BERBAKTI PADA ORANG TUA
Allah ta’ala berfirman
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Berbuat baik kepada kedua orang tuamu artinya, memberikan bakti dan kasih sayang kepada keduanya.
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ
Jangan mengatakan “ah” artinya, janganlah berkata-kata kasar kepada keduanya jika mereka telah tua dan lanjut usia. Selain itu, wajib bagimu untuk memberikan pengabdian (berbakti) kepada mereka sebagaimana mereka berdua telah memberikan pengabdian kepadamu. Sesungguhnya, pengabdian orang tua kepada anaknya adalah lebih tinggi dari pada pengabdian anak kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin kedua pengabdian itu bisa disamakan? ketika kedua orang tuamu menahan segala derita mengharapkan agar kamu bisa hidup, sedangkan jika kamu menahan derita karena kedua orang tuamu, kamu mengharapkan kematian mereka
Allah melanjutkan firman-Nya,
Yakni ucapan yang lemah lembut.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Allah Ta'ala berfirman,
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Perhatikanlah -semoga Allah merahmatimu- bagaimana Allah mengaitkan rasa syukur kepada kedua orang tua dengan syukur kepada-Nya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ada tiga ayat yang diturunkan dan dikaitkan dengan tiga hal, tidak diterima salah satunya jika tidak dengan yang dikaitkannya:
1. Firman Allah Ta'ala, `Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul'. Maka barangsiapa taat kepada Allah namun tidak taat kepada Rasul, ketaatannya tidak diterima.
2. Firman Allah Ta'ala, `Dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat'. Maka barangsiapa melakukan shalat namun tidak mengeluarkan zakat, tidaklah diterima.
3. Firman Allah Ta'ala, Agar kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.' Barangsiapa bersyukur kepada Allah namun tidak bersyukur kepada kedua orang tua, tentu saja tidak diterima hal itu. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Keridhaan Allah ada di dalam keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua. (Diriwayatkan Tirmidzi dari hadits Abdullah bin Amr, hadits ini diperkuat oleh hadits Abu Hurairah).
Dalam sebuah hadits disebutkan, Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk jihad. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, Apakah bapak ibumu masih hidup ? orang itu menjawab, Ya maka kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya [HR. Bukhari, Muslim)
Lihatlah bagaimana berbuat baik dan memberikan pelayanan kepada kedua orang tua lebih diutamakan daripada jihad?
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Maukah aku beritahu kalian tentang dosa besar yang paling besar? Yakni menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua"
Lihatlah bagaimana Allah mengaitkan antara menyakiti kedua orang tua, tidak adanya bakti kepada mereka dengan dosa syirik kepadaNya.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang durhaka (kepada kedua orang tua, orang yang menyebut-nyebut kebaikannya, dan yang kecanduan khamr"
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika Allah mengetahui sesuatu yang lebih hina dari ah' niscaya Allah akan melarangnya. Maka berbuatlah orang yang durhaka (kepada orang tua) semaunya, pastilah ia tidak akan masuk surga. Dan berbuatlah orang yang berbakti kepada orang tua semaunya, tidaklah ia masuk neraka"
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Allah melaknat orang yang durhaka kepada orang tua, Beliau bersabda lagi, Allah melaknat orang orang yang mencaci bapaknya. Allah melaknat orang yang mencaci ibunya. (Diriwayatkan lbnu Hibban dalam shahihnya dari hadits Ibnu Abbas). Beliau bersabda, Semua dosa ditunda (siksanya) oleh Allah semau-Nya hingga hari Kiamat kecuali durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya dosa durhaka disegerakan (siksanya) bagi pelakunya" (Diriwayatkan Hakim dari hadits Abu Bakar dengan sanad yang baik).
Yakni hukumannya di dunia sebelum hari Kiamat.
Ka'abul Ahbar Rahimahullah berkata, "Sesungguhnya Allah menyegerakan kehancuran bagi seorang hamba jika ia durhaka kepada orang tuanya. Kehancuran itu merupakan siksaan baginya. Dan sesungguhnya Allah menambah umur orang yang berbakti kepada orang tua agar bertambah pengabdian dan kebaikannya kepada mereka"
Di antara bentuk pengabdian adalah memberi nafkah kepada mereka di saat mereka membutuhkan. Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, Wahai Rasulullah, ayahku ingin merampas hartaku. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kamu dan hartamu untuk bapakmu"
Ka'abul Ahbar ditanya tentang durhaka kepada orang tua, Apakah !tu? la menjawab, "Yaitu jika ayah atau ibunya menyumpahinya, ia tidak mempedulikannya. Jika mereka menyuruhnya, ia tidak mentaatinya. Jika meminta sesuatu kepadanya, ia tidak memberinya. Dan jika diberi amanat, ia mengkhianatinya"
lbnu Abbas radhiyallahu anhuma ditanya tentang Ashabul-A’raf. Ia menjawab, Adapun A'raf, ia adalah sebuah gunung di antara surga dan neraka. Dikatakan A’raf karena ia lebih tinggi daripada surga dan neraka. Di sana terdapat pepohonan, buah-buahan, sungai, dan mata air. Adapun orang-orang yang menempatinya, mereka yang dulunya pergi berjihad tanpa izin dari ayah dan ibu mereka. Kemudian mereka terbunuh dalam jihad itu dan kesertaannya dalam perang itu menghalanginya dari siksa neraka. Sedangkan kedurhakaan kepada orang tua menghalanginya untuk masuk surga. Maka mereka bertempat di Araf tersebut hingga Allah memutuskan urusan mereka.
Dalam kedua kitab Shahih diriwayatkan, "Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bertanya, Wahai Rasulullah, siapakah yang berhak mendapatkan perlakuan baik? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, Ibumu. Beliau bertanya, Kemudian siapa? Rasulullah menjawab, Ibumu la bertanya lagi, Kemudian siapa lagi? la menjawab, ibumu. la bertanya lagi, kemudian siapa? Beliau menjawab, 'Ayahmu. Kemudian yang paling dekat dan yang paling dekat
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengulangi kewajiban berbakti kepada seorang ibu hingga tiga kali sedangkan berbakti kepada ayah satu kali. Hal itu disebabkan karena derita yang dialami seorang ibu lebih besar dari pada yang dialami seorang ayah dan kasih sayang yang diberikannya juga lebih besar daripada ayah. Belum lagi kalau dibandingkan dengan beratnya mengandung, kontraksi, melahirkan, menyusui, dan berjaga malam.
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma melihat seseorang seseorang sedang memanggul ibunya dengan lehernya sambil mengelilingi Ka'bah. Orang itu bertanya, "Hai Ibnu Umar, apakah dengan demikian berarti aku telah membalasnya?" Ibnu Umar menjawab, "Belum sedikit pun kamu membalasnya, namun kamu telah berbuat baik kepadanya. Dan Allah akan membalas atas sedikit kebaikanmu dengan balasan yang banyak"
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ada empat orang yang Allah harus tidak memasukkan mereka ke dalam surga dan tidak mereka mencicipi kenikmatannya: orang yang kecanduan terhadap khamr, pemakan riba, orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, dan orang yang durhaka kepada kedua orang tua kecuali jika mereka telah bertaubat" (Diriwayatkan Hakim dengan sanad shahih, namun AI-Mundziri mengatakan bahwa pada sanad hadits ini terhadap Ibrahim bin Khaitsam yang haditsnya matruk, tertinggal dan tidak diakui).
Seseorang datang kepada Abu Darda' Radhiyallahu Anhu dan berkata, Hai Abu Darda', sesungguhnya aku menikahi seorang wanita dan ibuku menyuruhku untuk menceraikannya. Abu Darda' berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda. "Orang tua adalah pintu tengahnya surga, jika kamu mau, hilangkan saja pintu atau jagalah".
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ada tiga doa yang terkabulkan dan tidak ada keraguan padanya: doa orang yang didzalimi, doa orang yang bepergian, dan doa tidak baik orang tua terhadap anaknya"(Diriwayatkan Tirmidzi, Abu Dawud, dan Thabrani).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Seorang bibi berkedudukan sama dengan ibu. Maksudnya dalam rangka rasa bakti, kebajikan, kemuliaan, hubungan, dan kebaikan. (Diriwayatkan Tirmidzi dan menilainya sebagai hadits shahih).
Dari Amr bin Murrah Al-Juhani berkata, Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku melaksanakan shalat lima (waktu), aku berpuasa Ramadhan, menunaikan zakat, berhaji
ke Baitullah. Maka apa yang aku dapatkan?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Barangsiapa melakukan hal itu ia bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Kecuali jika ia durhaka kepada orang tuanya" (Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Allah melaknat kepada orang yang durhaka kepada orang tuanya"
Juga diceritakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda, "Pada malam ketika aku diisra’ kan aku melihat beberapa kaum yang bergelantungan pada dahan-dahan dari api. Aku bertanya, Wahai Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang mencaci ayah dan ibu mereka di dunia"
Diriwayatkan bahwa barangsiapa mencaci kedua orang tuanya akan didatangkan kepadanya di dalam kuburan bara dari api sejumlah setiap titik air yang turun dari langit ke bumi. Juga diriwayatkan bahwa jika seseorang durhaka kepada orang tuanya. Nanti setelah dikubur, ia akan dihimpit kuburan itu hingga tulang-tulang rusuknya berhimpit.
Yang paling keras siksanya pada hari Kiamat nanti tiga orang: Musyrik, pezina, dan yang durhaka kepada orang tua.
Seorang laki-laki dan perempuan datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka bertengkar tentang permasalahan anak mereka. Yang laki-laki berkata, Wahai Rasulullah, anakku ini keluar dari tulang rusukku. Yang perempuan berkata, Wahai Rasulullah, ia membawanya dengan ringan dan meletakkannya secara menyenangkan, sedangkan aku mengandungnya susah dan melahirkannya pun susah, aku juga menyusuinya dua tahun penuh. Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan anak itu untuk ibunya.
Nasihat
Wahai yang mengabaikan hak-hak mulia ini, yang enggan berbakti kepada kedua orang tua bahkan durhaka kepada mereka. Wahai orang yang lupa akan kewajibannya, yang lalai kepada apa yang ada di depannya. Berbakti kepada kedua orang tua bagimu adalah agama, Anda menerlantarkan kewajiban ini dan mengekor kepada syahwat, menurut dugaanmu kamu mencari surga, padahal surga itu ada di bawah telapak kaki ibumu. la mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan yang terasa sembilan tahun. la menderita saat melahirkanmu, suatu penderitaan yang memilukan hati dan menyusuimu.
Demi kamu ngantuknya ditahan, dengan tangan kanannya ia membersihkanmu dari kotoran dan mara bahaya. la lebih mengutamakanmu dalam hal makanan. la menggunakan pangkuannya menjadi tempat landasanmu, memberikanmu kebaikan dan pertolongan. Jika sakit atau kepedihan menimpamu, ia menumpahkan rasa sayangnya secara habis-habisan. Kegelisahannya karenamu dan kegundahannya terus menemaninya,
jika demlakan harta miliknya untuk mengobatimu ke dokter. Jika ia diberi pilihan antara hidupmu dan kematiannya, tentu ia akan memilih kehidupan bagimu dengan suaranya yang lantang. Inilah kasih sayang ibu.
Sudah berapa kali kamu memperlakukannya secara kasar? Namun tetap saja ia mendoakanmu dalam kebaikan baik secara rahasia atau terang-terangan. Tatkala ia menua dan membutuhkan sesuatu kepadamu, rasanya ia menjadi beban paling berat bagimu. Kamu kekenyangan sedangkan ia kelaparan, kamu hilang rasa dahaga sedangkan ia kering kehausan. Kamu memberikan segala kebaikan kepada keluarga dan anak-anakmu di saat kamu melupakannya. Terasa berat bagimu urusannya, padahal ia mudah. Terasa panjang usianya bagimu padahal ia pendek. Kamu mengusirnya, sedangkan dada penolong selainmu. Ini sikapmu sedang Tuhanmu telah melarangmu mengatakan 'ah'. Allah mencacimu karena hak-haknya yang kamu abaikan dengan cercaan halus, bahwa -dalam dunia kamu akan dibalas dengan kedurhakaan anak-anakmu, sedang di dalam akhirat kamu dijauhkan dari Tuhan semesta alam. Allah memanggilmu dengan hina dan ancaman, Itulah (hasil) dari tanganmu (perbuatanmuj, dan sesungguhnya Allah tidak berlaku dzalim kepada hamba-hamba-Nya. (AI-Hajj: 10).
Bagi ibumu terdapat banyak hak atasmu. Apa yang banyak menurutmu sesungguhnya sangatlah kecil sudah berapa malam ia merasa memberatkanmu dan kamu mengadukan perihalnya dengan rintih dan keluh Jika kamu tahu betapa berat saat ia melahirkanmu karena berat beban itu hati terasa terbang melayang. Betapa sering ia menjagamu dari mara bahaya dengan tangan kanannya. Dan pangkuannya pun menjadi ranjangmu la mengorbankan jiwanya demi keluhanmu Dari susunya keluar minuman suci bagimu Betapa sering kamu menderita kelaparan dan dengan sepenuh tenaga la memberikan kasih sayangnya kepadamu di waktu kecilmu
Kasihan, mengapa orang cerdas mesti menuruti nafsunya Kasihan bagi yang buta hati sedangkan matanya melihat Berharaplah kamu terhadap semua doa-doanya karena terhadap apa yang didoakannya kamu membutuhkannya.
Dikisahkan bahwa terdapat seorang pemuda yang dikenal dengan nama Alqamah, ia banyak berusaha mewujudkan ketaatannya kepada Allah dalam shalat, puasa, dan sedekah. Lalu ia ditimpa penyakit hingga kondisinya sangat parah. Ia mengutus istrinya untuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Istrinya berkata, Suamiku, Alqamah sedang sekarat. Aku ingin memberitahukanmu wahai Rasulullah tentang keadaannya. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Ammar dan Shuhaib serta Bilal sembari bersabda, Pergilah kepadanya dan ajari ia syahadat. Mereka pergi dan masuk ke tempatnya, mereka mendapatkannya telah sekarat. Para sahabat itu lalu mengajarinya mengucapkannya `la ilaha illallah' sementara lidahnya kelu dan tidak bisa mengucapkannya. Lalu para utusan itu mengirim seseorang menemui Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memberitahukan kepada beliau bahwa lisannya tidak bisa mengucapkan kalimat syahadat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, Apakah salah seorang dari kedua orang tuanya masih hidup? Utusan itu menjawab, Wahai Rasulullah, hanya ada seorang ibu yang sudah tua renta. Rasulullah mengutus sahabat tersebut untuk menemui ibunya, beliau berkata kepadanya, Katakan kepadanya, apakah ibu bisa berjalan menemui Rasulullah? Jika tidak bisa, tinggallah ibu di rumah hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang kepadamu. Lalu utusan itu datang kepadanya dan mengatakan kepadanya apa yang dipesankan Rasulullah kepadanya. lbu itu berkata, Jiwaku untuk jiwanya sebagai tumbal, aku lebih berkewajiban untuk mendatanginya. lbu itu bersandar kepada sebuah tongkat dan berdiri dengan bantuan tongkat itu untuk datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau berkata kepadanya, Wahai Ibu Alqamah, berlaku jujurlah kepadaku, dan jika kamu berbohong, sebenamya telah datang wahyu dari Allah kepadaku. Bagaimana keadaan anakmu Alqamah? la berkata, Ya Rasulullah, ia banyak melaksanakan shalat, banyak puasa, dan bersedekah. Rasulullah bertanya, Lalu bagaimana dengan dirimu? la menjawab, Wahai Rasulullah, aku sedang marah kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, Mengapa begitu? la menjawab, Wahai Rasulullah, ia lebih mementingkan istrinya daripada aku dan ia durhaka kepadaku. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Sesungguhnya kemarahan ibu Alqamah menjadi penghalang bagi lisan Alqamah untuk mengucapkan syahadat. Beliau berkata lagi, Ya Bilal, pergi dan ambillah untukku kayu bakar yang banyak! Ibu itu bertanya, Wahai Rasulullah, apa yang akan engkau lakukan? Rasulullah menjawab, `Aku akan membakamya dengan api itu di hadapanmu. lbu itu berkata, Wahai Rasulullah, hatiku tidak tahan melihat anakku dibakar di hadapanku. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Wahai Ibu Alqamah, siksaan Allah lebih dahsyat dan lebih kekal. Jika kamu senang kalau Allah mengampuninya, ridhailah ia. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, Alqamah tidak akan mendapatkan manfaat dengan shalatnya, puasanya, dan sedekahnya jika kamu masih marah kepadanya. la berkata, Wahai Rasulullah, aku mempersaksikan kepada Allah Ta'ala, para malaikat, dan semuanya, kaum Muslimin yang hadir bahwa aku kini telah ridha kepada anakku, Alqamah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Pergilah wahai Bilal dan lihatlah apakah ia bisa mengucapkan la ilaha illallah atau tidak! Bilal pergi dan terdengar dari dalam rumah Alqamah mengucapkan la ilaha illallah. Bilal masuk dan berkata, Wahai semuanya, sesungguhnya kemarahan ibunya menghalanginya untuk mengucapkan syahadat dan keridhaannya membuat lisannya mampu mengucapkannya. Kemudian pada hari itu juga Alqamah meninggal, Rasulullah hadir dan memerintahkan untuk dimandikan, dikafani, dan dishalatkan. Beliau juga menghadiri pemakamannya, lalu beliau berdiri di bibir kuburannya dan bersabda, Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshar, barangsiapa yang lebih mementingkan istrinya dibandingkan ibunya, maka ia mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat, dan semua manusia. Allah tidak akan menerima pengganti atau penebus kecuali ia bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan berbuat baik kepadanya serta memohon keridhaannya. Karena keridhaan Allah ada pada keridhaannya dan murka Allah ada pada murkanya.
Kita memohon kepada Allah agar berkenan memelihara kita dengan keridhaan-Nya dan menjauhkan kita dari kemurkaannya. Sesungguhnya Allah Mahamulia dan Maha Dermawan. Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.
Hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta diatas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah pengendali dan sekaligus sebagai pemberi komando terdepan yang setiap anggota tubuh berada di bawah kekuasaannya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, baik dalam ketaatan atau penyimpangan. Organ-organ tubuh lainnya selalu mengikuti dan patuh dalam setiap keputusan.
Nabi saw bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.”[HR. Bukhari-Muslim].
Pengelompokan Hati Manusia
Hati manusia terbagi menjadi tiga klasifikasi: Qalbun Shahih (hati yang suci), Qalbun Mayyit (hati yang mati), dan Qalbun Maridl (hati yang sakit).
Pertama, Qalbun Shahih
yaitu hati yang sehat dan bersih (hati yang sehat) dari setiap nafsu yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya. Sehingga ia selamat dari pengabdian kepada selain Allah, dan mencari penyelesaian hukum pada selain rasul-Nya. Karenanya, hati ini murni pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik pengabdian secara iradat (kehendak), mahabbah (cinta), tawakkal (berserah diri), takut atas siksa-Nya dan mengharapkan karunia-Nya. Bahkan seluruh aktivitasnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Jika mencintai maka cintanya itu karena Allah, dan jika membenci maka kebenciannya itupun karena Allah, jika memberi atau bersedekah, hal itu karena-Nya dan jika tidak memberi, juga karena Allah. Dan tidak hanya itu saja, tapi diiringi dengan kepatuhan hati dan bertahkim kepada syari’at-Nya. ia mempunyai landasan yang kuat dan prinsip tersendiri dalam menjadikan Muhammad saw sebagai suri tauladan dalam segala hal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[QS. Al-Hujurat:1].
Ciri-ciri Qalbun Shahih
1. Apabila hati pergi meninggalkan dunia menuju dan berdomisili di alam akhirat, sehingga seakan ia termasuk penduduknya. Ia datang ke dunia fana ini bagaikan seorang asing yang kebetulan singgah sebentar sebelum meneruskan perjalanan menuju alam akhirat. Sebagaimana telah diwasiatkan Nabi saw kepada Abdullah bin Umar : “Jadikanlah dirimu di dunia ini seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang menyeberangi suatu jalan.” [HR. Bukhari].
2. Jika ia tertinggal wirid, atau sesuatu bentuk peribatan lainnya, maka ia merasakan sakit yang tiada terperi ,melebihi sakitnya orang yang tamak dan kikir saat kehilangan barang kesayangannya.
3. Ia senantiasa rindu untuk dapat mengabdikan diri di jalan Allah, melebihi keinginan orang yang lapar kepada makanan dan minuman. Yahya bin Mu’adz berkata: “Barangsiapa yang merasa berkhidmat kepada Allah, maka segala sesuatupun akan senang berkhidmat kepadanya, dan barang siapa tentram dan puas dengan Allah maka orang lain tentram pula ketika melihat dirinya.
4. Apabila tujuan hidupnya hanya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Bila sedang melakukan sholat, maka sirnalah semua kegundahannya dan kesusahan kaena urusan dunia. Sebab di dalam sholat telah ia temukan kenikmatan dan kesejukan jiwa yang suci.
6. Sangat menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakanya, melebihi rasa kekhawatiran orang bakhil dalam menjaga hartanya.
7. Tidak pernah terputus dan futur (malas) untuk mengingat Allah Idan berdzikir kepada-Nya.
8. Lebih mengutamakan pada pencapaian kualitas dari suatu amal perbuatan daripada kuantitas. ia lebih condong pada keikhlasan dalam beramal, mengikuti petunjuk syari’at rasulullah saw di samping ia selalu merenungi segala bentuk karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan mengakui tentang kelalaian dan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua, Qalbun Mayyit
Qalbun Mayyit (hati yang mati) adalah kebalikan dari hati yang sehat, hati yang mati tidak pernah mengenal Tuhannya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. dan ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginan hawa nafsunya, walaupun hal ini menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala marah dan murka akan perbuatannya. Ia tidak peduli lagi apakah Allah ridha atau murka terhadap apa yang dikerjakannya, sebab ia memang telah mengabdi kepada selain Allah. Jika mencintai didasarkan atas hawa nafsu, begitu pula dengan membenci, memberi. Hawa nafsu lebih didewa-dewakan daripada rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hati jenis ini adalah hati yang jika diseru kepada jalan Allah, maka seruan itu tidaklah berfaedah sedikitpun, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup hati mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ” Dan diantara mereka ada orang yang mendengar (bacaanmu), padahal kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya) dan kami letakkan sumbatan di telinganya dan jikalaupun mereka melihat segala tanda kebenaran mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu‘.”[QS. Al-An’am:25].
Ayat ini menunjukkan, bahwa ada manusia yang tidak mempergunakan hatinya untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak mempergunakan telinganya untuk mendengar perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga tidak mau melihat kebenaran yang telah disampaikan. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “(Mereka berkata:) Hati kami tertutup dari ajakan yang kamu serukan kepada kami, dalam telinga kami ada sumbatan, dan diantara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja pula.”[QS. Fushilat:5].
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkan mereka dalam kegelapan dan mereka sedikitpun tidak akan mendapatkan cahaya iman. “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka. Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat, mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidaklah kembali kepada jalan yang benar.” [Al-Baqarah:17-18].
Ketiga, Qalbun Maridl
Qalbun Maridl (hati yang sakit) adalah hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit berupa kejahilan. Hati yang sedang di cekam sakit akan mudah menjadi parah apabila tidak diobati dengan hikmah dan maud’izah. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya.”[QS. Al-Hajj:53].
Karena sesungguhnya apa yang disisipkan oleh setan kedalam hati manusia itu, akan membuat sesuatu menjadi syubhat (sesuatu yang meragukan), seperti penyakit ragu dan sesat. Begitu hati menjadi lemah karena penyakit yang diidap, maka setanpun mudah merasuk kedalam hati lalu menghidupkan fitnah dalam hati tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafiq, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di madinah (dari menyakitimu) niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka. Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.”[Al-Ahzab:60].
Namun demikian hati orang-orang yang seperti itu belumlah mati sebagaimana hati orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, akan tetapi bukan pula hati sehat, seperti sehatnya hati orang-orang yang beriman. Sebab di dalam hati mereka terdapat penyakit syubhat dan syahwat. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.“[QS. Al-Ahzab:32].
Ciri-ciri Qalbun Maridl
Boleh jadi hati manusia sedang sakit , bahkan tanpa disadari. Lebih tragis bahwa hatinya sebenarnya mati, namun si empunya tidak menyadari.
Tanda-tanda spesifik hati yang sedang sakit atau mati adalah jika ia tidak merasa sakit dan pedih oleh goresan-goresan pisau kemaksiatan, Hal itu disebabkan karena hatinya telah rancu dan teracuni, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara nilai kebenaran dan aqidahnya yang batil. Hal ini seperti ditafsirkan oleh Mujahid dan Qatadah tentang firman Allah yang berbunyi: “Fi Qulubihim Maradhun“[QS.Al-Baqarah:10]. artinya: “Dalam hati mereka terdapat penyakit.” “Ayat ini menunjukkan adanya keraguan yang tumbuh dalam hati manusia tentang kebenaran.” Bahkan ia melihat kebenaran bagai sesuatu yang sangat bertentangan dengan kehendaknya. Kebenaran itu dilihat dari sisi lain yang terasa merugikan dirinya. sehingga dalam kondisi seperti ini ia lebih menyukai kebatilan dan kemudharatan.
Faktor-faktor penyebab sakitnya hati
Penyebab timbulnya penyakit di hati adalah dikarenakan banyaknya fitnah yang selalu dibidikkan pada hati. Fitnah-fitnah tersebut dapat berupa: fitnah syahwat, dimana reaksinya amat keras sampai dapat merancukan niat dan iradat (kehendak) seseorang. Dan yang lain adalah fitnah syubhat (keragu-raguan) yang menyebabkan kacaunya persepsi dan i’tiqad (keyakinan).
Racun Hati
Setiap kemaksiatan adalah racun dan yang merupakan penyakit dan perusak kesucian hati. Dan racun-racun hati yang paling banyak ditemukan dan reaksinya cukup keras bagi kelangsungan hidup hati ada empat macam yaitu:
1. Berlebihan dalam berbicara
Banyak berbicara adalah salah satu faktor yang menyebabkan hati menjadi keras, sebagaimana sabda rasulullah saw :”Janganlah memperbanyak kata (bicara) selain dzikrullah, karena banyak bicara selain dzikrullah menjadikan hati keras. Dan orang yang terjauh dari Allah adalah yang berhati keras.”[HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar]. kemudian juga dengan banyak berbicara terkadang membuat seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga melahirkan kerugian dan penyesalan. Umar bin Kahttab ra pernah berkata: “Barang siapa yang banyak bicaranya, maka banyak kesalahannya, sehingga nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka.” Hal ini ditegas juga dalam sebuah hadits , bahwa rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan ia tergelincir kedalam neraka lebih jauh antara timur dan barat.” [muttafaq ‘alaihi, dari Abu Hurairah t]
2. Berlebihan dalam memandang sesuatu
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada setiap mukmin dan mukminah untuk menundukkan pandangannya yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati mereka. Dan juga mereka akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabda rasulullah saw : “Barangsiapa yang menahan pandangannya karena Allah, maka dia akan diberikan oleh Allah rasa manisnya iman yang ia rasakan dalam hatinya, sampai dimana ia manghadap kepada-Nya.” [HR. Ahmad]. Sekarang bagaimana jika perintah itu dilanggar, maka jelas akan menyebabkan fitnah bagi hati pelakunya. yaitu, rusaknya kesucian hati itu sendiri oleh angan-angan dan keindahan semu yang dibisikkan setan, lupa terhadap hal yang menjadi kemaslahatan. Lalu ia berbuat melampaui batas sehingga hilanglah akal sehatnya dan menyebabkan ia menjadi pengabdi hawa nafsu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:”Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.”[QS. Al-Kahfi:28].
3. Berlebihan dalam makan
Sedikit makan dapat melunakkan hati, menajamkan otak, merendahkan nafsu birahi dan melemahkan nafsu amarah. Sedangkan bila banyak makan, bahkan sampai kekenyangan akan berakibat sebaliknya.
Dari Miqdam bin Ma’di Karib dia berkata, bahwa ia mendengar rasulullah saw bersabda: “Anak adam tidak memenuhi wadah yang lebih buruk, daripada ia memenuhi perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap saja untuk menguatkan tulang rusuknya. Jika memang tidak memungkinkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafasnya.”[HR. Ahmad dan Tirmidzi].
Alangkah banyak kemaksiatan yang tersulut akibat makan yang berlebihan dan menghalangi ketaatan manusia kepada Sang Khalik. Karenanya siapa yang mampu menjaga perutnya dari sifat serakah, maka ia benar-benar membuktikan bahwa dirinya mampu menjaga diri dari keburukan yang lebih fatal lagi.
Ibrahim bin Adham berkata:”Barangsiapa mampu mengendalikan perutnya, maka ia mampu pula mengendalikan agamanya, dan barang siapa yang mampu menguasai rasa lapar (tidak makan berlebihan) maka ia dapat menguasai akhlak-akhlak yang baik, sebab maksiat kepada Allah itu jauh dari orang-orang yang lapar (yang mampu syahwat perutnya).”
4. Berlebihan dalam bergaul
Betapa tragis suatu pergaulan yang dapat merampas kenikmatan yang telah ada, karenanya timbul benih-benih permusuhan dan kebencian yang terpendam sehingga menyesakkan rongga-rongga dada. Namun rasa itu sulit dihindari terutama oleh hati yang sudah terluka. Demikian juga berlebih-lebihan dalam pergaulan dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Seyogyanya bagi seorang hamba dapat mengambil hikmah dari setiap pergaulan. usahakanlah untuk bersikap bijak dan dapat menempatkan diri dalam menghadapi berbagai karakter teman sepergaulan. Dimana karakter-karakter tersebut ada empat golongan:
- Terhadap orang yang jika kita membutuhkan bergaul dengannya, laksana kebutuhan kita terhadap makanan, kita tidak dapat lepas darinya dalam sehari semalam. Mereka itu adalah Para Ulama yang memiliki cakrawala pengetahuan yang luas tentang ilmu Agama, mengetaui tipu daya setan dan segala macam bentuk penyakit hati.
- Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya seperti kebutuhan kita akan obat, Kita mengharapkannya dikala kita sedang sakit saja, tetapi bila badan kembali sehat maka mereka tidak kita butuhkan lagi. mereka ini adalah dari orang yang kehadirannya kita nantikan berkaitan dengan masalah kemaslahatan hidup dan kehidupan, seperti untuk saling bekerjasama atau sebagai mitra kerja dalam berniaga, bertani, bermusyawarah dan masalah-masalah lain dalam hal muamalah.
- Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya, tidak ubahnya seperti penyakit. Golongan ini terbagi menjadi beberapa jenis dan tingkatan, bergantung pada intesitasnya terhadap jiwa kita. Diantara mereka adalah yang bersifat individualis dan egoistis. Jika bergaul dengannya hendaklah kita waspada dan berlaku bijak dalam menghadapinya. Hal ini bukan berarti kita harus menghindar dan tidak mau bergaul dengannya, tetapi jagalah jangan sampai diri kita terbawa oleh pengaruh kepribadiannya, karena akan merugikan kita dalam hal agama dan dunia. oleh karena itu sebaiknya orang-orang yang masuk dalam tipe ini hendaklah dujauhi jika ingin selamat agama dan dunia kita.
- Terhadap orang yang bila kita bergaul dengannya akan membawa kefatalan, sebab ia laksana ular berbisa. Andaikan kita sampai terkena patuknya, kemudian kita berhasil menemukan penawarnya maka selamatlah kita, tetapi jika tidak, inilah bencana bagi kita. Golongan ini banyak berkeliaran di sekitar kita. Mereka adalah Ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan, menyimpang dari sunnah rasulullah saw. Mereka pandai membolak-balikkan fakta, sunnah mereka jadikan bid’ah dan bid’ah mereka jadikan sunnah. Bagi orang yang berakal tidak layak untuk bergaul ataupun duduk-duduk bersama mereka. Jika itu tetap dilakukan maka akan sakitlah hati bahkan bisa menyebabkan hatinya menjadi mati.
Kiat Menjadikan Hati Tetap Hidup
Ketahuilah, bahwa hati yang hidup (hati yang sehat) hanya akan diperoleh dengan ilmu dan ikhtiar (usaha). Adapun usaha tersebut yang bisa dilakukan untuk menjadikan hati tetap hidup adalah:
1. Dzikrullah dan Tilawatil Qur’an.
Dengan senantiasa dzikrullah (menyebut dan mengingat Allah) bagi seorang hamba manfaatnya sangatlah besar. Sebagaimana Dia berfirman: “Ingatlah, bahwa hanya dengan selalu mengingat Allah, hati menjadi tentram.”[QS. Ar-Ra’du:28]. Al-Imam Syamsuddin Ibnul Qoyyim berkata: ”Sesungguhnya dzikir adalah makanan pokok bagi hati dan ruh, apabila hamba Allah gersang dari siraman dzikir, maka jadilah ia bagaikan tubuh yang terhalang untuk memperoleh makanan pokoknya.”Dan Imam Hasan Al-Bashri berkata:”Lunakkanlah hatimu itu dengan berdzikir”.
Kendatipun dzikrullah adalah salah satu bentuk ibadah yang termudah dan ringan, akan tetapi pahala dan keutamaan yang didapatkan melebihi amalan-amalan lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Sesungguhnya mengingat-ingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat yang lain).”[Qs. Al-Ankabut:45].
Sebaik-baik dzikir adalah membaca Al-Qur’an, karena Al-Qur’an mengandung berbagai khasiat penyembuh hati dari semua penyakit kegundahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman; “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”[QS. Yunus:57].
2. Beristighfar
Hakikat istighfar adalah untuk memohon maghfirah (ampunan), dan batasan maghfirah adalah penjagaan dari keburukan yang diakibatkan dari dosa-dosa. Dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Nya selama memenuhi syaratnya pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan. Firman-Nya: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia meminta ampun kepada Allah niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[QS. An-Nisa’:110].
Hendaklah seseorang itu memperbanyak istighfar kepada-Nya dimanapun berada, sebab seseorang itu tidak tahu dimana tempat maghfirah Tuhannya turun. sebagaimana rasulullah saw bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku selalu mohon ampunan kepada Allah sehari semalam lebih dari tuju puluh kali.” [HR. Bukhari].
‘Aisyah チ berkata: “Beruntunglah orang yang mendapat dalam buku catatan amal perbuatannya memuat istighfar yang banyak.” Qatadah berkata:”Sesunggunhya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepadamu tentang penyakitmu dan obat penangkalnya. Adapun penyakitmu adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istighfar.”
3. Do’a
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagimu. “[QS. Al-mukmin:60].
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita agar berdo’a kepada-Nya dan Dia akan memenuhi permohonan hamba-Nya. berkenaan dengan ini rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang Muslim pun berdo’a dengan do’a yang di dalamnya tidak berisi dosa dan pemutus tali silaturahmi melainkan Allah memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Allah akan menyegerakan permohonannya itu (diperoleh di dunia) atau Allah akan menyimpannya untuknya di akhirat kelak, atau Dia memalingkan darinya keburukan yang setimpal dengan do’anya itu.”[HR. Ahmad, hadits shahih]. Dalam ayat yang sama Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:” Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (tidak mau berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan terhina.”[QS. Al-mukmin:60]. Orang-orang yang tidak mau berdo’a kepada-Nya maka mereka yang dikatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah termasuk orang yang sombong, dan mereka mendapatkan murka dari-Nya. sebagaimana rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang tidak mau meminta (memohon kepada Allah), maka Allah murka terhadap-Nya.” [HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah].
4. Bershalawat kepada Nabi saw
Allah Subhanahu wa Ta’ala bershalawat (menyebut dan memuji di hadapan para malaikat) sepuluh kali, bagi orang bershalawat kepada rasul-Nya (sekali). Sebagaimana sabda beliau saw : ”Barang siapa yang bershalawat untukku satu kali. Maka Allah akan bershalawat sepuluh kali lipat.”[HR. Muslim]. Karena yang demikian itu, setiap satu kebaikan nilainya akan dilipat gandakan sepuluh kalinya, dan bershalawat untuk Nabi saw termasuk kebaikan yang tinggi.
5. Qiyamullail
Jika seseorang tetap melakukan shalat malam, maka wajahnya akan bercahaya dan dia juga akan merasakan kenikmatan beribadah dalam hatinya, sebagaimana yang dituturkan oleh para Ulama Salaf berikut ini:
Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang sering beribadat di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan bagi mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa malam aku tak suka hidup di dunia ini.”
Ibnul Mukandir: ”Bagiku kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, qiyamullail, bersilaturahmi dengan ikhwan dan shalat berjama’ah.”
Maroji’:
Tazkiyatun Nufus oleh Dr. Ahmad Farid
Amraadlul Qulub wa Sifaauha oleh Ibnu Thaimiyah
KEDUDUKAN HADIST SURGA DIBAWAH  TELAPAK KAKI IBU
Hadits Surga di bawah telapak kaki ibu
Kita sering mendengar  hadits “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”,demikian juga hadith ini  selalu digembor gemborkan oleh para da'i dan semarak di masjid masijd  ..Maka  ini kewajiban saya untuk menyampaikan  bagaimana sebenarnya  kedudukan hadits ini?
ini bukan berarti kita meninggalkan berbakti  kita kepada ibu kita lho
Syaikh Al-Bany dalam Silisilatu Ahaadits  Ad-Dhaifah menjelaskan tentang 2 riwayat, sebuah riwayat merupakan  hadits maudhu, sedangkan riwayat yang lain merupakan hadits hasan, oleh  karena itu hendaknya kita berpegang pada matan hadits yang hasan  tersebut.
الجنة تحت أقدام الأمهات ، من شئن أدخلن ، و من شئن أخرجن
Surga  berada di bawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka  dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya
Hadits  ini hadits maudhu' (palsu). Telah diriwayarkan oleh Ibnu Adi (I/325)  dan juga oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu'afa dengan sanad dari Musa bin  Muhammad bin Atha', dari Abul Malih, dari Maimun, dari Abdullah Ibnu  Abbas radhiallahu’anhu.. Kemudian al-Uqaili mengatakan bahwa hadits ini  munkar. Bagian pertama dari riwayat tersebut mempunyai sanad lain, namun  mayoritas rijal sanadnya majhul.
Dalam masalah ini, saya kira  cukupi dengan riwayat yang di keluarkan oleh Imam Nasa'i dan Thabrani  dengan sanad hasan, yaitu kisah seseorang yang datang menghadap  Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya meminta izin untuk ikut  andil berjihad bersama beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau  bertanya, Adakah engkau masih mempunyai ibu? Orang itu menjawab, Ya,  masih. Beliaupun kemudian bersabda,
فالزمها فإن الجنة تحت رجليها
Bersungguh-sungguhlah  dalam berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di  bawah kedua kakinya (*)
Referensi
Hadits ke 593 dari kitab  Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah  karya Syaikh Al-Bany, edisi terjemahan, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu  jilid-2, cetakan Gema Insani Press
HADIST DHOIF SHOLAT
1. SEMBAHYANG DENGAN MEMAKAI SERBAN
Ertinya : Sembahyang  dengan memakai serban itu ( ganjarannya ) sama dengan 25 sembahyang yang  tidak memakai serban dan sekali sembahyang Jumaat dengan memakai serban  itu ( ganjarannya ) sama dengan 70 kali sembahyang Jumaat dengan tidak  memakai serban . Dan sembahyang dengan memakai serban itu ganjarannya  sama dengan melakukan 10,000 kebaikan
Penjelasan : Hadis ini  Palsu
Syihabuddin Ahmad bin Muhamamd Abdis Salaam Al-Manafi (  murid kepada Al-Hafiz As-Sakhaawi ) telah mengatakan bahawa semua  riwayat yang berhubung dengan masalah ini adalah Maudhu atau Palsu ,  bukan termasuk hadis dari Nabi s.a.w.
Sumber: Himpunan  Hadis-Hadis Lemah dan Palsu - Imam Bukhari - Syk Nurulhas - m.s. 29
2.  SEMBAHYANG DENGAN MEMAKAI SERBAN PUTIH
Ertinya :  Sesungguhnya bagi Allah ada beberapa malaikat yang ditugaskan untuk  menjaga pintu - pintu ( masjid ) jamik pada hari Jumaat . Mereka akan  memohon maghfirah kepada Allah untuk orang - orang yang suka memakai  serban putih .
Penjelasan : Hadis ini Palsu
Diriwayatkan  oleh Khatiib tetapi dalam sanadnya ada rawi yang bernama Yahya bin  Al-Yamani , dia adalah seorang yang suka meriwayatkan hadis - hadis yang  'bathil'
Sumber: Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu - Imam  Bukhari - Syk Nurulhas - m.s. 31
3. DUA RAKAAT YANG DILAKUKAN  OLEH ORANG YANG SUDAH BERKAHWIN ITU LEBIH BAIK DARIPADA ORANG YANG  BELUM KAHWIN
Ertinya : Yang paling rugi di antara kamu ialah  orang yang tidak berkeluarga ( bujang ). Dua rakaat yang dilakukan oleh  orang yang sudah berkeluarga itu adalah lebih baik daripada 70 rakaat  yang dilakukan oleh orang yang belum berkeluarga .
Penjelasan :  Hadis ini Palsu
Dalam riwayat lain dikatakan : Dua rakaat yang  dilakukan oleh orang yang sudah kahwin itu lebih utama daripada 70  rakaat yang dilakukan oleh orang yang belum kahwin
Dalam sanad  riwayat ini rawi yang bernama Mujaasy' . Dia suka meriwayatkan hadis -  hadis 'Mungkar'.
Dalam riwayat lain pula dikatakan : Dua rakaat  yang dilakukan oleh orang yang sudah kahwin itu lebih baik daripada 82  rakaat yang dilakukan oleh orang yang belum kahwin.
Ibnu Hajar  Al-Asqalaani mengatakan , "Riwayat ini 'Mungkar'"
Sumber:  Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu - Imam Bukhari - Syk Nurulhas -  m.s. 40
4. KHUSYUK DALAM SEMBAHYANG
Ertinya :  Dari Ummi Salamah , dia berkata,"Adalah Nabi s.a.w. apabila beliau  sedang bersembahyang orang yang ( melihatnya ) beranggapan bahawa  sesungguhnya beliau hanya sebuah jasad yang tidak ada rohnya ".
Penjelasan  : Hadis ini Palsu
Ibnu Hibban mengatakan : Hadis ini 'tidak ada  asalnya' kerana dalam sanadnya ada rawi yang bernama Ja'far . Dia adalah  seorang rawi yang biasa meroboh sesuatu berita , sehingga tidak ada  keraguan lagi bahawa yang memalsukan hadis ini adalah rawi yang bernama  Ja'far ini .
Ahmad bin Adi mengatakan : Ja'far adalah rawi yang  dituduh suka memalsukan Hadis
ULASAN PENTERJEMAH:
Boleh  jadi riwayat ini dijadikan oleh golongan tarikat sebagai dasar untuk  lebih khusyuk dan Khudhu dalam mengerjakan sembahyang dan lain - lain  ibadat.
Sumber: Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu - Imam  Bukhari - Syk Nurulhas - m.s. 49
5. SUJUD SESUDAH SELESAI  SEMBAHYANG
Ertinya : Telah berkata Abu Sa'iid , telah  menjadi kebiasaan sebahagian orang yang melakukan sujud sesudah selesai  sembahyang untuk berdoa .
Penjelasan : Sujud dalam bentuk ini  tidak ada dalam ajaran Islam dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah  s.a.w., dan tidak pula dari sahabatnya . Perbuatan ini adalah Bid'ah.  Imam Ghazali dalam kitabnya Ihyaa-u ' Uluumuddin menerangkan bahawa di  antara kebiasaan yang sering dilakukan oleh sebahagian orang awam ialah  melakukan sujud pada waktu muazzin sedang qamat pada hari Jumaat .  Perbuatan ini tidak ada sumbernya dari hadis Nabi yang sahih atau yang  dhaif sekalipun.
Sumber: Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu -  Imam Bukhari - Syk Nurulhas - m.s. 56
6. KELEBIHAN SEMBAHYANG  DI MASJID NABI ( MASJID NABAWI )
Ertinya : Barang siapa yang  bersembahyang di masjidku ( masjid Nabawi ) dengan 40 kali sembahyang  dengan tidak putus - putus satu sembahyangpun , maka dia akan dicatat  sebagai orang yang selamat dari api neraka , lepas dari azab siksaan  serta bersih daripada nifak
Penjelasan : Hadis ini Daif
Diriwayatkan  oleh Imam Ahmad dan Thabrani dengan sanad yang Daif dari jalan Abdir  Rahman bin Abdir Rijaal dari Nabiith bin Amar dari Anas bin Malik
Muhammad  Nashruddin Albani mengatakan : Hadis ini Daif kerana dalam sanadnya ada  rawi yang bernama Nabiith bin ' Amar, dia tidak dikenali oleh para ahli  hadis melainkan dalam riwayat ini sahaja.
Sumber: Himpunan  Hadis-Hadis Lemah dan Palsu - Imam Bukhari - Syk Nurulhas - m.s. 70
7.  MEMBACA QUL HUALLAH HUAHAD SEBANYAK 100 KALI SESUDAH SEMBAHYANG SUBUH
Ertinya  : Barang siapa yang mengerjakan sembahyang subuh sesudah itu dia  membaca Qul Huallahu Ahad 100 kali sebelum dia berkata - kata , maka  tiap - tiap kali dia membaca Qul Huallahu Ahad diampuni segala dosanya  selama setahun
Penjelasan : Hadis ini Palsu
Diriwayatkan  oleh Imam Thabrani , Hakkim dan Ibnu Asakir dari jalan Muhammad bin  Abdir Rahman Al-Qusairi dari Asma binti Waa-illah bin Al-Asqa dia  berkata : Apabila ayahku mengerjakan solat subuh, apabila dia telah  selesai dia duduk duduk menghadap kiblat dan tidak berkata apa - apa  sehingga terbit matahari , sehingga aku terpaksa berkata kepadanya akan  sesuatu keperluan yang dikehendakinya . Tetapi beliau tidak menjawab  sepatah kata pun . Setelah segalanya selesai barulah dia menjelaskan  kepadaku isi hadis tersebut.
Muhammad Nashruddin Albaniy  mengatakan : Imam haakim telah mendiamkan riwayat ini .
Al-Haitsaamy  mengatakan : Dalam sanadnya ada rawi yang bernama : Muhammad bin Abdir  Rahman , dia adalah seorang rawi yang Matruk .
Muhammad Nashrudin  mengatakan : Rawi tersebut adalah seorang pendusta sebagaimana yang  telah dikatakan oleh Al-Azdi
Ibnu Abi Haatim mengatakan : Aku  telah bertanya kepada ayahku tentang riwayat hidup rawi ini , maka  beliau berkata , dia adalah seorang rawi yang Matruk dan riwayatnya  tidak boleh di pakai dan adalah seorang pendusta
Sumber: Himpunan  Hadis-Hadis Lemah dan Palsu - Imam Bukhari - Syk Nurulhas - m.s. 87
8.Anggota  akan khusyuk bila hati orang yang bersembahyang khusyuk
Al-Hakim  At-Tirmizi * meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Abu Hurairah r.a.  bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda :
Ertinya: Rasulullah s.a.w  . melihat seorang laki - laki sedang mempermainkan janggutnya sedangkan  dia dalam solat , maka Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika hati orang ini  khusyu' tentulah anggota - anggotanya khusyu '.
Kata Al-Albani :  Hadith ini adalah Maudhu'
Dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin '  Amru iaitu Abu Daud An-Nakha'iy yang menurut Ibnu ' Adiy ia disepakati  membuat Hadith palsu .
*Al-Hakim At-Tirmizi bukanlah Imam At-  Tirmizi . Beliau adalah pengarang kitab Nawadirul-Usul. Seorang Sufi.  Dikatakan bahawa dalam kitabnya Khatamul-Walayah beliau berpendapat  bahawa wali lebih agung daripada Nabi. Beliau dibuang dari Tirmiz dan  beliau pergi ke Nisabur.
SEBAB SEBAB BID'AH
Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa  setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar  atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid'ah dengan berbagai ragam  bentuknya adalah kembali kepada tiga hal.[Lihat Kitab Al-Bid'ah, karya  Syaikh Mahmud Syaltut : 17-36]
Pertama, kebodohan tentang sumber  hukum dan cara pemahamannya.Sumber hukum syar' i adalah Al-Qur' an dan  Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma' dan Qiyas.  Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di  antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam  dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah  semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.Sesungguhnya bentuk  kesalahan yang menyebabkan munculnya bid' ah adalah karena kebodohan  tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa  Arab.Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits  shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum  Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal  dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada  tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya,  bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan  dasar dalam syari'at.Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan  hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fiqh generasi khalaf yang  menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkanya dalam  agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal  banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang  menghalanginya. Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang  menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu  menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.Sebagai  contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu  Alaihi wa Sallam,
إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ  مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ"
Jika kamu mendengar orang  adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian  bershalawatlah kepadaku. "(HR. Muslim)Mereka menganggap hadits tersebut  sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah  selesai adzan, dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya,  sehingga hadits ini dijadikan dalil disyari'atkannya bershalawat dengan  suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada  orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum  kepada semua kaum Muslimin, sedangkan orang yang adzan masuk di  dalamnya. Atau bahwa ungkapan "Jika kamu mendengar" mencakup kepada  orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!Kedua  penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya bahasa.  Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan,  dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup  juga kepada orang yang adzan.Sesungguhnya ulama qurun awal ber-ijma  (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman  Al-Qur'an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk  berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar'i.Adapun kebodohan tentang  tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai  apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini  mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas, padahal terdapat hadits yang  kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka  terjerumus ke dalam bid'ah.Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat  ulama fiqh niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan  yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam  mengqiyaskan orang yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam  perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah  adzan. Padahal terdapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut  sebagaimana telah disebutkan, sedangkan hadits harus didahulukan atas  qiyas. Sebab redaksi, "Jika kamu mendengar orang adzan... (sampai akhir  hadits)" menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan  hanya kepada orang yang mendengar adzan.Kedua, mengikuti hawa nafsu  dalam menetapkan hukum.Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila  memperhatikan dalil-dalil syar'i, dia akan terdorong untuk menetapkan  hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang  dijadikan pedoman dan hujjah.Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai  pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti  pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari'at dalam menetapkan  dalil.Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan  Allah yang lurus. Firman-Nya,Dan siapakah yang lebih sesat daripada  orang yang mengikuti hawa  nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari  Allah sedikit-pun? (QS. Al-Qashash: 50).Fakta membuktikan bahwa akibat  mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi  pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.Bid' ah karena mengikuti  hawa nafsu adalah bentuk bid' ah yang pahng besar dosanya di sisi Allah  dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak  hawa nafsu yang telah merubah syari'at, mengganti agama dan menjatuhkan  manusia ke dalam kesesatan yang nyata.Ketiga, menjadikan akal sebagai  tolok ukur hukum syar'i.Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas  penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui  segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau  oleh akal dan ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan  bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada  kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara  pemahaman orang berbeda-beda menurut para peneliti.Maka, dalam sesuatu  yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, manusia harus merujuk  kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena  mu'jizat yang di bawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan  mu'jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang  Maha Cermat dengan apa yang Dia ciptakan.Atas dasar ini, Allah mengutus  para rasul-Nya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang diridhai  Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka  memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di  akhirat.Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid'ah yang kami sebutkan di  atas telah tercakup semua sisinya dan terpadukan pokok-pokoknya dalam  hadits,"Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang  adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan  ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang  yang bodoh."[Hadits hasan. Lihat Irsyad As-Sari: I/4 oIeh  Al-Qasthallani dan Al-Hiththah oleh Shiddiq Hasan Khan: 70.]Ungkapan  "perubahan orang-orang yang ekstrim" mengisyaratkan kepada sikap fanatik  dan berlebihan. Sedang ungkapan "ajaran orang-orang yang melakukan  kebatilan" mengisyaratkan kepada yang menganggap baik mendahulukan akal  dan mengikuti hawa nafsu dalam penetapan hukum syar' i. Lalu ungkapan  "penakwilan orang-orang yang bodoh" mengisyaratkan kepada kebodohan  dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari  sumber-sumbernya.dinukil dari : "Membedah akar bid'ah - Syekh Ali Hasan"
"BULAN MUHARRAM TELAH TIBA, JANGAN   MENGADAKAN HAJATAN PADA BULAN INI, NANTI BISA SIAL."
Begitulah   kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan  hajatan,  mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan  baik yang bisa  mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya,  mereka menghindari  hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk  yang bisa mendatangkan kesialan  atau bencana. Seperti bulan Muharram  (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai  bulan pantangan untuk keperluan  hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya  sebagai prinsip dari  agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau  justru  dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh   tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an  dan As  Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah .
APA DASAR MEREKA MENENTUKAN BULAN SURO  SEBAGAI  PANTANGAN UNTUK HAJATAN?
Kebanyakan mereka  sebatas ikut-ikutan  (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di  suatu tempat. Ketika ditanyakan  kepada mereka, "Mengapa anda  berkeyakinan seperti ini ?" Niscaya mereka akan  menjawab bahwa ini  adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus  menerus  diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati   generasi muda muslim nurut saja dengan "apa kata orang tua",  demikianlah  kenyataannya.
Para pembaca  sekalian, dalil "apa kata  orang tua", bukanlah jawaban ilmiah yang  pantas dari seorang muslim yang mencari  kebenaran. Apalagi permasalahan  ini menyangkut baik dan buruknya aqidah  seseorang. Maka permasahan ini  harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan  As Sunnah, benarkah  atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu  mengekor dengan  apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i,   merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap  orang-orang  Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah untuk beriman kepada  Allah dan Rasul-Nya.  Apa kata mereka? (artinya): "Sesungguhnya kami  mendapati bapak-bapak (nenek  moyang) kami menganut suatu agama (bukan  agama yang engkau bawa -pent), dan  sesungguhnya kami orang-orang yang  mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak  mereka." (Az Zukhruf: 22)
Jawaban  seperti ini juga mirip dengan apa yang  dikatakan oleh kaum Nabi  Ibrahim Alaihis Salam ketika mereka diseru untuk  meninggalkan  peribadatan kepada selain Allah. "Kami dapati bapak-bapak kami  berbuat  demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen)." (Asy Syu’ara’:  74)
Demikian  juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di  lautan? Ya,  mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka   mengatakan: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari  apa yang  kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …" (Yunus: 78)
Kaum  ‘Aad  yang telah Allah binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud  Alaihis Salam  menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan  kesyirikan, mereka  mengatakan: "Apakah kamu datang kepada kami, agar  kami menyembah Allah saja dan  meninggalkan apa yang biasa disembah oleh  bapak-bapak kami?" (Al A’raf:  70)
Apa pula yang dikatakan oleh  kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi  mereka, nabi Shalih dan nabi  Syu’aib? Mereka berkata: "Apakah kamu melarang kami  untuk menyembah apa  yang disembah oleh bapak-bapak kami?…" (Hud:  62)
"Wahai  Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami  meninggalkan apa  yang disembah oleh bapak-bapak kami …" (Hud:  87)
Demikianlah,  setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan  dari kaumnya,  dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan  nenek  moyang mereka.
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa   yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami  hanya  mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek  moyang kami." (Al  Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca  sekalian, mereka menjadikan  perbuatan yang dilakukan oleh para  pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan  untuk beramal, padahal telah  nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada  mereka.
"(Apakah  mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang  mereka itu tidak  mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Al  Baqarah:  170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi   semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa  mengikuti  dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah Subhanahu  Wata’ala dan  Rasul-Nya. Allah berfirman (artinya): "Ikutilah apa yang  diturunkan kepadamu  dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti  pemimpin-pemimpin selain-Nya." (Al  A’raf: 3)
SUDAH ADA SEJAK ZAMAN  JAHILIYYAH
Mengapa  sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan  hajatan (walimah, dan  sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu  lainnya?
Ya,  karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa  mendatangkan  bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan  pada  bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan   Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan  bahwa suatu  keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian  tertentu, waktu, atau  tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak  pergi berjualan, namun di  tengah jalan dia melihat kecelakaan,  akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan  perjalanannya karena  menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa  kerugian dalam  usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa  Tathayyur  ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah   Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang  harus  dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan  bahwa segala  sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan  hati ini dari  ketergantungan kepada selain-Nya.
"Ketahuilah,  sesungguhnya kesialan  mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan  tetapi kebanyakan mereka tidak  mengetahui." (Al A’raf: 131)
TATHAYYUR  TERMASUK KESYIRIKAN KEPADA ALLAH
Seseorang  yang meyakini bahwa  barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau  hajatan yang lain pada bulan  Muharram itu akan ditimpa kesialan dan  musibah, maka orang tersebut telah  terjatuh ke dalam kesyirikan kepada  Allah. Rasulullah yang telah mengkabarkan  demikian, dalam sabdanya  (yang artinya): "Thiyarah itu adalah kesyirikan." (HR.  Ahmad dan At  Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini   digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di   antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan   tawakkalnya kepada Allah . Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis  ibadah  yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang  ada di langit dan  di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan  kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan,  musibah, dan bencana, semuanya  datang dari Allah. Allah berfirman  (artinya):"Sesungguhnya aku  bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak  ada suatu makhluk pun  melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai  sepenuhnya)."  (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah   menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak  layak  untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang  menggantungkan keselamatan  atau kesialannya kepada bulan Muharram atau  bulan-bulan yang lain, ketahuilah  bahwa pada hakekatnya bulan Muharram  itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau  menolak mudharat. Hanya  Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah  berfirman (artinya):  "Allah adalah satu-satunya tempat bergantung." (Al Ikhlash:  2)
Para  pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua  keadaan;
Pertama:  meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk  dilakukan.
Kedua:  melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan  was-was dan  khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini   sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
BAGAIMANA   MENGHILANGKANNYA?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini  tidaklah  memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang  perbuatan tathayyur,  maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah  bin Mas’ud,  salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita  bahwa tathayyur ini bisa  dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal  yang sempurna, dengan  benar-benar menggantungkan diri kepada Allah  dalam rangka mendapatkan manfaat  atau menolak mudharat, dan  mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang  menimpa seseorang,  baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia  yakin bahwa  itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan  hikmah.  Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ  لاَ  خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ   غَيْرُكَ
"Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang  kecuali dari-Mu, dan  tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan  tidak ada sesembahan yang  berhak disembah kecuali Engkau." (HR. Ahmad)
HAKEKAT MUSIBAH
Suatu ketika,  Allah  menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah  bahwasanya  musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan  Muharram, tetapi  musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang  yang beriman, dengan adanya  musibah itu akan semakin menambah  keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki  kebaikan padanya.
مَنْ  يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ  مِنْهُ
"Barangsiapa  yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan  timpakan musibah  padanya." (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca,  bahwa  musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya   sendiri. Allah berfirman (artinya): "Dan apa saja musibah yang menimpa  kamu,  maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …" (Asy  Syura: 30) Yakni  disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran  yang dilakukan  manusia.
TINGGALKAN  TATHAYYUR, MASUK AL  JANNAH TANPA HISAB DAN TANA ADZAB
Salah  satu keyakinan Ahlussunnah  adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah  dan membersihkan diri dari segala  kesyirikan, ia pasti akan masuk ke  dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari  mereka akan merasakan adzab  sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan  yang dilakukannya.
Namun  di antara mereka ada sekelompok orang yang  dijamin masuk ke dalam Al  Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa  diadzab. Jumlah mereka  adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya  membawa 70.000  orang. Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang telah  disifati  Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ  وَلاَ  يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ  يَتَوَكَّلُوْنَ
"Mereka  adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah,  tidak minta dikay (suatu  pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang  sakit), tidak  melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya."   (Muttafaqun ‘Alaihi)
Mereka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa  dihisab  dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika  ditimpa kesialan  atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan  tertentu atau tanda-tanda  tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan  semuanya kepada  Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat  memberikan nuansa baru bagi  saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak  mengetahui bahaya tathayyur dan semoga  Allah selalu mencurahkan  hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar