’iyyah. Dari sinilah lahir hukum-hukum Islam yang mengatur hubungan laki-laki dengan perempuan seperti bergaul, meminang, menikah, nafkah, mengurus anak, persoalan nasab, perwalian, dan waris—yang tercakup dalam sistem sosial (nizhâm ijtimâ‘i) Islam; yang mengatur kepemilikan berikut sebab-sebab dan jenis-jenisnya, berbagai jenis akad dalam muamalah, perseroan dan perusahaan, kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan, lembaga perekonomian—yang tercakup dalam sistem ekonomi (nizhâm iqtishâdi) Islam; yang mengatur pemerintahan dan bentuknya, kepemimpinan dan syarat-syaratnya, lembaga-lembaga pemerintahan, perang dan damai, hubungan luar negeri, partai politik, dan persoalan-persoalan lain—yang tercakup dalam sistem pemerintahan (nizhâm al-hukm) Islam; juga yang mengatur masalah persanksian dan jenis-jenisnya (hudûd, jinâyat, ta‘zîr, mukhâlafât), hal-hal yang menyangkut persaksian, penyidikan dan penyelidikan, dan pembuktian—yang tercakup dalam sistem persanksian (nizhâm ‘uqûbât) Islam. Begitu pula menyangkut sistem-sistem Islam lainnya.




TAKWA(antara simbol dan substansi)

Simbol itu penting. Tetapi, yang lebih penting adalah: “substansinya”. Itulah pernyataan ‘klise’ yang selalu kita dengan. Ungkapan ini sering dinyatakan juga ketika orang berkeinginan untuk melihat kesalehan seorang. Ada kesalehan simbolik, dan ada juga kesalehan substantif. Kesalehan simbolik ada pada sesuatu yang tampak, sedangkan kesalehan substantif ada pada keseluruhan sikap dan tindakan yang dilandasi oleh keimanan dan dibalut dengan keikhlasan. Begitu juga dengan “takwa” (at-taqwâ) yang digambarkan oleh para ulama sebagai perpaduan antara sikap khauf (kekhawatira ataurasa takut) dan rajâ’ (harapan), tidak mugkin hanya dipahami sebagai sesuatu yang hanya bersifat simbolik, tetapi harus menyata menjadi sesutu yang bersifat substantif, karena takwa merupakan perwujudan dari nilai-nilai keislaman yang hadir dalam diri setiap muslim sehingga melibatkan setiap muslim dalam ranah konsekuensia, “keadaan yang menggambarkan sejauhmana perilaku seseorang terkait dengan nilai-nilai keislamannya”.

Ketika kita cermati fenomena di sekitar kita, ada sejumlah orang yang mengaku muslim dn tampil dengan atribut-atribut keislaman yang nyaris sempurna sebagai serangkaian simbol yang mengisyaratkan pengakuan formal keislaman mereka. Tidak ada yang perlu kita persalahkan, bahkan sama sekali kita berprasangka buruk terhadap mereka. Karena mereka adalah sejumlah ‘muslim’ yang ingin menampakkan jati-dirinya dengan simbol-simbol keislaman itu menunjukkan perilaku yang tak selaras dengan nilai-nilai keislaman yang seharusnya mereka wujudnkan ke dalam seluruh perilaku mereka, barulah orang boleh bertanya, bahkan mempertanyakan jati-diri mereka dengan satu pertanyaan penting: “Islamkah Mereka?”.

Sementara itu, di belahan tempat yang lain muncul sejumlah anak muda dan komunitas ‘gaul’ yang secara simbolik tidak pernah menampakkan atribut-atribut keislaman, tetapi perilaku mereka benar-benar dapat kita pahami sebagai perwujudan nilai-nilai Islam. Pertanyaan pentingnya adalah: “Tepatkah mereka kita katakan (sebagai) Bukan Muslim?”.

Kita – tentu saja – tidak seharusnya menyatakan bahwa kelompok yang pertama atau kedua adalah dua komunitas yang harus kita seberangkan dengan sekat kokoh. Justeru kita seharusnya menyikapinya secara arif, dan boleh saja kita berkata lirih untuk memotivasi semangat dakwah kita: “mari kita Islamkan perilaku komunitas pertama. Kita sadarkan mereka yang lekat dengan simbol-simbol Islam, untuk memahami dengan benar bahwa bahwa “tidak cukup” berislam dengan simbol-simbol belaka. Meraka seharusnya mampu mengisi simbol-simbol itu dengan perilaku yang selaras dengan makna simbol-simbol itu. Tegasnya, mereka perlu menerjemahkan simbol-simbol keislaman yang mereka pakai ke dalam perilaku Islami, seperangkat perilaku yang mengindikasikan (sebagai) terjemah dari nilai-nilai Islam dalam wujud perilaku dalam seluru aspek kehidupan mereka. Mereka — yang tengah memakai simbol-simbol Islam itu – mesti mewujudkan simbol-simbol kebanggaan itu ke dalam perilaku nyata. Jangan pernah ada seseorang yang mengaku muslim, lengkap dengan simbol-simbol keislamannya – misalnya – ketika mereka sedang berada di sebuah tempat di suatu waktu, tiba-tiba menjumpai ada seorang anak yatim dan fakir-miskin yang terpinggirkan dari pergaulan masyarakat, karena ketidakberdayaannya, mereka tak peduli. Bahkan seolah-olah mereka tak pernah mengganggap bahwa perilaku mereka itu bukan sebagai bagian dari tanda-tanda “ketidak-takwaannya”. Memang tidak pernah ada pasal undang-undang (formal) negara manapun yang memberi isyarat bahwa mereka dapat dipersalahkan, dan memberi hak penegak hukum untuk mempersalahkanya. Tetapi, menurut pandangan moralitas-sosial, mereka dapat dianggap kurang etis, dan oleh karenanya — menurut al-Quran — mereka bisa dikategorikan sebagai pendusta agama. Dan tentu saja mereka bisa dinyatakan: “tidak memenuhi kualitas muttaqîn”.

Ironis, kata sebagian pengamat sosial. Mayoritas muslim – ketika beragama — cenderung lebih suka menggunakan point of view (sudut pandang) fiqh atau hukum formal. Ketika ada sekelompok orang yang secara ritual mengamalkan ajaran Islam dengan simbol-simbol yang lekat, dengan penekanan pada aspek “ritual” (keadaan yang menggambarkan sejauhmana seseorang melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya secara formal), seolah-olah – tanpa dikomando – banyak orang yang menyatakan: “itulah sekelompok muslim”, bahkan ketika diketahui “mereka” — yang beislam secara formalistik, lengkap dengan simbol-simbolnya itu – secara pribadi — menjalani praktik kehidupan sosial yang berseberangan dengan nilai-nilai keislaman, tetap bisa dianggap sebagai “muslim”. Sehingga banyak “malling” (sebutan Taufiq Ismail untuk pencuri yang keterlaluan dalam serangkaian bait puisinya) mencuri di ranah-birokrasi institusi formal, tetapi karena sudah menyandang gelar “haji atau hajjah”, karena sudah pernah berkunjung ke “tanah suci” dengan sejumlah upacara ritual, masih mantap disebut ”muslim”, dan merasa lebih muslim ketimbang mereka” belum berkesempatan menunaikan ibadah haji, tetapi memiliki komitmen kuat untuk berislam dengan selalu mewujudkan nilai-nilai keislaman ke dalam seluruh perilakunya, dan tentu saja tidak pernah menjadi “malling”.

Bila masyarakat kita (baca: umat Islam) sudah berada dalam lingkaran “takwa”, sebenarnya tidak ada kesulitan sekecil apapun untuk memahami fenomena di atas dan – sekaligus – menyikapinya. Jika seseorang sekadar berislam dengan simbol-simbol, dan pada satnya lebih menekankan sisi-formal dari sebuah keberagamaan, dia belum dapat dianggap sebagai “muslim-substantif”, dan oleh karenanya jangan pernah menyebutnya sebagai “orang yang bertakwa”. Takwa membutuhkan komitmen kokoh setiap muslim untuk tidak bermaksiat, dan oleh karenanya memerlukan kehati-hatiaan. Di sisi lain, takwa” juga membutuhkan kesungguhan setiap muslim untuk beramal shaleh dalam setiap ‘nadi’ kehidupannya. Maka, seseorang yang secara lahiriah telah ‘merasa’ menjadi muslim, memerlukan kematangan spiritual untuk berislam secara batiniah, dan tentu saja – kemudian – membangun komitmen utnuk berislam dalam ranah konsekuensial, membangun perilaku islami dalam seluruh aspek kehidupan intrapersonal, interpersonal dan sosialnya.

Sudah saatnya “kehati-hatian” untuk berucap, bersikap dan bertindak sebelum meyakini benar bahwa sesuatu itu memang bermanfaat dan bermaslahat bagi dirinya maupun orang lain menjadi pertimbangan bagi setiap muslim untuk berperilaku. Seseorang yang memiliki kehati-hatian, tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang pada akhirnya akan mencelakakan dirinya dan orang lain — apalagi menyangkut kemashahatan yang lebih luas — seberapa pun menggiurkannya sesuatu itu. Di sisi lain, “kesungguhan” untuk beramal shaleh sudah seharusnya menjadi komitmen setiap muslim, yang dicerminkan dalam optimasi potensi ketakwaan untuk menggapai keberhasilan hidup yang bermakna dalam naungan ridha Allah.

Pada akhirnya kita bisa berkesimpulan bahwa kunci pembuka “ketakwaan” adalah “kehati-hatian dan kesungguhan”. Dan oleh karenanya, jangan alergi terhadap simbol, dan jangan pula tak hirau terhadap subtansi. Keduanya sebegitu penting bagi setiap muslim untuk membangun ketakwaan, asal dipahami dengan benar. Meskipun ketika dilihat prioritasnya, tentu saja: “substansi” jau lebih penting daripada simbol. Dalam konteks perintah untuk ber”takwa”: “jadilah muttaqîn substantif, dan jangan pernah terjebak pada (sekadar) ketakwaan simbolik”. Berlatihlah untuk berhati-hati, agar tak terjebak pada kemaksiatan dalam bentuk apa pun, dan jadikan diri kita sebagai orang yang terlatih untuk bersungguh-sungguh untuk membangun “kesalehan-substantif”. Now or Never (mulai saat ini atau tidak sama sekali).




KEADILAN UNTUK SEMUANYA

Umar bin Khattab – ketika menjadi kepala negara — pernah ‘marah besar’ kepada Amru bin ‘Ash (Gubernur Mesir pada saat itu), karena ia berbuat zalim terhadap seorang Yahudi Miskin di wilayah kekuasaannya. Dan oleh karenanya, Si Amr bin Ash pun meminta maaf kepada Si Yahudi Miskin itu, dan segera mengembalikan haknya. Itulah keadilan, yang oleh Umar bin Khattab tidak sekadar diteriakkan dengan lantang, seperti teriakan para pendekar hukum di belahan dunia mana pun dengan slogan: “Justice for All“, namun benar-benar dilaksanakan. Dan kini, integritas Umar, Sang Penegak Keadilan itu, kembali digaungkan. Namun, hingga kini, tanpaknya tak kunjung hadir menjadi komitmen kita. Kita pun selalu bertanya: “Akankah keadilan itu akan tetap tinggal sebagai teriakan dan sekadar slogan?”

Terlalu banyak untuk dikalkulasi ayat al-Quran dan Hadis yang menyeru manusia untuk menegakkan keadilan dalam setiap sikap dan perbuatan. Para rasul pun diutus ke tengah kaum atau bangsanya juga untuk menegakkan keadilan. Nabi Musa, misalnya, diutus Tuhan untuk membasmi kezaliman Firaun. Nabi Ibrahim diutus buat menegakkan keadilan terhadap Raja Namrud yang memperlakukan bangsa Babilonia sesuka hatinya. Begitu pula Nabi Muhammad s.a.w.. Nabi yang terakhir ini, pertama kali diutus untuk bangsa seluruh umat manusia untuk menegakkan keadilan di tengah kezaliman dan kejahiliyahan bangsa Arab ketika itu. Dan hasilnya pun, menurut para sejarawan, “sangat memuaskan”

Para faqih (ahli fikih) menjelaskan bahwa “keadilan” berarti memberikan satu ketentuan (hukum) yang tidak menyimpang dari kebenaraan. Berdasarkan pengertian umum, kata mereka, keadilan bermakna bertindak sama atau serupa, atau dalam kata lain adalah bertindak “proporsional”.

Gagasan keadilan dalam al-Quran dan hadis, oleh para faqih, kemudian dikemas rapi menjadi sebuah “tesis” yang mengandaikan harapan akan munculnya sebuah tatanan kehidupan yang serba harmonis untuk siapa pun dalam konteks apa pun. Dan oleh karenanya, keadilan tidak akan pernah berkolaborasi dengan “kezaliman” dalam segala bentuknya. Kata para pemimpin kita: “keadilan harus terwujud di tengah masyarakat. Keadilan mesti ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kehidupan politik”.

Tentu saja, kita semua tidak ada yang tidak sepakat dengan teriakan dan seruan para penganjur keadilan itu. Hanya saja pertanyaannya: “benarkah mereka telah memiliki komitmen yang sebegitu kokoh untuk menegakkannya bersama seluruh elemen umat manusia, termasuk para pemimpinnya?”

Ketika seseorang berkata: ”Keadilan adalah sendi negara. Tak akan pernah kekal suatu kekuasaan tanpa penegakan keadilan. Andai tiada hukum yang adil, maka orang akan hidup dalam anarki, tak punya sandaran dan pegangan.” Hingga muncul serangkaian kata hikmah: “Keadilan seorang penguasa terhadap rakyatnya memerlukan empat perkara, Pertama, menempuh jalan yang mudah; kedua, meninggalkan cara yang sulit dan mempersulit; ketiga, menjauhkan kesewenang-wenangan; dan keempat, mematuhi kebenaran dalam perilakunya. Petuah itu semestinya kita jadikan sebagai bahan renungan dengan selalu bertanya: “Sudah sadarkah kita bahwa selama ini – kita semua – telah jauh dari makhluk yang bernama “keadilan” itu? Atau, jangan-jangan kita sudah sebegitu bersahabat dengan “kezaliman”, yang membuat kita jauh dari barakah Allah. Dan oleh karenanya kita menjadi manusia-manusia seperti apa yang diprediksi para malaikat dalam QS al-Baqarah [2]: 30: “perusak harmoni alam dan penumpak darah”.Puas menjadi predator bagi yang lain, dan tak pernah bercita-cita lagi menjadi “makhluk yang penuh kelembutan dan kasih-sayang antarsesama”.

Kini saatnya kita sadar bahwa (kesadaran-diri) untuk menegakkan keadilan harus menjadi bagian yang menyatu dengan seluruh langkah kita. Tegakkah “keadilan” seutuhnya. Jangan sampai karena seseautu alasan yang dibuat-buat, akhirnya tawaran “keadilan” itu berubah fungsi. Jangan karena perbedaan kedudukan, golongan, dan keadaan sosial mengakibatkan perlakuan keadilan itu menjadi sirna. Tiba-tiba kita merasa puas menjadi sangat “formalis”, hingga keadilan yang substantif tidak lagi hadir sebagai penyejuk kehidupan intrapersonal, interpersonal dan social kita. Kita menjadi semakin jauh dari ridha Allah, dan menjadi “rela” melangkahkan kaki kita untuk mengikuti langkah-langkah “setan”, karena kita sudah terjebak pada , karena kita sudah terjebak pada serangkaian thaghut (segala sesuatu yang kita pertuhankan selain Allah).

Belajarlah pada sejarah. Dulu Nabi kita (Muhammad s.a.w.) pernah menjadi seorang negarawan. Di Madinah, meskipun tanpa proklamasi dan pengangkatan formal, beliau adalah Nabi sekaligus Pemimpin Negara dan Pemerintahan. Beliau sadar bahwa dalam ajaran Islam yang beliau yakini dan sebarluaskan kedudukan rakyat dan pemerintah adalah sama, karena keduanya merupakan pilar negara. Nabi Muhammad s.aw. pernah berkata kepada Usman bin Zaid – sahabatnya — bahwa kehancuran pemerintahan dahulu karena “ketidak-adilan”. Para pemimpinnya selalu memberi dan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat kecil, sedangkan para penjahat dari kalangan atas mereka biarkan tak tersentuh oleh hukum. Hingga para ulama pun berceloteh: “Tuntutan berbuat adil haruslah dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, dan lingkungan. Adil terhadap anak, misalnya, dengan memberikan nafkah, pendidikan, dan keperluan lainnya. Tegakkan keadilan tidak hanya terhadap kawan, teman seperjuangan atau seprofesi. Terhadap lawan pun, keadilan harus tetap ditegakkan”. Dan sudah saatnya — “kini” dan “di sini” — kita mulai dari diri kita sendiri.

Kalau Umar bin Khattab dengan komitmennya telah menunjukkan betapa keadilan itu tidak hanya manis untuk dikatakan, tetapi benar-benar lezat dan terasa nikmat untuk diamalkan, sudahkah para peminpin kita berkompetisi dengan semangat “fastabiqû al-khayrât” untuk menegakkan keadilan? Bukan sekadar menjadi follower (pengekor), yang baru berani menegakkannya di ketika semuanya sudah serba “aman”, tetapi benar-benar – dengan gagah-berani – menjadi trend-setter (pelopor) di tengah-tengah hiruk-pikuk kezaliman yang tengah merajalela!

Insyâallâh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar