
AL-IMAM AHMAD BIN HANBAL
Tauladan dalam Semangat dan Kesabaran
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.
Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4. Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.
Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”
Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.
Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.
Guru-guru beliau
Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.
Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Murid-murid beliau
Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).
Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.
Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”
Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.
Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.
Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”
Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.
Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.
Ujian yang menimpa beliau
Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.
Wafat beliau rahimahullah
Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.
Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.
Maraji’:
1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.
2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39
4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.
5. Siyar A’lamin Nubala
6. Al-Bidayah wan Nihayah
7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
Kharijah bin Zaid bin Tsabit
Rujukan Umat dalam Ilmu Waris
Putra salah seorang shahabat yang mulia, Zaid bin Tsabit ini adalah imamnya kota Madinah yang meneruskan ilmu fiqh setelah wafatnya para shahabat Rasulullah di kota tersebut. Namanya disejajarkan dengan nama-nama besar semisal Sai’d bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan yang lainnya.
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Kunyah beliau adalah Abu Zaid, sedangkan nama lengkap beliau adalah Kharijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari An-Najjari Al-Madani. Salah seorang dari tujuh tokoh ulama Madinah (Al-Fuqaha’ As-Sab’ah) dan sekaligus imamnya negeri tersebut merupakan anak dari seorang ulama shahabat yaitu Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Biografi tentang Zaid bin Tsabit telah dikenal oleh kaum muslimin bahwasanya beliau pernah menjadi ketua tim pengumpul Al-Qur’an pada masa Al-Khalifah Ar-Rasyid ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, di samping beliau juga merupakan seorang ‘alim yang sangat disegani di kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Zaid bin Tsabit memiliki beberapa anak yaitu Kharijah, Isma’il, Sulaiman, Yahya, dan Sa’d. Namun yang paling utama di antara mereka adalah Kharijah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menempatkan beliau pada thabaqah yang ketiga.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau meriwayatkan hadits dan menimba ilmu dari ayahnya, yaitu Zaid bin Tsabit, dari ibunya, yaitu Ummu Sa’d binti Sa’d, dari pamannya yaitu Yazid, Ummul ‘Ala’ Al-Anshariyyah, ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah, Sahl bin Sa’d, Usamah bin Zaid, dan yang lainnya. Disebutkan bahwa beliau juga pernah bertemu dengan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Adapun para ulama yang meriwayatkan hadits dan menimba ilmu dari beliau adalah anaknya, yaitu Sulaiman, dua orang keponakan beliau, yaitu Sa’id bin Sulaiman dan Qois bin Sa’d, Abu An-Nadhr Salim, Abu Az-Zinad, ‘Abdul Malik bin Abi Bakar bin ‘Abdirrahman bin Al-Harits, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Utsman bin Hakim Al-Anshari, Mujalid bin ‘Auf, Muhammad bin ‘Abdillah Ad-Dibaj, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Yazid bin ‘Abdillah bin Qusaith, Abu Bakar bin Hazm, dan lain sebagainya.
Dahulu pernah khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik memberi hadiah kepada beliau sejumlah harta, kemudian beliau membagi-bagikan harta tersebut kepada yang lain.
Beliau adalah seorang yang ahli dalam ilmu faraidh dan pembagian harta warisan.
Pujian Para Ulama kepada Beliau
Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: “Kharijah bin Zaid adalah seorang tabi’in dari Madinah yang tsiqah (terpercaya).”
‘Ubaidullah bin ‘Umar berkata: “Yang meneruskan ilmu fiqh setelah wafatnya para shahabat Rasulullah di kota Madinah adalah Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad, Qabishah bin Dzu’aib, ‘Abdul Malik bin Marwan, dan Sulaiman bin Yasar maula Maimunah.”
Ibnu Sa’d berkata: “Beliau adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan memiliki banyak riwayat hadits.”
Ibnu Khirasy berkata: “Kharijah bin Zaid adalah orang yang paling mulia dari semua orang yang bernama Kharijah.”
Mush’ab bin Az-Zubairi berkata: “Kharijah dan Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf pernah membagi harta waris dan menuliskan perjanjian-perjanjian, dan orang-orang pun merujuk kepada pendapat keduanya.”
Abu Az-Zinad berkata: “Beliau adalah salah seorang dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah.”
Wafat Beliau
Ibnu Numair dan ‘Amr bin ‘Ali mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 99 Hijriyyah, sementara Ibnul Madini dan para ulama yang lain berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 100 Hijriyyah. Wallahu A’lam. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau.
Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tahdzibut Tahdzib
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah
Pendidik Amirul Mu’minin
Salah satu peran ‘Ubaidullah yang sangat menonjol dalam dunia pendidikan adalah beliau merupakan pengajar sekaligus pembimbing Amirul Mu’minin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah, yang dengan karunia Allah, beliau adalah sosok pemimpin yang peri hidupnya dikenal dalam sejarah Islam merupakan cerminan dari peri hidup empat Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Begitu kuatnya pengaruh dari pendidikan ‘Ubaidullah ini, sampai-sampai ‘Khalifah yang kelima’ ini pernah mengatakan: “Jika ‘Ubaidullah masih hidup, maka tidaklah aku mengembalikan suatu permasalahan kecuali kepada pendapatnya.”
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Beliau adalah Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud Al- Hudzali Al-Madani. Dilahirkan pada masa khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Seorang imam yang faqih ini merupakan mufti Madinah. Penglihatan yang buta tidak menghalangi beliau untuk menjadi salah satu dari tujuh tokoh Al-Fuqaha’ As-Sab’ah. Saudara kandung beliau bernama ‘Aun bin ‘Abdillah adalah juga seorang Muhaddits. Kakek mereka berdua yang bernama ‘Utbah bin Mas’ud adalah saudara kandung seorang shahabat yang mulia yaitu ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau meriwayatkan hadits dari ayahnya sendiri, dan juga dari ‘Aisyah, Abu Hurairah, Fathimah bintu Qais, Abu Waqid Al-Laitsi, Zaid bin Khalid Al-Juhani, ‘Abdullah bin ‘Abbas -dan beliau belajar kepada Ibnu ‘Abbas dalam jangka waktu yang lama-, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Said Al-Khudri, An-Nu’man bin Basyir, Maimunah, Ummu Salamah, Ummu Qais bintu Mihshan, dan yang lainnya.
Sedangkan para muhadditsun yang belajar kepada beliau adalah ‘Aun bin ‘Abdillah, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Dhamrah bin Sa’id Al-Mazini, ‘Irak bin Malik, Musa bin Abi ‘Aisyah, Abuz Zinad, Shalih bin Kaisan, Khusaif Al-Jazari, Sa’d bin Ibrahim, Salim Abu An-Nadhr, Thalhah bin Yahya bin Thalhah, ‘Abdul Majid bin Suhail, Abu Bakar bin Abi Al-Jahm Al ‘Adawi, dan sebagainya.
Salah satu peran beliau yang sangat menonjol dalam dunia pendidikan adalah beliau merupakan pengajar sekaligus pembimbing Amirul Mu’minin ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Begitu kuatnya pengaruh dari pendidikan beliau ini, sampai-sampai ‘Khalifah yang kelima’ ini pernah mengatakan: “Jika ‘Ubaidullah masih hidup, maka tidaklah aku mengembalikan suatu permasalahan kecuali kepada pendapatnya.”
Al-Imam Malik menceritakan: “‘Ubaidullah adalah seorang yang suka memanjangkan shalatnya (lama shalatnya), dan tidak ada sesuatupun yang bisa mempercepat shalatnya. Telah sampai berita kepadaku bahwa ‘Ali bin Al-Husain (salah seorang ahlul bait) datang kepadanya dalam keadaan ia sedang melaksanakan shalat. Kemudian ‘Ali bin Al-Husain menunggunya sampai ia selesai dari shalatnya. Dan seperti biasa iapun (‘Ubaidullah) memanjangkan shalatnya. Setelah selesai dari shalatnya, beliau mendapatkan celaan karenanya, dan diberitakanlah hal tersebut kepada beliau: ‘Telah datang kepadamu salah seorang dari ahlu bait nabi dan engkau menghalanginya untuk bertemu denganmu dengan sebab hal itu (panjangnya shalat)’. Maka beliau pun berkata: “Ya Allah, ampunilah aku, seharusnya bagi orang yang berusaha mendapatkan sesuatu agar ia ditahan darinya.”
‘Ubaidullah juga pernah berkata: “Tidaklah aku mendengar satu haditspun sesuai kehendak Allah untuk aku hafal kecuali aku langsung menghafalnya dan memahaminya.”
Pujian Para Ulama kepada Beliau
Al-Waqidi berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, seorang ‘alim, faqih, banyak meriwayatkan hadits, dan pandai dalam bidang sya’ir. (Walaupun) beliau telah kehilangan penglihatannya.”
Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: “Beliau adalah seorang yang buta, (walau demikian) beliau adalah salah seorang fuqaha’ kota Madinah, tabi’i yang terpercaya, seorang yang shalih, memiliki banyak ilmu, dan beliau adalah pengajar ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.”
Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Beliau adalah seorang imam (pemimpin dalam agama), amanah, dan terpercaya.”
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: “Beliau merupakan salah satu dari lautan ilmu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Beliau adalah seorang dari kalangan Al-Fuqaha’ As-Sab’ah yang menjadi rujukan dalam fatwa, beliau adalah seorang ‘alim yang memiliki keutamaan dan beliau diutamakan dalam bidang fiqh, seorang yang bertaqwa, ahli syair, senantiasa berbuat kebajikan. Dan tidaklah ada seorangpun setelah para shahabat sampai hari ini (zaman Ibnu ‘Abdil Barr) -sepengetahuanku- seorang ahli fiqh yang lebih ahli dalam bidang syair daripada beliau dan tidak pula ada seorang penyair yang lebih faqih daripada beliau.”
Al-Imam Az-Zuhri berkata: “Tidaklah aku bermajelis dengan seorang ulama pun kecuali aku telah mengerti apa yang ada padanya (ilmunya) selain ‘Ubaidullah. Karena sungguh tidaklah aku datang kepadanya kecuali aku dapati sesuatu ilmu yang baru pada dirinya.”
Abu Ja’far Ath-Thabari berkata: “Beliau adalah seorang yang didahulukan dalam keilmuan dan pengetahuan tentang halal dan haram. Di samping beliau juga seorang penyair yang sangat bagus.”
Wafat Beliau
Beliau meninggal pada tahun 99 Hijriyah, dan ada yang mengatakan meninggal pada tahun 98 Hijriyah. Wallahu a’lam.
Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati beliau.
Bersambung, Insya Allah edisi berikutnya biografi Kharijah bin Zaid.
Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tahdzibut Tahdzib
Pelajaran Berharga dari Sisi Kehidupan
AL-IMAM ASY-SYAFI’I Rahimahullah
Sejarah para ulama salaf merupakan salah satu tentara dari tentara-tentara Allah subhanahu wata’ala . Begitu seorang muslim mempelajarinya, ia akan bisa mengambil pelajaran darinya, kemudian bersegera untuk mengamalkannya. (Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah)
Biografi beliau rahimahullah
Beliau adalah seorang imam, ‘alim di zamannya, seorang penolong sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , dan orang yang faqih.
Nama dan Nasab beliau rahimahullah
Nama beliau rahimahullah adalah Muhammad, dan kunyahnya Abu ‘Abdillah. Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin ‘Ubaid bin Abdi Yazid bin Hisyam bin Al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Muththalibi Asy-Syafi’i Al-Makki Al-Ghazi.
Tempat dan tanggal lahir beliau rahimahullah
Beliau rahimahullah dilahirkan pada hari Jum’at siang, di hari terakhir bulan Rajab, pada tahun 150 H, di desa Ghaza (disini lebih dikenal dengan sebutan Gaza). Sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Palestina, dan berbatasan dengan negeri Syam (sekarang Libanon) dari arah Mesir. Tidak lama kemudian, ibunya membawanya ke kota ‘Asqalan, sebuah kota yang terletak tidak jauh dari Ghaza dan terhitung masih satu propinsi.
Hubungan kekerabatan beliau dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kakek Al-Imam Asy-Syafi’i, yang bernama Al-Muththalib, adalah saudara laki-laki Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan: “Sesungguhnya antara Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib satu kesatuan yang tidak akan ada yang bisa memisahkan antara kita, baik di zaman jahiliyah maupun di zaman islam.” (HR. Al-Bukhari).
Pindah ke kota Makkah
Beliau adalah anak yatim dibawah asuhan ibunya di Mesir. Kemudian, pada usia 2 tahun, dibawa oleh ibunya untuk pindah ke kota Makkah. Semenjak kecil beliau telah berlatih memanah dan melempar, sehingga menjadi orang yang paling unggul diantara teman-temannya di bidang olahraga tersebut.
Pendidikan dan Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i dalam menuntut ilmu rahimahullah
- Pendidikan beliau rahimahullah selama di Makkah
Beliau menjalani pendidikan masa kecilnya di sebuah kuttab (madrasah anak-anak). Beliau bercerita: “Dahulu aku di madrasah anak-anak. Aku mendengarkan seorang guru sedang menalqinkan (mendiktekan) ayat kepada seorang anak, maka aku menghapalkannya. Dan sungguh aku telah menghapal semua yang ia diktekan.”
Pada usia 7 tahun, beliau rahimahullah telah hapal Al-Qur’an. Kemudian setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat madrasah (sekolah dasar), beliau belajar di Masjidil Haram. Belajar kepada para ahli fiqih dan para ahli hadits yang ada disana, sehingga beliau menjadi orang yang paling unggul dalam masalah fiqih.
Pada usia 10 tahun, beliau rahimahullah telah hapal kitab Al-Muwaththo’, karya Al-Imam Malik rahimahullah, sebelum beliau belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullah.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga pergi ke perkampungan arab badui dari Bani Hudzail untuk mempelajari bahasa arab yang masih asli, dan juga belajar balaghah (ilmu sastra dalam Bahasa Arab), kemudian menjadi orang yang pandai dalam dua bidang tersebut. Setelah itu, beliau rahimahullah kembali ke kota Makkah, melanjutkan belajar kepada para ulama yang berada di kota tersebut.
Beliau rahimahullah menuntut ilmu kepada para ulama terkemuka yang ada di kota Makkah, seperti Muslim bin Khalid Az-Zanji rahimahullah, Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, dan lain-lain.
Bahkan, di usia 15 tahun, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah memiliki kemampuan untuk memberikan fatwa. Salah satu guru beliau di kota Makkah, yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji, berkata kepada beliau: “Berfatwalah, wahai Abu ‘Abdillah! Sungguh, demi Allah, sudah saatnya bagimu sekarang untuk berfatwa!”
Saat itu beliau rahimahullah baru berusia 15 tahun.
- Pendidikan beliau rahimahullah di luar Makkah
Pada usia 20 tahun, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengadakan rihlah (perjalanan menuntut ilmu) keluar kota Makkah, dan belajar kepada para ulama di berbagai negeri. Di kota Madinah, beliau belajar kepada Al-Imam Malik rahimahullah dan menyetorkan hapalan kitab “Al-Muwaththo’ ” karya Al-Imam Malik sendiri. Beliau rahimahullah telah hapal kitab “Al- Muwaththo’ ” sebelum mencapai usia baligh.
Di negeri Yaman, beliau belajar kepada Muthorrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qodhiy, dan lain-lain.
Di kota Baghdad, beliau belajar kepada Muhammad bin Al-Hasan, Isma’il bin ‘Ulayyah, dan lain-lain.
Murid-murid beliau rahimahullah
Diantara para ulama terkemuka yang pernah duduk belajar di hadapan beliau adalah seperti: Al-Humaidi, Ahmad bin Hanbal, Harmalah bin Yahya, Abdul ‘Aziz Al-Kinani Al-Makki, Ishaq bin Rahuyah, ‘Amr bin Sawwad, dan lain-lain.
Beliau cukup lama tinggal di kota Baghdad sampai akhirnya beliau pindah ke negeri Mesir.
Beliau meninggal di negeri Mesir pada malam Jum’at, setelah shalat ‘Isya di akhir bulan Rajab, saat mulai munculnya hilal di bulan Sya’ban, tahun 204 H, pada usia 54 tahun setelah mengalami sakit bawasir.
Keteladanan Beliau rahimahullah
- Kesungguhan dan semangat beliau rahimahullah dalam menuntut ilmu
Pada suatu hari, ibunya mengantarkannya kepada seorang guru, agar ia bisa belajar. Akan tetapi, ibunya tidak punya uang untuk membayar guru tersebut yang mengajar anaknya. Akhirnya, guru tersebut rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan cepatnya hapalan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Setelah selesai menghapal Al-Qur’an, beliau masuk ke dalam masjid duduk bersama para ulama. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mendengarkan satu permasalahan atau satu hadits, lalu menghapalkannya. Ibunya tidak mempunyai harta untuk diberikan kepada beliau untuk membeli lembaran atau kertas sebagai tempat beliau menulis. Beliaupun mencari tulang, tembikar, tulang pundak unta, dan pelepah kurma, lalu menulis hadits padanya. Bila sudah penuh, beliau menaruhnya dalam tempayan yang ada di rumahnya, sehingga tempayan-tempayan yang ada di rumah beliau pun menjadi banyak. Ibunya berkata kepada beliau: “Sesungguhnya tempayan-tempayan ini telah menjadikan rumah kita sempit.” Maka beliau pun mendatangi tempayan-tempayan ini, menghapal apa yang ada padanya, kemudian membuangnya. Setelah itu, Allah subhanahu wata’ala memudahkan beliau untuk melakukan safar ke negeri Yaman.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana ambisi anda untuk mendapatkan ilmu?”
Beliau menjawab, “Seperti ambisi orang yang tamak terhadap dunia dan bakhil ketika memperoleh kelezatan harta.”
Lalu ditanyakan kepada beliau, “Seperti apakah anda didalam mencari ilmu?”
Beliau menjawab, “Seperti pencarian seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya.”
Ketika Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Al-Imam Malik rahimahullah dan belajar kepadanya, ia membuat Al-Imam Malik kagum akan kecerdasan, kejelian dan kesempurnaan pemahamannya. Al-Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku melihat Allah subhanahu wata’ala telah memberikan cahaya atas hatimu. Maka janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan gelapnya perbuatan maksiat.”
- Ketawadhu’an beliau rahimahullah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah seorang yang rendah hati (tawadhu’). Beliau pernah berkata, “Aku ingin, apabila manusia mempelajari ilmu ini -maksudnya kitab-kitab beliau-, hendaklah mereka tidak menyandarkan sesuatu pun dari kitab-kitab tersebut kepadaku.”
Beliau rahimahullah pernah berkata kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah -salah satu murid beliau-, “Kamu lebih berilmu tentang hadits yang shahih dibanding aku. Maka apabila engkau mengetahui tentang sebuah hadits yang shahih, maka beritahukanlah kepadaku hingga aku berpegang dengan pendapat tersebut. Baik hadits tersebut datang dari penduduk Kufah, Bashrah (nama kota di Iraq), maupun Syam.
- Kewibawaan beliau rahimahullah
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah seorang yang memiliki kewibawaan di hadapan manusia, sampai dikatakan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman (teman dan murid beliau rahimahullah) berkata, “Demi Allah, aku tidak berani untuk meminum air tatkala Asy-Syafi’i melihat kepadaku, karena segan kepadanya.”
Adalah Sufyan bin ‘Uyainah -salah satu guru beliau rahimahullah- apabila mendapati sebuah permasalahan dalam masalah fatwa dan tafsir, beliau melihat kepada pendapat Asy-Syafi’i, dan berkata kepada orang-orang: “Tanyakanlah kepadanya.”
- Keteladanan beliau rahimahullah dalam membagi waktu malam
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah membagi waktu malamnya menjadi 3 bagian, sepertiga malam yang pertama untuk menulis, sepertiga malam yang kedua untuk shalat dan sepertiga malam yang ketiga untuk tidur.
Pujian para Ulama
1. Yahya bin Sa’id Al-Qoththon rahimahullah:
“Aku selalu mendoakan kebaikan kepada Asy-Syafi’i, dan aku mengkhususkan doa tersebut baginya.”
2. Qutaibah bin Sa’id rahimahullah:
“Telah meninggal Sufyan Ats-Tsauri maka hilanglah sifat Al-Wara’, dan telah meninggal Asy-Syafi’i maka matilah sunnah dan telah meninggal Ahmad bin Hanbal maka tersebarlah kebid’ahan.”
3. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
“Sesungguhnya Allah membangkitkan kepada manusia di penghujung setiap seratus tahun, seorang yang mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghilangkan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .” kemudian beliau berkata, ‘maka kami melihat ternyata di penghujung seratus tahun pertama, orang tersebut adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan di penghujung seratus tahun kedua,orang tersebut adalah Asy-Syafi’i.”
Dan beliau (Al-Imam Ahmad) selalu mengulang-ngulang di dalam majelis beliau perkataan: “Telah berkata Abu ‘Abdillah Asy-Syafi’i.” Kemudian beliau mengatakan, “Tidaklah aku melihat seorangpun yang lebih kuat dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dibanding Asy-Syafi’i.”
Dan beliau (Al-Imam Ahmad) juga selalu mendoakan dengan kebaikan kepada gurunya (Al-Imam Asy-Syafi’i) di dalam doa-doa beliau.
Karya tulis beliau rahimahullah
Al-Imam Al-Marwazi rahimahullah mengatakan:” Sesungguhnya Asy-Syafi’i telah menulis karya tulis sebanyak 113 kitab baik dalam bidang tafsir, fiqih, adab (akhlaq), dan lain-lain.” Dan ada yang mengatakan bahwa karya tulis beliau mencapai 147 judul. Dan ada pula yang mengatakan bahwa karya tulis beliau mencapai 200 judul.
Diantara karya tulis beliau yang terkenal adalah “Al-Umm“, kitab yang membahas tentang masalah fiqih. Kemudian juga kitab yang berjudul “Ar-Risalah“, yang membahas tentang ushul fiqh. Beliau rahimahullah juga memiliki kumpulan sya’ir yang terkumpul dalam sebuah kitab yang dinamakan dengan “Diwan Asy-Syafi’i”
Mutiara hikmah beliau rahimahullah
1. Beliau pernah bersyair:
Aku mengadukan kepada Waki’ (guru beliau) tentang jeleknya hapalan
Maka beliau membimbingku untuk meninggalkan perbuatan maksiat
Dan berkata, ‘Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat’
2. Barangsiapa ingin agar Allah membukakan hatinya atau meneranginya, maka dia harus meninggalkan pembicaraan yang tidak bermanfaat, meninggalkan dosa-dosa, menghindari perbuatan-perbuatan maksiat dan menyembunyikan amalan yang dikerjakan antara dia dan Allah. Jika dia mengerjakan hal tersebut, maka Allah akan membukakan ilmu baginya yang akan menyibukkan dia dari yang lainnya. Sesungguhnya dalam kematian terdapat perkara yang menyibukkan.”
3. Berdebat di dalam masalah agama akan mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian.
4. Beliau pernah bersyair:
Bersabarlah atas pahitnya kekerasan seorang guru
Sesungguhnya kegagalan ilmu jika lari darinya
Barangsiapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat
Akan mereguk hinanya kebodohan sepanjang hidupnya
Barangsiapa luput darinya belajar pada waktu mudanya
Maka bertakbirlah atasnya empat kali atas kematiannya
5. Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , maka berpeganglah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, dan buanglah ucapanku.
6. Jika ada sebuah hadits yang shahih, maka itulah madzhabku.
7. Keridhoan manusia adalah sesuatu yang tidak akan pernah tercapai, dan tidak ada jalan menuju keselamatan dari mereka, maka wajib bagimu melakukan sesuatu yang bisa memberi kemanfaatan kepadamu dan berpegang teguhlah dengannya.
8. Yang dinamakan dengan ilmu itu adalah sesuatu yang bisa memberi kemanfaatan dan tidaklah yang dinamakan dengan ilmu itu adalah sesuatu yang sekedar dihapal.
Al-Qasim bin Muhammad
Cucu Abu Bakr Ash-Shiddiq yang Paling Mirip dengan Kakeknya
Sejak ayahnya meninggal, beliau hidup dalam keadaan yatim di bawah asuhan dan didikan bibinya, yaitu Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang paling berilmu ketika itu. Sehingga tidaklah mengherankan jika beliau kemudian menjadi seorang alim besar dari generasi tabi’in. Ditambah dengan kemuliaan akhlak dan adab yang melekat pada dirinya, sangatlah pantas kalau dikatakan beliau adalah salah seorang dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah.
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Nama lengkap beliau adalah Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq At-Taimi Al-Qurasyi, Al-Madani Al-Faqih. Menilik dari silsilahnya, beliau merupakan cucu Al-Khalifah Ar-Rasyid Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, shahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sekaligus manusia terbaik di muka bumi setelah wafatnya Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tokoh tabi’in keponakan ibunda kaum mukminin A’isyah radhiyallahu ‘anha ini berkunyah Abu Muhammad, dan ada yang mengatakan beliau berkunyah Abu ‘Abdirrahman.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Al-Qasim meriwayatkan hadits dari ayahnya (yakni Muhammad bin Abi Bakr), ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Ibnu ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Abdullah bin Ja’far, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Khabbab, Mu’awiyah, Rafi’ bin Khadij, Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma-, Fathimah bintu Qais, dan yang lainnya.
Dan adapun para muhadditsun yang meriwayatkan dari beliau di antaranya adalah anaknya sendiri (yakni ‘Abdurrahman), Asy-Sya’bi, Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Ibnu Abi Mulaikah, Nafi’ maula Ibni ‘Umar, Az-Zuhri, Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu ‘Aun, Rabi’ah, Abu Az-Zinad, dan masih banyak lagi.
Beliau adalah seorang tabi’in yang amanah. Wajar jika kemudian ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata: “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.”
Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah ‘azza wajalla sebagai anak yatim dalam tarbiyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, beliau adalah cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq yang paling mirip dengan kakeknya.
Beliau pernah mengatakan: “‘Aisyah adalah seorang mufti wanita dari zaman Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan seterusnya sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba ilmu darinya dan juga duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar”.
Ini adalah ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya beliau terhadap ilmu agama meskipun menanggung beban hidup yang sangat berat sebagai anak yatim.
Ayyub As-Sakhtiyani -salah seorang alim di zamannya- berkata: “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang (padahal) halal untuknya senilai seratus ribu dinar.”
Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan sifat wara’ dan keutamaan Al-Qasim. Bahkan karena kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia mengatakan: “Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak Allah, lebih baik baginya daripada ia mengatakan sesuatu yang ia tidak mengetahuinya (berfatwa tanpa ilmu).” Sehingga Al-Imam Malik mengatakan bahwa beliau adalah seorang alim yang sedikit dalam memberikan fatwa.
Beliau juga dikenal sebagai seorang alim yang memiliki sifat tawadhu’. Ibnu Ishaq menceritakan: “Aku melihat Al-Qasim mengerjakan shalat, kemudian datanglah seorang badui kepada beliau dan mengatakan: ‘Siapa yang lebih berilmu? Engkau atau Salim?’ Maka Al-Qasim mengatakan: ‘Subhanallah.’ Terus beliau mengulang-ulang kalimat ini. Kemudian beliau mengatakan: ‘Itu adalah Salim, tanyakanlah kepadanya’.”
Ibnu Ishaq mengatakan: “Al-Qasim tidak suka kalau mengatakan: ‘aku lebih berilmu daripada salim’ karena hal itu termasuk memuji diri sendiri, dan beliau juga tidak suka kalau mengatakan: ‘Salim lebih berilmu’ karena berarti dia telah berdusta. Kemudian Ibnu Ishaq mengatakan: “Dan Al-Qasim adalah lebih berilmu daripada Salim.”
Dahulu Ibnu Sirin memerintahkan orang-orang yang menunaikan ibadah haji untuk melihat bimbingan Al-Qasim, maka orang-orang pun meneladani (mengambil bimbingan) dari beliau.
Sebelum meninggal, Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya: “Ratakanlah kuburku dan taburilah dengan tanah, serta janganlah kamu menyebut-nyebut keadaanku demikian dan demikian.”
Pujian Para Ulama kepada Beliau
Abdurrahman bin Al-Qasim (anaknya sendiri) pernah mengatakan: “Beliau adalah manusia paling utama di zamannya.”
Yahya bin Sa’id berkata: “Kami tidak melihat seorang pun di Madinah yang lebih kami utamakan daripada Al-Qasim.”
Abu Az-Zinad berkata: “Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As-Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan aku juga melihat tidak ada seorang pun yang lebih jenius daripada dia.”
Imam Daril Hijrah Malik bin Anas mengatakan: “Al-Qasim adalah salah seorang di antara Fuqaha’ umat ini.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang paling mengetahui hadits (riwayat dari) ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah bintu ‘Abdirrahman.”
Ibnu Hibban mengatakan: “Beliau adalah termasuk tokoh tabi’in dan orang yang paling utama di zamannya dari sisi keilmuan, adab, dan fiqh.”
Wafat Beliau
Al-Qasim, seorang tokoh besar tabi’in yang buta di akhir kehidupannya ini wafat setelah meninggalnya ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan tahun wafat dan umur beliau ketika itu. Ada yang mengatakan beliau wafat tahun 101 H, atau 102 H, ada juga yang mengatakan tahun 105 H, atau tahun 107 H. Beliau wafat dalam usia 70 tahun pada masa kekhalifahan Yazid bin ‘Abdil Malik bin Marwan sewaktu menunaikan ibadah ‘umrah bersama Hisyam bin ‘Abdil Malik di perbatasan antara kota Madinah dan Makkah.
Di antara untaian hikmah yang pernah beliau ucapkan adalah: “Allah menjadikan (bagi) kejujuran itu (dengan) kebaikan yang akan datang sebagai ganti dari-Nya.”
Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati beliau.
Bersambung, Insya Allah edisi berikutnya biografi ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud.
Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tadzkiratul Huffazh
4. Tahdzibut Tahdzib
5. Taqribut Tahdzib.
Biografi Asy-Syaikh Muhammad bin Ghalib
Biodata beliau:
1. Nama : Muhammad bin Ghalib Hassan Al-’Umari
2. Domisili : Madinah, Saudi Arabia
3. Pendidikan:
S-1 Fakultas Syariah, Universitas Islam Madinah
S-2 Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Islam Madinah
Sekarang sedang menempuh Program Doktoral di Fakultas Dakwah,
Universitas Islam Madinah
4. Guru-guru :
- Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah
- Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Badr
- Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri
- Asy-Syaikh Abdurrahman bin Auf Kuni
- Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali
- Asy-Syaikh Tarhib bin Rubai’an Ad-Dausari
- Asy-Syaikh Abdussalam bin Salim As-Suhaimi
- Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari
5. Karya tulis :
- Atsar At-Taqlid Al-Madzmum ‘ala Ad-Da’wah (Thesis
Magister)
- Al-Qaulul Musaddad
- Ithaful Fudhala’ bi Fawaidi ‘Ulama min Siyar A’lamin
Nubala’
- Mulahadzat ‘ala Siyar A’lamin Nubala
- Shafwatu Ushulil Fiqih Al-Muntakhabah min Mukhtashar
At-Tahrir
Biografi Syaikh Abdullah bin Mar’i Al ‘Adni
Biodata beliau:
Nama: Abdullah bin Umar bin Mar’i bin Bariik Al Adeni
Kunyah: Abu Abdirrahman
Tempat dan Tanggal Lahir: Al Manshurah - Aden, pada hari Selasa tanggal 27 Syawwal 1389 H
Keluarga beliau:
Syaikh Abdullah menikah di Kerajaan Saudi Arabia, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada beliau seorang istri yang shalihah, seorang pengajar dan mustafidah. Allah subhanahu wa ta’ala pun menganugerahkan tujuh orang anak yang terdiri dari empat putra dan tiga orang putri. Adapun putra beliau adalah:
1. Abdurrahman, kunyah Syaikh diambil dari nama putra beliau ini.
2. Umar
3. Muhammad
4. Abdullah, ini yang paling bungsu.
Proses Beliau Menuntut Ilmu:
Beliau mulai belajar pada tahun 1406 H -bertepatan dengan tahun 1986 M-, dengan menghapal Al Quran dan menyetorkan hapalannya kepada Syaikh Muhammad At Ta’zi rahimahullah di Aden. Beliau mengkhatamkan Al Quran di hadapan Syaikh At Ta’zi sebanyak dua kali. Di masa itu beliau juga belajar kitab-kitab bagi pemula dalam bidang aqidah, fiqh, hadits, dan bahasa Arab. Beliau menyempurnakan hapalan Al Quran beliau di tahun 1409 H.
Beliau kemudian menetap di bumi Dammaj tahun 1408 dan bermulazamah kepada Syaikh Al Muhaddits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i -rahimahullah-. Beliau belajar Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Tafsir Ibnu Katsir, dan pelajaran lainnya kepada Syaikh Muqbil. Dan dahulu Syaikh Muqbil Al Wadi’i -rahimahullah- mengadakan pelajaran Kitab Tauhid karya Ibnu Khuzaimah.
Syaikh Abdullah juga bertemu para penuntut ilmu senior pada masa itu, di antaranya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Washabi -hafizhahullah-. Beliau belajar Aqidah Ath Thahawiyah dari Syaikh Al Washabi.
Syaikh Abdullah pun kemudian safar ke bumi Haramain di bulan Ramadhan tahun 1412 H -bertepatan tahun 1992 H- di mana beliau menuntut ilmu secara langsung kepada para ulama senior di berbagai tempat.
Yang Pertama: Di Al Qasim dan Riyadh
1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau bermulazamah dari tahun 1412 H selama empat setengah tahun sampai beliau pindah. Beliau mengikuti pelajaran khusus dalam pembahasan kitab Al Hamawiyah dan At Tadmuriyah serta Syarah Syaikh Ibnu Utsaimin terhadap kitab An Nawawiyah, Qawa’id An Nuraniyah, Naqdut Tablis Al Jahmiyah, As Shawaiqul Mursalah dan yang selainnya.
Syaikh Abdullah senantiasa bersemangat dalam mengisi waktu. Di waktu libur dan ketika pelajaran kosong di pagi hari dan ba’da isya beliau talaqqi, menimba ilmu dari para Syaikh lainnya, di antaranya:
1. Syaikh Al Faqih -ahli sastra dan bahasa- Abu Shalih Abdullah bin Shalih Al Falih. Beliau membacakan kitab matan sharf, di antaranya Al Asaas wal Bina, At Tashrif karya Az Zunjani, serta At Tashrif karya Muhyiddin Abdul Hamid, dan kitab Syadzal Araf. Dan di dalam ilmu Nahwu beliau belajar Al Qathr, Asy Syudzur serta Ibnu Aqil, serta sekumpulan kitab dalam bidang adab seperti Syarh Adab Al Katib dan yang selainnya.
2. Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah. Syaikh Abdullah menghadiri sebagian pelajaran Syaikh Bin Baaz di Riyadh dan bertanya tentang sebagian permasalahan. Hal ini beliau lakukan di hari Kamis, Jumat dan hari-hari libur.
3. Syaikh Abdullah Al Ghudayyan. Beliau mengikuti sebagian pelajaran ilmu ushul, dan beragam pembahasan ushuliyah.
4. Syaikh Muhammad bin Sulayman Al Alith. Beliau belajar kitab-kitab aqidah dan syarah Kitab Tauhid seperti Qurratul Uyun, At Taisir, Darun Nadhid, Al Qaulus Sadiid, Hasyiyah Ibnul Qasim dan yang selainnya. Dan demikian juga, beliau belajar Majmu Ibnu Rumaih, Kasyfu Syubuhat, Al Haiyah, banyak dari matan-matan akidah dari Syaikh Al Alith. Dan juga kumpulan pelajaran tauhid dalam risalah-risalah para imam Negeri Najd dalam bidang akidah, serta syarah- syarah kitab Al Wasithiyah dan yang selainnya.
5. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Manshur, beliau belajar kitab Al Hamawiyah, At Tadmuriyah, At Tanbihaat As Saniyah, dan Syarah-syarah Kitab Al Wasithiyah, Ad Durratul Mudhi’ah fis Safariniyah, At Taiyah karya Syaikhul Islam dengan syarh As Sa’di, Al Qawaid Al Fiqhiyah, serta risalah-risalah Syaikhul Islam seperti At Tawassul, Wasilah Al ‘Ubudiyah dan yang selainnya dari Syaikh Al Manshur.
6. Syaikh Abdullah Al Qar’awy, imam Jami’ Al Kabir di Buraidah. Beliau belajar sekumpulan risalah tauhid kepada Syaikh Al Qar’awy.
7. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, beliau belajar sejumlah durus.
Yang kedua, Para Masyaikh kota Madinah, yang paling terkenal di antara mereka:
1. Syaikh Muhammad bin Aman Al Jaami. Beliau belajar ta’liq Syaikh Al Jami terhadap Syarah Aqidah Al Wasithiyah Al Harras di Al Haram Al Madani.
2. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, beliau mendapatkan pelajaran sebagian kitab-kitab sunan di dalam dars ‘am (pelajaran umum).
3. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad, beliau belajar Syarh terhadap Sunan An Nasa’i dan sebagian pelajaran Sunan Abu Daud di Al Haram Al Madani
4. Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, beliau belajar kitab Al Muwatha’ di Al Haram Al Madani
5. Syaikh Zaidan Asy Syinqithi, beliau belajar ushul fiqh di Al Haram Al Madani.
6. Syaikh Umar bin Abdul Jabbar, beliau belajar kitab Al Kawakib Al Munir di Masjid Universitas Islam Madinah.
7. Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jaabiri.
Yang Ketiga, Masyaikh Makkah:
1. Gurunya Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah yaitu Syaikh Muhammad bin Abdillah As Shumali. Beliau belajar kitab ‘Ilal Ibni Madini, ilmu musthalah, serta beragam bab dari Shahih Al Bukhari.
2. Syaikh Muhammad Ath Thayyib bin Ahmad Al Maghribi Al Ja’fari, beliau belajar ushul fiqih dan beragam bab fiqih.
3. Syaikh Muhammad Al Khadr Dhayfullah Al Jakni Asy Syinqithi, beliau belajar bahasa Arab dan sebagian ilmu mantiq.
4. Syaikh Muhammad bin Shalih At Tanbakti Al Mali, beliau belajar Syarah Ibnu Aqil.
5. Syaikh Muhammad bin Syaikh Ali bin Adam Al Atsiyubi Al Walwy. Beliau belajar Sunan At Tirmidzi, ‘Ilal Ibnu Rajab dan Nazham beliau dalam nama-nama Mudallis.
Beliau juga belajar dari para ulama lainnya yang beliau temui dalam sebagian majelis seperti Al Allamah Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani. Beliau hadir di sebagian pelajaran Syaikh Al Albani pada tahun 1410 di Makkah dan Jeddah.
Cukup bagimu ijazah-ijazah yang beliau -semoga Allah menjaganya- peroleh dari sebagian masyaikh yang beliau enggan untuk kami ketahui,. Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan barakah kepada diri dan ilmu beliau, serta kepada para ulama, masyaikh, dan para dai ahlussunnah secara keseluruhan.
Sulaiman bin Yasar
Seorang ‘Alim Yang Rendah Hati
Bangga diri terhadap ilmu yang ada pada dirinya, kemudian merendahkan yang lainnya merupakan akhlak orang-orang yang bodoh, walaupun pada hakikatnya dirinya memiliki ilmu yang luas.
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Beliau adalah Abu Ayyub Sulaiman bin Yasar Al-Hilali Al-Madani. Tentang kunyah beliau ini masih diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan bahwa kunyah beliau adalah Abu ‘Abdirrahman, dan ada yang mengatakan bahwa kunyah beliau adalah Abu ‘Abdillah. Namun yang lebih mendekati kebenaran bahwa kunyah beliau adalah Abu Ayyub. Wallahu a’lam.
Beliau dilahirkan pada akhir-akhir masa Al-Khalifah Ar-Rasyid ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Seorang ‘alim yang berada pada thabaqah ketiga ini adalah imam dan mufti, salah seorang dari tujuh tokoh fuqaha’ kota Madinah. Beliau adalah seorang maula (bekas budak) dari Ummul Mu’minin Maimunah Al-Hilaliyyah radhiyallahu ‘anha, dan ada pula yang mengatakan bahwa beliau adalah sekretaris Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
Beliau memiliki beberapa saudara kandung yaitu ‘Atha’ bin Yasar, ‘Abdul Malik bin Yasar, dan ‘Abdullah bin Yasar. ‘Atha’ bin Yasar adalah juga seorang ‘alim yang cukup disegani di kota Madinah.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, Jabir bin ‘Abdillah, Rafi’ bin Khudaij, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Abu Rafi’ -maula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-, Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami, Al-Miqdad bin Al-Aswad, ‘Urwah bin Az-Zubair, Kuraib, ‘Irak bin Malik, ‘Amrah Al-Anshariyah, Muslim bin As-Saib, dan yang lainnya.
Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah saudara kandung beliau yaitu ‘Atha’ bin Yasar, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Bukair bin Al-Asyaj, ‘Amr bin Dinar, ‘Amr bin Maimun bin Mihran, Salim Abu An-Nadhr, Rabi’ah Ar-Ray, Ya’la bin Hakim, Ya’qub bin ‘Utbah, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, Muhammad bin Yusuf Al-Kindi, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Yunus bin Yusuf, ‘Abdullah bin Al-Fadhl Al-Hasyimi, ‘Amr bin Syu’aib, Muhammad bin Abi Harmalah, ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, Khutsaim bin ‘Irak, dan yang lainnya.
Beliau dan saudara kandungnya yaitu ‘Atha’ bin Yasar adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah. Abu Hazim berkata: “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki yang senantiasa berada di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain dari ‘Atha bin Yasar.”
Beliau dan saudara kandungnya ini juga dikenal sebagai orang yang sangat rajin melaksanakan ibadah puasa.
Keluasan ilmunya menjadikan sebagian ulama lebih mengutamakan beliau dari sisi keilmuan dibanding Sa’id bin Al-Musayyib. Namun beliau adalah seorang yang sangat tawadhu’. Beliau pernah mengatakan tentang keutamaan Sa’id bin Al-Musayyib: “Sa’id bin Al-Musayyib adalah seorang manusia pilihan.”
Diceritakan oleh ‘Abdullah bin Yazid Al-Hudzali bahwa suatu ketika datang seseorang kepada Sa’id bin Al-Musayyib untuk menanyakan tentang sesuatu, maka kata Sa’id bin Al-Musayyib: “Pergilah engkau kepada Sulaiman bin Yasar, karena sesungguhnya dia adalah orang yang paling ‘alim dari manusia pilihan pada masa ini.”
Al-Imam Malik berkata: “Sulaiman bin Yasar adalah ulama umat setelah Sa’id bin Al-Musayyib, dan beliau sering menyepakati Sa’id dalam permasalahan agama. Dan Sa’id sendiri tidak berani mendahuluinya.”
Begitulah akhlak orang-orang yang berilmu, mereka adalah orang-orang yang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati), saling mengutamakan antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak membanggakan dirinya kemudian merendahkan yang lain walaupun pada hakikatnya dirinya memiliki kelebihan dibanding yang lainnya.
Adapun membanggakan apa yang ada pada dirinya kemudian merendahkan yang lainnya merupakan akhlak orang-orang yang bodoh walaupun pada hakikatnya dirinya memiliki ilmu yang luas.
Beliau dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala wajah yang sangat tampan. Bahkan dikatakan sebagai manusia yang paling tampan pada zamannya. Dihikayatkan dalam sebuah kisah bahwasanya pernah ada seorang wanita yang sangat cantik masuk kepada beliau. Kemudian si wanita tersebut menginginkan sesuatu kepada beliau untuk dirinya -sebagaimana dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam-, namun beliau menolaknya dan segera lari keluar dari si wanita tersebut. Maka pada malam harinya beliau bermimpi bertemu dengan Nabi Yusuf. Maka berkatalah beliau: “Anda Nabi Yusuf?” Nabi Yusuf menjawab: “Ya, saya adalah Yusuf yang sempat terbetik keinginan terhadap wanita itu (yakni istri Al-’Aziz), dan adapun engkau adalah Sulaiman yang tidak terbetik keinginan terhadap wanita tersebut.”
Namun hikayat ini masih dipertanyakan tentang kebenarannya karena sanadnya terputus.
Pujian Para Ulama Kepada Beliau
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: “Beliau adalah seorang ‘alim.”
Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata: “Sulaiman bin Yasar menurut kami adalah orang yang lebih pandai dibanding Sa’id bin Al-Musayyib.”
Ibnu Sa’d berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, ‘alim, tinggi kedudukannya, faqih, dan banyak haditsnya.”
Qatadah bin Di’amah berkata: “Aku sampai di kota Madinah, maka aku bertanya kepada penduduknya tentang orang yang paling ‘alim tentang masalah thalaq di kota tersebut, maka mereka menjawab: Sulaiman bin Yasar.”
Abu Zur’ah berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, amanah, memiliki keutamaan dan seorang ahli ibadah.”
Yahya bin Ma’in berkata: “Sulaiman adalah seorang yang terpercaya.”
An-Nasa’i berkata: “Beliau termasuk salah satu dari imam kaum muslimin.”
Ibnu Hibban berkata: “Beliau adalah termasuk Fuqaha’ kota Madinah dan Qurra’ (Ahli Qira’ah) nya kota itu.”
Wafat Beliau
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan tahun wafat beliau. Ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 107 Hijriyyah pada usia 73 tahun,
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Harun bin Muhammad berkata: Aku mendengar sebagian kawanku berkata: Tahun wafat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Ali bin Al-Husain, Abu Bakr bin ‘Abdirrahman pada tahun 94 Hijriyyah, disebut tahun Fuqaha’.
Semoga Allah ta’ala merahmati beliau …
Bersambung, Insya Allah edisi berikutnya biografi Al-Qasim bin Muhammad.
Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tahdzibut Tahdzib
Abu Bakr bin ‘Abdirrahman bin Al-Harits
Pemuda Ahli Ibadah
Para muhadditsin sepakat bahwa enam dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah itu adalah Sa’id, ‘Urwah, Al-Qasim, Sulaiman, ‘Ubaidullah, dan Kharijah sebagaimana yang telah lewat penyebutannya. Kemudian mereka berbeda pendapat, siapakah yang ketujuh. Ada yang mengatakan dia adalah Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, ada yang berpendapat dia adalah Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dan ada pula yang berpendapat dia adalah Abu Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf rahimahumullahu jami’an.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang ada, kami akan menyebutkan pada edisi kali ini biografi singkat Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, untuk menyesuaikan dengan penyebutan jajaran Al-Fuqaha’ As-Sab’ah dalam bait syair yang telah lewat. Dan Insya Allah kami juga akan menampilkan biografi Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf pada edisi yang lain.
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Beliau bernama Abu Bakr bin ‘Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum Al-Qurasyi Al-Madani. Ada yang mengatakan bahwa nama beliau adalah Muhammad, ada pula yang mengatakan namanya adalah Al-Mughirah. Dan ada yang mengatakan juga bahwa nama beliau adalah Abu Bakr dan kunyahnya adalah Abu ‘Abdirrahman. Namun pendapat yang benar adalah kunyah beliau sama dengan namanya, yaitu Abu Bakr. Wallahu A’lam.
Dilahirkan pada masa khalifah Al-Faruq ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyalahu ‘anhu. Beliau termasuk dalam jajaran fuqaha’ yang menempati thabaqah ketiga. Di samping sebagai seorang tokoh tabi’in yang mulia, beliau juga termasuk dari jajaran pembesar kaumnya yaitu Bani Makhzum.
Ayah beliau yaitu ‘Abdurrahman bin Al-Harits termasuk tokoh besar tabi’in dan dimuliakan di tengah-tengah kaumnya, memiliki pandangan-pandangan dan pemikiran yang tajam serta banyak memiliki keutamaan.
Ayah beliau dilahirkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, namun tidak diketahui apakah beliau termasuk shahabat atau bukan.
Beliau dikaruniai oleh Allah ‘azza wajalla putra yang banyak. Di antara putra-putra beliau adalah ‘Abdullah, Salamah, ‘Abdul Malik, ‘Umar, dan lainnya. Beliau juga banyak memiliki saudara kandung di antaranya adalah ‘Abdullah, ‘Abdul Malik, ‘Ikrimah, Muhammad, Mughirah, Yahya, ‘Aisyah, Ummu Al-Harits -dan dia adalah seorang wanita yang buta-, dan yang lainnya.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau meriwayatkan hadits dari ayahnya sendiri yaitu ‘Abdurrahman bin Al-Harits, ‘Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Asma’ bintu Abi Bakr, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Abu Mas’ud Al-Anshari, Naufal bin Mu’awiyah, Marwan bin Al-Hakam, ‘Abdurrahman bin Muthi’, Abu Rafi’ An-Nabawi, Asma’ bintu ‘Umais, dan lain-lain.
Sedangkan para ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah putra beliau sendiri yaitu ‘Abdullah dan ‘Abdul Malik, Mujahid bin Jabr Al-Makki, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi, ‘Irak bin Malik, ‘Amr bin Dinar, Ibnu Syihab Az-Zuhri, ‘Abdu Rabbih bin Sa’id, ‘Ikrimah bin Khalid, ‘Ibrahim bin Muhajir, ‘Abdullah bin Ka’b Al-Himyari, ‘Abdul Wahid bin Aiman, Al-Qasim bin Muhammad bin ‘Abdirrahman, dan yang lainnya.
Beliau diberi julukan dengan ‘Rahib Quraisy’ yang artinya adalah seorang ahli ibadah dari Quraisy disebabkan banyaknya shalat-shalat sunnah yang beliau lakukan.
Beliau adalah orang yang menjaga kehormatan dirinya untuk tidak meminta-minta kepada orang lain. Tokoh tabi’in yang terpercaya dan selalu menjaga amanah ini sangat rajin mengamalkan puasa-puasa sunnah.
Pujian Para Ulama kepada Beliau
Abu Dawud berkata: “Beliau adalah seorang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta dan adalah beliau tatkala bersujud dalam shalatnya, beliau letakkan tangannya ke dalam suatu tempat air (baskom) disebabkan oleh penyakit yang dideritanya.”
Adz-Dzahabi berkata: “Abu Bakr bin ‘Abdirrahman adalah termasuk dari orang-orang yang bisa mengumpulkan pada dirinya ilmu, amal, dan kemuliaan. Dan beliau mampu mewarisi kedudukan ayahnya dalam hal kemuliaan.”
Az-Zubair bin Bakkar berkata: “Beliau adalah salah seorang dari tujuh fuqaha’ kota Madinah, beliau diberi gelar dengan ‘Ar-Rahib’ (orang yang banyak beribadah) dan beliau termasuk dari kalangan para pembesar Quraisy.”
Ibnu Khirasy berkata: “Beliau adalah termasuk salah satu dari ulama kaum muslimin. Beliau dan saudara-saudara kandungnya merupakan permisalan tentang orang-orang yang memiliki keutamaan.”
Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: “Beliau adalah seorang tabi’in yang terpercaya.”
Al-Waqidi berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, faqih, seorang yang ‘alim, dermawan, dan banyak haditsnya.”
Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah. Suatu tahun yang dikenal dengan nama tahun Fuqaha disebabkan banyaknya para fuqaha’ yang meninggal pada tahun tersebut.
Bersambung, Insya Allah tampilan berikutnya biografi Sulaiman bin Yasar.
Rujukan:
1. Siyar A’lamin Nubala’
2. Al-Bidayah Wan Nihayah
3. Tahdzibut Tahdzib
‘Urwah bin Az-Zubair
Tabi’in yang Menjadi Teladan dalam Kesabaran
Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, dua kunci sukses seseorang meraih kepemimpinan di dalam agama ini, memimpin dan mengarahkan umat kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka itulah para ulama Rabbaniyyin -yang dengan kesabaran dan keyakinan mereka terhadap ayat-ayat Allah- telah berhasil memimpin umat dari generasi ke generasi untuk berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih.
Di antara tokoh ulama yang pantas untuk digelari imam yang berhasil memimpin dan membimbing umat menuju agama Allah adalah ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullah. Kesabarannya yang luar biasa telah membuka jalan baginya untuk meraih kepemimpinan dalam agama ini. Ditambah ketinggian dan kekokohan ilmu yang dimilikinya, semakin menempatkan beliau kepada derajat ‘alim yang layak untuk diteladani.
Kunyah, Nama Lengkap, dan Nasab Beliau
Beliau adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani.
Beliau adalah seorang tabi’in yang mulia, satu dari Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (tujuh tokoh fuqaha’ /ulama) yang masyhur dalam sejarah kaum muslimin, panutan umat, putra dari Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu, salah seorang As-Sabiqunal Awwalun (para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama-tama masuk Islam). Bersama dengan sembilan shahabat yang lain, Hawari (penolong) Rasulullah ini telah mendapatkan kabar gembira masuk ke dalam surga selagi mereka masih hidup di dunia.
Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, wanita mulia yang turut membantu persiapan ayahanda dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat hijrah ke kota Madinah. Bermula dari sinilah beliau kemudian mendapatkan julukan Dzatun Nithaqain (yang memiliki dua ikat pinggang). JAdi, manusia terbaik setelah Rasulullah -yakni Abu Bakr Ash-Shiddiq- adalah kakek beliau dari jalur ibu.
Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang Al-’Abadilah Al-Arba’ah[1], dengan usia yang terpaut 20 tahun.
Bibi beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Yang paling mengetahui hadits (yang diriwayatkan) ‘Aisyah adalah ‘Urwah, ‘Amrah, dan Al-Qasim.
Qabishah bin Dzu’aib mengatakan: ‘Urwah telah mengalahkan kami dalam masuknya beliau (untuk meriwayatkan hadits) dari ‘Aisyah, dan ‘Aisyah adalah orang yang paling berilmu.
Beliau dilahirkan pada tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.
Keilmuan, Ibadah dan Akhlak Beliau
Beliau sempat meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun hanya sedikit. Dan juga meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Zaid, ‘Ali bin Abi Thalib, Jabir, Al-Hasan, Al-Husain, Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Mu’awiyah, ‘Amr bin Al-’Ash, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan yang lainnya.
Beliau pun juga menimba ilmu dari para shahabiyah di antaranya Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq -ibunya sendiri-, ‘Aisyah Ummul Mu’minin -bibi beliau-, Asma’ binti ‘Umais, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ummu Hani’, Ummu Syarik, Fathimah bintu Qais, Dhuba’ah bintu Az-Zubair, Busrah bintu Shafwan, Zainab bintu Abi Salamah, ‘Amrah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anhunna ajma’in.
Para ulama yang berguru dan meriwayatkan hadits dari beliau adalah Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Ja’far Ash-Shadiq, Ibnu Abi Mulaikah, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ‘Atha bin Abi Rabah, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama yang lain.
Beliau adalah orang pertama yang menulis tentang masalah Al-Maghazi (peperangan) dan yang paling banyak melantunkan syair pada zamannya.
Beliau adalah salah seorang di antara sepuluh ulama di kota Madinah yang selalu menjadi rujukan khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu beliau menjabat sebagai gubernur di kota tersebut.
Qabishah bin Dzu’aib menceritakan sebuah kisah:
Dahulu semasa khalifah Mu’awiyah, kami yaitu aku, Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, ‘Abdul Malik bin Marwan, ‘Abdurrahman Al-Miswar, Ibrahim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf dan ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah biasa berkumpul membuat halaqah setiap malam di masjid. Dan pada siang harinya kami berpisah. Maka aku belajar kepada Zaid bin Tsabit -waktu itu beliau ditunjuk sebagai ketua dalam bidang kehakiman, fatwa, qira’ah dan fara’idh sejak masa khalifah ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali di kota Madinah-. Kemudian aku dan Abu Bakar bin ‘Abdirrahman belajar kepada Abu Hurairah. Dan ‘Urwah telah mendahului kami dalam belajar kepada ‘Aisyah.
Abu Az-Zinad menceritakan:
Dahulu pernah berkumpul di Al-Hijr (yakni Hijr Isma’il di Ka’bah) Mush’ab bin Az-Zubair, ‘Abdullah bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair dan Ibnu ‘Umar. Mereka mengatakan: Mari kita berangan-angan!
‘Abdullah bin Az-Zubair berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang khalifah.
‘Urwah berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang yang alim.
Mush’ab berkata: Adapun aku, aku ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi ‘Aisyah bintu Thalhah dan Sukainah bintu Al-Husain.
Adapun Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Kalau aku hanya menginginkan ampunan dari Allah ‘azza wajalla.
Maka mereka semua telah berhasil menggapai cita-citanya masing-masing dan adapun Ibnu ‘Umar semoga Allah mengampuninya.
Suatu ketika ‘Urwah melihat seorang laki-laki melakukan shalat dengan cepat kemudian setelah selesai shalat dia berdo’a. ‘Urwah berkata: Wahai saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah sampaipun aku meminta garam.
Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut:
ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله إن ترن أنا أقل منك مالا وولدا.
Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi: 39)
……… sampai beliau keluar darinya.
Kebiasaan beliau dalam setiap harinya adalah membaca seperempat Al-Qur’an. Kemudian seperempat Al-Qur’an yang beliau baca pada siang harinya tersebut, dibaca dalam shalat malamnya. Dan tidak pernah sekalipun beliau meninggalkan kebiasaan ini kecuali pada malam diamputasinya kaki beliau.
Tentang sebab dan peristiwa diamputasinya kaki beliau ini juga menjadi kisah tersendiri yang dapat menyentuh kalbu setiap insan mu’min sekaligus menunjukkan kepada kita bukti sebuah kesabaran luar biasa di dalam menghadapi suatu musibah besar yang telah ditunjukkan oleh seorang hamba Allah yang mu’min yang mungkin tiada lagi didapati kesabaran yang seperti itu apalagi di zaman sekarang ini.
Suatu ketika ‘Urwah bin Az-Zubair mendapat tugas untuk menemui khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di negeri Syam. Maka keluarlah beliau beserta rombongan menuju kota Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih dekat dengan kota Madinah yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura, terjadi pada beliau semacam luka di telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut mengeluarkan nanah dan semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka tersebut tidak saja semakin bertambah parah namun juga menyebabkan kakinya busuk serta semakin menjalar menggerogoti kakinya.
Dan akhirnya sampailah beliau kepada khalifah Al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan ditandu dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis. Begitu mengetahui keadaan yang menimpa ‘Urwah, khalifah Al-Walid segera memanggil para dokter ternama di kota tersebut untuk mengobati penyakit beliau. Maka terkumpullah para dokter dan segera memeriksa penyakit yang beliau derita tersebut. Setelah memeriksa dan mendiagnosa jenis penyakit yang menimpa beliau, sampailah mereka pada keputusan bahwa kaki beliau harus secepatnya diamputasi. Sebab kalau tidak, penyakitnya akan terus menjalar ke pangkal paha dan seterusnya ke arah anggota badan yang lain, dalam keadaan penyakit tersebut sekarang telah menggerogoti sampai mencapai setengah paha kirinya. Disampaikanlah keputusan tersebut kepada beliau dan ternyata beliau bisa menerimanya dengan tabah.
Maka dimulailah persiapan untuk operasi pemotongan kaki beliau. Kemudian para dokter tersebut menawarkan obat bius kepada beliau agar nantinya tidak merasakan sakit ketika kakinya digergaji. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya mengatakan: “Aku tidak pernah menyangka terhadap seorang yang beriman kepada Allah bahwa dia akan minum suatu obat yang akan membuat hilang akalnya sehingga dia tidak mengenal Rabbnya. Akan tetapi kalau kalian mau memotongnya silakan, dan aku akan berusaha menahan rasa sakitnya.”
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa tatkala beliau menolak tawaran para dokter tersebut, beliau mengatakan: “Akan tetapi jika memang kalian mau memotongnya silakan lakukan saja dan biarkanlah diriku dalam keadaan shalat agar aku tidak merasakan sakit dan pedihnya.
Maka dimulailah operasi pemotongan kaki beliau yang sebelah kiri dengan gergaji pada bagian atas sedikit dari kaki yang tidak terkena penyakit. Sewaktu proses amputasi tersebut sedang berlangsung, beliau tidak bergeming atau bergerak sama sekali dan juga tidak terdengar rintihan rasa sakit sedikitpun. Maka ketika telah selesai dari proses pemotongan kaki dan juga telah selesai dari shalatnya, datanglah khalifah Al-Walid menghibur beliau. Dan berkatalah ‘Urwah kepada dirinya sendiri: “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu, dahulu aku memiliki empat anggota tubuh (dua kaki dan dua tangan), kemudian Engkau ambil satu. Walaupun Engkau telah mengambil anggota tubuhku namun Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.
Al-Walid berkata: “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya seperti dia.”
Dan tatkala diperlihatkan potongan kaki tersebut kepadanya, beliau mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwasanya tidak pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku ke arah kemaksiatan.”
Dan pada malam itu juga bersamaan dengan telah selesainya operasi pemotongan kaki, beliau mendapatkan kabar bahwa salah seorang putra beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia karena ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang kuda.
Maka berkatalah beliau kepada dirinya sendiri: “Segala puji hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu dan Engkau masih menyisakan enam. Maka walaupun Engkau telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang darinya. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku maka sesungguhnya Engkau masih menyisakan yang lain.
Selama menunggu proses penyembuhan kakinya, beliau tinggal di kediaman khalifah selama beberapa hari sekaligus sambil menyelesaikan keperluan yang lain. Kemudian setelah dirasa telah sembuh dan semua urusan telah selesai, kembalilah rombongan ke kota Madinah. Selama dalam perjalanan pulang, tidak pernah terdengar sepatah kata pun lisan beliau menyebut-nyebut tentang musibah yang menimpa kakinya dan kematian yang menimpa putra kesayangannya. Dan juga tidak terlihat beliau mengeluhkan musibah yang menimpanya kepada orang lain.
Dan ketika rombongan telah sampai di tempat yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura -awal mula terjadinya musibah pada kaki beliau tersebut-, beliau membaca ayat pada surat Al Kahfi ayat 62:
فلما جاوزا قال لفتاه آتنا غداءنا لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا.
“Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. (Al-Kahfi: 62)
Akhirnya sampailah rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota, manusia berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah yang beliau alami.
Nasehat Emas
Di antara nasihat emas beliau adalah sebagai berikut:
1. Nasehat beliau kepada para pemuda: “Ada apa dengan kalian ini, kenapa kalian tidak menuntut ilmu. Kalau sekarang ini kalian masih kecil, niscaya nantinya kalian akan menjadi para pembesar di kaum kalian. Dan tidak ada kebaikan pada seorang yang sudah tua sementara ia adalah seorang yang bodoh. Sungguh aku telah melihat pada diriku sendiri selang 4 tahun sebelum meninggalnya ‘Aisyah yaitu aku berkata pada diriku sendiri: Kalau seandainya dia (’Aisyah) meninggal pada hari ini maka tidaklah aku menyesali dan bersedih terhadap hadits (ilmu) yang ada pada dirinya disebabkan aku telah mengambil semuanya. Dan sungguh telah sampai kepadaku adanya sebuah hadits dari salah seorang shahabat maka akupun berusaha untuk mendatanginya. Maka ternyata aku dapati majelisnya telah selesai, akupun pergi ke rumahnya dan duduk di depan pintu rumahnya kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadits tersebut.”
2. Beliau juga pernah mengatakan: “Tidaklah pernah aku menyampaikan sebuah ilmu kepada seseorang yang akal sehatnya belum bisa untuk mencernanya, disebabkan yang demikian itu akan menyesatkannya.”
Pujian Para Ulama kepada Beliau
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Shu’air (’Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air Al-Mazini) tentang suatu permasalahan dalam bidang fiqih. Namun dia menyuruhku untuk bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyib. Maka akupun belajar kepada Sa’id selama 7 tahun dan belum pernah aku menjumpai orang yang paling ‘alim selain dia. Kemudian aku belajar kepada ‘Urwah maka aku mendapatkan pancaran ilmu yang deras sekali darinya. Aku melihat bahwa beliau adalah lautan ilmu yang tidak akan habis terkuras airnya.
Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman berkata: Aku masuk ke dalam sebuah masjid bersama ayahku. Maka aku melihat manusia sedang berkumpul kepada seseorang. Ayahku berkata: Coba lihat siapa dia! Maka akupun mendekatinya ternyata dia adalah ‘Urwah bin Az-Zubair. Aku pun menceritakannya dengan perasaan kagum kepada ayahku. Ayahku kemudian berkata: Wahai anakku, jangan engkau merasa heran. Sungguh aku telah melihat para shahabat Rasulullah bertanya kepadanya.
Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata: ‘Urwah bin Az-Zubair adalah seorang tabi’in yang tsiqah (terpercaya), seorang yang shalih, dan tidak pernah fitnah menimpanya sedikitpun.
Muhammad bin Sa’d berkata: ‘Urwah adalah seorang yang terpercaya, kuat dalam ilmu, amanah, banyak haditsnya, faqih, dan alim.
Hisyam bin ‘Urwah berkata: Ilmu itu adalah pada salah satu dari tiga keadaan: Yang pertama adalah seorang yang memiliki keturunan yang mulia maka dengan ilmu akan semakin memperindahnya, yang kedua adalah seorang yang ‘alim yang dengan ilmunya dia memimpin agamanya, dan yang ketiga adalah seorang yang akrab dengan penguasa yang dengannya banyak mendapatkan kenikmatan, dan dengan ilmu yang dimilikinya dia dapat melepaskan dari hal tersebut sehingga dia terlepas dari kebinasaan. Dan aku tidak mendapati seorangpun yang terpenuhi padanya tiga keadaan ini selain pada ‘Urwah bin Az-Zubair dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.
Beliau juga berkata: Aku belum pernah mendengar seorangpun dari kalangan ahlul bid’ah menyebutkan tentang ayahku (’Urwah) dengan kejelekan.
Al-Waqidi berkata: Beliau adalah seorang yang faqih, alim, hafizh, kokoh dalam ilmu, sebagai hujjah, dan alim dalam bidang sejarah.
Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 93 Hijriyah dalam usianya yang ke-70 tahun dalam keadaan sedang berpuasa. Hisyam bin ‘Urwah mengatakan: Dahulu ayahku berpuasa terus-menerus (banyak berpuasa) dan meninggal dalam keadaan berpuasa.
Namanya harum dan senantiasa dikenang sepanjang masa sebagai seorang insan yang sabar dan tabah di dalam menghadapi musibah yang sangat berat. Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya.
Bersambung, insya Allah edisi berikutnya biografi Abu Bakr bin ‘Abdirrahman.
Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tadzkiratul Huffazh
4. Tahdzibut Tahdzib
5. Basya’ir Al-Farh bi Taqribi Fawa’idi Al-Imam Al-Wadi’i fi ‘Ilmi Ar-Rijal Wal MushthalahMengenal Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (1)
(Tujuh Tokoh Ulama dari Madinah)
Madinah An-Nabawiyyah, telah menyimpan banyak kenangan bersejarah yang tidak akan terlupakan dalam sendi kehidupan kaum muslimin. Di sanalah tonggak jihad fi sabilillah mulai dipancangkan di bawah naungan nubuwwah dalam rangka meninggikan kalimat Allah ‘azza wajalla di muka bumi dan memadamkan api kesombongan dan keangkaramurkaan kaum musyrikin.
Semakin tumbuh dan berkembang kota tersebut sebagai ibukota sebuah negara Islam yang baru lahir, di bawah pimpinan insan terbaik yang terlahir di muka bumi. Kota Madinah menjadi pusat penggemblengan pahlawan-pahlawan Islam yang akan meneruskan tongkat estafet jihad fi sabilillah dan para ulama yang akan menyebarkan dakwah Islam di seluruh penjuru negeri.
Seiring dengan pergantian waktu, namanya pun semakin bertambah harum semerbak laksana mawar yang sedang tumbuh merekah dengan warnanya yang indah dan menawan. Halaqah-halaqah ilmu tumbuh semarak dan berkembang dengan sangat pesatnya mewarnai kehidupan kaum muslimin. Dengan di bawah bimbingan para ulama shahabat yang telah mendapatkan warisan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lahirlah melalui tangan mereka, generasi terbaik kedua umat ini, yaitu generasi Tabi’in, yang berhasil mewarisi ilmu dari para shahabat sehingga mereka benar-benar menjadi tokoh terkemuka dalam ilmu dan amal.
Kota Madinah pun menjadi impian, dambaan, dan angan-angan para penuntut ilmu di seluruh penjuru negeri untuk bisa mereguk manisnya warisan nubuwwah. Satu di antara sekian buah usaha pendidikan dan bimbingan para sahabat, lahirlah di sana sejumlah ulama yang dikenal dengan sebutan Al-Fuqaha’ As-Sab’ah yang mumpuni dalam hal ilmu dan amal. Mereka itu adalah:
1. Sa’id bin Al-Musayyib
2. ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam
3. Sulaiman bin Yasar
4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr
5. Abu Bakr bin ‘Abdirrahman
6. Kharijah bin Zaid
7. ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud
Mereka adalah tujuh orang ulama kota Madinah yang keluasan ilmunya tidak saja diakui oleh penduduk negeri tersebut namun diakui pula oleh para ulama di seluruh penjuru negeri. Dikatakan oleh seorang penyair:
إِذَا قِيْلَ مَنْ فِي الْعِلْمِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ رِوَايَتُهُمْ لَيْسَتْ عَنِ الْعِـلْمِ خَارِجَةْ
فَقُلْ هُمْ عُبَيْدُ اللهِ عُرْوَةٌ قَاسِـمٌ سَعِيْدٌ أَبُوْبَكْرٍ سُلَيْـمَانُ خَـارِجَةْ
Jika dikatakan siapa (yang keluasan) ilmunya (seperti) tujuh lautan
Riwayat mereka tidak keluar dari ilmu
Katakanlah mereka itu adalah ‘Ubaidullah, Urwah, Qasim
Sa’id, Abu Bakr, Sulaiman, dan Kharijah
Dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala, berikut ini akan kami sebutkan biografi singkat mereka satu persatu, Insya Allah kami akan menampilkannya secara bersambung, dimulai dengan Sa’id bin Al-Musayyib, penghulu para Tabi’in, dengan harapan agar kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari ilmu dan amalan yang mereka miliki sehingga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita di zaman sekarang.
Sa’id bin Al Musayyib
(Penghulu Para Tabi’in)
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Beliau memiliki kunyah dan nama lengkap sebagai berikut:
Abu Muhammad Sa’id bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb bin ‘Amr bin A’idz bin ‘Imran bin Makhzum bin Yaqzhah Al-Qurasyi Al-Makhzumi Al-Madani.
Dialah seorang yang ‘alim dari kalangan penduduk Madinah, seorang tokoh tabi’in pada zamannya, seorang yang ahli dalam bidang fiqh pada masanya, satu dari tujuh tokoh ulama ahli fiqh yang terkenal dalam sejarah Islam dan bahkan termasuk dari pemimpin para ulama. Beliau menempati thabaqah kedua yang dikenal di kalangan ahlul hadits adalah thabaqahnya tokoh-tokoh besar tabi’in. Adapun para shahabat, mereka berada pada thabaqah pertama.
Dilahirkan di kota Madinah, dua tahun sejak ‘Umar bin Al-Khaththab mulai memegang tampuk kekhilafahan, beliau adalah seorang yang memiliki kepribadian yang bersahaja. Kepala dan jenggot beliau berwarna putih dan beliau sangat menyenangi pakaian yang berwarna putih. Salah seorang shahabat beliau pernah mengatakan: “Aku belum pernah melihat Sa’id memakai pakaian selain pakaian putih.”
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau berjumpa dengan banyak sahabat dan meriwayatkan hadits dari mereka, di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-’Asy’ari, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Aisyah binti Abi Bakr, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Muhammad bin Maslamah, Ummu Salamah, ‘Abdullah bin ‘Umar, Sa’d bin Ubadah, Abu Dzarr Al-Ghifari, Ubay bin Ka’b, Bilal bin Abi Rabah, Abu Darda’, Ummu Syuraik, Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, Abu Sa’id Al-Khudri, Hassan bin Tsabit, Shuhaib Ar-Rumi, Shafwan bin ‘Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan yang lainnya.
Beliau adalah orang yang paling mengetahui hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah dan beliaulah yang menikahi putrinya.
Dan di antara ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah Al-Imam Az-Zuhri, Qatadah, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Sa’id Al-Anshori, Syarik bin Abi Namir, ‘Abdurrahman bin Harmalah, ‘Atha Al-Khurasani, Maimun bin Mihran, dan yang lainnya.
Beliau adalah seorang yang memiliki kelebihan dan keutamaan dalam ilmu dan amal. Tentang kelebihan yang dimiliki oleh beliau dalam hal ilmu, sebagaimana digambarkan berikut:
Para ulama mengakui bahwasanya beliau memang seorang mufti (pemberi fatwa) di zamannya dalam keadaan para shahabat bahkan para pembesar shahabat masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin pada zaman tersebut.[1]
Fatwa-fatwa beliau dalam berbagai permasalahan selalu menjadi bahan rujukan kaum muslimin dan selalu dikedepankan dalam menyelesaikan berbagai problem umat. Dan di kalangan para fuqaha’ (ahli dalam masalah fiqih), beliau adalah seorang yang sangat pandai dalam bidang fiqih dan hasil pemikiran-pemikiran beliau selalu mendapat tempat yang mulia di hati kaum muslimin di samping beliau pun menguasai sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dahulu, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu masih menjabat sebagai gubernur di kota Madinah, tidaklah dia berani memutuskan suatu perkara kecuali setelah menanyakan terlebih dahulu perkara tersebut kepada Sa’id bin Al Musayyib.
Suatu ketika ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz mengalami suatu masalah yang sangat membutuhkan jawaban dan solusi yang cepat dan tepat. Maka beliau mengutus salah seorang utusan untuk menanyakan masalah tersebut kepada Sa’id bin Al-Musayyib. Alkisah sang utusan tersebut berhasil membawa beliau ke hadapan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Melihat kedatangan Sa’id bin Al Musayyib, terkejutlah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan rona wajahnya pun berubah menunjukkan rasa malu kepada beliau. Maka berkatalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz: “Aku meminta maaf kepadamu wahai Sa’id atas kesalahpahaman utusanku. Sebenarnya aku mengutus dia adalah untuk menanyakan kepadamu tentang suatu masalah di majelismu dan bukan untuk menyuruh engkau untuk hadir di hadapanku.”
Dikisahkan pula bahwasanya beliau diberikan kelebihan oleh Allah ‘azza wajalla berupa ilmu tentang tabir mimpi (menafsirkan mimpi seseorang) sebagaimana kemampuan yang telah Allah ta’ala berikan kepada Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Beliau mempelajari ilmu ini dari shahabiyah Asma’ bintu Abi Bakr Ash- Shiddiq, dan Asma’ mengambil ilmu tersebut dari ayahnya yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq. Tentang masalah ini, dikisahkan sebagai berikut:
Telah datang seorang laki-laki kepada beliau menceritakan tentang mimpinya:
“Dalam mimpiku seakan-akan aku melihat ‘Abdul Malik bin Marwan[2] kencing di arah kiblat masjid Nabawi sebanyak 4 kali.” Maka Sa’id berkata: “Kalau mimpimu memang benar seperti itu maka tafsirannya adalah sebagai berikut: sesungguhnya akan lahir dari sulbi ‘Abdul Malik bin Marwan 4 orang khalifah.”[3]
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwasanya beliau melihat dalam mimpinya seakan-akan di antara kedua matanya tertulis ayat:
قل هو الله أحد
maka dia dan keluarganya gembira dengan mimpi tersebut. Maka diceritakanlah mimpi tersebut kepada Sa’id bin Al-Musayyib. Beliau berkata menafsirkan mimpi tersebut: “Kalau memang benar mimpi yang engkau ceritakan, maka ajalmu tinggal sebentar lagi.” Dan Al Hasan bin Ali pun meninggal tidak lama setelah itu.
Seseorang menceritakan mimpinya kepada beliau: “Aku melihat dalam mimpiku seorang wanita cantik berada di atas puncak menara.” Kemudian beliau menafsirkannya bahwa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi akan menikahi anak perempuan ‘Abdullah bin Ja’far.
Seseorang berkata kepada beliau: “Wahai Abu Muhammad, aku melihat dalam mimpiku seakan-akan aku berada di sebuah tempat yang teduh kemudian aku berdiri di bawah sinar matahari.” Beliau berkata: “Jika memang mimpimu tersebut benar, maka sungguh engkau akan keluar dari Islam.” Kemudian orang itu berkata lagi : “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku tersebut aku dipaksa keluar dari tempat yang teduh ke tempat terik matahari, maka aku duduk di bawahnya.” Beliau berkata: “Engkau akan dipaksa untuk keluar dari Islam.” Maka orang tersebut ditawan oleh musuh dalam suatu pertempuran dan dipaksa untuk murtad namun kemudian kembali kepada Islam.
Seseorang menceritakan kepada beliau bahwa dalam mimpinya dia melihat seakan-akan dia masuk ke dalam api. Kata beliau : “Engkau tidak akan mati sampai engkau bisa mengarungi lautan, dan engkau mati dalam keadaan terbunuh.” Maka orang tersebut pergi mengarungi lautan dan telah dekat masa kematian baginya.
Dia terbunuh pada peristiwa Qudaid yaitu sebuah tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah. Di tempat itulah pada tahun 130 H pernah terjadi pertempuran hebat yang memakan banyak korban antara penduduk Madinah dengan pasukan Abu Hamzah Al-Khariji.
Beliau juga merupakan teladan di dalam semangatnya menuntut ilmu. Beliau pernah berkata: “Aku pernah melakukan perjalanan sehari semalam hanya untuk mendapatkan satu hadits saja.”
Dan tidak kalah pula, beliau adalah seorang yang sangat semangat dalam beribadah kepada Allah ‘azza wajalla. Beliau pernah mengatakan: “Aku tidak pernah tertinggal shalat jama’ah sejak 40 tahun yang lalu.” Beliau juga berkata: “Tidaklah seorang muadzdzin mengumandangkan adzan sejak 30 tahun yang lalu kecuali aku telah berada di masjid.” Beliau juga sangat rajin dan istiqamah dalam melaksanakan ibadah puasa. Dan selama hidupnya beliau telah melaksanakan ibadah haji sebanyak 40 kali.
Beliau adalah seorang ulama yang terkenal wara’. Tentang wara’nya beliau ini, pernah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya beliau mendapatkan tawaran gaji tunjangan dari Baitul Mal (kas negara) sebanyak 30 ribu lebih. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya berkata: “Aku tidak membutuhkan terhadap harta tersebut.”
Beliau pernah mengatakan: “Barangsiapa yang merasa cukup dengan Allah maka manusia akan butuh kepadanya.”
Beliau juga mendapati masa berkuasanya gubernur Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi di wilayah Irak. Dia adalah seorang penguasa yang kejam dan bengis pada masa itu. Ribuan kaum muslimin dan para ulama menjadi korban keberingasannya. Sangat sedikit sekali di antara kaum muslimin dan para ulama yang selamat dari tangannya. Dan di antara para ulama yang selamat dari keberingasannya adalah Sa’id bin Al-Musayyib. Sampai-sampai ada salah seorang yang bertanya kepada beliau: “Ada apa sebenarnya dengan Al-Hajjaj, kenapa dia tidak pernah memanggilmu untuk menghadap kepadanya, dan dia tidak pernah mengganggumu dan menyakitimu?” Beliau berkata: “Demi Allah aku tidak tahu, kecuali dulu aku pernah melihat dia (Al-Hajjaj) suatu hari masuk ke masjid bersama bapaknya, kemudian dia melaksanakan shalat tetapi dia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya dengan baik. Maka aku mengambil batu kerikil dan aku lemparkan ke arahnya sebagai isyarat agar dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” Maka sejak saat itu Al-Hajjaj pun memperbagus shalatnya. Jadi seakan-akan Al-Hajjaj berhutang budi kepada beliau atas nasehat dan tegurannya dalam memperbaiki cara shalatnya, oleh karena itulah beliau aman dari gangguannya.
Pujian Para ‘Ulama kepada Beliau
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallau ‘anhu berkata: “Sa’id bin Al-Musayyib -demi Allah- adalah termasuk dari para mufti (ahli fatwa).”
Qatadah, Mak-hul, Az-Zuhri, dan yang lainnya berkata: “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih alim daripada Sa’id bin Al-Musayyib.”
‘Ali bin Al-Madini berkata: “Aku tidaklah mengetahui salah seorang dari kalangan tabi’in yang lebih luas ilmunya daripada Sa’id bin Al-Musayyib. Dan dia menurutku adalah seorang tabi’in yang paling mulia.”
Maimun bin Mihran berkata: “Aku datang ke kota Madinah, maka aku bertanya kepada penduduk Madinah siapa orang yang paling pandai di antara mereka. Maka mereka pun mengarahkanku kepada Sa’id bin Al-Musayyib.”
Inilah perkataan Maimun bin Mihran -seorang tabi’in- dalam keadaan di kota tersebut masih ada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.[4]
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: “Tidaklah ada seorang alim pun di kota Madinah kecuali ia mendatangiku dengan ilmunya, adapun aku, maka aku mendatangi Sa’id bin Al-Musayyib karena sesuatu yang ada pada sisinya berupa ilmu.”
Cobaan yang Menimpa Beliau
Telah menjadi sunnatullah bahwasanya setiap manusia yang hidup di muka bumi pasti akan mengalami cobaan atau musibah. Allah ta’ala berfirman:
الم أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون.
“Alif Laam Miim, Apakah manusia mengira bahwasanya mereka akan dibiarkan untuk mengatakan bahwa kami telah beriman sementara mereka belum diuji.” (Al-’Ankabut: 1-2).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن من أشد الناس بلاء الأنبياء ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم.
“Orang yang paling keras cobaannya adalah dari kalangan para nabi kemudian orang yang berikutnya (semisalnya), kemudian orang yang berikutnya (semisalnya), dan kemudian orang yang berikutnya (semisalnya).”
Diceritakan bahwa pada masa kekhilafahan dipegang oleh shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, beliau mewakilkan kota Madinah kepada Jabir bin Al-Aswad Az-Zuhri. Dia (Jabir) menyeru manusia untuk berbaiat kepada ‘Abdullah bin Az-Zubair. Maka berkatalah Sa’id: “Aku tidak mau berbaiat sampai manusia semuanya sepakat untuk membaiatnya.” Maka beliau pun dicambuk sebanyak 60 cambukan. Sampailah kabar tersebut kepada ‘Abdullah bin Az-Zubair dan beliau pun menulis surat celaan kepada Jabir dan memerintahkan untuk membiarkan Sa’id bin Al-Musayyib.
Kemudian pula di masa berkuasanya khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik dan Sulaiman bin ‘Abdil Malik. Beliau diminta untuk berbaiat kepada keduanya namun beliau tidak segera menyambutnya dan menunggu situasi kondusif terlebih dahulu. Maka beliau dicambuk sebanyak 60 cambukan dan diarak di hadapan masyarakat dalam keadaan hanya memakai celana kemudian setelah itu dijebloskan ke dalam penjara.
Kemudian pula beliau pernah disiksa oleh ‘Abdul Malik bin Marwan berupa cambukan sebanyak 50 kali kemudian dijemur di panas matahari dalam keadaan hanya memakai celana.
Dan bentuk cobaan lain yang menimpa beliau adalah pemerintah yang berkuasa pada saat itu melarang kaum muslimin untuk duduk bermajelis dengan beliau.
Namun beliau menghadapi semua itu dengan penuh kesabaran dan selalu mengharap datangnya pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala.
Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah karena sakit keras yang menimpanya. Dan tahun tersebut dikenal sebagai tahun Fuqaha’, karena banyaknya para fuqaha’ yang meninggal pada tahun tersebut. Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau.
Bersambung, Insya Allah edisi berikutnya biografi ‘Urwah bin Az-Zubair.
Daftar rujukan:
- Siyar A’lamin Nubala’
- Al-Bidayah Wan Nihayah
- Tadzkiratul Huffazh
- Tahdzibut Tahdzib
- Taqribut Tahdzib
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah
Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri Yaman - bahkan di dunia Islam secara umum - tidak bisa dilepas dari sosok besar Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah. Beliau lah yang kembali berhasil melakukan tajdid (pembaharuan) Dakwah Salafiyyah di Yaman pada abad ini. Semenjak masa Al-Imam ‘Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan’ani rahimahullah tidaklah Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Yaman tersebar sebagaimana tersebarnya pada masa Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah.
Beliau adalah Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi bin Muqbil bin Qa`idah Al-Hamdani Al-Wadi’i dari qabilah Alu Rasyid rahimahullah. Beliau adalah duri bagi para pengusung kebatilan, baik dari kalangan Syi’ah Rafidhah, Khawarij, Teroris, Liberalis, Komunis, Shufiyyah, dan kelompok-kelompok sesat lainnya.
Beliau adalah sosok yang dikenal dengan kejujuran, keikhlasan, ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri), kesabaran, zuhd dalam kehidupan dunia, berjalan di atas aqidah yang benar dan manhaj salafi yang lurus, sikap bijak, santun, lembut, keberanian, serta tampil menyerukan kebenaran. Sungguh sosok beliau mengingatkan dengan sosok para ‘ulama salafush shalih, terutama sosok Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Sepulang beliau dari belajar di negeri Tauhid dan Sunnah Kerajaan Saudi ‘Arabia, beliau mulia merintis taklim dan dakwah di negeri Yaman. Maka Allah ‘Azza wa Jalla membukakan pintu kemenangan dan keberhasilan bagi beliau dalam wujud yang sangat besar. Dengan diiringi dan dibantu oleh teman sepejuangan beliau sekaligus murid besar beliau, Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah, berdirilah Pondok Pesantren beliau di desa Dammaj - Sha’dah Yaman, yang diberi nama Ma’had Darul Hadits. Sungguh Allah barakahi dakwah dan perjuangan beliau. Pesantren beliau menjadi pesantren yang sarat dengan ilmu. Berbagai disiplin ilmu agama diajarkan di sana. Dengan dilandasi keikhlasan niat, kesungguhan, kasih sayang, akhlaq mulia, kesantunan, jauh dari sikap brutal dan ekstrim. Para murid berdatangan dari seantero dunia Islam dari seluruh penjuru dunia. Kalau dulu dikatakan bahwa tidak ada seorang ‘ulama yang paling banyak didatangi oleh para Ahli Hadits dari berbagai penjuru negeri seperti Al-Imam ‘Abdurrazzaq Ash-Shan’ani rahimahullah. Maka pada masa ini, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tidak ada seorang ‘ulama yang paling banyak didatangi oleh para penuntut ilmu dari berbagai penjuru negeri seperti Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah.
Jerih payah upaya dakwah beliau - tentunya setelah pertolongan dan taufiq dari Allah ‘Azza wa Jalla - benar-benar membuahkan hasil yang sangat indah di negeri Yaman dan dunia Islam pada umumnya. Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi dikenal, dihormati, dan diterima serta diikuti oleh umat.
Beliau berhasil melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi ‘ulama besar Ahlus Sunnah di Yaman. Mereka kini juga mendirikan pondok-pondok pesantren yang juga memiliki banyak murid. Di antaranya, di kota Al-Hudaidah ada ma’hadnya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi, di Ma’bar ada ma’hadnya Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, di Mafraqhubaisy ada ma’hadnya Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Bura’i, di Shan’a ada Asy-Syaikh Muhammad Ash-Shaumali, di Hadhramaut ada ma’hadnya Asy-Syaikh ‘Abdullah Mar’i, di ‘Aden ada ma’hadnya Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Mar’i, demikian juga di desa Dzamar ada ma’hadnya Asy-Syaikh ‘Abdullah Adz-Dzamiri, dan lainnya, semuanya adalah para murid besar Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.
Beliau juga meninggalkan karya-karya tulis yang sangat banyak. Mayoritasnya dalam bidang ilmu hadits. Beliau sangat perhatian terhadap seleksi hadits, mana yang shahih mana yang bukan. Dan memang beliau termasuk salah seorang ‘ulama ahlul hadits abad ini. Karya-karya besar beliau mayoritasnya beliau tulis dengan metode para ‘ulama ahlul hadits. Karya-karya tersebut menjadi rujukan penting kaum muslimin sekaligus termasuk khazanah keilmuan yang sangat penting.
● Prinsip Dakwah Asy-Syaikh Muqbil
Dakwah yang beliau kibarkan adalah Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu dakwah berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas metode pemahaman dan pengamalan para salafush shalih (para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in).
Beliau menegaskan, bahwa Pendiri Dakwah Salafiyyah yang beliau kibarkan di Yaman tidak lain adalah Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena memang Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah dakwah yang murni seratus persen mengikuti dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghidupkan sunnah-sunnah dan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi Dakwah Salafiyyah bukan dakwah milik perorangan atau pun kelompok atau bangsa tertentu. Bukan dakwah yang baru-baru muncul, bukan pula organisasi atau pergerakan tertentu yang didirikan oleh orang tertentu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang prinsip dan jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah :
ما أنا عليه اليوم وأصحابي
Yaitu jalan yang aku (Rasulullah) dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini.
Dakwah Asy-Syaikh Muqbil ditegakkan di atas ilmu, kasih sayang, akhlaq, kelembutan, dan hikmah (menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya sesuai bimbingan ilmu), jauh dari sikap brutal, reaksioner, kekerasan versi para khawarij-teroris, syi’ah rafidhah, jauh pula dari sikap mengentengkan kalangan shufiyyah, liberalis, dan semisalnya.
● Semangat Beliau dalam Berpegang dengan As-Sunnah
Beliau termasuk orang yang antusias untuk bepegang dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan sebutan beliau. Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Sesungguhnya Allah memuliakan seseorang sesuai dengan kadar berpegang teguhnya dia dengan As-Sunnah.”
Di antara ucapan yang sering beliau katakan ialah : “Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan kita tinggalkan meskipun kita harus menggigitnya dengan gigi kita.”
● Sikap Beliau terhadap Pemahaman Salafush Shalih
Beliau rahimahullah mengatakan: “Kita beribadah kepada Allah dengan pemahaman salafush shalih yang sesuai dengan dalil. Dan kita katakan: Sesungguhnya mereka telah mendahului kita dalam setiap kebaikan. Apalagi sudah jelas sanjungan terhadap mereka, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (At-Taubah: 100)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”[1]
Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwasanya harus mengambil sesuai dengan pemahaman mereka.
● Sikap Bijak Beliau
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah adalah seorang yang bijak dalam berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah di tengah-tengah masyarakat dan kaumnya, beliau bukanlah sosok yang kasar dan brutal. Sebab beliau tahu bahwa dakwah ini bukan ditegakkan di atas tindakan revolusioner dan pemberontakan. Cara seperti itu (revolusioner dan pemberontakan) sudah dilakukan sebagian kelompok, yang akhirnya justru menimbulkan kejelekan; memecah belah persatuan kaum muslimin serta menjadikan tercorengnya citra Islam dan kaum muslimin di mata penduduk dunia.[2]
Padahal dakwah ini dibangun di atas dasar hikmah dan nasehat yang baik, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Beliaupun selalu menganjurkan agar bertahap dalam memberikan pelajaran dan dakwah, agar jangan sampai ada yang bersemangat tapi tidak mempunyai hikmah dan ilmu. Di antara anjuran beliau, hendaknya seorang penuntut ilmu ketika kembali ke kampung halamannya jangan kemudian shalat dengan memakai sandal di dalam masjid. Karena orang di sekitarnya tentu akan menganggapnya sebagai kemungkaran dan akan memicu fitnah. Sedangkan shalat dengan sandal adalah sunnah, bukan wajib.
● Sikap Santun dan Kehati-hatian Beliau
Beliau betul-betul berhati-hati dan tenang dalam menghadapi persoalan. Betapa sering beliau berupaya memperbaiki satu permasalahan dan bersabar menghadapi para penentangnya, dengan harapan mudah-mudahan suatu ketika dia menjadi baik. Namun kalau tidak bermanfaat juga, beliau bangkit menerangkan kepada masyarakat tentang kejelekannya dan membongkar syubhat-syubhatnya serta membantah hujjah-hujjah mereka yang lemah.
Beliau sering ditanya tentang satu masalah dan selalu mengatakan: “Wallahu a’lam.” Betapa sering beliau ditanya tentang seorang tokoh, namun beliau mengatakan: “Saya menahan bicara tentang dia.” Dan beliau diam selama beberapa tahun sampai sangat jelas keadaan orang tersebut. Lantas apakah ada keburukan dalam kata-kata beliau sesudah itu? Sesungguhnya demi Allah, di kalangan mereka yang jujur dan adil, inilah yang dinamakan tatsabbut (teliti). Namun memang kebaikan itu tidak mungkin bisa melenyapkan celaan.
● Kebencian Beliau yang Sangat Besar terhadap Terorisme
Beliau sangat membenci gangguan keamanan dan munculnya kegelisahan serta rasa takut pada kaum muslimin.
Tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Saya diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan syahadat bahwa tidak ada berhak diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad itu adalah Rasul Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, maka terjagalah dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka di sisi Allah.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menjelaskan : “Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kelompok-kelompok (sesat) yang ada sekarang ini, seperti Jama’atut Takfiir (kelompok yang selalu mengkafirkan orang lain yang tidak segolongan dengannya) yang menganggap halal darah kaum muslimin. Juga Jama’atul Jihad (kelompok yang mengaku mujahidin, padahal teror) yang juga menganggap halal darah kaum muslimin. Anggaplah bahwa pemerintah itu kafir dan rakyatnya muslim, tentu akan terjadi bencana di atas kepala rakyat muslim yang pantas dikasihani ini.
Demikian pula bantahan terhadap para tokoh revolusioner, yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan tindakan revolusi, pemberontakan (dan sejenisnya).”
Dan ketika beliau ditanya tentang para turis, apakah mereka terhitung mu’ahad? [3]
Beliau menjawab : “Di antara mereka ada yang datang untuk merusak di negeri kaum muslimin, ada pula yang menjadi mata-mata. Akan tetapi melampaui batas (yakni dengan menyerang) terhadap mereka justru hanya menimbulkan kekacauan. Saya tidak menganjurkan hal ini (menyerang mereka -ed). Demikian pula halnya semua yang dapat menimbulkan kekacauan, tidak boleh.
Membunuh para wisatawan asing adalah suatu kesalahan. Kami tidak tahu kecuali akibatnya yang satu menyerang yang lain. Akhirnya dakwah terbengkalai, begitu juga dengan pendidikan, pertanian dan perdagangan. Namun perlu diingat pula bahwa ini bukan berarti kami ridha dengan (kedatangan) mereka.”
Inilah sikap kaum mukminin. Mereka tidak ingin menimbulkan gangguan keamanan. Berbeda dengan orang-orang munafik, mereka sangat antusias terhadap hal-hal seperti ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لاَ يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (Al-Ahzab: 60)
Meresahkan kaum muslimin adalah haram secara syar’i. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/720) dan Ahmad dalam Musnad-nya (5/362) dari Abdurrahman bin Abi Laila:
قَالَ: حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Katanya: Para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita kepadaku, bahwa beliau (Nabi) bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengagetkan dan membuat takut muslim lainnya.”
Hadits ini shahih, Asy-Syaikh Muqbil menyebutkannya dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad mimma Laisa fish Shahihain (2/418).
● Sikap Beliau terhadap Usamah bin Laden
Terhadap salah satu tokoh teroris international nomor wahid ini, Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan :
“Aku berlepas diri di hadapan Allah dari (kesesatan) Usamah bin Laden. Dia merupakan kejahatan dan musibah terhadap umat ini, dan aktivitasnya adalah aktivitas kejahatan.”
Beliau juga berkata :
“Kami semua berlepas diri darinya dan aktivitas-aktivitasnya sejak jauh sebelum ini. Realita menyaksikan bahwa kaum muslimin yang hidup di negeri-negeri Barat tertekan dengan sebab adanya gerakan-gerakan yang diperankan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok lainnya. Wallahul Musta’an.”
(dari surat kabar Ar-Ra`yul ‘Am Kuwait tanggal 19 Desember 1998).
Dalam kitab Tufatul Mujib, transkrip ceramah beliau berjudul Di Balik Peristiwa Peledakan-Peledakan di bumi Al-Haramain, Asy-Syaikh Muqbil berkata :
“Di antara contoh-contoh fitnah (yang menimpa kaum muslimin) adalah fitnah yang sudah hampir menguasai negeri Yaman yang dihembuskan oleh Usamah bin Laden … .”
” … untuk menjelaskan kepada umat bahwa urusan agama ini tidak boleh diambil dari orang semisal Usamah bin Laden, Al-Mis’ari, atau yang semisalnya. Tapi urusan agama ini harus diambil dari kalangan ‘ulama … Bahkan sesungguhnya umat ini masih sangat membutuhkan seribu ‘ulama semisal Asy-Syaikh bin Baz, dan seribu ‘ulama lain semisal Asy-Syaikh Al-Albani.”
● Rahmat dan Kasih Sayang Beliau
Beliau menyayangi semuanya, tua muda, laki-laki dan perempuan. Bahkan anak-anak kecil sangat menyukai beliau karena kedudukan dan kebaikan beliau terhadap mereka. Beliau pantas dikatakan demikian, tanpa harus berlebihan. Boleh dikatakan bahwa beliau termasuk orang yang paling penyayang terhadap sesamanya di zaman ini. Terutama terhadap para penuntut ilmu, di mana beliau memandang mereka sebagai anak-anaknya sendiri.
Beliau sering juga merasakan kesulitan bila terjadi kekurangan dari kebutuhan para penuntut ilmu. Bahkan beliau pernah mengatakan bahwasanya dia tidak pernah menemukan kesulitan yang lebih berat dirasakannya daripada hal ini.
Beliau sering manfaatkan waktu untuk duduk bersama orang banyak dengan memberikan nasehat, pengarahan, faedah, dan diskusi. Sehingga hampir tidak ada yang keluar dari majelis itu melainkan sudah mendapatkan faedah.
Nasehat-nasehatnya sangat disenangi, dan beliau memilih yang sesuai dengan pemahaman mereka tanpa membosankan. Dan kalimat-kalimat yang ringkas tidak akan membosankan siapapun.
Di antara sifat rahmatnya, beliau mengirim para da’i yang mengajak ke jalan Allah ke seluruh daerah di Yaman bahkan juga ke luar Yaman untuk menyebarkan dien Allah, mengajari manusia kebaikan dan mentahdzir mereka dari kejahatan.
Dari sifat rahmatnya, beliau selalu menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati murid-muridnya. Beliau selalu menyebutkan keadaan yang dialami salafus shalih, berupa kesabaran menempuh kesulitan dalam mencari ilmu.
● Wafatnya Beliau
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah Awal 1 Jumadil Awal tahun 1422 H, bertepatan dengan 22 Juli 2001 M, setelah Isya’ di Saudi Arabia. Beliau dishalatkan setelah shubuh, kemudian dimakamkan di pekuburan Al ‘Adl dekat makam Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahumullahu. Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Muqbil dan menempatkannya di jannah-Nya yang tertinggi. Serta menjadikan segala jerih payah dan amal usaha beliau termasuk timbangan amal shalih beliau di sisi-Nya. Amin
[1] HSR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu.
[2] Tindakan revolusioner dan pemberontakan ini sudah pernah dicoba oleh sebagian aktivis dakwah. Namun hasilnya justru menyebabkan Islam menjadi sasaran tuduhan sebagai agama teroris dan kekerasan. Wallahul musta’an.
[3] Orang kafir yang terikat perjanjian dengan negara musliminMutiara Berkilau dari Bukhara
(Biografi Al Imam Al Bukhari)
Bukhara merupakan sebuah daerah di belahan Asia Tengah. Daerah ini memang pernah menjadi jajahan negara Rusia dan dimasukkan dalam sebuah persekutuan dengan negara - negara di sekitarnya yang lebih dikenal dengan sebutan Uni Sovyet dengan faham komunisnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman dimana faham komunis tidak bisa lagi diterima oleh masyarakat maka tumbanglah kekuatan raksasa Uni Sovyet dan menjadilah negara - negara persekutuan tersebut menjadi negara - negara yang merdeka, yang memiliki kedaulatan penuh dan terlepas dari kontrol pusat Rezim Kremlin, Rusia.
Dan siapa yang menyangka, bahwa dahulu pernah terlahir disana seorang manusia yang bakal menghebohkan dunia dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa.
Nama Lengkap dan Tanggal Lahir :
Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi , yang lebih dikenal dengan Imam Al Bukhori penulis kitab Shahih Al Bukhari.
Beliau dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal th 194 Hijriah setelah shalat Jum’at di daerah Bukhoro. Oleh sebab itulah beliau dinisbahkan dengan Al Bukhari karena asal tanah kelahiran beliau adalah dari daerah Bukhoro.
Kakek beliau yang bernama Bardizbah adalah berasal dari suku Persia yang menganut agama Majusi ( Penyembah Api ).
Kemudian anak Bardizbah yang bernama Al Mughiroh masuk Islam, yang mengislamkannya adalah seorang yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Oleh karena itulah beliau juga dinisbahkan dengan Al Ju’fi.
Bapak beliau yaitu Ismail meninggal, dalam keadaan beliau masih kecil. Dan beliau juga mengalami kebutaan semasa kecilnya. Namun ibunya terus menerus berdoa kepada Allah Ta’ala mengharapkan kesembuhan terhadap musibah kebutaan yang menimpa putra tercintanya.
Dan Allah Ta’ala pun mengabulkan permintaan dari sang hamba yang shalehah dengan memberikan kesembuhan kepada sang putra tercinta. Maka sejak saat itu sang putra tercinta dapat menikmati indahnya karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana manusia yang lain.
Perjalanan Menuntut Ilmu :
Beliau mulai menghafal hadits pada usia sekitar 10 tahun dan ketika itu beliau belajar di sebuah Madrasah.
Ketika usia beliau menginjak 16 tahun, beliau telah menghafal kitab - kitab karya 2 orang tokoh Tabi’ut Tabi’in yaitu Abdullah ibnul Mubarak dan Waki’ ibnul Jarrah. Pada usia tersebut pula tepatnya pada tahun 120 H, beliau bersama ibu dan saudara laki - lakinya yang bernama Ahmad pergi menunaikan Haji ke Baitullah Al Haram di Mekkah. Dan setelah selesai menunaikan haji, beliau tetap tinggal di Mekkah dalam rangka menuntut ilmu. Sementara saudara laki - lakinya yang bernama Ahmad, kembali ke tempat asalnya di Bukhara. Ketika usia beliau mencapai 18 tahun, beliau menulis kitab ” Qodhoya Shohabah wa Tabi’in ” dan kitab ” At Tarikh “.
Beliau telah menuntut ilmu kepada 1080 masyaikh ( guru ) Ahlus Sunnah. Beliau telah melakukan rihlah ( perjalanan menuntut ilmu ) ke berbagai negeri seperti Balkh, Maru, Naisabur, Ray ( sekarang Teheran - Iran ), Baghdad, Basrah, Kufah, Makkah, Mesir, Syam, Hijaz dll.
Guru - guru ( Masyaikh ) beliau :
Telah disebutkan diatas bahwa beliau memiliki 1080 masyaikh ( guru ). Diantaranya adalah :
1. Di Negeri Balkh belajar kepada :
- Maky bin Ibrahim
2. Di Negeri Maru belajar kepada :
A. Abdan bin Musa
B. Ali bin Hasan bin Syaqiq
C. Shadaqoh bin Al Fadhal
3. Di Negeri Naisabur belajar kepada :
- Yahya bin Yahya
4. Di Negeri Ray ( Teheran - Iran ) belajar kepada :
- Ibrahim bin Musa
5. Di Negeri Baghdad belajar kepada :
A. Muhammad bin Isa Ath Thaba’
B. Suraij bin An Nu’man
C. Muhammad bin Sabiq
D. ‘Affan
6. Di Negeri Basrah belajar kepada :
A. Abu Ashim An Nabil
B. Al Anshory
C. Abdurrahman bin Hammad
D. Muhammad bin ‘Ar’ur
E. Hajjaj bin Minhal
F. Badl bin Al Mihbar
G. Abdullah bin Raja’
7. Di Negeri Kufah belajar kepada :
A. Ubaidullah bin Musa
B. Abu Nu’aim
C. Khalid bin Al Makhlad
D. Thalq bin Ghanam
E. Kholid bin Yazid Al Muqri
8. Di Negeri Mekkah belajar kepada :
A. Abu Abdurrahman Al Muqri
B. Khalad bin Yahya
C. Hisan bin Hisan Al Bashri
D. Abul Walid Ahmad bin Muhammad Al Azraqi
E. Al Humaidy
9. Di Negeri Madinah belajar kepada :
A. Abdul ‘Aziz Al ‘Uwaisy
B. Ayyub bin Sulaiman bin Bilal
C. Ismail bin Abi Uwais
10. Di Negeri Mesir belajar kepada :
A. Sa’id bin Abi Maryam
B. Ahmad bin Iskab
C. Abdullah bin Yusuf
D. Asbagh bin Al Faraj
11. Di Negeri Syam belajar kepada :
A. Abul Yaman Al Hakam bin Nafi’
B. Adam bin Abi Iyas
C. Ali bin ‘Ayyas
D. Bisyr bin Syu’aib
Dan juga para tokoh - tokoh ulama besar yang lain semisal Ishaq bin Rahuyah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al Madini, Nu’aim bin Hammad, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli dll.
Murid - Murid Beliau :
1. Imam Muslim bin Al Hajjaj
2. Imam At Tirmidzi
3. Imam Ibnu Khuzaimah
4. Abu Hatim dll.
Akhlak dan Ibadah beliau :
Beliau pernah mengatakan :Aku berharap untuk bisa bertemu Allah. Dan aku berharap ketika nanti berada di Hari Perhitungan amalan, aku dalam keadaan tidak berbuat Ghibah ( suatu perbuatan yang menyebutkan saudaranya sesama muslim dengan apa - apa yang tidak disukainya jikalau ia mendengarnya ) kepada seorang pun.
Hal ini menunjukkan akan takutnya beliau terhadap perbuatan Ghibah.
Al kisah suatu hari beliau sedang melaksanakan shalat. Tiba - tiba datang seekor kumbang besar datang menyengat beliau yang sedang shalat sebanyak 17 kali sengatan. Maka tatkala selesai dari menunaikan shalatnya, dia bertanya kepada orang - orang yang ada di sekitarnya : ” tolong lihatlah ! apa yang telah membuatku sakit ini “. Maka merekapun mendapati seekor kumbang besar telah menyengat beliau sebanyak 17 sengatan dalam keadaan beliau tidak membatalkan shalatnya.
Beliau berkata : Tidaklah aku letakkan sebuah hadits di kitab shahihku ini kecuali aku mandi terlebih dahulu dan shalat 2 rakaat.
Wafat Beliau :
Beliau mengalami fitnah yang sangat dahsyat yang dihembuskan oleh orang - orang yang merasa iri terhadap keutamaan dari Allah yang diberikan kepada beliau. Dan tidaklah beliau menginjakkan kaki ke suatu negeri kecuali penduduk negeri tersebut mengusirnya sebagai akibat dari hembusan angin fitnah yang disebarkan oleh orang - orang yang iri. Karena beliau mengalami pengusiran beberapa kali, maka beliau memilih untuk kembali ke daerah Khartanka yaitu sebuah wilayah bagian dari negeri Samarkand (sekarang menjadi ibukota negara Uzbekistan di Asia Tengah ). Beliau pergi ke daerah tersebut karena banyak dari karib kerabatnya yang tinggal di daerah tersebut. Beliau merasakan bahwa hidup ini terasa berat sekali, dan bumi yang luas terasa sempit bagi beliau. Hingga pada suatu malam tatkala beliau selesai menunaikan shalat malam ( Tahajud ), beliau berdoa kepada Allah agar diberikan jalan yang terbaik baginya. Kemudian beberapa hari setelah itu beliau mengalami sakit yang cukup keras. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui betapa berat penderitaan yang dialami oleh salah seorang hamba-Nya yang sholeh ini, maka sebagai bentuk Maha Belas Kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya tersebut, beliau dipanggil oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang pada hari Sabtu malam ‘Idul Fitri, pada tahun 256 Hijriah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar