|
|
IKHLAS
Para pembaca yang mulia- semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati kita semua-, Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana telah menetapkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya akan ada yang mengalami hidup bahagia dan akan ada yang mengalami hidup sengsara. Namun Allah subhanahu wata’ala adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, melalui lisan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam, Dia subhanahu wata’ala juga telah menunjukkan kepada umat manusia ini mana jalan yang akan mengantarkan kepada hidup bahagia dan mana jalan yang akan menjerumuskan kepada jurang kesengsaraan.
Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari serta kemudian mematuhi dan mengamalkan rambu-rambu yang telah terpasang di jalan yang menuju kepada hidup bahagia tersebut. Allah subhanahu wata’ala sebagai pemilik kehidupan ini telah menegaskan dalam Al Qur’an (artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang bahagia.” (An Nahl: 97)
Allah subhanahu wata’ala mensyaratkan kepada seorang mukmin yang menginginkan hidup bahagia, agar mereka beramal shalih. Allah subhanahu wata’ala berjanji, barangsiapa yang beramal shalih niscaya akan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Barangsiapa yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka mereka akan masuk ke dalam Al Jannah dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun.” (An Nisa’: 124)
Apakah Amal Shalih itu?
Tidaklah semua amal baik yang dilakukan oleh seseorang bisa dikatakan sebagai amalan shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Seperti yang telah dikhabarkan oleh nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ, وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهْرُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar rasa lapar, dan betapa banyak orang yang menegakkan shalat malam, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar bergadang saja.” (HR. Ibnu Majah, An Nasa’i)
Lihatlah wahai pembaca yang mulia, ternyata amalan puasa dan shalat malam yang dilakukan, tidak memberikan manfaat bagi dirinya, Allah subhanahu wata’ala tidak menerima amalan tersebut, tidak memberi pahala kepadanya, dan yang ia peroleh hanya sebatas rasa lapar dan payah belaka.
Karena Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan dalam syari’at Islam ini, bahwa suatu amalan disebut amal shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala jika terpenuhi padanya dua syarat:
Syarat Pertama adalah Ikhlas, yakni amalan yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk mengharapkan ridha Allah subhanahu wata’ala, bukan karena terpaksa atau karena mengharapkan pujian orang lain, ataupun dalam rangka untuk mencari jabatan, kekayaan, popularitas dan semisalnya dari perkara-perkara duniawi.
Syarat Kedua haruslah amalan itu sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunan (ajaran)nya dari kami, maka amalan itu akan tertolak (di sisi Allah subhanahu wata’ala).” (HR. Muslim)
Bagaimana bisa seperti itu? Kita ambil contoh amalan shalat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya bahwa shalat Maghrib itu tiga raka’at. Maka barangsiapa yang mengerjakan shalat Maghrib empat raka’at, tentu shalatnya tidak sah dan secara otomatis akan tertolak di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Kedua syarat itulah pada hakekatnya merupakan realisasi dari Asy Syahadatain (dua kalimat Syahadat: Laa Ilaaha Illallah – Muhammadurrasulullah). Ketika seseorang telah mengikrarkan bahwa Allah subhanahu wata’ala lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, maka sudah seharusnya bagi dia untuk mempersembahkan seluruh ibadahnya ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala. Dan ketika dia telah menyatakan bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasulullah, maka hendaknya dia siap, tunduk, dan patuh untuk menjalankan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan tuntunan/ajaran Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaknya dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya.” (Al Kahfi: 110)
Al Imam Ibnu Katsir mengatakan: Ini adalah dua rukun amalan agar diterima (di sisi Allah subhanahu wata’ala), yaitu Ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala dan sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Jika hilang salah satu dari kedua syarat tersebut, maka amalan seseorang akan tertolak dan tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Maka barangsiapa yang beramal dengan niatan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala, namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalannya tertolak, dan sebaliknya barangsiapa yang beramal dengan amalan yang sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala, maka amalannya pun juga tertolak.
Peranan Niat dalam Amalan dan Kewajiban Ikhlas di dalamnya
Setiap amalan itu tergantung pada niatnya sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan (dari amalannya) sesuai dengan niatannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang beramal dengan niatan ikhlas untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala, dia akan mendapatkannya Insya Allah. Dan barangsiapa yang beramal namun dengan niatan untuk mendapatkan perkara yang sifatnya materi (duniawi) dan tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala, maka amalan itu tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Boleh jadi dia akan mendapatkan apa yang diinginkan tersebut, tapi Allah subhanahu wata’ala tidak akan memberikan keridhaan-Nya kepadanya, bahkan Allah subhanahu wata’ala mengancam orang yang seperti ini dengan firman-Nya (artinya):
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan usaha mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali An Nar (neraka) dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16)
Betapa pentingnya permasalahan ikhlas ini, sampai-sampai Al Imam An Nawawi menjadikan wajibnya ikhlas sebagai bab pertama dalam kitab beliau yang barakah Riyadhush Shalihin.
Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam semua amalan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah firman-Nya (artinya): “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (Al Bayyinah: 5)
Seseorang yang beramal bukan dalam rangka mengharap ridha Allah subhanahu wata’ala, berarti dia telah menjadikan sekutu dan tandingan bagi Allah subhanahu wata’ala dalam ibadah. Inilah kesyirikan yang dilarang dalam agama ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Barang siapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan (tidak mempedulikan) pelakunya dan perbuatannya.” (HR. Muslim)
Orang yang berbuat syirik kepada Allah subhanahu wata’ala, maka amalannya akan terhapus dan tertolak di sisi Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Jika engkau berbuat syirik, maka sungguh amalan-amalanmu akan terhapus dan engkau termasuk orang-orang yang merugi.” (Az Zumar: 65)
Tipu Daya Iblis
Para pembaca, tentunya kita tidak lupa akan perbuatan Iblis yang membangkang ketika Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepadanya untuk sujud kepada Nabi Adam ?. Allah subhanahu wata’ala mengusir Iblis dari Al Jannah, maka Iblis menyatakan sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala kisahkan dalam Al Qur’an (artinya):
“Iblis berkata: “Wahai Rabbku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka.” (Al Hijr: 39-40)
Iblis bertekad untuk menyesatkan umat manusia ini seluruhnya, kemudian Iblis mengecualikan orang-orang yang ikhlas, karena Iblis tidak akan mampu untuk menyesatkan mereka.
Ini menunjukkan bahwa misi utama Iblis adalah menyesatkan umat manusia dari jalan Allah subhanahu wata’ala dengan memalingkan mereka dari keikhlasan kepada-Nya ?.Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ
“Sesungguhnya setan akan selalu hadir menggoda salah seorang diantara kalian pada setiap keadaannya.” (HR. Muslim)
Hendaknya kita semua berhati-hati dari makar setan ini, karena setan senantiasa akan menggoda, menyesatkan, dan memalingkan kita dari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala. Senantiasa kita koreksi niat-niat kita dalam beramal. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang Mukhlishin.
Akibat tidak Ikhlas
Berikut ini akan kami sampaikan sebuah hadits nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang menceritakan keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):
“Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, dimana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).
Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu belajar Al Qur’an (dengan niat)agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatan sebagai seorang Qari’ (ahli membaca Al Qur’an), dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.
Ketiga, seseorang yang dilapangkan rizkinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR. Muslim)
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala lemparkan mereka ke dalam An Nar. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.
nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عز وجل لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ..
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka dia tidak akan mendapatkan aroma Al Jannah pada hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Akhir kata, semoga ulasan edisi kali ini mendorong kita untuk selalu mengoreksi ibadah yang telah kita lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya. Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuni kekurangan-kekurangan ibadah kita yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mukhlishin. Amin, Ya Rabbal alamin.
Mutiara Faedah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang berwudhu’ lalu berjalan menuju rumah Allah (masjid) untuk menunaikan kewajiban shalat yang telah diwajibkan oleh Allah, maka salah satu langkah kakinya dapat menghapus dosa dan langkah lainnya dapat mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah rashiallahu ‘anhu)
Masjid merupakan syi’ar agama Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan, bukan hanya dari sisi fisiknya saja, namun yang paling utama adalah meramaikan masjid itu dengan menghidupkan berbagai macam kegiatan (ibadah) yang dianjurkan oleh syariat, seperti menghidupkan sholat jama’ah lima waktu.
Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sehingga tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang, bahkan Allah subhanahu wata’ala membalasnya dengan jauh lebih baik dari apa yang ia kerjakan, sebagaimana hadits di atas.
JERAT-JERAT SYAITHON
Tidaklah Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dan seluruh makhluk-Nya dengan sia-sia dan tanpa ada tujuan. Dan tujuan Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah dengan mentauhidkan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Tidaklah kehidupan ini akan berhenti pada apa yang kita lihat di dunia. Kehidupan dunia ini hanya sekedar batu loncatan dan sebagai perantara menuju kehidupan abadi. Masing-masing kita pasti akan kembali kepada-Nya dan mempertanggungjawabkan amalan di hari akhir nanti. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali. Dan sungguh Kamilah yang akan menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah: 25-26)
Para pembaca, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah ayat-Nya (artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji?” (Al Ankabut: 1-2)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa manusia pasti dan pasti akan diuji setelah dia menyatakan keimanannya. Mengapa Allah subhanahu wata’ala menguji kita? Apa hikmah di balik ujian Allah subhanahu wata’ala tersebut? Jawabannya adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui mana orang-orang yang jujur dan mana orang-orang yang berdusta.” (Al Ankabut: 3)
Semua ini akan kita saksikan di hari pembalasan, di mana akan ditampakkan oleh Allah subhanahu wata’ala segala bentuk rahasia yang tidak ada seorangpun dapat mengelak pada hari itu. Di saat itu Allah subhanahu wata’ala berkata kepada sekalian manusia (artinya): “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun: 115)
Di hari yang dahsyat itu, semua akan lepas dan pergi meninggalkan kita. Tidaklah seseorang akan memikirkan sesuatu kecuali hanya dirinya sendiri. Seorang ayah dan ibu akan lari meninggalkan sanak keluarganya, bahkan anaknya sekalipun tidak lagi mempedulikan orang tuanya. Mungkin ketika di dunia jika ada yang mengganggu mereka dengan kekuatan sebesar apapun, akan dibela dan dipertahankan kehormatannya sampai titik darah penghabisan. Tetapi di akhirat, mereka akan lupa semua itu. Allah subhanahu wata’ala menggambarkan semua itu dalam ayat-Nya yang suci (artinya):
“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkan.” (‘Abasa: 33-37)
Lalu di hari yang mengerikan itu, masing-masing akan ditanya oleh Allah subhanahu wata’ala tentang segala sesuatu yang telah diperbuat. Umurnya, untuk apa dihabiskan. Masa mudanya, untuk apa dipergunakan. Hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan. Serta ilmunya, untuk apa diamalkan.
Wahai saudaraku ini adalah suatu kepastian yang mesti akan terjadi. Supaya kita mengintrospeksi diri dan mulai mengevaluasi segala sesuatu yang telah dijalani selama ini. Sehingga ke depan, kita memiliki rambu-rambu dan isyarat yang dengannya dapat melangkah dengan tepat menuju ridha Allah subhanahu wata’ala.
Saudaraku yang semoga selalu dilindungi Allah subhanahu wata’ala. Dengan penuh hikmah, Allah subhanahu wata’ala menciptakan bagi manusia dua musuh besar, yang mengharuskan kita untuk mengenali dan mempelajari siapa kedua musuh tersebut. Bagaimana kekuatannya dan bagaimana pula makar jahatnya. Kalau tidak, maka kita akan hancur dipecundangi mereka. Salah satu musuh bebuyutan tersebut adalah hawa nafsu yang bercokol dalam tubuh kita. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya): “Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejelekan, kecuali hawa nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Yusuf: 53)
Itulah hawa nafsu yang selalu, selalu, dan selalu memerintah dan mengajak kepada yang jelek. Dan musuh yang pertama ini sangat berbahaya bagi makhluk yang bernama manusia. Tidaklah dia dapat dikalahkan kecuali dari sekarang kita berniat dan berbuat untuk melawannya tanpa menunda-nunda.
Saudaraku seiman, musuh bebuyutan kedua yang tidak kalah dahsyatnya adalah Syaithan. Allah subhanahu wata’ala gambarkan tentangnya di dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh. Karena sesungguhnya syaithan-syaithan itu hanya mengajak golongannya agar meraka menjadi penghuni neraka yang menyala-menyala.” (Faathir: 6)
Coba perhatikan, dalam ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan untuk memposisikan dia sebagai musuh terdepan, sehingga kita dapat mempelajari bagaimana gerak-gerik, kekuatan, serta makar-makarnya, yang dengan itu kita bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya. Lalu, dari mana kita mendapatkan ilmu menghadapi musuh yang satu ini? Maka tidak lain hanya Al Qur’an dan As Sunnah saja senjata terkuat untuk menghadapinya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Kitab Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 2)
Dan musuh yang satu ini tidak main-main, bahkan ia telah berhasil mengeluarkan ayah kita Adam beserta istrinya dari al jannah (surga). Seorang Nabi saja telah berhasil terkena bujukan dan rayuannya, apalagi orang yang bukan nabi. Dan ia pun telah bersumpah setelah Allah melaknatnya: (artinya) “…Dan syaithan telah menyatakan: ’Sungguh benar-benar aku akan mengambil dari hamba Engkau bagian yang telah ditentukan (untukku). Dan benar-benar aku akan menyesatkan mereka, dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka.” (An Nisaa’: 118-119)
Kalau ada seseorang memiliki rumah yang bagus, maka ia akan mempelajari bagaimana teknis. Sehingga rumahnya dipagari dengan rapi dan kuat. Melindungi diri dan keluarganya kemudian hartanya dari para pencuri. Padahal, kalaupun hartanya dicuri, mungkin yang hilang hanya beberapa rupiah saja, yang semua itu tidaklah sebanding jika iman yang hilang darinya.
Allah subhanahu wata’ala mengenalkan kepada kita tentang siapa sebenarnya makhluk terlaknat yang kita diperintahkan untuk menjadikannya sebagai musuh utama. Dalam ayat lain Allah subhanahu wata’ala mengkhabarkan lagi tentang iblis ketika ia meminta kepada Allah: (artinya) “Ya Allah, tundalah kematianku sampai hari kebangkitan.” (Al A’raf: 14)
Untuk apa iblis meminta kepada Allah subhanahu wata’ala untuk ditunda kematiannya? Tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memimpin pasukan dan bala tentaranya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Subhanallah, kepada siapakah iblis memohon permintaannya? Apakah ia meminta kepada Jibril? Tidak!!! Ia meminta kepada Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Pemberi, karena ia tahu bahwa Jibril bahkan seluruh malaikat dan makhluk yang lainnya tidak mampu menunda kematiannya.
Iblis bukanlah makhluq yang tidak mengenal Allah subhanahu wata’ala, atau tidak yakin akan keberadaan Allah subhanahu wata’ala, bahkan ia meminta dan memohon langsung kepada Allah subhanahu wata’ala. Tetapi mengapa iblis menjadi kafir dan dilaknat oleh Allah Yang Maha Pengampun? Yang menyebabkan ia menjadi makhluk terlaknat dan dinyatakan kafir bahkan pimpinan orang-orang kafir adalah karena sifat sombong dan takabbur yang ada padanya, sehingga karenanya ia tidak taat kepada perintah Allah dan cenderung mengikuti hawa nafsunya.
Lalu, bagaimana cara iblis menghalangi Bani Adam masuk ke rel Shirotol Mustaqim (jalan yang lurus)? Apakah dengan dibunuh satu persatu? Atau …. Bagaimana??? Tidak! Kalau caranya seperti itu iblis merasa rugi, karena ia akan kehilangan teman, sebelum berhasil membujuk mereka untuk tinggal bersamanya di Jahannam. Tetapi iblis menyatakan:
“Kemudian aku akan mendatangi mereka dari arah depan dan belakang mereka, dan dari arah kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al A’raf: 16)
Iblis akan selalu menggambarkan di benak manusia seolah-olah ada layar yang selalu ditampakkan oleh iblis berupa kegagalan, kehancuran, dan kemiskinan ketika ia akan menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala di dunia.
Dan di antara manuver jahatnya, dia menebarkan syubhat (kerancuan) dalam perkara agama di mata bani adam, sehingga seseorang akan menganggap yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq, yang halal adalah haram dan sebaliknya yang haram adalah halal, yang salah adalah sesuatu yang baik dan benar, dan sebaliknya yang benar akan digambarkan adalah sebuah perkara yang batil. Inilah sifat yang Allah subhanahu wata’ala gambarkan dalam Al Qur’an (artinya):
“Katakanlah: ‘apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Masing-masing syaithan memiliki data tentang keadaan dan kelemahan seseorang, sehingga ia akan mengkhabarkan dan memberikan informasi kepada yang lainnya tentang kelemahannya, agar mereka dapat dengan mudah mendatanginya dari arah tersebut. Jika kelemahannya tersebut ada pada keluarganya, maka mereka akan menggoda dan mengganggu melalui keluarganya. Oleh karena itu, masing-masing harus mengetahui kondisi dirinya dan kelemahan yang ada padanya agar dapat mempersiapkan diri dari serangan-serangan syaithan yang akan menjerumuskan kita kearah kebinasaan dengan mempelajari ilmu agama sejak dini.
Saudaraku yang mulia, kalau kita ingin bertempur, maka kita harus tahu dimana letak kekuatan lawan, apakah pada kekuatan darat, laut ataukah udaranya. Kalau kekuatannya tersebut ada pada pasukan udara, maka kita harus bersiap-siap mengahadapinya dari arah udara. Seandainya kita tidak tahu bagaimana kekuatan musuh, maka kita akan habis dilalap oleh pasukan musuh tersebut. Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan bagaimana kekuatan dan makar-makar syaithan. Tinggal, maukah kita mempelajari dan mengenal kekuatan lawan kita ini?
Dan diantara manuvernya, ia akan mendatangi manusia dari pintu syahwat dengan mengajak agar dia cenderung melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam. Jika datang seseorang menasihatinya dari perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menjawab: “Wah sulit, yang haram saja sulit apalagi yang halal”. “Yang Jujur hancur.” Lihat saudaraku, syaithan telah berhasil masuk ke pintu syahwatnya. Dia telah memenuhi permintaan kekasihnya untuk melakukan ini dan itu dengan jalan yang tidak Allah subhanahu wata’ala halalkan.
Terkadang pula kita membiarkan bahkan mengajarkan anak dan keluarga kita untuk meniru gaya dan cara hidup orang-orang kafir. Jangan coba-coba menyalahkan anak dan keluarga kita kalau akhlak mereka menjadi tidak baik, karena didikan yang diberikan tanpa sedikitpun tersentuh dengan nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Mereka hanya tahu dengan nama-nama bintang film, tetapi ketika mereka ditanya siapa Umar Bin Khathab, mereka hanya tercengang dan bengong karena tidak tahu siapa beliau. Sejak kecil mereka dicekoki dengan nyanyian dan tari-tarian. Sehingga jangan salahkan, jika setelah besar mereka kosong dari akhlak yang mulia. Seorang penyair berkata:
“Jika bergaul dengan suatu kaum pilihlah yang terbaik
Hindarilah yang hina karena kehinaannya membuatmu hina”
Wahai saudaraku….masih ada waktu untuk mulai berbenah diri dan kembali kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena sesungguhnya Dia adalah Rabb Yang Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, jauh melebihi sayangnya seorang ibu terhadap anaknya.
Tidak ada ungkapan yang lebih pantas diberikan kecuali dengan mengingatkan sebuah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’, no. 1731)Sebaik-baik hadiah yang diberikan seseorang kepada saudara seagamanya adalah nasihat yang menjadi bekal baginya di dunia dan simpanan di akhirat kelak. Semoga Allah subhanahu wata’ala selalu memberi taufiq-Nya kepada kita agar selalu di atas kebaikan dan dihindarkan dari segala kejahatan. Amin
GOLONGAN PENGHUNI AL JANNAH TANPA HISAB DAN TANPA ADZAB
Diantara rukun iman yang wajib untuk diimani oleh kaum mukminin adalah beriman kepada hari akhir. Bahwa segala yang ada di dunia ini adalah fana dan tiada yang kekal, tapi bukan berarti telah berakhir sampai disini. Tapi menuju ke alam berikutnya yaitu hari akhir, suatu kehidupan yang kekal tiada berakhir.
Semua jiwa pasti akan kembali kepada pemilik dan penciptanya yaitu Allah ?. Setelah ditiup sangkakala yang kedua seluruh manusia dibangkitkan dari kuburan-kuburan mereka dalam keadaan tidak membawa apa pun, tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan juga tidak berkhitan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah, bahwa baginda Rasulullah ? bersabda:
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقَيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً
“Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan tidak berkhitan.”
Kemudian Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah seluruh para wanita dan laki-laki seperti itu, sehingga saling melihat diantara mereka? Beliau ? menjawab:
يَا عَائِِشَةُ ! الأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يَنْظُرَ بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ
“Wahai Aisyah! Kondisi waktu itu amat ngeri dari pada sekedar melihat antara satu dengan lainnya.” (H.R. Al Bukhari no 6527 dan Muslim no. 2859)
Setelah itu manusia dikumpulkan di padang mahsyar menanti penghisaban (perhitungan) semua amal perbuatannya selama hidup di dunia. Allah ? berfirman (artinya): “Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka akan kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah: 25-26)
Tahap penghisaban amal perbuatan manusia dipadang mahsyar merupakan bagian adzab dari Allah ? terhadap siapa yang dihisap pada hari itu. Rasulullah ? besabda:
مَنْ حُوْسِبَ يَومَ الْقِيَامَةِ عُذِّبَ
“Barangsiapa yang dihisab pada hari kiamat bararti dia telah marasakan adzab.”
Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah ? bukankah Allah ? telah berfirman (artinya): “(Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanan) maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah.”(Al Insyiqaq: Rasulullah ? menjawab:
إِنَّمَا ذَالك الْعَرْضُ مَنْ نُوْقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُذَِّبَ
“Sesungguhnya itu adalah sekedar memperlihatkan amalannya, tetapi barangsiapa yang diperiksa penghisabannya pada hari kiamat berarti dia telah merasakan adzab.” (H.R. Muslim no. 2876)
Pada hari penghisaban saja sangat mengerikan dan tersiksa. Bagaimana lagi dengan bentuk adzab dari Allah ? di neraka jahannam nanti. Rasulullah ? telah menggambarkan tingkatan neraka yang paling ringan, sebagaimana dalam hadits yang shahih:
إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَنْتَعِلُ بِنَعْلَيْهِ مِنْ نَارٍ يَغْلِي دِمَاغُهُ مِنْ حَرَارَةِ نَعْلَيْهِ
“Sesungguhnya adzab yang paling ringan bagi penghuni neraka adalah seseorang yang bersandalkan dengan api neraka, maka mendidihlah otaknya disebabkan dari panas kedua sandalnya.” (H.R. Muslim no. 211)
Namun Allah ? Al Ghaffur (Yang Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Yang Maha Pengasih) telah membentangkan rahmat-Nya yang amat luas. Diantara rahmat Allah ? telah memberikan petunjuk kepada manusia tentang jalan yang dapat mengantarkan ke dalam al janah tanpa hisab dan adzab. Jalan tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah ? dalam haditsnya:
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ (وَفِي رِوَايَةٍ : تُضِيْءُ وُجُوْهُهُمْ إِضَاءَةَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ)
“Akan masuk al jannah dari umatku tujuh puluh ribu tanpa hisab dan adzab (dalam riwayat lain; wajah-wajah mereka bercahaya bagaikan cahaya rembulan di bulan purnama.”
Kemudian Rasulullah ? berdiri dan masuk ke dalam rumah. Sementara para shahabat Rasulullah ? menduga-duga siapakah golongan mereka itu. Diantara para shahabat ada yang menduga; “Semoga mereka adalah orang-orang yang menjadi shahabatnya”. Yang lainnya mengira; “Semoga mereka adalah orang-orang yang lahir dalam keadaan Islam dan tidak pernah berbuat kesyirikan”, dan perkiraan-perkiraan yang lainnya. Kemudian Rasulullah ? keluar dari rumahnya dan mengkhabarkan sifat golongan yang bakal menjadi penghuni al jannah tanpa hisab dan adzab. Beliau ? bersabda:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta kay (praktek pengobatan dengan menempelkan besi panas atau semisalnya pada bagian tubuh yang sakit), tidak meminta ruqyah, dan tidak pula berfirasat sial (dengan sebab melihat sesuatu yang disangka ganjil seperti burung dan semisalnya), serta mereka bertawakkal penuh kepada Rabb mereka.”
Kemudian Ukasyah bin Mihshan berdiri seraya berkata: “(Wahai Rasulullah) berdo’alah kepada Allah supaya aku termasuk golongan mereka. Rasulullah ? bersabda: “Engkau termasuk dalam golongan tersebut. (H.R. Al Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 374)
Dalam riwayat Al Imam Ahmad 2/359 dan lainnya, Rasulullah ? bersabda:
فَاسْتَزَدْتُ رَبِّي فَزَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِيْنَ أَلْفًا
“Maka aku meminta tambahan dari Rabb-ku, sehingga Allah menambah dalam setiap seribu orang bersama tujuh puluh ribu orang.” (Lihat Ash Shahihah no. 1486)
Dalam riwayat di atas menunjukkan luasnya rahmat Allah ?. Karena Allah ? telah menambah dalam setiap seribu orang bersama tujuh puluh ribu orang. Demikian pula Allah tidak mengkhususkan yang berhak meraih keutamaan tersebut hanya bagi para shahabat Rasulullah ? atau orang yang yang lahir dalam keadaan Islam dan tidak pernah berbuat kesyirikan sebagaimana yang dikira para shahabat Rasulullah ?. Namun Allah ? membuka lebar-lebar pintu rahmat kepada siapa yang berupaya menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut dia lah yang berhak meraih al jannah tanpa hisab dan tanpa adzab. Semoga Allah ? menjadikan kita termasuk golongan mereka.
Ciri Ciri Golongan Penghuni Al Jannah Tanpa Hisab Dan Adzab
1. Tidak Meminta Kay
Kay adalah praktek pengobatan dengan cara menempelkan besi atau semisalnya yang telah dipanaskan pada bagian tubuh yang sakit. Telah datang beberapa riwayat dari Rasulullah ? dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah ? sendiri pernah melakukan praktek pengobatan dengan mengkay shahabat As’ad bin Zurarah ? (dalam riwayat At Tirmidzi no. 2050). Tetapi Rasulullah ? juga bersabda:
الشِفَاءُ فِي ثَلاَثٍ : شُرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الْكَي (وَ فِي لَفْظٍ : وَمَا أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِي)
“Penyembuhan itu dengan tiga hal: minum madu, berbekam, dan kay, tetapi aku melarang umatku dari pengobatan kay. Dalam riwayat lain; Dan aku tidak mencintai pengobatan dengan kay. ” (H.R. Al Bukhari no. 5680)
Hadits-hadits di atas menunjukkan hukum pengobatan dengan kay adalah boleh tapi makruh (dibenci), sehingga yang lebih utama adalah ditinggalkan. Karena Rasulullah ? mencintai umatnya untuk meniggalkan pengobatan dengan cara kay. Terlebih lagi berobat dengan kay bisa menjadi penghalang untuk masuk ke dalam al jannah tanpa hisab dan adzab.
2. Tidak Meminta Ruqyah
Ruqyah adalah praktek pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur’an atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya kepada si penderita. Karena seluruh ayat-ayat Al Qur’an itu sebagai obat hati dan jasmani. Allah ? berfirman (artinya): “Dan Kami menurunkan Al Qur’an itu sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al Isra’: 82)
Namun yang menjadi penghalang untuk masuk bagian dari golongan penghuni al jannah tanpa hisab dan adzab ini khusus bagi orang yang meminta ruqyah bukan yang meruqyah dirinya sendiri ataupun orang lain yang meruqyahnya tanpa ada unsur permintaan darinya. Adapun kalau dia sendiri meruqyah itu memang perkara yang lebih utama, karena dia telah bertawakkal penuh kepada Allah ? dan menjauhkan dirinya dari bergantung kepada selain Allah ?. Demikian pula orang lain yang meruqyah tanpa unsur permintaan dari si penderita itu pun tidak mengapa. Karena konteks hadits itu adalah وَلاَ يَسْتَرْقُوْنَ yang bermakna tidak meminta ruqyah.
Sesungguhnya malaikat Jibril pernah datang kepada Rasulullah ? lalu berkata: “Wahai Muhammad, apakah engkau lagi sakit? Rasulullah ? menjawab: “Ya. Kemudian malaikat Jibril meruqyahnya tanpa permintaan dari nabi ?. (H.R. Muslim no. 2186)
Rasulullah ? juga pernah ditanya tentang meruqyah, maka beliau ? bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa diantara kalian yang dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” (H.R. Muslim no. 2199)
3. Tidak Bertathayyur
Tathayyur adalah sikap berprasangka sial yang disandarkan kepada sesuatu yang dilihat atau pun yang didengar. Misalnya, kebiasaan orang Arab terdahulu bila hendak safar (berpergian) melihat arah terbangnya burung. Bila terbang ke arah kanan maka safar akan dilakukan, sebaliknya bila terbang ke arah kiri menujukkan kesialan maka safar dibatalkan. Begitu pula ada sebagian orang yang menganggap sial atau pertanda akan ada musibah bila mendengar suara burung gagak di malam hari atau bila melihat cecak jatuh. Diantara waktu-waktu, hari-hari, atau bulan-bulan pun ada yang dianggap sial untuk diselengarakan acara-acara tertentu. Dan sebagainya dari tanda-tanda yang dianggap sial yang tersebar dimasyarakat kita.
Tathayyur ini merupakan perbuatan terlarang. Karena telah menyandarkan kesialan kepada sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya secara logis dan sebab musababnya. Termasuk aqidah kaum muslimin beriman kepada taqdir Allah ?. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tarjadi atas kehendak Allah ? semata. Bila Allah ? menghendaki sesuatu pasti akan terjadi, dan sebaliknya bila Allah ? tidak menghendaki sesuatu pasti tidak akan terjadi. Sehingga orang yang bertathayyur itu telah mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allah ? karena ia menyangka bahwa ada selain Allah ? yang bisa mendatangkan kesialan. Padahal Allah ? berfirman (artinya): “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu merupakan taqdir Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (Al A’raf: 131)
4. Bertawakal Kepada Allah ?
Bahwa sifat yang kempat ini merupakan buah dari tiga sifat sebelumnya. Maksudnya, dengan meninggalkan pengobatan kay, meninggalkan untuk meminta ruqyah dan meninggalkan tathayyur menunjukkan kemurnian tawakkal dia kepada Allah ?. Karena dia telah melepas dari segala ikatan-ikatan ketergantungan kepada sesuatu selain Allah dan menyandarkan nasib dan hasilnya itu hanya kepada Allah ?. Sehingga barangsiapa yang benar-benar bertawakkal kepada Allah ?, niscaya Allah ? sebagai pencukupnya di dunia dan di akhirat kelak nanti akan digolongkan sebagai pewaris al jannah tanpa hisab dan tanpa adzab. Allah ? berfirman (artinya):
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia sebagai pencukup baginya.” (Ath Thalaq: 3)
Para pembaca, bukan berarti Islam melarang untuk berobat. Sesungguhnya sifat penghuni al jannah tanpa hisab dan adzab itu karena mereka meninggalkan pengobatan yang dibenci (makruh) disaat sangat membutuhkannya dengan mencukupkan dirinya untuk bertawakkal hanya kepada Allah ?. Adapun berobat dengan sesuatu yang tidak dilarang maka tidak mengurangi tawakkal dia kepada Alah ?.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah ?: “Wahai Rasulullah ? bolehkah aku berobat? Rasulullah ? seraya menjawab:
نَعَم، يَا عِبَادَ اللهِ تَدَاوُوا ! فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وُضِعَ لَهُ شِفَاءٌ غَيْرُ دَاءٌ وَاحِدٌ
“Tentu, wahai hamba Allah berobatlah kalian. Karena Allah ? tidak menciptakan penyakit melainkan pasti diciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit.”
Kemudian para shahabat bertanya: “Apa itu (Wahai Rasulullah)? Rasulullah ? menjawab: “Penyakit pikun (karena ketuaan).” (H.R. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal. 147)
BULAN MUHARRAM BUKAN BULAN SIAL
“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam. Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf: 70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan (walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
merenungi kehidupan setelah kematian
Setiap jiwa pasti akan menemui ajalnya. Tiada setiap jiwa pun yang kekal abadi hidup di dunia. Bila ajal telah tiba tak ada yang bisa menghindar dan lari darinya. Bukan berarti telah berakhir sampai disini. Tetapi telah berpindah ke alam berikutnya, yaitu alam kubur atau alam barzakh, yang termasuk bagian dari beriman kepada hari akhir.
Setiap yang telah memasuki alam kubur maka akan mengalami fitnah kubur. Yaitu ujian berupa pertanyaan dua malaikat kepada si mayit, tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya. Dari ujian ini akan diketahui apakah dia termasuk hamba-Nya yang jujur keimanannya sehingga berhak mendapatkan nikmat kubur, atau apakah dia termasuk yang dusta keimanannya sehingga berhak mendapakan adzab kubur.
Ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib setiap mu’min untuk meyakini kebenaran adanya fitnah kubur, nikmat kubur dan adzab kubur. Termasuk konsekuensi dari beriman kepada Allah ? dan Rasulullah ? adalah meyakini kebenaran apa yang dikhabarkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentang kejadian-kejadian di alam ghaib. Di awal-awal ayat Al Qur’an Allah ? mengkhabarkan ciri orang-orang yang mendapatkan hidayah dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, diantaranya adalah orang yang beriman tentang perkara ghaib. Allah ? berfirman (artinya):
“Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, menunaikan shalat dan menginfaqkan sebagian yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka pula beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka (Al Qur’an) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Baqarah: 3-5)
Dalil – Dalil Tentang Fitnah Kubur
Dalil-dalil yang menunjukan adanya fitnah kubur, diantaranya;
Dalam Al Qur’an firman Allah ?:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan dengan al qauluts tsabit kepada orang-orang yang beriman dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
Di dalam ayat di atas menetapkan akan adanya fitnah kubur. Karena Allah ? memberikan kemulian kepada orang-orang yang benar-benar beriman dengan diteguhkannya al qaulul tsabit. Yaitu keteguhan iman si mayit di alam kubur ketika ditanya oleh dua malaikat. Sebagaimana hadits dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib ? bahwa Rasulullah ? bersabda:
إِذَا أُقْعِِدَ الْمُؤْمِنُ فِي قَبْرِهِ أُتِيَ ثُمَّ شَهِدَ أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَذَالِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ
“Jika seorang mu’min telah didudukkan di dalam kuburnya kemudian didatangi (dua malaikat dan bertanya kepadanya) maka dia akan (menjawab) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat:
أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
itulah al qauluts tsabit sebagaimana yang tertera dalam firman Allah ? di atas.” (H.R. Al Bukhari no. 1379 dan Muslim no. 2871)
Ayat di atas juga sebagai dalil bahwa peristiwa fitnah kubur ini merupakan bagian dari hari akhir. Karena Allah ? menyebutkan peristiwa fitnah kubur ini dengan lafadz “wafil akhirah” yaitu di hari akhir.
Demikian pula dari As Sunnah, dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Abu Dawud 2/281, Ahmad 4/287 dan selain keduanya, bahwa Rasulullah ? mengisahkan peristiwa fitnah kubur yang akan dialami oleh orang mu’min dan orang kafir. Keadaan orang mu’min ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia akan dikokohkan jawabannya oleh Allah ?. Siapakah Rabb-mu? Dia akan bisa menjawab: Rabb-ku adalah Allah. Apa agamamu? Dia akan bisa menjawab: Agamaku adalah Islam. Siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu? Dia pun bisa menjawab: Dia adalah Rasulullah ? (Demikianlah Allah ? pasti memenuhi janji-Nya sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim: 27 di atas). Sebaliknya keadaan orang kafir ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia tidak akan bisa menjawab. Siapakah Rabb-mu? Dia akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu. Apa agamamu? Dia akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu. Lalu siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu? Dia pun akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu.
Demikian pula hadits dari Ummul Mu’minin Aisyah, bahwa Rasulullah ? bersabda:
فَأُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُوْنَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلُ أَوْ قَرِيْبٌ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Telah diwahyukan kepadaku sungguh akan ditimpakan fitnah kepada kalian di dalam kubur-kubur kalian seperti atau hampir mirip dengan fitnah Al Masih Ad Dajjal.” (H.R. Al Bukhari no. 87 dan Muslim no. 905)
Padahal fitnah Al Masih Ad Dajjal merupakan fitnah terbesar dari fitnah-fitnah yang terjadi sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat nanti. Rasulullah ? bersabda:
مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ أَمْرٌ أكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ
“Tidak ada fitnah yang paling besar sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat dibanding dengan fitnah Dajjal.” (Muslim no. 2946)
Sehingga fitnah kubur itu pun amat ngeri seperti atau hampir mirip dengan fitnah Dajjal, kecuali bagi orang-orang yang jujur keimanannya. Oleh karena itu bila si mayit telah dikuburkan maka dianjurkan bagi kita untuk mendo’akannya. Rasulullah ? bersabda:
اسْتَغْفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْئَلُ
“Mohonkan ampunan untuk saudaramu, dan mohonkan untuknya keteguhan (iman), karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (Shahihul Jami’ no. 476)
Adapun nama dua malaikat tersebut adalah malaikat Munkar dan Nakir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi no. 1071, Ibnu Hibban no. 780 dan selain keduanya dari shahabat Abu Hurairah ?. Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1391.
Dalil – Dalil Adzab Kubur Dan Nikmat Kubur
Setelah mengalami proses fitnah kubur, maka akan mengalami proses berikutnya, yaitu proses nikmat kubur dan adzab kubur. Bila dia selamat dalam fitnah kubur maka dia akan mendapatkan nikmat kubur dan sebaliknya bila ia tidak selamat dalam fitnah tersebut maka dia akan mendapatkan adzab kubur.
Para pembaca, proses ini pun merupakan perkara ghaib yang harus diyakini kebenarannya. Karena Allah ? dan Rasul-Nya telah mengkhabarkan peristiwa ini di dalam Al Qur’anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyyah.
Di antara dalil dalam Al Qur’an yaitu firman Allah ? (artinya): “…, Alangkahnya dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang zhalim (kafir) berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangan mereka, sambil berkata: ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Pada hari ini (sekarang ini, sejak sakaratul maut) kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan. Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah dengan perkataan yang tidak benar dan selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’am: 93)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam kitab tafsirnya Taisirul Karimir Rahman: “Ayat ini sebagai dalil tentang adanya adzab di alam barzakh dan kenikmatan di dalamnya. Dan adzab yang diarahkan kepada mereka dalam konteks ayat ini terjadi sejak sakaratul maut, menjelang mati dan sesudah mati.”
Dalam Q.S. Ghafir ayat ke 46 Allah ? berfirman (artinya): “ (Salah satu bentuk azdab di alam barzakh nanti) Neraka akan ditampakkan di waktu pagi dan petang kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Kemudian pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
Berkata Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i: “Ayat di atas merupakan landasan utama yang dijadikan dalil bagi aqidah Ahlus Sunnah tentang adanya adzab di alam kubur.” (Lihat Al Mishbahul Munir)
Adapun dalil dari As Sunnah, diantaranya; hadits dari Al Barra’ bin ‘Azib ?, bahwa Rasulullah ? bersabda:
اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur (diulangi sampai 2/3 kali).” Kemudian Rasululah ? berdo’a:
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab kubur (sampai 3 kali).”
Kemudian Rasulullah ? menggambarkan keadaan orang mu’min dengan dibentangkan tikar dari al jannah, dikenakan pakaian dari al jannah dan dibukakan pintu baginya ke arah al jannah yang mendatangkan aroma harum, serta diperluas tempatnya di alam kubur seluas mata memandang. Sebaliknya keadaan orang kafir, maka dibentangkan baginya tikar dari neraka, dibukakan pintu yang mengarah ke neraka yang mendatangkan panas dan aroma busuk, serta disempitkan tempatnya di alam kubur sampai tulang belulangnya saling merangsek. (H.R. Abu Dawud 2/281 dan lainnya)
Dalam riwayat Al Imam Ahmad 6/81 Rasulullah ? bersabda:
اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ
“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, karena sesungguhnya adzab kubur itu adalah benar adanya.”
Dalam hadits Ibnu Abbas ?, bahwa Rasulullah ? pernah melewati dua kuburan. Kemudian beliau bersabda:
أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ
“Kedua penghuni ini sungguh sedang mendapat adzab. Dan tidaklah keduanya diadzab karena melakukan dosa besar. Adapun salah satunya karena berbuat namimah (adu domba) dan yang kedua karena tidak membersihkan air kecingnya.” (H.R. Muslim no. 292)
Demikian pula do’a yang ditekankan oleh Rasulullah ? sebelum salam ketika shalat:
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab jahannam, dari adzab kubur, dan dari fitnah selama hidup dan sesudah mati, serta dari fitnah Al Masih Ad Dajjal.” (H.R. Muslim dan selainnya, lihat Al Irwa’ no. 350)
Apakah adzab kubur dan nikmat kubur itu terus menerus? Adapun adzab kubur bagi orang kafir adalah terus menerus sampai datangnya hari kiamat. Sedangkan bagi orang mu’min yang bermaksiat, bila Allah ? telah memutuskannya untuk mengadzabnya maka tergantung dengan dosa-dosanya. Mungkin dia diadzab terus menerus dan juga mungkin tidak terus menerus, mungkin lama dan mungkin juga tidak lama, tergantung dengan rahmat dan ampunan dari Allah ?. Mungkin pula orang mu’min yang bermaksiat tadi diputuskan tidak mendapat adzab sama sekali dengan rahmat dan maghfirah Allah ?. Semoga kita diselamatkan oleh Allah ? dalam fitnah kubur dan dari adzab kubur.
Para pembaca, semua peristiwa yang terjadi di alam kubur itu merupakan perkara ghaib yang tidak bisa dinilai kebenarannya dengan logika, analisa dan eksperimen. Bahkan semua peristiwa di alam kubur itu amatlah mudah bagi Allah ?. Karena Allah ? memilki nama Al Qadir Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga peristiwa di alam kubur harus dinilai dan ditimbang dengan nilai dan timbangan iman. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Sehingga bila ada manusia yang mati tenggelam dilaut yang badannya hancur dimakan ikan laut, atau manusia yang mati terbakar sampai menjadi abu sangatlah mudah bagi Allah ? untuk mengembalikannya.
Marilah kita perhatikan firman Allah ? (artinya): “Dan kami (malaikat) lebih dekat kepadanya (nyawa) dari pada kalian. Tetapi kalian tidak bisa melihat kami.” (Al Waqi’ah: 85)
Ketika malaikat hendak mencabut nyawa seseorang, sesungguhnya malaikat tersebut ada disebelahnya tetapi ia tidak bisa dilihat oleh mata kepalanya. Demikianlah kekuasaan dan kagungan Allah ? yang tidak tidak bisa diukur dengan logika manusia.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar