Harapan Sederhana untuk Anak
AKU tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.
Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap….
Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.
Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada do’a yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw. pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.
Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.
Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?
Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.
Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdo’a kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban –ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdo’a. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.
Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaaq: 1-5).
Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan do’a, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih-sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.
Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab ra., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”
Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).
Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatuLlah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.
Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam ‘aqidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.
Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung-jawab dan lupa pada diri sendiri.
Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari wirid-wirid panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.
Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.
Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.*
Belajar Menakar Tindakan
ADA saatnya diam merupakan kebaikan. Kita berdiam diri karena memberi kesempatan untuk berpikir dan menyadari kekeliruannya. Kita diam bukan karena tidak bertindak, tetapi justru diam itulah tindakan yang kita ambil agar anak dapat mengembangkan dirinya. Tetapi adakalanya diam justru tercela. Kita menahan diri dari bicara, padahal saat itu seharusnya kita angkat bicara agar anak tidak terjatuh pada keburukan lebih yang besar. Diam pada saat seharusnya berbicara merupakan tanda kelemahan. Sebagaimana terlalu banyak meributkan anak merupakan penanda ketidakmampuan menahan diri.
Dua hal inilah PR panjang yang harus diselesaikan bagi orangtua semacam saya; orangtua yang miskin ilmu, lemah kendali diri dan serba instan. Ingin mengubah anak, tetapi tidak sabar menunggu proses. Ingin membaguskan akhlak, tetapi tidak siap mendengarkan keluhan mereka.
Ada saat-saat kita harus tegas, ada pula saat kita perlu memberi kelonggaran kepada anak. Ada hal-hal yang mengharuskan kita menunjukkan kemarahan kepada anak meskipun kita tidak sedang emosi, tetapi ada pula saat dimana kita perlu berusaha keras untuk menahan diri meskipun emosi kita sedang meledak-ledak.
Ini semua berkait erat dengan apa yang dilakukan anak sekaligus menimbang maslahat dan madharat dari setiap tindakan kita. Adapun terhadap kerasnya ucapan dan tindakan yang muncul dari lemahnya kendali emosi, secara jujur kita perlu menyadari kekeliruan kita, mengakuinya sebagai kesalahan meski belum mampu mengungkapkan secara terbuka kepada anak, dan bersedia meminta maaf kepada anak atas salah dan keliru kita.
Hal yang sama juga berlaku untuk perbuatan baik mereka. Meskipun kita sedang marah dan suasana emosi kita sedang tidak enak, kita tetap harus menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka. Jika perlu, kita memaksakan diri untuk mengucapkan terima-kasih dengan setulus-tulusnya meskipun kita sedang jengkel.
Ini bukan tindakan pura-pura. Justru kita sedang mendidik diri sendiri untuk mampu mengungkapkan rasa terima-kasih kita secara sadar dan memaksakan diri untuk mengucapkannya, meskipun suasana hati kita sedang dongkol. Kalau ternyata kita tidak mampu menaklukkan raut muka kita sendiri, kita bisa secara terbuka mengatakan apa yang kita rasakan kepada anak dengan didahului permohonan maaf kepada mereka.
Dengan demikian anak akan belajar mengakui kebaikan orang lain dan menyadari keadaan mereka. Ini juga bisa meningkatkan penerimaan mereka terhadap orangtua.
Kembali pada soal kelonggaran. Anak yang dibesarkan dengan toleransi, memang akan belajar mengendalikan diri. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan kekerasan juga belajar menggunakan kekuatannya untuk memaksakan keinginannya. Tetapi ada hal yang harus kita ingat, di luar apa yang kita lakukan, anak juga sedang berkembang. Mereka secara terus-menerus belajar, termasuk belajar memegang kendali sehingga orangtua pun bahkan bisa tak berdaya.
Orangtua melakukan apa pun yang diinginkan anak,meskipun tampaknya ia melakukan itu agar anaknya melakukan apa yang diinginkan oleh orangtua. Contohnya, orangtua memaksakan diri membelikan mainan untuk anak karena mainan itulah yang diminta anak ketika ia disuruh mandi.
Kecenderungan anak memaksa orangtua menuruti keinginannya sebagai imbalan atas kesediaannya melakukan perintah orangtua, terutama mudah terjadi ketika orangtua memberlakukan cara pengasuhan yang tidak konsisten. Apalagi jika cara mengasuh antara kedua orangtua tidak selaras. Mereka saling menyalahkan di depan anak, atau cara pengasuhan mereka saling bertentangan. Lebih parah lagi jika salah satu pihak cenderung dominan dan mudah menyalahkan di depan anak. Artinya, ada salah satu pihak –entah ayah, entah ibu—yang sering disalah-salahkan di depan anak sehingga otoritasnya sebagai orangtua melemah dan dengan demikian perintahnya menjadi kurang efektif.
Jika ini terjadi, anak akan berusaha meningkatkan pengaruh dan daya paksanya sehingga orangtua benar-benar di bawah kendalinya. Tak ada jalan lain kecuali orangtua harus mengambil keputusan dengan segera dan secara terencana menghentikan situasi yang tidak sehat ini. Pada saat yang sama, orangtua harus menyadari bahwa kebiasaan memaksakan keinginan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Anak belajar sedikit demi sedikit. Anak memiliki pengalaman panjang sehingga bisa memaksakan kehendak kepada orangtuanya, sementara orangtua tak berdaya menghadapinya.
Sebaliknya, anak yang tidak memiliki kendali atas diri dan lingkungannya karena terbiasa dipaksa oleh orangtua, akan berangsur menjadi pribadi yang tidak mandiri. Ia sulit mengambil keputusan, sekalipun hanya untuk mengambil pilihan dalam perkara sederhana. Ia takut menghadapi resiko, yang sangat kecil sekalipun, terutama yang berimbas pada teguran orangtua. Padahal apa pun yang kita lakukan, pasti ada resikonya. Bahkan berdiam diri pun punya resiko.
Ketakutan menghadapi resiko tersebut bukan hanya terjadi saat mereka masih kanak-kanak. Jika tidak disadari, lalu secara sengaja diatasi, maka ketakutan dalam mengambil keputusan tersebut bisa berlanjut sampai mereka dewasa dan menjadi orangtua. Ia tetap menjadi kanak-kanak, bahkan di saat ia seharusnya bertindak sebagai orangtua dari anak-anaknya.
Serupa dengan takut menghadapi resiko adalah peragu. Ia sulit mengambil keputusan bukan terutama karena takut menghadapi resiko, tetapi karena sulit memilih. Ini mudah terjadi pada anak yang dibesarkan dengan pemanjaan. Anak tunggal, anak bungsu, atau anak laki-laki maupun perempuan satu-satunya dalam keluarga –begitu pula cucu laki-laki atau perempuan satu-satunya dalam keluarga besar—sering tumbuh dengan cara pengasuhan yang memanjakan. Mereka serba dilayani sehingga menyebabkan dirinya tidak memiliki keterampilan melayani dirinya sendiri. Mereka serba dituruti, sehingga tidak memperoleh kesempatan belajar menahan diri. Mereka juga sulit belajar berempati. Mereka juga terbiasa dipenuhi keinginannya, sehingga tidak ada kesempatan yang memadai untuk belajar menimbang, mengambil keputusan dan menentukan prioritas; mana yang lebih penting di antara yang penting.
Bahkan boleh jadi, sulit baginya untuk membedakan mana yang penting dan mana yang tidak karena ia miskin pengalaman untuk memilah antara kebutuhan dan keinginan.
Apa yang menyebabkan anak-anak itu mengalami kesulitan di masa dewasanya? Bukan sulitnya kehidupan. Bukan pula kecilnya pendapatan. Tetapi kekeliruan orangtua dalam mengasuh mereka. Bisa karena berlebihan dalam membantu anak menghadapi masalah, bisa juga karena mereka membiasakan anak hidup mudah sehingga anak kehilangan tantangan. Mereka sibuk mengurusi apa yang seharusnya diatasi sendiri oleh anak, sehingga anak akhirnya kehilangan inisiatif produktif.
Ini semua tidak berhubungan dengan kekayaan dan banyaknya fasilitas hidup. Ini terkait dengan sikap kita sebagai orangtua, termasuk kemampuan kita menakar setiap tindakan. Wallahu a’lam bish-shawab.*
Tiga Bekal Mengasuh Anak
APAKAH do’a-do’a kita telah cukup untuk mengantar anak-anak menuju masa depan yang menenteramkan? Apakah nasehat-nasehat yang kita berikan telah cukup untuk membawa mereka pada kehidupan yang mulia? Ataukah kita justru merasa telah cukup memberi bekal kepada anak-anak kita dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah terbaik dan fasilitas yang lengkap? Kita telah merasa sempurna sebagai orangtua karena bekal ilmu telah melekat kuat dalam diri kita.
Hari-hari ini, ada yang perlu kita renungkan. Betapa banyak ahli yang ‘ibadah yang keturunannya jauh dari munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tak ada anak yang mendo’akannya sesudah kematian datang. Begitu pula, alangkah banyak orangtua yang nasehatnya diingat dan petuahnya dinanti-nanti ribuan manusia. Tetapi sedikit sekali yang berbekas dalam diri anak. Padahal tak ada niatannya untuk melalaikan anak sehingga lupa memberi nasehat. Ia bahkan memenuhi setiap pertemuannya dengan anak dengan nasehat-nasehat disebabkan sedikitnya waktu untuk bertemu. Tetapi justru karena itulah, tak ada lagi kerinduan dalam diri anak. Sebab pertemuan tak lagi indah. Nyaris tak ada bedanya bertemu orangtua dengan mendengar kaset ceramah.
Lalu apakah yang sanggup menaklukkan hati anak sehingga kata-kata kita selalu bertuah? Apakah kedalaman ilmu kita yang bisa membuat mereka hanyut mendengar nasehat-nasehat kita? Ataukah besarnya wibawa kita yang akan membuat mereka senantiasa terarah jalan hidupnya? Atau kehebatan kita dalam ilmu komunikasi yang menyebabkan mereka selalu menerima ucapan-ucapan kita? Sebab tidaklah kita berbicara kecuali secara terukur, baik pilihan kata maupun ketepatan waktu dalam berbicara.
Ah, rasanya kita masih banyak menemukan paradoks yang susah untuk dibantah. Ada orang-orang yang tampaknya kurang sekali kemampuannya dalam memilih kata, tetapi anak-anaknya mendengarkan nasehatnya dengan segenap rasa hormat. Ada orangtua yang tampak sekali betapa kurang ilmunya dalam pengasuhan, tetapi ia mampu mengantarkan anak-anaknya menuju masa depan yang terarah dan bahagia. Tak ada yang ia miliki selain pengharapan yang besar kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya harap-harap cemas dikarenakan kurangnya ilmu yang ia miliki dalam mengasuh anak. Sebaliknya, ada orangtua yang begitu yakinnya bisa mendidik anak secara sempurna. Tapi tak ada yang bisa ia banggakan dari anak-anak itu di masa dewasa kecuali kenangan masa kecilnya yang lucu menggemaskan.
Agaknya…, ada yang perlu kita tengok kembali dalam diri kita, sudahkah kita memiliki bekal untuk mengasuh anak-anak itu menuju masa dewasa? Tanpa menafikan bekal lain yang kita perlukan dalam mengasuh anak, terutama yang berkait dengan ilmu, kita perlu merenungi sejenak firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nisa’ ayat 9:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’, 4: 9).
Mujahid menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan permintaan Sa’ad bin Abi Waqash tatkala sedang sakit keras. Pada saat Rasulullah saw. datang menjenguk, Sa’ad berkata, “Ya Rasulallah, aku tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku boleh menginfakkan dua pertiga dari hartaku?”
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh.”
“Separo, ya Rasul?”
“Tidak,” jawab Rasul lagi.
“Jika sepertiga, ya Rasul?”
Rasul mengizinkan, “Ya, sepertiga juga sudah banyak.” Rasulullah saw. bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berpijak pada ayat ini, ada tiga pelajaran penting yang perlu kita catat. Betapa pun inginnya kita membelanjakan sebagian besar harta kita untuk kepentingan dakwah ilaLlah, ada yang harus kita perhatikan atas anak-anak kita. Betapa pun besar keinginan kita untuk menghabiskan umur di jalan dakwah, ada yang harus kita periksa terkait kesiapan anak-anak dan keluarga kita. Sangat berbeda keluarga Umar bin Khaththab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhuma dengan keluarga sebagian sahabat Nabi lainnya. Umar bin Khaththab menyedekahkan separo dari hartanya, sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak meninggalkan untuk keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Dan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan sekaligus menyambut baik amal shalih keduanya.
Lalu…, bagaimanakah dengan keluarga kita?
Kembali kepada pada perbincangan awal kita. Ada tiga bekal yang perlu kita miliki dalam mengasuh anak-anak kita.
Pertama, rasa takut terhadap masa depan mereka. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi generasi yang lemah. Kita pantau perkembangan mereka kalau-kalau ada bagian dari hidup mereka saat ini yang menjadi penyebab datangnya kesulitan di masa mendatang. Berbekal rasa takut, kita berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi kehidupan dengan kepala tegak dan iman kokoh.
Sesungguhnya di antara penyebab kelalaian kita menjaga mereka adalah rasa aman. Kita tidak mengkhawatiri mereka sedikit pun, sehingga mudah sekali kita mengizinkan mereka untuk asyik-masyuk dengan TV atau hiburan lainnya. Kita lupa bahwa hiburan sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka yang telah penat bekerja keras. Kita lupa bahwa hiburan hanyalah untuk menjaga agar tidak mengalami kejenuhan.
Hari ini, banyak orang berhibur bahkan ketika belum mengerjakan sesuatu yang produktif. Sama sekali!
Kedua, taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Andaikata tak ada bekal pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana mengasuh anak-anak kita, maka sungguh cukuplah ketaqwaan itu mengendalikan diri kita. Berbekal taqwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tidak melampaui batas. Seorang yang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah luluh kalau jika ia bertaqwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, tetapi ia amat takut kepada Allah Ta’ala. Ia menundukkan dirinya terhadap perintah Allah dan rasul-Nya seraya menjaga dirinya agar tidak melanggar larangan-larangan-Nya.
Ingin sekali saya berbincang tentang perkara taqwa, tetapi saya tidak sanggup memberanikan diri karena saya melihat masih amat jauh diri saya dari derajat taqwa. Karena itu, saya mencukupkan pembicaraan tentang taqwa sampai di sini. Semoga Allah Ta’ala menolong kita dan memasukkan kita beserta seluruh keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa.
Allahumma amin.
Ketiga, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan). Boleh jadi banyak kebiasaan yang masih mengenaskan dalam diri kita. Tetapi berbekal taqwa, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan) akan mendorong kita untuk terus berbenah. Sebaliknya, tanpa dilandasi taqwa, berbicara dengan perkataan yang benar dapat menjadikan diri kita terbiasa mendengar perkara yang buruk dan pada akhirnya membuat kita lebih permisif terhadapnya. Kita lebih terbiasa terhadap hal-hal yang kurang patut.
Karenanya, dua hal ini harus kita perjuangkan agar melekat dalam diri kita. Dua perkara ini, taqwa dan berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan) kita upayakan agar semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sekiranya keduanya ada dalam diri kita, maka Allah akan baguskan diri kita dan amal-amal kita.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).
Nah.
Masih banyak yang ingin saya tulis, tetapi tak ada lagi ruang untuk berbincang di kesempatan ini. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla pertemukan kita dalam kesempatan yang lebih lapang.
Semoga yang sederhana bisa sekaligus menjadi penjelas tentang batas maksimal sedekah yang diperkenankan, kecuali bagi mereka yang imannya dan iman keluarganya sudah setingkat imannya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra dan keluarganya.*
Percaya Diri Menjadi Ibu Rumah Tangga
“Dik, sebenarnya kalau saya tidak keluar dari tempat kerja, saya sudah jadi kepala personalia,” kata Lisa“Memangnya kenapa Mbak?” tanya Ratih. Mereka berdua kakak dan adik kelas di SMU yang secara tak sengaja bertemu diacara untuk balita.
“Ini, semenjak Mas Bayu jadi pimpinan cabang, saya di suruh di rumah saja ngurus anak-anak. Katanya sih bagi-bagi tugas.”
“Kan enak Mbak, hanya ngurus anak! Pekerjaan rumah lainnya sudah ada pembantu yang mengerjakan. Kalau saya wah…, mulai bangun tidur sudah harus ngurus anak. Setelah mereka berangkat, pekerjaan rumah tangga lainnya sudah menunggu.
Pokoknya saya harus pandai-pandai mengatur waktu, bahkan kalau ada orang yang pesan kue saya buatkan. Maklumlah Mbak, penghasilan suami pas-pasan.”
“Kamu tahan di rumah terus, Ratih? Kalau Saya bosan!
Rasanya potensi kita berhenti sampai di sini saja. Coba bayangkan, kita kuliah selama ini untuk apa? Sudah memakan waktu lama dan keluar biaya banyak, hanya untuk di rumah saja. Pokoknya saya harus kerja walau Mas Bayu melarang,” seru Lisa dengan wajah serius.
“Ah, ya jangan begitu! Ini Mbak Lisa, bosan atau malu jadi ibu rumah tangga biasa?”
Mendapat tanggapan begitu Lisa menjadi tergagap karena ketahuan, kalau memang ia selama ini merasa malu dan minder. Apalagi bila bertemu dengan teman-teman sekolah seangkatannya dulu.
Malu?
Rasa malu, minder yang menghinggapi Lisa bahkan oleh sebagian wanita, apalagi yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, tidak lepas dari pandangan masyarakat. Selama ini masyarakat menganggap wanita yang berkarier dan punya kedudukan, lebih terhormat daripada wanita yang hanya di rumah mengabdikan dirinya untuk keluarga. Bahkan orang akan menganggap aneh, bila ada wanita bercita-cita tetap tinggal di rumah. Mereka menganggap mubazir pendidikan yang ditempuhnya selama ini.
Bergesernya pandangan sebagian wanita dan masyarakat, tidak lepas dari propaganda para feminis atau musuh-musuh Islam yang berkeinginan mencabut fitrah wanita dari posisi semula.
Bukan berarti kita anti terhadap wanita karier, bahkan pada bidang-bidang tertentu wanita lebih tepat untuk menanganinya. Misalnya tenaga medis, dan pendidik. Bahkan pada masa Rasulullah SAW kita kenal tokoh wanita bernama Nasibah, Rafidah, Khaulah, Ummu Sulaim yang ikut dalam medan perang.
Yang menjadi permasalahan, bagaimana wanita bisa memposisikan diri. Tidak asal berkarier, apalagi kalau hanya menuruti kemauan dan trend yang ada pada masyarakat, tanpa mempertimbangan sisi syar’i. Misalnya harus ada ijin dari suami, tidak bercampur antara pria dan wanita, aman bagi keselamatan dan kehormatan wanita, menutup aurat, terjaminnya wanita untuk melaksanakan kewajiban agama.
Ironis lagi, apabila wanita bekarier ke luar karena tidak betah di rumah. Apalagi sebabnya sepele, kejenuhan dan ketidak sabarannya mengurus rumah dan tidak tahan menghadapi tingkah polah sang buah hati.
Kalau mau jujur, sebenarnya tugas- tugas domestik wanita tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kalaupun ada pembantu, sifatnya hanya masalah teknis saja. Banyak hal-hal prinsip yang hanya bisa ditangani oleh sang ibu.
Kalau mau diukur dengan materi, berapa rupiah yang dikeluarkan sebuah hotel hanya untuk mengatur tata ruang, mencuci sprei, dan memasak? Apalagi ibu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, semestinya mendapat gaji yang besar. Sebagai informasi, menginap semalam saja disalah satu hotel di Bali, ada yang mematok harga Rp 10 hingga Rp 50 juta.
Kalau diibaratkan rumah kita seperti hotel seperti dijelaskan di atas, maka ibu rumah tangga yang mengurusnya juga bisa dikatakan sebagai seorang profesional. Tinggal di sini kita harus mengasah diri dengan ilmu dan ketrampilan sehingga kita mampu membuat rumah kita bagai sebuah surga buat suami dan anak anak kita.
Bukankah wanita perlu juga mengaktualisasikan dirinya?
Secara fitrah semua manusia butuh aktualisasi diri baik pria ataupun wanita, anak-anak ataupun dewasa. Tentunya sesuai dengan taraf perkembangannya. Anak-anak dengan bermain, dan orang dewasa dengan bekerja. Tapi bagi wanita haruskah keluar rumah untuk mengaktualisasikan dirinya?
Apabila Kondisi tidak memungkinkan sebagaimana Ratih di atas, tidaklah salah mencoba berkarier dan mengembangkan potensi diri di rumah. Misalnya, yang cenderung pada dunia pendidikan bisa mendirikan TPA/TK di rumah, membuka praktek di rumah bagi dokter, membuka konveksi bagi penjahit, membuat catering bagi yang hobi memasak atau totalitas mengurus rumah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu. Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang orang jahiliah yang dahulu.....,” (QS:Al-Ahzab:33).
“Wanita pemimpin atas rumah suaminya dan atas anak anaknya,” (Muttafaq’alaih).
Ayat dan hadits ini jelas sekali bahwa rumah adalah tempat yang terhormat bagi wanita. Karena dari rumahlah generasi-generasi Islam akan dibangun. Kokohnya suatu bangsa tergantung kokohnya keluarga. Maka tak sepantasnya rasa malu dan minder menghinggapi para ibu rumah tangga karena Allah telah menjamin pahala yang besar untuk mengganti kelelahannya.
Do’a Rasulullah SAW
Rasulullah SAW berkata pada anandanya untuk menghiburnya ketika melihat Fatimah bersedih dan hendak meminta pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah tangganya.
”Jika Allah SWT menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki di tuliskannya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh-Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.”
“Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskannya satu derajat.”
“Ya Fathimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya, maka Allah menjadikan dirinya dan neraka tujuh buah parit.”
“Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anaknya-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakian mereka, maka Allah akan mencatatkan baginya pahala orang yang memberi makan pada seribu orang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang telanjang.”
“Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya, maka Allah akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautsar pada hari kiamat.”
“Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridlaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridla denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah, bahwa ridla suami itu dari Allah SWT dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah SWT?”
“Ya Fathimah, apabila seorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah mencatat baginya tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan.
Apabila ia mulai sakit melahirkan, maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang -orang yang berjihad pada jalan Allah yakni perang sabil. Apabila ia melahirkan, maka keluarlah dari dirinya dosa-dosanya seperti ketika ia di lahirkan. Dan apabila ia meninggal, tiadalah ia meninggal dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan di dapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga. Dan Allah akan mengkaruniakan pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat…….”
Dari penggalan hadits di atas, Allah sangat menghargai tugas-tugas domestik para ibu rumah tangga dengan pahala yang sangat besar, yang tidak dapat di ukur dengan apapun kecuali ridla Allah dan surga-Nya.
Fathimah putri Rasulullah yang mulia saja harus bersusah payah dalam mengurus rumah tangganya. Maka, sebagai muslimah yang beriman, siapa yang akan kita ikuti kalau tidak keluarga Rasulullah SAW.
Meneduhkan Hati
APAKAH yang lebih menenangkan hati seorang suami melebihi keikhlasan isteri mencintai? Apakah yang lebih membahagiakan seorang lelaki melebihi ketulusan wanita menerima keadaan suami apa adanya? Apakah yang lebih patut disyukuri melebihi ketegaran isteri menjalani hidup yang bersahaja karena kuatnya ‘izzah (harga diri) dan penjagaan diri dari dosa? Padahal kesempatan untuk memperoleh dunia seisinya ada pada diri suami tanpa berbuat dosa.
Sungguh, inilah nikmat yang luar biasa. Merupakan kebahagiaan ketika tantangan hidup untuk meraih harta berlimpah begitu kuat menerjang kita, kehadiran isteri shalihah yang senantiasa mengingatkan agar memilih yang sedikit demi meraih barakah dan pahala, merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Sesungguhnya, di antara pintu-pintu kebahagiaan adalah hati yang senantiasa bersyukur atas setiap tetes nikmat yang kita terima. Kita merasakan syukur yang amat dalam disebabkan hati kita tidak disibukkan untuk mengejar angan-angan –bahkan justru menahan diri dari gelimang harta, meski halal—di saat kita bekerja keras.
Tetapi bukankah kerja keras itu jalan untuk merebut rezeki berlimpah? Benar. Kerja keras yang profesional memang akan membuka pintu-pintu rezeki sehingga mengalir deras ke tangan kita. Tetapi sangat berbeda nikmat yang kita rasakan antara kerja keras yang bertujuan untuk menimbun harta dengan kerja keras demi mengumpulkan bekal untuk amal shalih. Kita bekerja keras bukan demi mengejar harta semata, tetapi kerja keras itu sendiri merupakan amal shalih yang bisa kita harapkan buahnya di akhirat, sementara harta yang kita peroleh dari bekerja bisa kita belanjakan untuk menolong agama Allah Ta’ala, membantu proyek-proyek kebaikan dan berbagai amal shalih lainnya yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Kerja-keras demi menimbun harta akan membuat kita merasa kehilangan setiap ada yang terlepas dari tangan kita, meski sangat sedikit. Sementara bertambahnya tidak membuat hati kita semakin tenang. Justru sebaliknya, semakin bertambah harta kita semakin gelisah rasanya hidup kita karena terus-menerus dikejar angan-angan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi. Padahal, sangat sedikit yang bisa kita lakukan dengan harta kita. Kita memang bisa membeli kemewahan dengan harta yang kita miliki. Tetapi harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan kedamaian jiwa.
Inilah paradoks kekayaan ketika waktu, tenaga, pikiran dan perasaan kita terus-menerus dikuras untuk mengejarnya. Inilah paradoks yang getir. Semakin banyak kita menimbun harta, semakin miskin rasanya diri kita. Semakin besar simpanan uang kita, justru cenderung membuat kita semakin tak bisa tenang. Kita semakin tak punya waktu untuk menikmati hidup dan mensyukuri karunia Allah Ta’ala. Sebaliknya, kita justru semakin disibukkan oleh hasrat menggebu untuk mengejar uang yang lebih banyak lagi. Akibatnya, kita semakin sulit bahagia. Dan itulah yang hari ini –sebagaimana hasil sebuah riset—dirasakan oleh jutaan warga Amerika. Mereka semakin sulit menemukan kebahagiaan di saat hidupnya semakin makmur. Mereka semakin merasa miskin, di saat kekayaannya bertambah-tambah.
Teringatlah saya pada sebuah hadis. Rasulullah saw. Bersabda:
”Bukanlah kaya itu karena banyaknya harta benda, tetapi sesungguhnya kaya itu adalah kaya jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ya, banyak orang yang berlimpah harta tetapi miskin hidupnya. Bahagia tidak, tenang pun tidak. Besar kekayaannya, tetapi kecil ketenteraman jiwanya, kecil pula kenikmatan hidupnya. Banyak kesenangan yang bisa ia beli, tetapi sedikit kebahagiaan yang ia raih. Banyak kelezatan yang ia kumpulkan, tetapi ia lupa bahwa lezat tidak sama dengan nikmat. Betapa banyak orang yang mampu membeli makanan lezat, tetapi tidak bisa makan dengan nikmat.
Sungguh, sangat berbeda antara kekayaan dengan kebahagiaan. Harta bisa mengantarkan kita pada kebaikan dan kebahagiaan jika kita menggenggamnya dengan tangan dan bukan dengan hati. Artinya, kekayaan memang ada di tangan kita. Tapi hati kita tidak disibukkan olehnya. Kita tidak gelisah memikirkan harta agar bertambah. Sebaliknya, kita berusaha memperbaiki amal dan menyempurnakan niat. Sementara pada saat yang sama kita semakin keras bekerja. Kita lebih bersungguh-sungguh bukan karena mengejar dunia untuk kita nikmati, tetapi untuk menggenggam dunia agar bisa kita pergunakan untuk amal shalih.
Di sinilah letak perbedaannya!
Di sini pula kita mengerti mengapa kehadiran isteri yang ridha terhadap sedikitnya rezeki, berhati-hati terhadap halal tidaknya harta, dan bersemangat terhadap amal-shalih; merupakan sumber kebahagiaan yang tak ternilai.
Rasulullah saww. bersabda:
”Termasuk kebahagiaan adalah isteri shalihah; jika kamu melihatnya dia akan membuatmu kagum, jika kamu pergi dia akan menjaga dirinya karenamu dan menjaga hartamu. Dan termasuk kemalangan adalah seorang isteri yang jika kamu melihatnya dia membuatmu tidak suka, berkata pedas kepadamu, dan jika kamu pergi dia tidak menjaga dirinya dan hartamu.” (HR. Ibnu Hibban).
Lembutnya ucapan dan manisnya tutur kata bukan terutama terletak pada kecakapan untuk mengungkapkannya, tetapi terutama pada hati yang menggerakkan kata dan raut muka. Kita memang bisa bermanis-manis muka kepada orang lain di saat hati kita sedang masam. Tetapi kepada orang yang menjadi bagian hidup kita sehari-hari, hidup bersamanya sepanjang tahun dan saling berkepentingan satu sama lain; kita tidak bisa bermanis muka jika kita tidak ridha kepadanya.
Maka mendahulukan iman dan amal shalih akan jauh lebih menenteramkan dibanding memilih karena kecantikan dan kekayaan. Di dunia kita bahagia, di akhirat insyaAllah bisa bersama-sama di surga-Nya. Atas keikhlasannya menerima yang sedikit, isteri yang shalihah membuat hati kita tenang sehingga pikiran senantiasa jernih. Sementara atas kekuatan tekadnya untuk senantiasa meneguhkan iman dan amal shalih, insyaAllah akan memacu kita untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan.
Karenanya, bagi yang belum menikah hendaknya mengingat pesan Nabi saw. tentang kriteria isteri yang patut dipilih. Sedangkan bagi yang telah menikah, perlu merenungkan kembali sabda Nabi saw. ini untuk menata langkah berikutnya. Sesungguhnya, Rasulullah shallaLlahu ’alaihi wa sallam telah bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kecantikannya, kedudukannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena keberagamaannya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya).
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Setidaknya ada dua hal. Pertama, alasan kita memilih. Sama orang yang kita pilih, beda alasan yang menggerakkan kita untuk memilihnya, maka akan berbeda nilai tindakan kita; berbeda pula akibat dan kesudahannya bagi kita. Ke¬dua, kriteria itu berkaitan dengan apa yang melekat pada orang yang kita pilih. Jika kita memilih orang yang baik komitmen agamanya serta zuhud terhadap dunia, maka insya-Allah kita akan mereguk ketenangan dan keteduhan hati. Kita mencipta ketenangan hati bukan de¬ngan menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia, tetapi karena hati kita tidak dipenuhi oleh kegelisahan terhadap dunia atas sebab hadirnya isteri shalihah yang menyejukkan mata. Kita mencipta keteduhan hati bukan dengan membangun vila di puncak bukit, tetapi karena hati kita dipenuhi oleh keinginan berbuat baik. Insya-Allah.
Selebihnya, tugas kita untuk merawatnya. Kita menjaga arah hidupnya, hatinya dan pikirannya agar komitmen agamanya senantiasa hidup. Ia memiliki semangat yang menyala-nyala untuk menolong agama Allah Ta’ala. InsyaAllah, dengan itu kita akan selalu mendapat pertolongan dari Allah ’Azza wa Jalla. Rumah-tangga bahagia dan Allah mengokohkan kedudukan kita.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47: 7).
Nah.
Semoga catatan sederhana ini bermanfaat sebagai pengingat untuk kita semua.
Tak Ada Pendidikan Karakter Tanpa Budaya Karakter
Inilah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Sahabat nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini suatu ketika bertutur, “Tidak ada satu orang pun yang lebih para sahabat cintai daripada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui ketidaksukaan beliau terhadap hal itu.” (HR. At-Tirmidzi dalam Kitab Al-Adab dan dia berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih gharib dari jalur ini.”).
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyukai manusia berdiri memberi penghormatan kepadanya, hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud & At-Tirmidzi).
Di zaman kita sekarang, di negeri tempat kita berpijak ini, sulit membayangkan ada seorang pemimpin yang kuat pengaruhnya, besar wibawanya, ditaati perintahnya dengan ringan hati dan dinanti tutur katanya, sementara mereka tidak membangun budaya penghormatan yang kuat. Aparat negara hingga pimpinan sekolah banyak yang justru secara sengaja menciptakan budaya penghormatan demi terbentuknya apa yang diangankan sebagai karakter dan patriotisme. Hari ini anak-anak kita dididik untuk berdiri menghormat kepada orang-orang yang disebut pemimpin, kepada inspektur upacara bendera dan bahkan kepada kepala desa yang datang menghadiri sebuah perhelatan. Tetapi hari ini kita melihat, tak ada ketaatan –apalagi kecintaan—yang tumbuh dengan kuat dalam diri anak-anak kita kepada para pemimpin.
Lalu apa yang melahirkan kecintaan besar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Kita bisa menjawab keteladanan. Tetapi keteladanan seperti apa yang melahirkan kecintaan begitu besar dan ketaatan yang sedemikian kuat?
Mari kita simak firman Allah Ta’ala berikut ini:
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas-kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128).
Apa yang bisa kita petik dari pribadi Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Bukan sekedar manusia yang memiliki budi pekerti luhur. Pada dirinya ada kecintaan dan empati yang luar biasa, sedemikian besarnya kecintaan itu sehingga penderitaan kita adalah penderitaannya. Ia turut merasakan penderitaan kita yang banyak di antaranya bahkan kita tidak menganggapnya sebagai penderitaan disebabkan oleh tidak adanya ilmu pada diri kita tentang akibat dari tindakan kita hari ini.
Ada keinginan yang sangat kuat untuk mengantarkan kita pada keselamatan, dan tidak ada keselamatan tanpa iman. Dan tidak bernilai iman kita jika tidak berpijak pada aqidah yang lurus dan agama yang benar sehingga tidaklah kita berserah diri kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Amat besar keinginannya agar kita meraih keselamatan dan kemuliaan, bahkan meskipun untuk itu ia dimusuhi dan disakiti. Ia melakukan semua itu bukan untuk meraih dunia –yang ia tidak perlu berlelah-lelah untuk meraihnya, andaikata ia menghendaki. Ia juga bukan mengejar kekuasaan dan mahkota. Tetapi ia berbuat dengan tulus, melayani, penuh kecintaan, berjuang dengan sungguh-sungguh demi membaguskan kita. Bukan meninggikan kedudukannya. Dan justru karena itulah, kita merasakan keagungannya. Dunia mengakui kemuliaannya. Bahkan Allah Ta’ala dan para malaikat pun bershalawat untuknya.
Terasa betul betapa berbedanya dengan apa yang kita jumpai hari ini. Atas nama dakwah dan muru’ah (kehormatan), banyak orang yang berburu gelar ustadz dan menyandangi dirinya dengan berbagai kemewahan. Kenapa? Karena ada persangkaan bahwa dengan itu kita akan dihormati, dengan kekayaan itu kita dimuliakan dan nasehatnya didengar. Tetapi tidak. Mereka berceramah, manusia tertawa dan mengelu-elukan, sesudah itu tak ada lagi yang berbekas.
Jika agama hanya menjadi penghibur jiwa, maka sulit membayangkan terjadi perubahan mendasar pada mereka yang mendengar dan belajar. Jika para penyeru agama telah silau hatinya kepada kedudukan, gelar yang berderet, sebutan yang terucap, maka nyaris tak mungkin rasanya budaya karakter akan tumbuh. Kebanggaan pada sebutan, simbol dan yang semacamnya lahir dari budaya prestasi dimana prestise lebih berharga daripada keringat dan kesungguhan. Sementara budaya karakter menyibukkan diri dengan sikap, usaha dan perjuangan, kejujuran, pelayanan kepada orang lain, ketulusan dan yang serupa dengan itu. Tatkala karakter yang menjadi kegelisahan utama, prestasi akan menyertai. Prestasi muncul sebagai akibat. Bukan tujuan. Sehingga tak berharga sebuah prestasi, yang paling memukau sekalipun, jika diraih dengan menciderai keyakinan, keimanan dan kejujuran.
Khusus mengenai budaya prestasi dan budaya karakter, saya berharap dapat membahas lebih lanjut pada lain kesempatan. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk kembali melihat betapa berbedanya antara apa yang kita sebut sebagai pendidikan karakter dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sehingga melahirkan manusia-manusia dengan karakter mulia yang luar biasa.
Sesungguhnya, tidaklah Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam diutus kecuali untuk membentuk akhlak mulia (akhlaqul kariimah). Tetapi mari kita periksa perjalanan sejarah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Apakah yang beliau lakukan di awal-awal masa kenabian? Apakah beliau melakukan serangkaian pembiasaan berkait dengan budi pekerti? Sepanjang yang saya pahami, bukan itu yang dilakukan oleh Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Masa-masa awal dakwah, titik tekan utamanya adalah pada penanaman keyakinan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan tidak mempersekutukan-Nya, membangun aqidah yang lurus, menempa mereka untuk memiliki ketundukan yang total kepada Allah Ta’ala melalui qiyamul-lail yang panjang dan menafikan sesembahan selain Allah Ta’ala. Ketika itu, jilbab belum diperintahkan, minum khamr belum dicegah dan banyak hal lainnya yang masih dibiarkan.
Ini memberi pelajaran berharga bagi kita. Kelak kita tahu dalam sejarah betapa tinggi kemuliaan akhlak para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, tabi’in, tabi’it tabi’in maupun para salafush-shalih. Tetapi kemuliaan akhlak itu bukan semata-mata akibat dari pembiasaan, melainkan tumbuh di atas keyakinan yang kuat dan keimanan yang benar.
Sangat berbeda kebiasaan yang muncul semata-mata sebagai hasil pembiasaan dengan kebiasaan yang lahir dari keyakinan yang kuat. Yang pertama akan mudah luntur oleh situasi, sedangkan yang kedua cenderung mewarnai dan membawa pengaruh tatkala kita berada pada lingkungan yang sangat berbeda.
Serupa dengan itu, sangat berbeda kaya sebagai tujuan dan kaya sebagai akibat. Berbeda juga kaya sebagai jalan. Kita kerahkan seluruh kemampuan untuk mengejar kekayaan, lalu menyiapkan sejumlah kemuliaan sebagai alasan. Bahwa jika kaya, kita mampu beramal, meniru para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan alasan lain yang serupa. Tetapi tatkala kaya sebagai jalan, kita sangat berkeinginan untuk melakukan amal mulia dan untuk itu kita siapkan bekal. Kerinduannya terletak pada amal. Bukan kekayaan.
Jika dunia yang menjadi tujuan, maka dien akan menjadi alat. Jika kaya yang menjadi impian, maka surga yang menjadi agunan. Jika menolong agama Allah yang menjadi kegelisahan dan tekad kuat kita, maka kita akan siap berletih-letih untuk berjuang, termasuk mengumpulkan harta yang banyak agar dapat mengongkosi perjuangan dan dakwah kita fiLlah, liLlah, ilaLlah.
Nah. Semoga ada yang bisa kita renungkan.*
Tak Ada Kedewasaan Instant
MAKANAN dan minuman boleh instant. Tanpa bersusah meracik, setiap orang bisa membuat mie dengan rasa yang sama. Tak ada bedanya kopi bikinan anak kecil dengan hasil seduhan orang dewasa. Sebabnya, mereka sama-sama pakai kopi instant. Tanpa perlu memahami karakter kopi, setiap orang bisa menghidangkan kopi dengan rasa yang cukup enak di lidah karena bahannya instant. Tetapi, samakah kopi instant dengan kopi yang diracik secara khusus oleh koki berpengalaman? Sangat berbeda. Sebagaimana berbeda sekali nilai dan harga sebuah jam tangan yang dibuat oleh tangan seorang ahli yang terampil dan berpengalaman dengan arloji pabrikan yang dalam waktu sehari bisa memproduksi ratusan dan bahkan ribuan keping.
Tak ada kecerdasan instant. Apalagi kedewasaan. Kita mungkin bisa menjadikan seorang anak tiba-tiba tampak hebat karena mampu menggambar, menulis atau membaca dengan mata tertutup. Tetapi sangat berbeda kemampuan menebak, menginderai dan mengenal dengan kemampuan mencerna, memahami, memikirkan dan mengembangkan sebuah konsep. Hari ini, banyak orangtua yang bersibuk-sibuk menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi lupa membangun pilar kehebatan itu sendiri.
Sesungguhnya, taraf kemampuan kognitif anak bertingkat-tingkat secara hierarkis. Dan pendidikan berkewajiban mengantarkan setiap anak agar mampu mencapai taraf kognitif yang setinggi-tingginya. Taraf paling rendah adalah pengetahuan. Ini merupakan kemampaun untuk mengetahui, mengenal dan mengingat apa-apa yang sudah ia pelajari. Ia bisa mengulang kembali dan menyampaikan kepada orang lain. Di negeri ini, pelajaran di kelas dan ujian di sekolah kerapkali hanya menakar kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan.
Berbagai teknik atau trik yang banyak diperkenalkan (lebih jelasnya: dijual) kepada masyarakat umumnya sebatas membantu anak mencapai kemampuan kognitif terendah. Bukan mengembangkan kemampuan berpikir. Lebih-lebih cara berpikir, umumnya hampir tak tersentuh. Tetapi inilah yang paling mudah kita lihat: atraksi kebolehan dan demonstrasi yang menunjukkan perubahan cepat luar biasa. Karena terpukau, kita kemudian kehilangan daya berpikir kritis tatkala para trainer itu mengatakan bahwa trik-trik tersebut membangun karakter anak! Padahal yang dimaksud bukan karakter.
Yang dimaksud hanyalah sebatas kemampuan kognitif. Paling jauh keterampilan sosial yang bernama sopan santun.
Sungguh, sopan santun sangat berbeda dengan karakter. Sebagai keterampilan, sopan santun merupakan bagian dari kecakapan sosial. Sementara karakter lebih banyak berkait dengan kualitas personal pada diri seseorang. Karakter bermula dari kesadaran terhadap nilai-nilai (bukan sekedar tahu atau bahkan paham), partisipasi atau kesediaan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan barulah kemudian sampai pada tingkat karakterisasi diri. Yang dimaksud dengan penghayatan nilai adalah kemampuan untuk menerima nilai dan terikat kepadanya. Sedangkan pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya. Sampai pada tingkat ini, karakter masih belum terbentuk. Karakterisasi baru terjadi apabila seseorang telah mampu memilih nilai sebagai gaya hidup (life style) di mana sistem nilai yang terbentuk mampu mengawasi tingkah lakunya.
Jadi, ada proses panjang sebelum terbentuk dalam diri seseorang. Ia bukan sekedar keterampilan. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang mempengaruhi pikiran, cara pandang, penghayatan dan gaya hidup kita. Ia menjadi penakar dalam menentukan sebuah tindakan terkait dengan patut atau tidak, mulia atau hina. Ia berangkat dari kesadaran. Bukan pengetahuan. Kesadaran merupakan tingkat terendah dari kemampuan afektif. Sedangkan tingkat terendah kemampuan kognitif adalah pengetahuan (knowledge). Ini berarti, sekedar pintar tak berpengaruh pada karakter.
Setingkat di atas pengetahuan adalah pemahaman (understanding). Pada tingkat ini –tingkat terendah kedua dalam kemampuan kognitif—anak mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Kemampuan ini bukan semata karena anak belajar, tetapi karena pendidik memang memahamkan. Bukan sekedar menyampaikan sejelas-jelasnya sehingga anak mengingat dengan baik dan mampu menyampaikan kembali secara gamblang. Pendidik perlu secara serius merangsang kemampuan berpikir anak sehingga mereka memahami dengan baik apa yang diterangkan.
Yang perlu kita catat, pemahaman tidak berpengaruh terhadap perilaku. Pemahaman baru akan bermanfaat menuntun dan mengarahkan perilaku anak-anak kita jika mereka telah menghayati nilai-nilai agama ini dengan baik. Sangat berbeda, menghayati dengan memahami.
Itu pula yang menerangkan mengapa anak yang telah memahami baik-buruknya sesuatu, tidak berubah perilakunya. Kecerdasan mempengaruhi kemampuan mengingat, mencerna dan memahami sesuatu. Sedangkan keyakinan mendorong orang untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya, meskipun bertentangan dengan pemahamannya.
Kembali pada jenjang-jenjang kemampuan kognitif. Setingkat di atas pemahaman adalah penerapan (aplikasi), yakni kemampuan menggunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata. Ini bukan berurusan dengan keyakinan. Ini erat kaitannya dengan kecakapan untuk menerapkan apa yang telah ia ketahui. Shalat misalnya. Anak bisa melakukan shalat dengan sangat baik bukan karena yakin dan suka, tetapi karena ia memahami betul tata-cara shalat yang baik.
Jenjang kemampuan berikutnya adalah analisis. Berbekal pemahaman yang baik dan mendalam atas berbagai pengetahuan yang telah ia dapatkan sekaligus (pernah) ia praktikkan, seseorang bisa mencapai kemampuan analisis. Ia mampu menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Jika kemampuan ini berkembang lebih lanjut, ia akan sampai pada taraf kognitif yang lebih tinggi, yakni sintesis. Ini merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang berarti. Ia mampu menemukan benang merah berbagai pengetahuan yang berserak menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna.
Tingkat tertinggi kemampuan kognitif adalah penilaian. Bukan menilai orang dari apa yang tampak, melainkan kemampuan memberikan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan yang ditetapkan terlebih dahulu, baik bersifat internal maupun eksternal. Di tingkat inilah seseorang mencapai tingkat pemahaman yang mendalam. Kemampuan ini barangkali lebih dekat dengan makna faqih. Bukan sekedar faham. Dan amat sedikit orang yang mencapai kemampuan ini. Lebih-lebih sekolah –begitu pula orangtua—lebih banyak menyibukkan diri untuk memacu kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan atau paling jauh pemahaman. Kita sudah cukup bangga jika anak mengingat dengan baik, mampu menirukan secara sempurna dan menerangkan secara gamblang pelajaran yang telah mereka terima. Kita telah menganggap jenius anak-anak yang hanya menggunakan kemampuan kognitif terendah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Cerdas dan Terampil Belum Mencukupi
Apakah anak-anak sudah cukup berharga jika mereka mencapai kemampuan kognitif yang tinggi? Cerdas saja tidak cukup. Alangkah banyak anak-anak yang cerdas tetapi miskin keterampilan. Lalu, apakah cerdas dan terampil telah cukup untuk membekali mereka meraih sukses? Jangankan untuk akhirat. Sukses dunia pun tak cukup hanya berbekal cerdas dan terampil. Bahkan kejeniusan pun tak menolong mereka.
Mari kita ingat sejenak salah satu jenius besar yang pernah lahir di muka bumi. Namanya William James Sidis. Bapaknya –seorang profesor—adalah pengagum besar William James, tokoh psikologis behaviorisme yang yakin betul bahwa pembiasaan merupakan kunci terpenting pendidikan. Sejak usia 6 bulan, ayahnya telah mengajarkan kepadanya huruf-huruf sesuai urutan abjad. Sesudah itu, ayahnya mengajarkan ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu tubuh manusia, dan bahasa Yunani berdasarkan buku ajar yang dipakai di sekolah. Hasilnya, usia 5 tahun William James Sidis telah mampu menyusun karya ilmiah tentang anatomi. Kejeniusannya berkembang sehingga pada usia 11 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Harvard University dan usia 14 tahun telah mampu memberi kuliah.
Tetapi kecerdasan tanpa kemampuan mengelola diri, tak cukup untuk membuatnya bahagia. Ia kemudian melarikan diri dari lingkungan yang mengelu-elukannya. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran karena kecerdasan tak bisa membuatnya bahagia.
Sesungguhnya ada tiga potensi manusia yang berbeda-beda tingkat kemudahannya membentuk. Yang paling sulit adalah karakter, sesudah itu motivasi dan yang paling mudah adalah kemampuan kognitif serta keterampilan. Jika seseorang memiliki karakter yang kuat, mudah baginya untuk memperoleh kemampuan kognitif maupun keterampilan yang tinggi. Dan inilah yang harus kita perhatikan saat mereka belia. Inilah yang menjadi perhatian di berbagai belahan bumi yang menghargai betul arti sumber daya insani.
Bagaimana dengan Anda?
Mendurhakai Anak
SEORANG laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan bapaknya. Anak itu bertanya kepada Umar bin Khaththab, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”. “Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al-Qur’an kepadanya,” jawab Umar menunjukkan.
Anak itu berkata mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”
Kata-kata Umar bin Khaththab ini mengingatkan kepada kita -para bapak- untuk banyak bercermin. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita. Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.
Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yang kita inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati. Kita ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.
Pendidikan yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau sekedar membebaskan kita dari kesumpekan lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.
Teringatlah saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, masih bayi waktu itu dan sedang lucu-lucunya (sekarang pun dia masih sangat lucu dan menggemaskan) . Sembari menunggu bagasi, seorang ibu yang modis bertanya kepada istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya ibu itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya ibu itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.
Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, sehingga nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.
Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita, cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua semata-mata karena dia punya anak.Bukan gambaran tentang kematangan jiwa atau kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang masih jernih tanpa dosa tak mampu membuat orangtuanya terhibur.
Terkadang orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tentang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka anak itupun diperlakukan seperti perempuan, sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah memiliki anak. Ketika anaknya sudah menjadi orangtua.
Kejadian semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.
Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua. Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.
Staf dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Melihat anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.
Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran akan beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.
Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya ternyata anggota dewan sebuah daerah.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh keturunan (tasabbub). Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.
Dulu, sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.
Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orang tuanya.*
Jangan Terlambat Menyayangi Ibu!
SETIDAKNYA bagi sebagian orang, kehadiran seorang ibu dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Padahal, ibu adalah sosok luar biasa yang patut kita renungkan terus jasa-jasanya. Mengapa?
Ibu,sosok wanita yang telah melahirkan kita ke dunia. Sembilan bulan sepuluh hari lamanya ibu mengandung. Mual, beban berat dan sakit punggung mungkin sebagian kecil saja dari yang dirasakan oleh ibu. Tanpa mengeluh seorang ibu menjaga kehamilan dengan harapan sang anak dapat lahir dengan selamat dan sehat. Pada proses kelahiranpun sang ibu harus bertarung nyawa demi sang buah hati tercinta,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS: Al-Ahqaaf [46]:15).
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِي
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman [31]: 14).
Ada sebuah kisah. Seseorang datang ke Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Ia bercerita telah menggendong ibunya di pundaknya sendirian selama menjalani seluruh rukun dan wajib haji. Ia ingin mengetahui apakah perbuatannya itu telah dapat membalas kebaikan yang selama ini ditunjukkan ibunya di masa kanak-kanak. Rasulullah menjawab, ”Tidak. Semua yang telah kau kerjakan itu belum dapat membalas satu kali rasa sakit karena kontraksi rahim ketika ibumu melahirkanmu ke dunia.” Subhanallah, begitu berat penderitaan seorang ibu.
Ketika sang buah hati lahir ke dunia, tentu disambut dengan suka cita. Tangis haru bahagia seakan menghapus rasa sakit selama proses kehamilan dan proses kelahiran. Sungguh Allah Subhanahu Wata'ala adil. Do’a harapan tercurahkan semoga menjadi anak yang berbakti dan berguna pada agama, orang tua, keluarga dan masyarakat.
Hari-hari selanjutnya adalah menunaikan amanah yaitu membesarkan sang anak. Kurang tidur, kurang istirahat, telat makan adalah hal sering harus dilalui seorang ibu. Letih fisik dan psikis adalah hal yang biasa. Belum lagi bila sang anak sakit, ibu dengan ikhlas tidak tidur semalaman untuk menjaga sang anak. Tanpa mengharap pamrih, semua itu dilakukan agar sang anak tenang dan bahagia. Ibaratnya, ibu rela sakit untuk menggantikan rasa sakit sang anak.
Mendidik anak juga menjadi kewajiban ibu, di mana mendidik anak dimulai dari dalam kandungan sampai sang anak dewasa. Bisa dikatakan rumah dan ibu adalah sekolah dan guru pertama bagi anak. Ya, ibu adalah guru utama dan pertama bagi anak-anak. Pelajaran yang dapat diperoleh secara gratis tanpa ‘ biaya’ apapun. Belajar makan, belajar jalan, belajar memakai baju dan sebagainya. Apapun pertanyaan yang terlontar dari sang anak, sang ibu akan berusaha mencari jawaban terbaik. Dapat dikatakan ibu harus dapat berperan dengan berbagai macam karakter yang semua harus diperankan dengan baik.
Kehebatan seorang ibu bukan hanya dalam hal membesarkan anak. Mengurus, suami, rumah tangga dan segala pekerjaan ‘rumah’ yang harus diselesaikan dengan baik. Semua itu dilakukan mulai dari bangun tidur sampai akan tidur kembali, begitu setiap hari. Jika tidak dilakukan dengan ikhlas tentunya semua pekerjaan tersebut tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sungguh berat tanggung jawab seorang ibu yang mungkin kita tidak menyadarinya. Kemuliaan seorang ibu tertuang dalam sebuah kisah dari sahabat Abu Hurairah radiyalhu ‘anhu. Beliau berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah, kemudian dia bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau bersabda, “Ibumu”, Orang tersebut bertanya lagi ”Kemudian siapa?”. Beliau bersabda, ”Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, ”kemudian siapa?” Beliau bersabda, ”Ibumu”. Orang tersebut bertanya lagi, ”kemudian siapa?”. Beliau bersabda, ”Bapakmu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitu mulianya seorang ibu sampai disebut tiga kali oleh Rasulullah SAW.
Ketika sang anak beranjak dewasa, ada bermacam tingkah polah yang -secara langsung atau tidak- dapat menyakiti hati ibu. Celakanya lagi sang anak tidak merasa melakukan kesalahan. Tentu kita juga sering membuat sedih atau marah ibu, tapi apa reaksi ibu? Kalimat nasehat yang keluar dari beliau. Atas kesalahan apapun yang kita lakukan, ibu tetaplah ibu yang dengan segala kehalusan sifat dan perilakunya akan selalu memaafkan kita.
Begitu dahsyat kasih sayang seorang ibu bagi putra-putrinya. Maka, masihkah kita akan ‘tega’ menyakiti beliau setelah kita tahu apa yang telah ibu lakukan untuk kita. Pernahkah kita membayangkan jika suatu saat akan ditinggal ibu untuk selamanya? Sudahkah kita membahagiakan ibu kita tercinta atau setidaknya membuat ibu tersenyum? Bila kita belum melakukannya, segera lakukan selagi ada waktu. Jangan jadikan alasan kesibukan untuk ‘menjauh’ dari ibu.
Sudahkah kita memohon maaf atas semua kesalahan kita kepada ibu? Segeralah memohon maaf dan doa restu selagi kita punya kesempatan. Jangan menunggu esok hari karena kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput. Bila ibu kita telah meninggal, jangan pernah lelah dan berhenti berdo’a memohonkan ampunan kepada Allah SWT agar ibu kita mendapat tempat yang layak disisi-Nya.
Hormati dan cintailah ibu kita karena apapun yang kita berikan takkan mampu membalas semua pengorbanan dan kebaikan ibu. Sungguh, bukan materi yang ibu harapkan dari kita. Tapi, cukup sekadar perhatian dan do’a.
“Yaa Allah, jangan biarkan kami terlambat dalam menyadari bahwa betapa kehadiran seorang ibu di sisi kami itu nilainya luar biasa. Yaa Allah, beri kami kesempatan untuk bisa membahagiakan ibu. Yaa Allah, jadikan sepanjang umur ibu kami dipenuhi barakah-Mu. Yaa Allah, sayangilah ibu kami sebagaimana beliau menyayangi kami sedari kecil hingga kini. Yaa Allah, ampunilah ibu kami. Aamiin.*
Romantisnya Rasulullah dengan Istrinya
RASULULLAH Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang sempurna. Di medan perang beliau adalah seorang jenderal profesional yang menguasai taktik dan strategi bertempur. Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat, guru, dan sosok pemimpin yang menyenangkan. Di rumah, beliau adalah seorang kepala rumah tangga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih sayang, sekaligus kebahagiaan.
Rasulullah Sahallahu ‘Alaihi Wassallam dinobatkan oleh Allah sebagai suri tauladan.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”. (QS: Al Ahzab [33] : 21).
Tidak salah jika seluruh kehidupan Rasullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi contoh baik bagi kita. Termasuk urusan dalam kamar sekalipun.
Di antara sisi romantis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mencium istrinya sebelum keluar untuk shalat. Dari 'Aisyah Radhiallaahu 'anha, “Bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar menunaikan shalat tanpa berwudhu dahulu.” (HR Ahmad).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang pria yang sangat lembut. Beliau mengekspresikan cinta kepada istrinya dengan sederhana dan bersahaja. Beliau juga sosok yang dikenal sangat romantis.
Misalnya, beliau biasa memanggil istri-istrinya, dengan panggilan kesukaan dan panggilan yang indah.
Siti ‘Aisyah, dipanggil dengan panggilan “Ya Humaira” (wahai si merah jambu).
Coba bayangkan, istri mana yang tidak tersanjung saat dipanggil suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan seperti ini?
Tapi keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening, indah dan keluar dari lubuk hati paling dalam.
Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap yang dipandang dan ditemuinya.
Memang, betapa indah hari-hari kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku bagi istri-istrinya, juga anak-anak, bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu wa Ta`ala lainnya pun merasakannya.
Sikap Rasulullah ini juga ditunjukkan ketika melihat alam dan unsur-unsur di sekitar. Ketika melihat sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: “Aaamu khairin wa barakatin insya Allah.” (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).
Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: “Hilaalu khairin wa baarakatin insya Allah.” (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya Allah).
Bagitulah Rasulullah, junjungan kita.
Meskipun beliau sebagai seorang pemimpin yang super sibuk mengurus ummat, namun beliau tidak lupa untuk menjalin kemesraan dengan istri-istrinya. Beliau tak segan-segan untuk mandi bersama dengan istri beliau.
Dalam sebuah riwayat, mandi bersama dengan Siti ‘Aisyah radhiyallahu anha dalam satu kamar mandi dengan bak yang sama.
Dari 'Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah mandi dari jinabat bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu tempat air, tangan kami selalu bergantian mengambil air.” (HR Mutafaqun ‘alaih).
Dalam riwayat Ibnu Hibban menambahkan, “Dan tangan kami bersentuhan”.
Rasulullah mengajarkan kepada kita, mandi bersama istri bukanlah suatu hal yang tercela. Jika hal ini dianggap tercela, tentulah beliau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan melakukannya.
Rasulullah juga sangat mengerti perasaan istri-istrinya dan tau cara menyenangkan dan memberi kasih sayang. Rasulullah, sering tidur di pangkuan Siti ‘Aisyah, meski istrinya sedang haids.
Dari Urwah ia pernah ditanya orang, "Bolehkah wanita haids melayaniku dan bolehkah wanita junub mendekatiku?"
Urwah berkata, "Semuanya boleh bagiku, semuanya boleh melayaniku, dan tiada celanya. ‘Aisyah telah menceriterakan kepadaku bahwa dia pernah menyisir rambut Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika dia sedang haidsh, padahal ketika itu Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sedang i'tikaf di masjid; beliau mendekatkan kepalanya kepadanya (‘Aisyah) dan dia (‘Aisyah) ada di dalam kamarnya, lalu ia menyisir beliau, padahal ia sedang haids."
Ummu Salamah berkata, "Ketika aku bersama Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidur-tiduran di kain hitam persegi empat (dalam satu riwayat: di lantai, tiba-tiba aku haids, lalu aku keluar dan mengambil pakaian haidsku, lalu beliau bertanya, 'Mengapa kamu? apakah kamu nifas?' Aku menjawab, 'Ya.' Beliau lalu memanggilku, lalu aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah."
Ummu Salamah biasa mandi bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dan beliau suka menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.
Rasulullah juga mengajarkan kita untuk memperlakukan istri dengan istimewa. Hal itu ditunjukan ketika Nabi ketika beliau tidak sungkan mandi dari sisa air istrinya.
Dari Ibnu Abbas, “Bahwa Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah." (HR Muslim).
Nabi juga dikenal memanjakan wanita (istri-istrinya).
Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.” (HR Bukhari)
Sepiring berdua, gurauan dan ciuman
Rasulullah membiasakan mencium istri ketika hendak bepergian atau baru pulang.
Dari ‘Aisyah radhiallahu anhu, bahwa Nabi SAW biasa mencium istrinya setelah wudhu’, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi wudhu’nya.”(HR ‘Abdurrazaq)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga suka memakan dan meminum berdua dari piring dan gelas istri-istrinya tanpa merasa risih atau jijik.
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Saya dahulu biasa makan his (sejenis bubur) bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam .“ (HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod)
Dari Aisyah Ra, ia berkata: “Aku biasa minum dari gelas yang sama ketika haidh, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengambil gelas tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulut, lalu beliau minum.” (HR Abdurrozaq dan Said bin Manshur, dan riwayat lain yang senada dari Muslim.)
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum di gelas yang digunakan ‘Aisyah. Beliau juga pernah makan daging yang pernah digigit ‘Aisyah.(HR Muslim No. 300)
Nabi saw biasa memijit hidung ‘Aisyah jika ia marah dan beliau berkata, Wahai ‘Aisya, bacalah do’a: “Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni)
Rasulullah juga bergurau bersama, di kala sedang dekat dengan istrinya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Aisyah dan Saudah pernah saling melumuri muka dengan makanan. Nabi SAW hanya tertawa melihat mereka. (HR Nasa’i dengan isnad hasan)
Begitulah Rasulullah. Beliau dikenal bersikap lembut dan sayang pada istrinya. Beliau juga menyayangi dan mengistimewakan istrinya di kala istrinya sedang sakit.
Dari ‘Aisyah, ia mengatakan, beliau (Nabi) adalah orang yang paling lembut dan banyak menemani istrinya yang sedang mengadu atau sakit. (HR Bukhari No 4750, HR Muslim No 2770)
Alhasil, Islam banyak mengajarkan kita tentang kelembutan dan sikap sayang pada pasangan. Itulah sikap romantisme yang diajarkan Islam pada para suami terhadap para istri. Sebab Rasullah bersabda, sebaik-baik para suami, adalah mereka yang bisa bersikap baik terhadap istrinya.
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian ialah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, hadits hasan shahih).*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar