KOALISI:DULU,KINI DAN ESOK
Konon, di saat Nabi Miuhammad s,.a.w. menyepakati kerjasama timbal-balik dengan antara umat Islam dan Non-Muslim di (Negara) Madinah, pada saat itulah sebenarnya beliau memberi telah contoh kogkret bagaimana seharusnya berkoalisi dengan siapa pun. Tersedianya sejumlah “anggukan universal” (common platform atau kalimatun sawâ’) yang disetujui antarpihak yang berkoalisi untuk dijadikan sebagai agenda bersama untuk membangun kemashlahatan bersama, dan – tentu saja – dengan tanpa mengabaikan kepentingan masing-masing komunitas yang tak mungkin diabaikan demi (untuk meraih) kepentingan kolektif. Dan Uswah Hasanah dari Nabi kita itu ternyata hingga kini masih relevan untuk kita amalkan dalam kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam konteks apa pun. Termasuk di dalamnya dalam konteks politik-kenegaraan kita.
Ironisnya, dalam banyak hal kerjasama antarpihak yang kini lebih marak dilakukan oleh berbagai komunitas, lebih bernuansa politis jangka pendek. Dalam makna kongkret: “demi untuk meraih kue-kue kekuasaan”, apa pun bentuknya. Termasuk kekuasaan politik jangka pendek untuk sesuatu yang berujung pada kepentingan (jangka pendek), berupa “perolehan keuntungan-keuntungan finansial”.
Semangat Piagam Madinah yang diartikulasikan oleh Nabi s.a.w., mewakili Umat Islam – pada saat itu – dengan semangat kepemimpinan profetik Sang Pemimpiin Sejati (Nabi Muhammad s.a.w.) kini telah berubah menjadi ’semangat kerjasama’ oportunistik, demi ‘perut’ yang perlu diisi, yang pada saatnya lebih berorientasi individual atau kelompok kecil, atau maksimal antarindividu yang berorientasi “ma’îsyah” (baca: harta-dunia). Bahkan lebih ironis lagi — dalam koalisi itu — simbol-simbol moralitas-keberagamaan diusung dengan kemasan-kemasan tertentu untuk memperkokoh legitimasinya.
Memang naïf. Tetapi itulah realitas kehidupan kita sekarang yang mulai menampakkan tanda-tanda “al-wahn” (cinta dunia, dan takut mati), sebuah penyakit sosial yang dikhawatirkan oleh Nabi s.a.w. akan mewabah di kalangan umat Islam, yang pada saatnya akan mengakibatkan umat Islam akan menjadi seperti buih di lautan: “besar dalam arti kuantitatif, tetapi tak pernah diperhitungkan, karena kualitas kekuatan mereka yang memang tidak perlu dipertimbangkan.
Kini wabah itu mulai terlihat tanda-tandanya. Di ketika umat Islam, diwakili oleh partai-partai politik yang merasa mewakili kepentingan umat Islam, membangun berbagai koalisi dengan lebih banyak memosisikan dirinya sebagai para makmum (baca: loyal-followers; para pengikut setia) daripada memosisikan dirinya sebagai imam-imam (baca: leaders; para pemimpin) yang diprediksi akan memberikan ‘keuntungan’ untuk sesuatu yang terlalu mudah untuk diprediksi. Apalagi kalau bukan “kue-kekuasaan”.
Padahal, Islam telah menuntunkan sebuah pola kerjasama timbal-balik yang terbangun dengan semangat “ta’âwun ‘alâ al-birr wa at-taqwâ” (berkoalisi dalam kebajikan dan takwa), dan bukan “ ta’âwun ‘alâ al-itsm w al-’udwân” (berkoalisi dalam berbuat dosa dan pelanggaran)” (QS al-Maidah [5]: 2). Bekerjasama dalam membangun kebaikan dan kemaslahatan merupakan esensi koalisi Islami. Koalisi kebaikan, selain perlu dibangun demi terwujudnya kesejahteraan, keamanan, dan kesentosaan, juga dipandang penting untuk meredam gejolak kejahatan serta maraknya perbuatan dosa dan maksiat. Itulah etos-koalisi yang digagas oleh al-Quran.
Di antara upaya yang bisa dilakukan oleh koalisi kebaikan adalah dengan mengonstitusikan kebenaran dalam kerangka dan aturan yang jelas, visioner dan bermartabat. Bukan koalisi ‘cek kosong” yang tak berujung pangkal, kecuali janji-janji perolehan kursi kekuasaan.
Konsep ta’awun (koalisi) dalam Islam tidak mempersyaratkan kesamaan status, termasuk status keberagamaan. Dan sama sekali tak dibatasi oleh sekat-sekat kepentingan, kecuali kepentingan untuk menggapai kemashlahatan dengan cara yang elegan antarkomunitas yang beragam. Koalisi yang dibangun atas asas kebersamaan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kebenaran universal.
Koalisi juga tidak seharusnya mengedepankan kepentingan politis jangka pendek yang sarat tipu-daya, yang pada saatnya justeru akan menjebak mereka (yang berkoalisi) dalam jebakan kepentingan ideologi-sempit. Karena, disadari atau tidak, kepentingan ideologi-sempit akan menciptakan ‘koalisi penuh kecurigaan’, yang esensinya bukan koalisi sesungguhnya, tetapi hanya sebuah koalisi yang penuh dengan kepura-puraan, yang justeru akan menjadi bom-waktu yang akan meledek dan berpotensi untuk mencederai semua piihak yang berkoalisi pada saat tertentu..
Perbincangan di seputar koalisi, kini – di saat menjelang ‘pilpres’ – kian menjadi diskusi yang masih menarik, dan ditengarai akan selalu menarik perhatian setiap anggota masyarakat, karena artipentingnya pranata sosial ini sebagai pilar penyangga bangunan harmoni sosial kita, di tengah kegalauan dan kerinduan rakyat Indonesia, tidak terkecuali umat Islam.
Sebuah koalisi yang mereka dambakan adalah sebentuk koalisi yang di dalamnya dibangun semangat kepedulian, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan dan ketulusan. Karena sejumlah tantangan kompleks yang akan selalu muncul, termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh dorongan ego kita (di Negara Indonesia tercinta), pada saatnya bisa menjebak segenap anak bangsa menjadi manusia-manusia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, karena menganggap yang terpenting adalah dirinya. Orang lain baru dianggap (menjadi) penting karena berpotensi “menguntungkan” bagi dirinya.
Oleh karena itu, untuk membangun koalisi ideal, setiap peserta koalisi, dituntut untuk memiliki kepedulian dan ketenggangrasaan terhadap pihak lain, dan bahkan bisa menganggap pihak lain sebagai entitas yang penting, sepenting dirinya.
Dalam merespon wacana koalisi tersebut, kita (umat Islam) bisa mengajak dialog dengan al-Quran, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib terhadap para sahabatnya: istanthiq al-Quran, yang ternyata menurut M. Quraish Shihab tersirat dalam gagasan “ukhuwwah“.
Koalisi ke depan sudah semestinya merujuk pada gagasan besar (ukhuwwah) ini, yang pada saatnya perlu di”objektivikasi” (meminjam istilah Kuntowijoyo) menjadi sesuatu gagasan yang bisa diterima oleh semua pihak, dan – yang lebih utama – bisa dilaksanakan.
Dari. ukhuwwah yang digagas oleh al-Quran itulah Nabi s.a.w. menerjemahkannya ke dalam bentuk koalisi jangka panjang dengan antara umat Islam dengan komunitas non-muslim, yang ternyata menghasilkan kerjasama (ta’âwun) yang bisa dinikmati oleh semua pihak yang berkoalisi, tanpa mencederai kepentingan pihak mana pun.
Berkaca dari keberhasilan Nabi s.a.w. yang merepresentasikan kepentingan umat Islam dalam merajut ukhuwwah Islâmiyyah, yang dimaknai lebih daripada sekadar mempersaudarakan antarorang Islam, tetapi lebih dari itu: “mempersaudaran seluruh umat manusia dengan mengedepankan nilai-nilai Islam, Nabi Muhammad s.a.w. berhasil memberikan uswah hasanah, bagaimana seharusnya berkoalisi untuk kepetingan kolektif manusia. Mencari titik-temu (anggukan-universal) antarkepentingan umat manusia, dan mengeliminasi – untuk sementara – titik-potong (gelengan-universal) yang seringkali menghambat upaya kerjasama antarumat manusia untuk membangun sinergi-strategis untuk kemashlahatan umat manusia, tidak terkecuali: “kepentingan bangsa dan Negara Indonesia tercinta”.
Dengan terus memperbarui niat kita untuk berkoalisi bersih, dengan semangat ukhuwwah Islamiyah dalam pengertian luas, insyâallah etos-koalisi yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad s.a.w. di Madinah melalui panduan Piagam Madinah, bisa terbangun kembali dalam koalisi-koalisi kita ke depan.
MENGGALI MAKNA NUZULUL QUR'AN
Al-Quran yang hingga kini dibaca oleh umat manusia dengan berbagai motif pembacaannya adalah (juga) al-Quran yang dahulu dibaca oleh Nabi Muhammad s.a.w. beserta para sahabatnya. Mungkn saja formatnya bisa terus berubah, dari sesuatu yang dihafal, ditulis di dalam lembaran-lembaran suci hingga terkopi menjadi kepingan cd, vcd dan dvd; Tetapi esensinya tetap satu: “firman Alah” , dengan fungsi utama yang sama: “petunjuk”, dengan berbagai perluasan maknanya. Pertanyaan pentingnya sekarang adalah: “kenapa al-Quran yang dahulu telah menjadikan Muhammad (Rasulllah) s.a.w. “uswah hasanah” (teladan yang baik), melahirkan Generasi Qur’ani — salafus shâlih — kini seolah tidak lagi mampu menjadi pelita bagi umat manusia, termasuk di dalamnya sekelompok orang yang mengaku menjadi pengikut Muhammad (s.a.w.) Sang Teladan?
Seorang intelektual dari belahan bumi Afrika — Muhammad Farid Esack – dalam bukunya yang berjudul: The Qur’an: A Short Introduction – menstratifikasi pembaca teks al-Quran – yang kemudian ia sebut pecinta– menjadi tiga tingkatan: pecinta tak kritis (the uncritical lover); pecinta ilmiah (the scholarly lover); dan pecinta kritis (the critical lover).
Menurut Esack, keindahan body of a beloved (baca: teks al-Quran) selalu diapresiasi para pecinta (baca: pembacanya) dengan berbagai bentuk. Sehingga, antara pecinta satu dengan pecinta lainnya memiliki cara berbeda dalam menilai dan memaknai Sang Kekasih (al-Quran).
Mengembangkan apa yang dipaparkan oleh Esack, dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkannya dalam versi yang sedikit berbeda.
Pertama, “pembaca awam”, yang oleh Esack disebut sebagai “pecinta tak kritis” (the uncritical lover). Mereka bisa dipilah menjadi dua pilahan. Kelompok pertama adalah: para pembaca al-Quran dengan tanpa bekal iman” dan ilmu, dan kelompok kedua adalah: para pembaca al-Quran yang hanya berbekal iman, tanpa ilmu yan memadai.
Pilahan pertama adalah para pembaca yang membaca al-Quran sebagai kegiatan sosio-kultural. Mereka sebenarnya bukan pecinta al-Quran, tetapi sekadar menikmati budaya-baca al-Quran. Orang ini biasanya membaca al-Quran pada acara-acara yang diselenggarakan hanya sekadar untuk membaca al-Quran. Misalnya: Yasinan, Tahlilan, Selamatan dan upacara-upacara adat lain yang seringkali tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaksanaan syari’at Islam.
Karena mereka membaca al-Quran tanpa bekal iman dan ilmu, maka setelah membaca tidak pernah berbekas apa pun pada dirinya, kecuali “paket makanan” yang dibawa dari tempat-tempat pembacaan al-Quran. Tidak pernah ada perubahan apa pun, kecuali “puas” karena sempat berkumpul dan merasa sudah membaca al-Quran.
Pilahan kedua adalah para pembaca yang “membaca” al-Quran dengan bekal iman tanpa ilmu yang memadai. Orang yang menduduki level ini biasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Kecantikan seorang kekasih telah “membutakan” mata hatinya, seakan tak ada sesuatu yang lain yang lebih layak dicintai daripada kekasihnya. Pecinta menilai, sekujur tubuh dan apa saja yang melekat pada tubuh sang kekasih itu indah, mempesona, dan sempurna.
Dalam konteks pembaca al-Quran, pecinta tak kritis selalu memuja-muja al-Quran. Al-Quran adalah segala-segalanya. Ia memperlakukukannya seperti permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya. Baginya, al-Quran dianggapnya sebagai sebuah jawaban paripurna terhadap segala persoalan, tetapi ia tidak tahu bagaimana proses memperoleh atau membuat jawaban-jawaban tersebut. Ia hanya mengkonsumsi atau mendaur-ulang jawaban-jawaban al-Quran dari orang lain. Posisi pecinta ini ditempati oleh kaum mayoritas muslim; mereka memperlakukan al-Quran hanya sebatas bahan bacaan yang dilafalkan di ujung lidah. Mereka “bertadarus al-Quran”, seperti yang bisa disaksikan di banyak mesjid, mushalla, surau dan tempat-tempat tadarus al-Quran pada bulan Ramadhan.
Kedua, “para peminat studi al-Quran”, sekelompok orang yang suntuk berwacana dengan al-Quran, yang ia sebut sebagai “pecinta ilmiah” (the scholarly lover).
Pecinta tipe ini mengagumi segala keindahan yang dimiliki Sang Kekasih. Hal yang membedakannya dengan pecinta pertama adalah: “keberanian dan kecerdasannya untuk memaknai seluruh keindahan yang melekat pada tubuh Sang Kekasih”. Rasa kagumnya pada Sang Pujaan Hati tidak membuat dia mabuk kepayang, apalagi sampai lupa daratan.
Pecinta ilmiah (al-Quran) selalu merenung dan mempertanyakan kenapa al-Quran ini begitu indah dan mempesona, dan apa makna di balik keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian ia jawab dengan segenap kemampuan ilmiahnya — yang ia miliki — dan kemudian dituangkan dalam bentuk – misalnya — karya tafsir dan pelbagai hasil kajian al-Quran lainnya. Dengan ungkapan lain, di samping ia selau merindukan kehadiran al-Quran, ia juga membaca, memahami, dan menafsirkan ayat-ayatnya dan berkarya ilmiahl dengan al-Quran yang telah ia baca dan (ia) cerna maknanya.
Para pecinta ini telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah yang sungguh bermakna bagi pengembangan studi al-Quran, dan – oleh karenanya – patut disebut sebagai “Ilmuwan al-Quran”.
Ketiga, penggali makna dan pengamal kritis al-Quran, yang ia sebut sebagai “pecinta kritis” (the critical lover).
Pecinta yang ketiga ini adalah sekelompok orang yang terpikat pada Sang Kekasih, tetapi tidak menjadikannya “gelap mata”. Mereka gemar membaca, memahami, dan menafsirkan beberapa organ tubuh Sang Kekasih (al-Quran), Mereka mampu bersikap proporsional terhadap segala sesuatu yang menempel pada tubuh Sang Kekasih. Dan semua mereka lakukan demi rasa cintanya dan perhatian tulusnya pada Sang Kekasih.
Untuk mengetahui itu semua, para pecinta pada level ini – seolah-olah — rela “menikahi” Sang Kekasih (baca: al-Quran) dan memanfaatkan sebagai “kawan setia” untuk menggali memahami makna hidup dan memaknai hidupnya lebih dalam dari pada pecinta kedua (pecinta ilmiah).
Dengan metode seperti itu, para pecinta ini bisa berdialog dan berinteraksi dengan al-Quran, dan sekaligus mampu menyingkap segala misteri yang melingkupinya. Hasil dialog dan interaksinya itu kemudian mereka wujudkan bukan hanya dalam bentuk karya-ilmiah yang diasumsikan bisa menjawab persoalan zaman, bahkan menjadi bangunan “al-akhlâq al-karîmah” (akhlak mulia).
Pecinta jenis ketiga inilah yang pernah ada di zaman Rasulullah s.a.w., dan dicontohkan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. bersama para sahabatnya. Dan oleh karenanya, tentu saja diharapkan selalu ada di setiap zaman. Termasuk di dalamnya: “kini” di belahan bumi Indonesia kita tercinta.
Mampukah warga ‘Aisyiyah memulainya, untuk menjadi yang pertama dan utama, pembaca al-Quran kelompok ketiga: “Pembaca-Kritis” yang mampu menggali makna al-Quran dan mengamalkannya,sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. dan generasi “salafus shâlih?”
Insyâallâh.
BERBISNIS SECARA SYARIAH:mengkaji ulang multi level marketing
Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebuah fenomena maraknya para aktivis dakwah terlibat dalam upaya mengembangkan bisnis secara mandiri sebagai lahan penghidupan mereka. Tentu saja ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik dan patut kita syukuri, apalagi hal tersebut dikembangkan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tengah terpuruk di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Salah satu bentuk bisnis yang marak saat ini adalah Multi Level Marketing (MLM).
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadîts). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah, 2: 275),
Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Pada dasarnya, berbisnis dengan metode ini boleh-boleh saja, karena hukum asal mu’amalah itu adalah al-ibâhah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya.
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.[1]
Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Penulis melihat bahwa pada prakteknya masih sering terdapat berbagai penyimpangan dari aturan syariah, sehingga adalah tugas kita bersama untuk meluruskannya.
Kejelasan Akad
Berbicara mengenai masalah mu’amalah, maka ajaran Islam sangat menekankan pentingnya peranan akad dalam menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bisnis. Yang membedakan ada tidaknya unsur riba dan gharar dalam sebuah transaksi adalah terletak pada akadnya. Sebagai contoh adalah akad murabahah dan pinjaman bunga dalam bank konvensional. Secara hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama. Misalnya, seseorang membutuhkan sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi ke bank syariah dan setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah, dengan marjin profit yang disepakatinya 10 %, maka secara matematis, kewajiban orang tersebut adalah sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensional, yang menawarkan pinjaman dengan bunga sebesar 10 %, maka kewajiban yang harus ia penuhi juga sebesar Rp 1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah) adalah halal, sedangkan yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak pada faktor akad.
Bisnis MLM yang sesuai syariah adalah yang memiliki kejelasan akad. Jika akadnya murabahah, maka harus jelas barang apa yang diperjualbelikan dan berapa marjin profit yang disepakati. Jika akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya, siapa yang bertindak sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan mudarib-nya (pengelola usaha), serta bagaimana rasio bagi hasilnya. Jika akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis usahanya, berapa kontribusi masing-masing pihak, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan bagaimana kontribusi terhadap aspek manajemennya. Jika akadnya ijarah, maka barang apa yang disewakannya, berapa lama masa sewanya, berapa biaya sewanya, dan bagaimana perjanjiannya. Kalau akadnya adalah akad wadi’ah atau titipan, maka tidak boleh ada tambahan keuntungan berapapun besarnya. Demikian pula kalau bisnis tersebut dikaitkan sebagai sarana tolong menolong dengan mekanisme infak dan shadaqah sebagai medianya, maka embel-embel pemberian royalti harus dihindari. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Bisnis MLM yang akadnya tidak jelas dan semata-mata hanya memanfaatkan networking, merupakan salah satu bentuk money game yang dilarang oleh ajaran Islam.
Logika bisnis riil
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah logika bisnis riil. Apakah mungkin suatu usaha bisnis riil dapat menjanjikan keuntungan berlipat-lipat, bahkan hingga ribuan persen, dalam waktu yang sangat singkat? Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Biasanya profit semacam itu hanya dihasilkan dari aktivitas spekulasi di pasar uang dan pasar modal konvensional, dengan instrumen bunga dan gharar yang sangat kental.
Menjanjikan keuntungan berlipat-lipat di awal sesungguhnya merupakan penyebab hilangnya etos kerja. Hal ini akibat adanya mimpi untuk menjadi kaya dalam waktu yang sangat singkat. Tentu saja, hal tersebut bertentangan dengan sunnatullah dan ajaran Islam yang menekankan pentingnya usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal di dalam mencari rezeki. Karena itulah, penulis mengajak kita semua untuk bersama-sama meluruskan kembali aktivitas bisnis kita agar senantiasa selaras dengan tuntunan ajaran Islam, sehingga hidup kita pun menjadi semakin berkah.
AL- 'UMRA DAN AR-RUQBA
Konsep Dasar:
Dalam akad (kontrak) tabarru’ (yang bertujuan sekadar untuk bersedekah atau berupa pemberian secara suka-rela dari pemilik barang atau uang kepada siapa pun yang dikehendaki olehnya), khazanah Fikih Islam memperkenalkan dua istilah, yang keduanya berasal dari sunnah Nabi s.a.w.. Pertama, al-‘Umrâ, yaitu: “pemberian harta kepada seseorang dengan ketentuan apabila yang diberi (itu) meninggal dunia lebih dahulu daripada yang memberi, maka barang tersebut harus dikembalikan kepada (pihak) yang memberi. Sebaliknya apabila (pihak) yang memberi itu meninggal dunia lebih dahulu daripada yang diberi, maka barang tersebut tetap menjadi milik (pihak) yang diberi, hingga pada saat meninggalnya, dan untuk kemudian diserahkan kembali kepada ahli waris si pemberi. Tetapi, bila akadnya diucapkan atau dimaksudkan untuk diberikan kepada si penerima dan ahli warisnya, maka ahli waris si penerima harta itu pun berhak melanjutkan kepemilikan atas harta itu”. Kedua, ar-Ruqbâ, yaitu: “pemberian harta kepada seseorang hanya untuk selama hidup yang memberi dan yang diberi. Sehingga, dengan meninggalnya salah seorang dari keduanya, maka akad itu pun dianggap selesai. Dan harta pemberian itu pun kembali kepada si pemberi atau ahli waris si pemberi. Tetapi, bila akadnya diucapkan atau dimaksudkan untuk diberikan kepada si penerima dan ahli warisnya, maka ahli waris si penerima harta itu pun berhak melanjutkan kepemilikan atas harta itu”.
Pendahuluan:
Dalam modul yang berjudul: al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ, para mahasiswa diajak untuk memahami permasalahan al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ melalui pemahaman atas hadis-hadis Rasulullah saw.
Modul ini membahas tentang pengertian dasar al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ, baik dalam pengertian etimologis maupun terminologis.
Setelah anda mempelajari modul ini, secara garis besar anda dapat:
- mengemukakan pengertian dasar al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ menjelaskan hukum-hukum berkaitan dengan masalah al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ, berdasarkan hadis-hadis Nabi s.a.w.
- menjelaskan implikasi atas pemahaman hadis-hadis al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ, dengan pendekatan hukum.
Teks Hadis:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ -صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ-: (الْعُمْرَى لِمَنْ وُهِبَتْ لَهُ). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَلِمُسْلِمٍ: (أَمْسِكُوا عَلَيْكُمْ أَمْوَالَكُمْ وَلا تُفْسِدُوهَا، فَإِنَّهُ مَنْ أَعْمَرَ عُمْرَى فَهِيَ لِلَّذِى أُعْمِرَهَا حَيّاً وَمَيْتاً وَلِعَقِبِه(ِ.
وَفِى لَفْظٍ:(إِنَّمَا الْعُمْرَى الَّتِى أَجَازَهَا رسُولُ اللهِ -صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- أَنْ يَقُولَ: هِيَ لَكَ وَلِعَقِبِكَ، فَأَمَّا إِذَا قَالَ: هِىَ لَكَ مَا عِشْتَ فَإِنَّهَا تَرْجِعُ إِلَى صَاحِبهَا).
وَلأَبِى دَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ: (لا تُرْقِبُوا، وَلا تُعْمِرُوا، فَمَنْ أُرْقِبَ شَيئاً أَوْ أُعْمِرَ شيْئاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ).
Terjemah:
Dari Jabir r.a. katanya, Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Al-‘Umrâ itu hanya untuk yang diberi.” (Hadis Riwayat al-Bukhari-Muslim).
Menurut riwayat Muslim dari Jabir (Rasulullah saw. bersabda): “simpanlah hartamu untukmu dan janganlah kamu merusaknya, karena sesungguhnya barangsiapa yang memberikan sesuatu pemberian untuk selama hidup, pemberian tersebut untuk orang yang diberi, dalam keadaan mati atau hidup dan untuk ahli warisnya”.
Dalam satu matan hadis lain (dinyatakan): Al-‘Umrâ yang diperbolehkan oleh Rasulullah s.a.w. hanyalah jika si pemberi menyatakan: “ini untukmu dan (untuk) ahli warismu.” Jika si pemberi itu menyatakan: “ ini untukmu selama kamu hidup, maka pemberian itu kembali kepada pemberinya.”
Menurut riwayat Abu Dawud dari Jabir (katanya Rasulullah saw bersabda): “Janganlah kamu memberi sesuatu kepada orang dengan syarat semasih hidup saja (ar-Ruqbâ) dan janganlah kamu memberikan sesuatu kepada orang dengan syarat “kembali” jika (si penerima) mati terlebih dahulu daripada si pemberi (al-’Umrâ), karena barangsiapa yang melakukan ar-Ruqbâ atau al-‘Umrâ, maka pemberian tersebut untuk ahli warisnya.”
Pengertian Lafal:
الْعُمْرَى | : | Suatu bentuk pemberian kepada seseorang yang hanya berlaku selama hidup penerimanya. Apabila si penerima meninggal, maka pemberian itu kembali menjadi milik si pemberi. |
| لِمَنْ وُهِبَتْ لَهُ | : | Hanya bagi yang diberi. Maksudnya, harta pemberian itu hanya menjadi milik orang yang diberi (yang menerima pemberian), bukan untuk orang lain. |
| أََمْسِكُوا | : | Jagalah olehmu. Maksudnya perintah kepada si penerima harta untuk menyimpan dan memelihara harta yang diberikan oleh si pemberi harta. |
| لَكَ وَلِعَقِبِكَ | : | Bagimu dan (bagi) ahli warismu. Maksudnya: harta yang diberikan oleh si pemberi kepada si penerima, di samping menjadi milik si penerima juga menjadi milik ahli waris si penerima. |
| لَكَ مَا عِشْتَ | : | Bagimu selama hidupmu. Maksudnya: pemberian itu hanya sampai si penerima meninggal dunia. |
| فَإِنَّهَا تَرْجِعُ إِلَى صَاحِبهَا | : | Maka pemberian itu kembali kepada pemberinya. Maksudnya: harta yang diberikan itu, karena maksud akadnya hanya untuk si penerima sampai dia meninggal dunia, maka ketika si penerima meninggal dunia, harta pemberian itu pun kembali kepemilikannya kepada si pemberi. |
| لا تُرْقِبُوا، وَلا تُعْمِرُوا | : | Janganlah kamu sekalian memberi sesuatu kepada orang dengan syarat semasih hidup saja (ar-Ruqbâ) dan janganlah kamu sekalian memberikan sesuatu kepada orang dengan syarat “kembali” jika (si penerima) mati terlebih dahulu daripada si pemberi (al-’Umrâ). Maksudnya: janganlah kamu sekalian membatasi pemberian dengan kedua pola akad itu sebatas pengertian umum kedua pola akad itu. |
| فَمَنْ أُرْقِبَ شَيئاً أَوْ أُعْمِرَ شيْئاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ | : | Barangsiapa yang melakukan ar-Ruqbâ atau al-‘Umrâ, hendaknya (di samping pemberian tersebut dimaksudkan untuk si penerimanya) untuk ahli warisnya. Maksudnya: juga untuk ahli waris si penerima pemberian itu. |
Maksud Hadis:
Seseorang yang menerima pemberian berupa al-’Umrâ, memiliki hak untuk menggunakan harta yang diberikan oleh si pemberi tersebut selama hidupnya. Bahkan, seandainya pemberian itu dimaksudkan (juga) untuk ahli warisnya (ahli waris si penerima pemberian), maka para ahli warisnya pun berhak menggunakannya. Namun, seandainya pemberian itu hanya dimaksudkan untuk si penerimanya saja, maka setelah si penerima meninggal, harta pemberian itu pun kembali (kepemilikannya) kepada si pemberi. Begitu juga dalam kasus ar-Ruqbâ, harus dilihat sighat (bentuk) akadnya. Bila sighat-nya dimaksudkan sebatas masa hidup keduanya, dan tidak dimaksudkan untuk diwariskan, maka ketika salah seorang dari keduanya meninggal, akadnya pun selesai. Dan harta itu pun harus dikembalikan kepada pemberinya atau ahli waris pemberinya. Tetapi, bila sighat-nya dimaksudkan juga untuk ahli waris si penerima, maka kepemilikannya bisa dilanjutkan oleh para ahli waris si penerima
Penjelasan dan Istinbath Hukum:
Pada dasarnya al-‘Umrâ dan ar-Ruqbâ adalah budaya (Arab) Jahiliyyah, yaitu ketika seseorang memberikan tempat tinggal (rumah) kepada orang lain, seraya berkata: “saya berikan (rumah) ini kepadamu selama kamu berada (tinggal) di rumah ini dengan syarat jika kamu mati lebih dahulu, maka rumah ini kembali kepadaku dan jika saya mati lebih dahulu, maka rumah ini menjadi milikmu.”
Maksudnya: “saya perkenankan kamu menempati rumah ini selama masa hidupmu.” Lalu dikatakan kepadanya: “Ya, selama masa hidupku saya terima pemberianmu.” Juga dikatakan ar-Ruqbâ, karena masing-masing dari masing-masing pihak menunggu-nunggu kematian yang lain. Setelah syari’at Islam datang, ditetapkanlah budaya tersebut sebagai ketentuan (Islam). Dalam hadis tersebut terkandung petunjuk tentang adanya syari’at pemberian semacam itu dan sesungguhnya pemberian itu dapat dimiliki oleh yang diberi (barang) itu. Demikian pendapat (Jumhur) Ulama seluruhnya, kecuali riwayat dari Dawud yang menyatakan bahwa pemberian semacam itu tidak sah.
Diperselisihkan tentang orientasi kepemilikan itu. Menurut Jumhur (mayoritas) ulama, kepemilikan tersebut hingga (kepemilikan) hamba sahaya, seperti (pada) pemberian-pemberian lainnya. Menurut asy-Syafi’i dan Malik kepemilikan itu untuk semua (yang berguna) selain hamba sahaya.
Ketentuannya meliputi tiga macam: (1) untuk selamanya apabila ia menyatakan “selamanya”; (2) bersifat mutlak jika tidak ada pembatasan; (3) terbatas apabila dia menyatakan “selama kamu hidup, jika kamu sudah mati, maka pemberian itu kembali kepada saya”.
Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Pendapat yang râjih (kuat; paling mendekati kebenaran) adalah bahwa pemberian itu “sah” dalam semua hal; dan seseungguhnya orang yang diberi itu berhak memiliki pemberian tersebut dengan hak penuh, boleh dia gunakan dengan cara menjualnya atau dengan cara-cara penggunaan yang lain (misalnya: sekadar memanfaatnya).
Demikianlah penjelasan beberapa hadis, bahwa pemberian itu adalah untuk orang orang yang diberi, baik semasa hidupnya maupun setelah mati.
Adapun ucapannya: ketika dia berkata, “pemberian ini untukmu selama kamu hidup, lalu setelah mati kembali menjadi miliknya”, karena sesungguhnya dengan pembatasan ini telah disyaratkan kembali barang pemberian itu kepada pemberi setelah yang diberi itu meninggal dunia, maka hukumnya sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan itu. Sebagaimana halnya jika ia memberikannya untuk masa sebulan atau setahun maka pemberian itu semacam “pinjaman”. Demikianlah kesepakatan ulama.
Makna sabda Rasulullah s.a.w.: “simpanlah padamu hartamu itu” dan sabdanya: “janganlah kamu melakukan ar-Ruqbâ”, dipahami sebagai ketentuan yang bersifat “makruh”, dan petunjuk bagi mereka agar memelihara harta bendanya, karena sesungguhnya ketika mereka memberikan sesuatu kepada orang dengan syarat hidup dan matinya si pemberi dan yang diberi” (al-‘Umrâ), dan jika mereka memberikannya hanya selama hidup yang diberi saja, maka pemberian tersebut kembali kepada pemberinya apabila pihak yang diberi sudah mati. Lalu datanglah syari’at Allah yang menetapkan hak bagi yang diberi, akadnya sah dan batallah syarat yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Cara semacam itu sama dengan meminta kembali “hibah”, padahal jelas ada larangannya.
An-Nasai meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbas secara marfû’ (yang beliau sambung sanadnya hingga Rasulullah s.a.w). (beliau bersabda): الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِهِ”“ (Orang yang meminta kembali hibahnya adalah seperti orang yang memakan kembali muntahannya).
BANK ASI
Akhir-akhir ini, beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI).
Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari puting susu. Maka, apakah oleh syara’ (agama) mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?
Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah dipandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan — yang jumlah mereka sangat sedikit — dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash (teks) al-Quran serta contoh riil kaum muslim.
Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu — yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak — patut diapresiasi. Lalu, apa yang dikhawatirkan di balik kegiatan yang mulia ini?
Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu.
Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain — menurut pendapat jumhur fuqahâ’ (para ahli fikih) – karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah, serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini.
Oleh karena itu, masalah ini sebaiknya menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.
Pertama, menjelaskan pengertian radhâ’ah (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ untuk menetapkan pengharaman.
Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.
Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.
Pengertian Radhâ’ah (Penyusuan)
Makna radhâ’ah (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur (mayoritas) fuqahâ’ (para ahli fikih) — termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i – ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajûr (yaitu menuangkan air susu melalui mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa’ûth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan melalui dubur (anus). Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa’ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Allamah Ibnu Qudamah (penulis kita al-Mughni) menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai al-wajûr dan as-sa’ûth.
Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama, bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik melalui mulut maupun melalui hidung). Adapun yang melalui mulut (al-wajûr), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan melalui hidung (as-sa’ûth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.
Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.
Disebutkan di dalam kitab al-Mughni “Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Zhahiriyah (Daud bin Ali), dan perkataan Atha’ al-Khurasani mengenai as-sa’ûth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu melalui hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh.”
Sementara itu, pengarang kitab al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin Mas’ud:
لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ
“Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging”
Hadis yang dijadikan hujjah (argumen) oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justeru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadis ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadis itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan).
Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, “Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama — jika dilakukan melalui penyusuan – serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut.”
Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni (Ibnu Qudamah rahimahullah), “Kalau ‘illah (sebab-hukum)-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita mengatakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi melalui pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran.”
Menurut pendapat saya, asy-Syâri’ (Pembuat Syariat, Allah) menjadikan asas pengharamnya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman Allah SWT ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS an-Nisâ’, 4: 23)
Maksud “ibu” di dalam ayat tersebut ialah: ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan “anak perempuan” ialah: anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan “anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu”, menurut jumhur ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Adapun “keibuan” yang ditegaskan al-Quran itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap puting susunya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.
Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan asy-Syâri’ (Pembuat Syari’ah, Allah) di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdhâ’ dan radhâ’ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa al-Quran dan as-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu: “memasukkan ‘puting susu’ ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun”.
Pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini, ketika beliau berhenti pada petunjuk nash (teks) — tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran — menurut pendapat saya, lebih mendekati kebenaran.
Tetapi harus diingat juga, bahwa penyusuan itu tidak akan bermakna kecuali dengan keluarnya air susu yang dikonsumsi oleh sang bayi, seberapa pun kuantitas dan kualitasnya. Sehingga tidak tepat seandainya kita nafikan pertimbangan para ulama selain Ibnu Hazm yang mengisyaratkan arti pentingnya ASI yang dikonsumsi oleh Sang Bayi, di samping penyusuan pada puting wanita itu.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa radha’ah itu di samping berkenaan dengan pengisapan puting susu, juga (berkenaan) dengan pengisapan ASI oleh bayi.
Disadur dan diselaraskan dari tulisan Dr. Yusuf al-QaradhawiSUCIKAN HATI,BERANTAS KORUPSI
Bekerja dengan hati ialah: “mengoptimalkan segala sumber daya akal, yaitu kompetensi dan budi yang memegang peranan dalam perilaku”. Bekerja dengan hati juga berarti: “memberikan dedikasi terbaik untuk mengukir sebuah karya dalam momentum sejarah”. Bekerja dengan hati adalah: “menempatkan diri seadil-adilnya dalam posisi apa pun kita berperan dalam kehidupan”. Itulah yang banyak dinyatakan oleh para trainer dan motivator kita, termasuk di dalamnya “pak Mario Teguh”..
Manusia – masing-masing — memiliki hati. Kadang-kadang bersih, dan kadang-kadang kotor. Hati yang bersih disebut qalb salîm, selalu mendapat petunjuk dari Allah dan dibimbing untuk berperilaku yang terpuji. Karena itu, ia disebut qalb (hati) nûrânî (hati yang bercahaya). Sedangkan hati yang tidak kotor disebut qalb ghairu salîm, dimurkai oleh Allah dan disebut dengan qalb (hati) zhulmânî (hati yang gelap). Jadi, karena kita – masing-masing — hanya mempunyai satu hati, maka tidak mungkin separuhnya nûrânî dan separuhnya lagi ) zhulmânî.
Kata Rasulullah s.a.w. hati setiap manusia berpotensi untuk tetap bersih dan juga (berpotensi) untuk menjadi kotor karena ulah manusia itu sendiri. Sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya setiap orang yang beriman, di ketika berbuat dosa, maka di dalam hatinya akan berbekas kotoran berupa bintik-bintik hitam. Seandainya ia bertobat, tak mengulangi perbuatan dosanya dan memohon ampun kepada Allah, maka hatinya akan kembali menjadi bersih. Namun, bila ia mengulangi perbuatan dosanya, maka kembali kotorlah hatinya, hingga (bisa) tertutup sama sekali oleh kotoran itu” (HR al-Baihaqi dari Abu Hurairah, dalam kitab as-Sunan al-Kubrâ, juz 10, h. 755).
Di antara perbuatan dosa yang kini telah dan tengah banyak dilakukan orang dqn ditengarai sebagai sebagai “dosa besar”, karena dampak negatifnya yang luar biasa”, adalah: “korupsi” dalam berbagai ragamnya.
Ragam korupsi itu antara lain: penyuapan (bribery), baik menerima maupun memberi, penipuan atau pencurian sumber daya (dana publik atau sumber daya alam) yang dilakukan pihak-pihak tertentu (embezzlement), mendistorsi atau manipulasi informasi atau fakta dengan tujuan mengambil keuntungan pribadi (fraud), meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa (extortion), mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya (favouritism), pengamanan kekuasaan dengan menempatkan anggota keluarga dalam posisi-posisi kunci (nepotism).
Korupsi ternyata sudah menggurita, jalin menjalin dan cenderung dianggap biasa. Secara personal korupsi bersumber pada sikap tamak, rakus, dan asosial serta terbatasnya kemampuan per individu yang diperoleh dari hasil kerjanya untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam konteks kehidupan bersama, korupsi dimungkinkan karena hukum yang terlalu sempit mengartikulasikan korupsi, tidakadanya transparansi, penegak hukum yang kurang berani, birokrasi yang berbelit-belit sehingga memberi peluang pada orang untuk mencari jalan pintas, dan memberi peluang pada birokrat untuk menjual jasa jalan pintas itu. Korupsi mengakibatkan ketidakefisienan sarana dan prasarana, ketidakadilan distribusi ekonomi sehingga terjadi kesenjangan, rusaknya tatanan kehidupan sosial, serta sumber kehidupan menjadi terkuras. Secara pribadi korupsi mengakibatkan merosotnya kualitas pribadi yang pada gilirannya membuat merosotnya kualitas bangsa.
Didin S. Damanhuri (2007) mencatat analisis yang dikemukakan dua pemikir tentang korupsi.
Pertama, pendapat dari Gunnar Myrdal, pemegang hadiah Nobel ekonomi tahun 1968. Ia berpendapat dalam bukunya “Asian Drama” bahwa korupsi di Asia Selatan dan Tenggara berasal dari penyakit neopatrimonialisme, yakni warisan feodal kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam konteks tersebut, rakyat biasa atau bawahan berkewajiban memberi upeti kepada pemegang kekuasaan atau atasan. Lebih lanjut, karena dalam perspektif kerajaan-kerajaan lama, kekuasaan bersifat kongkrit dan harus diwujudkan secara materi/kekayaan serta dukungan sejumlah cacah/penduduk yang harus dipelihara kesetiaannya. Maka berkembanglah politik uang yang sangat mencederai perkembangan sistem politik di alam reformasi sekarang ini.
Kedua, Syed Hussein Alatas, pakar sosiologi korupsi melihat bahwa di Asia, korupsi berkaitan dengan warisan dari kondisi historis-struktural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan penjajah. Dengan demikian secara terus menerus bangsa ini terbiasa melakukan penyimpangan dari norma yang sebelum penjajahan secara utuh dihormati dan dipatuhi. Pada gilirannya nanti mengaburkan garis pemisah antara yang boleh dan dilarang asal terjaga loyalitas terhadap penguasa. Dengan pengulangan yang terus menerus akhirnya menimbulkan gerak refleks ke dalam pola intelektual dan emosional yang pada gilirannya terbentuk norma lain, yakni kebiasaan melanggar norma lama yang sebenarnya dilarang dan negatif.
Dengan demikian, menurut Alatas, kini dalam masyarakat, meski terdapat pelbagai kebijakan antikorupsi, namun akhirnya korupsi tersebut diterima sebagai praktik yang tak terhindarkan karena dirasa telah terlalu berakar dalam untuk dapat diberantas. Dengan kondisi seperti yang diuraikan tersebut, terjadilah sikap permisif yang menjadikan bangsa kita lebih berbudaya dan berstruktur lembek dalam menghadapi korupsi yang oleh Gunnar Myrdal disebut sebagai soft state terutama berlangsung di Asia Selatan dan Tenggara. Dalam pandangan penulis sendiri, ketika melihat di lapangan, kiranya anatomi korupsi di negeri ini lebih merupakan gabungan dari sebab-sebab neopatrimonialisme, kondisi historis-struktural akibat penjajahan plus kondisi transisi dari masyarakat lama yang tradisional dan agraris ke kompleksitas masyarakat baru yang lebih industrial dengan ekonomi uang dan sofistifikasi dari struktur masyarakat modern yang rasional dan sekuler.
Sementara budaya dan perangkat hukum positif belum menjadi supremasi kehidupan. Ajaran-ajaran agama yang disampaikan oleh para pemuka belumlah bisa memunculkan world view dan teologi yang secara kuat meresap menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia yang sanggup mendekonstruksi perilaku menyimpang dalam pelbagai bentuk korupsi. Saat yang sama seharusnya juga mampu membentuk kesalehan sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara modern yang bersih dan patuh secara hukum bukan hanya yang tak tertulis (kesalehan individual) tapi juga terhadap hukum positif yang berlaku secara nasional.
Dalam menciptakan situasi perang terhadap korupsi, dengan menyadari kompleksitas seperti di uraikan di atas, dalam menyusun grand design penulis mencatat beberapa hal yang kiranya amat penting. Yang utama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ”totok nadi” yang strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi,. Para pemimpin kita seharusnya menjadi yang pertama dan utama dalam berinisiatif sebagai dirigen dalam menciptakan ”koalisi-bersih”.
Lebih dari itu, mengutip M. Quraish Shihab (2002), Manusia yang memiliki qalb (hati) nurâni sangat rindu untuk selalu dekat dengan Allah. Kerinduan itu pun disambut oleh Allah dengan firman-Nya, ”Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu denagn kepuasan dan ridha, maka bergabunglah dengan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr, 89: 27-30). Kebalikan dari qalb (hati) nurâni adalah qalb (hati) zhulmâni yang berarti gelap atau zalim. Gelap dari petunjuk dan menutup diri dari kebenaran. Cenderung kepada disharmonisasi, merusak silaturahim, egois, suka menciptakan teror dan provokasi.
Orang yang berhati qalb (hati) zhulmâni biasanya berjiwa SMOS (Suka Melihat Orang Susah, atau Susah Melihat Orang Senang). Jika suatu kebenaran merugikan dirinya, ia tutup-tutupi. Mempermainkan kata-kata adalah wujud dari kegelapan atau kezaliman hati. Gambaran bagi yang mempunyai qalb (hati) zhulmâni adalah lebih sesat daripada binatang. (QS al-A’râf, 7: 179). Na’udzubillâh min dzâlik.
Saatnya (kini) kita “harus” berani berkata – dari kebersihan hati kita — “tidak” untuk korupsi, dengan satu komitmen untuk tidak melakukan korupsi dalam bentuk apa pun.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar