![[Foto+Gambar+Wallpaper+Lukisan+Kaligrafi+Bentuk+Buah+Islami+Gambar+Kumpulan+Islami+Lukisan+Kaligrafi+Islam+Koleksi+Lengkap.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6nbl89CxM4x4FCFbEryUdvYWiLSjwHXPrUFeOHNeGWfJWzxf01pJTi9WsnRmW0VHTGj1q7RHbl0z-JWZ-AZsIwVvl5dWkeJR-AFUXi9ytKbXnW6P-voehEb08AszqDZsxHmRValAiiv6u/s1600/Foto+Gambar+Wallpaper+Lukisan+Kaligrafi+Bentuk+Buah+Islami+Gambar+Kumpulan+Islami+Lukisan+Kaligrafi+Islam+Koleksi+Lengkap.jpg)
Berahlaq Yang Baik Dimanapun!
DALAM kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan seorang manusia tidak dapat hidup seorang diri. Ia pasti butuh pertolongan dan bantuan orang lain. Dari rasa saling membutuhkan inilah timbul jalinan persaudaraan atau ukhuwah, pertemanan, dan lain-lain.
Dalam hubungannya dengan masalah ini, sifatnya ada yang langgeng dan tidak. Sebuah persaudaraan bisa langgeng jika didasari oleh keinginan untuk mencari ridha Allah. Sebaliknya, ia tidak akan bisa langgeng jika dasarnya bukan karena mencari ridha Allah.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sewaktu ada kepentingannya saja. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Misalkan seseorang senang ketika orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun tidak mau.
Hal-hal seperti itu semestinya tidak terjadi pada diri seorang Muslim. Sebab Islam telah memberi tuntunan yang jelas tata cara bergaul dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang paling penting yang diajarkan oleh Islam yaitu hendaknya setiap Muslim dalam melakukan pergaulan didasari oleh niat mencari ridha Allah.
Ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena senyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang Muslim membantu, maka hendaknya diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah.
Al-Imam Ibn Qayyim menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma'ad juz ke-4 hal 249 : "Di antara kecintaan terhadap sesama Muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya. Bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut. Atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. Atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena itu sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu kepentingan, ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam Majmu'Fatawa juz 10, beliau berkata: "Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.Apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian.
Maka kecintaan demikian bukan karena Allah. Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: "saya cinta kepadanya karena Allah", maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu.
Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar terhindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan."
Ucapan Ibn Taimiyah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67, yang artinya: "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa."
Dari keterangan ini jelaslah bahwa hanya orang-orang bertakwa yang persahabatannya akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti akan menjadi musuh satu sama lain.
Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Yaitu berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam atau tidak.
Sedang orang yang bertakwa dalam pergaulannya tentu didasari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah sebagai uswah bagi kaum Muslimin telah telah memberikan tuntunan bagaimana adab-adab bergaul. Perkara tersebut merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). Akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam.
Berusaha Mengamalkan
Di antara bentuk adab bergaul yang dicontohkan Rasulullah, yaitu mengucapkan salam terlebih dulu, bertutur kata yang baik, menanyakan kabar, menengok orang sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Dengan melaksanakan adab-adab tersebut, kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat di antara umat Islam. Ukhuwah yang kokoh yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman yang artinya:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk." [Al-Imran : 103]
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. Di antaranya kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orangtua, adab terhadap saudara, adab terhadap istri, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan.
Dengan melaksanakan adab-adab tersebut insya-Allah kita akan dicintai Allah Yang Maha Pengasih. Karena di antara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, "Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia." Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, "Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia. "Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi." [Hadits Bukhari dan Muslim)
Di antara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, di antaranya ia mencintai mereka karena Allah, berahlak kepada manusia dengan ahlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia. Dalam al Qur'an Allah berfirman yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik". [Ali-Imran: 134]
Rasulullah Saw bersabda yang artinya, "Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan berakhlaklah kepada manusia dengan ahlak yang baik." [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan].*ADALAH Panglima Besar Nuruddin Mahmud al-Zinki (sebagian menyebutnya Zanki) yang berada di Damaskus. Saat itu sedang berkecamuk Perang Salib. Mendengar Tentara Salib telah masuk ke pesisir Mesir dan berhasil mengepung kaum Muslimin di kota Dumyat, Mesir, hati Nuruddin merasa gundah dan gelisah. Senyumnya yang kerapkali menghiasi wajahnyapun terlihat sirna. Imam Masjid Omawi merasa iba dan turut sedih melihatnya. Imam Masjid tersebut ingin memberikan pelipur lara untuk menghibur beliau agar dapat tersenyum.
Ba’da shalat, Imam menyampaikan dalam halaqah (pengajian) yang biasa dihadiri Nuruddin. Dibacakanlah sebuah hadits Rasul saw, yang setiap orang mendengar hadits tersebut pasti tersenyum. Ketika semua orang tersenyum mendengar hadits itu, Nuruddin Zinki masih belum bisa tersenyum. Dengan keheranan Imam bertanya kepada Nuruddin, ”Mengapa Paduka tidak tersenyum, saat semua orang yang mendengar hadits tersebut tersenyum?”
Nurudin menjawab,”Saya malu kepada Allah melihat saya tersenyum, sedangkan kaum Muslimin di Dumyath masih terkepung oleh Tentara Salib!”
Setiap malam, Nuruddin Mahmud melakukan shalat, bersujud dan berdoa sebanyak-banyaknya sambil menangis, memohon kepada Allah swt agar segera membebaskan kaum Muslimin yang terkepung di Dumyat.
Beberapa hari kemudian, saat Nuruddin berangkat ke mesjid Omawi untuk melakukan shalat subuh, Imam masjid mencegat nya, seraya mengatakan kepadanya.
”Paduka, saya bermimpi telah bertemu dengan Baginda Rasulullah saw dan meminta kepada saya untuk menyampaikan kabar gembira kepada Paduka bahwa Allah swt telah membebaskan kaum Muslimin di Dimyath. Lalu saya tanyakan kepada Rasulullah saw (dalam mimpi itu), ”Wahai Baginda Rasulullah, apa tandanya agar Nuruddin dapat mempercayai berita gembira ini dariku?”
Rasulullah saw (dalam mimpi itu menjawab); “Katakan padanya, masih ingatkah saat ia di Tal Harem, ketika turun dari kudanya, melakukan shalat, bersujud, berdoa sambil menciumkan wajahnya di atas tanah, seraya mengatakan: ”Ya Allah tolonglah agama-Mu ini, tolonglah tentara-tentaramu dan jangan tolong Nuruddin Mahmud yang hina ini, apalah artinya seorang Nuruddin hingga Engkau tolong.”
Benar, memang hal itu yang dilakukan dan diucapkan Panglima Nuruddin Mahmud saat di Tal Harem, ketika beliau dan tentaranya akan berhadapan dengan tentara Salib, saat itu ia menyendiri berdoa. Tanda dan bukti itu dibenarkan oleh Nuruddin Mahmud karena hanya ia sendiri yang tahu saat bermunajat dengan Tuhannya, sehingga iapun percaya bahwa Dumyath telah dapat dibebaskan dari kepungan.
Beliau terharu, terkesima, menangis sebagai ungkapan syukur, dan kemudian ia telah dapat tersenyum lagi.
Penawar Hati
Tak pelak lagi bahwa shalat, sujud untuk mengadu dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta merupakan penawar hati yang luka dan solusi aneka ragam duka lara, tentunya dengan diiringi keikhlasan dan tawakkal kepada-Nya pada setiap usaha yang diridhai-Nya.
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ
Firman Allah swt: ”Dan Kami sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat).” (QS: Al-Hijr: 15/97).
Ayat di atas, selain sebagai pelipur lara yang menghibur Nabi saw, karena kesedihannya dan terasa sesak dadanya mendengar ejekan, ulah dan kesombongan kaum musyrikin kala itu. Ayat di atas juga memberikan solusi dan kiat untuk menghilangkan kesedihan dan duka tsb, yaitu dengan cara bersujud (shalat) disertai memperbanyak tasbih, tahmid dan doa untuk kebaikan diri, keluarga dan umat.
Tuntunan bagi Nabi saw, berarti juga tuntunan bagi umatnya. Banyak sekali hal yang dapat membawa kepada kesedihan, seperti musibah yang menimpa diri, saudara, teman, atau merajalelanya kezaliman, kemungkaran, ….… yang terkadang seorang tidak mampu untuk mencegah atau menghilangkannya dengan kekuatan tangannya.
Hamba yang dekat dan dicintai Allah swt adalah pada saat seorang hamba bersujud, sebagaimana Rasul saw bersabda:”Hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah saat hamba-Nya bersujud, karenanya ikhlaskanlah dalam berdoa pada saat bersujud”.
Mudah-mudahan kita semula menjadikan shalat, sujud untuk mengadu dan berkomunikasi bukan dengan cara lain.*
Iqra’, Menjadikan Anda Bebas dari Kejahilan!
BAPAK saya yang berusia 60 tahun, adalah seorang perokok berat. Beliau telah menjadi penghisap rokok sejak usia remaja, sehingga merokok nyaris tidak dapat dipisahkan dari kegiatan beliau sehari-hari. Bagi beliau rokok itu memberi manfaat; karena dengan begitu semangat kerja bertambah, rasa kantuk hilang. Sebaliknya bila tidak ada rokok, maka beliau tidak dapat menunaikan pekerjaannya dengan sempurnya. Begitulah pemahaman dan keyakinan yang beliau pegang bertahun-tahun.
Suatu hari beliau merasa kurang sehat. Badannya meriang, batuk-batuk dan nafas terasa sesak. Biasanya kalau beliau sakit seperti itu obatnya adalah ”Konidin”. Setelah beberapa hari diobati, ternyata sakitnya tidak sembuh juga, malah berambah parah saja. Nafasnya semakin sulit, dan batuknya kini mengeluarkan darah. Keluarga sepakat untuk membawa beliau memeriksakan diri ke dokter. Oleh dokter beliau diminta untuk melakukan rongsen paru-parunya. Dari hasil rongsen maupun pemeriksaan dokter disimpulkan bahwa paru-paru beliau bocor. Penyebabnya adalah kebiasaan merokok yang telah beliau lakukan sejak lama.
Saran dokter, disamping harus dilakukan pengobatan yang intensif, yang tidak kalah pentingnya adalah beliau diminta berhenti merokok. Untuk permintaan yang terakhir ini nampaknya cukup berat untuk dilakukan oleh bapak saya. Tetapi kemudian dokter mengambil gambar paru-paru dan menjelaskan cara kerjanya. Dokter juga menerangkan bagaimana rokok bisa merusak fungsi paru-paru beliau. Dengan sedikit mengancam dokter mengatakan: ”Sekarang mau menderita sakit seperti ini, bahkan akan akan semakin parah lagi atau berhenti merokok?”
Akhirnya beliau sadar dan sejak hari itu, beliau menyatakan kesediaannya untuk menghentikan rokok untuk selamanya.
Dari kasus di atas dapat kita lihat dengan jelas, bagaimana proses kesadaran itu terjadi. Dimulai dari fisik mengalami secara langsung rasa sakit, mata melihat gambar, telinga mendengar penjelasan, akal berfikir, merenungkan dan menimbang-nimabangnya. Sampai akhirnya harus mengambil sebuah keputusan yang tepat.
Maka, sungguh bijaksana apabila Allah memberikan solusi mendasar terhadap problema kehidupan dengan perintah ”iqra’”.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
”Bacalah!, dengan menyebut asma Tuhanmu Yang Menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia ketahuni.” (QS. Al-Alaq 1-5).
Makna perintah ”Iqra”
Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat siatas sebagai berikut:
”Dan sesungguhnya, di antara kemurahan Allah adalah mengajarkan kepada umat manusia sesuatu yang tadinya tidak diketahui. Maka Allah mengangkat dan memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang hanya diberikan Allah kepada nenek moyang manusia, Adam as, yang membedakannya dari malaikat."
Perintah membaca dalam ayat “Iqra’” tidak disebutkan obyek (maf'ul bih) nya. Dalam kaedah bahasa, hal ini menunjukkan bahwa perintah membaca tidak terbatas pada obyek tertentu, tetapi membaca segala sesuatu dari ayat-ayat Allah; baik yang bersifat qauli maupun yang kauni. Ayat-ayat yang berbentuk ciptaan-Nya (Alladzi khuliqa) ataupun ayat-ayat yang diajarkannya melalui lisan para Nabi-Nya (Alladzi ’allama) dalam wujud Kitab al-Qur’an.
Mengapa perlu membaca?
Membaca disini maksudnya bukanlah mengeja kata-kata. Membaca dalam pengertiannya yang luas mengandung makna: melakukan pengamatan dengan indera, memikirkan dengan akal, mengambil hikmah dengan qalbu serta menerima dan meyakini kebenaran yang difirmankan oleh Allah melalui Nabi-Nya. Jika demikian, amatlah wajar apabila kegiatan membaca menjadi pusat perhatian Allah, sehingga ditempatkan sebagai wahyu pertama yang harus dilakukan oleh Rasulullah dan ummat beliau, karena memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Diantaranya adalah:
Pertama; membaca merupakan fitrah manusia.
Aktifitas membaca dalam pengertian memahami fenomena yang ada di sekelilingnya telah dilakukan oleh manusia sejak detik pertama kelahirannya. Ketika seorang bayi dilahirkan ke dunia, dari rahim ibunya dan menghadapi lingkungan yang baru. Kulitnya merasakan suhu yang berbeda dengan sebelumnya, hidungnya menghirup udara segar, telinganya sayup-sayup mendengar suara-suara, matanya menangkap cahaya dan warna-warni benda di sekitarnya. Sesungguhnya itu semua adalah proses membaca yang dilakukan oleh sang bayi. Aktifitas tersebut akan terus berkembang dan dilakukan sepanjang hidupnya.
وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (An-Nahl [16]: 78)
Kedua; membaca menjadikan manusia memahami realitas.
Seseorang yang ditakdirkan lahir dalam keadaan buta misalnya, maka ia tidak akan pernah memahami akan konsep warna. Baginya semua warna adalah sama. Begitupun apabila manusia tidak menggunakan indera, akal fikiran dan hati nuraninya untuk memperoleh kebenaran, maka ia tak akan pernah memahaminya. Dan jika manusia tidak mampu memahami, maka ia tidak lebih baik dari jenis binatang (QS. Al-A’raf [7]: 179)
Ketiga; membaca menjadikan manusia mampu membedakan.
Melalui indera, akal, qalbu dan wahyu, manusia memiliki kemampuan membedakan antara yang benar dengan yang salah (al-haq wa al-bathil), antara yang betul dan yang keliru (al-shawab wa al-khata’), antara yang sejati dengan yang palsu (al-shadiq wa al-kadzib), antara yang baik dengan yang buruk (al-khair wa al-syarr), antara yang baik dan yang busuk (at-thayyib wa al-khobits), antara yang makruf dan yang munkar, antara yang berguna dan yang menimbulkan kerusakan (maa yanfa’ wa maa yadlurru), antara petunjuk dengan kesesatan (al-hudaa wa al-dzalal), dsb.
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
”Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” (QS. Al-Anfal [8]: 8)
Keempat; membaca menjadikan mengambil keputusan yang benar.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, maka ia tidak akan dapat mengambil suatu keputusan atau tindakan secara tepat dan benar. Apabila seseorang mengambil tindakan yang didasarkan dari ilmu dan pengetahuan yang salah, maka ia akan mengambil tindakan yang salah pula.
Sedang jika seseorang mengambil suatu tindakan serta keputusan atas sesuatu yang ia tidak memiliki informasi atau pengetahuan yang benar, sesungguhnya keputusan yang ia lakukan adalah spekulasi. Keputusan tersebut bisa salah dan bisa benar. Keputusan yang benar hanya diperoleh dari informasi yang benar pula.
Agar manusia tidak terombang-ambing dalam kehidupan yang spekulatif, maka manusia harus memperoleh informasi yang benar dari sumber yang paling otoritatif akan kebenaran. Dialah Allah dan rasulnya.
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Tidak ada komentar:
Posting Komentar